Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Pasar Bisa Diciptakan
1
Suka
21
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ujang Betrik terheran-heran ketika melihat semua pedagang di Pasar Kali Aja, menjual barang dagangan yang sama: Kaos oblong bertuliskan Ganyang Orang-orang Subversif, Runtuhkan Idealisme Mahasiswa, Kapital Yang Maha Kuasa, Maha Benar Pemerintah dengan Segala Tindakannya. Tentu saja dengan beragam warna dan ukuran. Anehya, semua pengunjung pasar bahkan tidak merasa resah sedikit pun.

Padahal baru kemarin Ujang Betrik mengambil setoran preman di wilayahnya yang berisikan pedagang sayur, buah-buahan, daging, dan ikan. Namun, sekarang semua pedagang itu sudah menghilang bagaikan ditelan bumi.

Ia hampiri salah satu pedagang yang ada di dekatnya.

"Heh, Mang. Kemarin teh kamu dagang sayur, kenapa sekarang dagang baju, mana bajunya gini semua lagi?"

Pedagang itu hanya bergeming. Ia tatap dalam-dalam wajah Ujang Betrik dengan kengerian. Namun, yang Ia bisa hanya diam seribu bahasa. Karena kesal dengan sikap yang ditunjukan oleh pedagang, Ujang Betrik dengan gampangnya melayangkan tinju ke muka pria itu. Membuat hidungnya bercucuran darah. Sesaat kemudian orang yang tengah kesakitan itu ditinggalkan.

Sempat terpikir olehnya, ini adalah perbuatan Alex Codet, preman nomor wahid di pasar ini. Wajar saja ia curiga kepada kakak kandungnya itu. Pedagang pakaian, perhiasan dan elektronik adalah "pegangan" Alex Codet. Bisa saja ia menyuruh semua pedagang berjualan baju, tujuannya sederhana agar ia mendapat semua keuntungan dari semua pedagang yang ada di pasar.

"Ini tidak bisa dibenarkan. Sialan kau, Bang! Sudah tahu kalau setoran dari pedagang sayur itu kecil, masih kau embat juga dengan mengubahnya jadi pedagang baju semua." Gerutunya dalam hati, sambil berjalan cepat ke markas Alex Codet yang berada di samping toilet umum sebelah timur pasar.

"Di mana abangku, Wan?" Pertanyaan itu ditujukan kepada Wawan Putaw yang sedang tertidur di lantai berbantal sebelah lengan. Tubuhnya yang ceking tampak menggigil, bibirnya biru. Sudah pasti ia sedang sakau, pikir Ujang. Wawan Ia tinggalkan. Karena kesal Ia injak kepalanya.

*

Sontak saja pintu ditendang. Saking kuatnya, membuat si engsel tercerabut dari kusen. Semerbak alkohol yang sangat pekat meronta keluar mencari udara yang segar. Selentingannya tercium ke hidung Ujang. Ia arahkan pandangannya ke sekeliling kamar, banyak tisu berserakan. "Setan, ada pesta aku gak diajak." Pikirnya.

Meskipun sudah siang bolong, memang sepatutnya seorang raja preman pasar belum bangun. Jadi pada hal ini tak ada alasan untuk membuat Ujang kesal, karena ia pun suka bangun siang. Namun, ini berbeda, pasar sudah berubah karena ulahnya, sudah sepatutnya Ujang kesal walau sedikit.

Sifat ujang yang tengil tak bisa ia tutupi dan inilah yang menjadi alasan amarahnya reda: ia melihat kakaknya yang sedang tidur telentang dengan masih memegang arak bali ditangannya. Mulutnya menganga. Codet di pipinya yang membentang dari ujung bibir sebelah kanan, sampai ke daun telinga telah terpenuhi oleh air liur. Seperti sungai yang bermuara di sebuah danau.

Tanpa berpikir panjang, ia bangunkan seseorang yang sedang tertidur pulas itu sambil menyumpalkan tisu yang berserakan tadi ke mulut dan hidung kakaknya.

"Bang... Bang... Panesha Susah, kesini bang... Woi bangun!"

"Anjing... Mana ada!" Ia menjawab dengan berang.

Ujang tahu bahwa dengan cara seperti itu saja Alex Codet tak akan bangun. Sekonyong-konyong ia merentangkan tangannya dan langsung meloncat ke atas perut kakaknya itu.

"GWOBLOOOG!!!"

"Makannya bangun atuh. Tuh lihat pasar yang jualan pedagang baju semua!"

"Ah masa? Kamu masih ngefly kali jang?"

"Eh, lihat saja sendiri atuh, Gak ada toko emas, Toko TV juga ga ada."

Mendengar toko emas hilang dari peradaban pasar, mata Alex Codet yang masih merah pun membelalak. Ia terlihat seperti Genderuwo.

"Ayo lihat, bawa pasukan buat berjaga-jaga. Mungkin ini pemberontakan dari kaum pedagang kecil."

"Komandan Wawan lagi sakau, kita berdua saja." pungkas Ujang.

*

Mereka berdua sampai di pasar. Kegiatan perdagangan berjalan normal, ada penjual dan ada pembeli. Sebuah fenomena yang bahkan tidak bisa dipecahkan oleh penalaran abduktif. Akan tetapi, ini tak bisa diterima oleh kakak-beradik ini. Sang kakak tak bisa menerima karena hilangnya penjual emas dan elektronik yang memberikan uang keamanan terbesar. Untuk sang adik, lahannya sudah punah total.

Di seberang jalan dekat terminal. Terlihat seorang pengamen sedang bernyanyi dengan lantang. Urat lehernya terlihat keluar, meski dilihat dari kejauhan. Mereka berdua pun menghampirinya. Semakin dekat jarak, mulai terdengar lirik yang ia ulangi terus. Mungkin bagian reff, pikir mereka.

Menembus rimba dan belantara sendiri

Pasar bisa diciptakan

Membangun kota dan peradaban sendiri

Pasar bisa diciptakan

"Berisik, atuh!" kata Ujang dan Alex serentak.

"Eh, Kang, maaf, atuh. Da aku teh kesel sama pemerintah. Lihat tuh pasar jadi tukang dagang baju semua. Kan aku teh jadi gak bisa beli kaset bokep ke si Mang Nurdin Coli." Kata pengamen itu. Ia terlalu segan melihat dua penguasa pasar bersatu.

Ujang Betrik memandang kakaknya. Seolah ia paham inti permasalahan. Alex Codet pun mengangguk. Pemerintah inti permasalahan dari fenomena ini, kata mereka dalam hati. Tangan kanan Alex merogoh saku celananya. Kedua retinanya mendelik ke langit. Tak ada benda berharga yang bisa diberikan kepada pengamen itu. Ia memberi kode pada Ujang. Ia mengerti maksud kakaknya dan melakukan hal yang sama.

"Nih cimeng. Nyanyi lagi yang keras. Jangan sampai berhenti!"

"Siap, Boooos."

Perbedaan antara pengamen itu dan odong-odong adalah: Odong-odong bisa jalan kalau ada koin, sedangkan pengamen itu bernyanyi terlebih dulu baru dibayar. Namun, tetap saja, orang lebih menghargai odong-odong dari pada pengamen. Sampah hanya dihargai oleh sampah. Itulah prinsipnya.

Orang yang menganggap dirinya suci terkadang sulit melihat realitas secara objektif. Lihat! Di ujung jalan sana ada seorang pria berkumis baplang dengan memakai kaos oblong pembelian dari pasar itu berteriak-teriak.

"Pak Polisi, lihat ada anjing yang menghina dewa kita. Tangkap saja pak, eksekusi ditempat kalau bisa. Orang-orang makar seperti mereka tak pantas hidup!"

Sejurus kemudian, ia kabur entah kemana. Tak berselang lama, munculah polisi berjumlah satu kompi. Lengkap dengan senjata api. Tampang mereka terlihat garang. Seorang dari mereka muncul di barisan paling depan dengan membawa pengeras suara. Terdengar suara mendengung, mungkin akibat distorsi. Setelah semua terkendali ia mulai berbicara.

"Saudara yang tanpa memiliki hormat. Dengan segala ketidak-hormatan, anda harus dieksekusi. Suara gombreng dari gitarmu dan lirik yang kau bawakan menyalahi aturan. Terlebih ini adalah pasarnya pemerintah!"

Siapa yang tidak tercengang mendengar perkataannya. Memang tak ada satu pun dari mereka yang mengenal bangku sekolah. Tetapi, setidaknya mereka tahu ketika ada perkara apalagi tindak pidana, haruslah diproses melalui meja hijau.

"Tunggu dulu, sejak kapan mengkritik pemerintah harus dihukum mati?" kata si pengamen yang terlebih dulu sadar akan keadaan.

"Sejak tadi malam. Lihat, sudah tertuang dalam hitam di atas putih. Jangan banyak tanya. Terima saja keputusan."

"Aku tak akan berhenti bernyanyi walau sudah mati!"

Langsung si pengamen terus menyanyikan lagu yang tadi dengan lirik yang itu-itu saja. Sekali ia berhenti untuk menyalakan cimeng. Asapnya ia hembuskan ke arah polisi. Disusul dengan air liur yang ia semburkan ke jalan. Wajahnya tampak memerah. Ia tunjuk sambil mengutuk para polisi.

"Dasar anjing pemerintah!"

Mendengar pernyataan si pengamen, air muka para polisi merah padam. Seseorang yang memegang pengeras suara itu memberikan perintah kepada pasukan.

"TEMBAK SAMPAI MAMPUS!!!"

Suara tembakan seperti petasan tahun baru. Ujang dan Alex tunggang langgang menghindari peluru yang mengarah ke sembarang. Untung mereka dapat lolos dan berlindung di beton.

"Heh. Goblok, kabur bego!" kata Ujang sambil mendelik ke arah si Pengamen.

Gitar bukanlah pertahanan diri yang efektif. Hampir semua peluru tembus di badan si pengamen itu. Darah bercucuran dari setiap lubang yang tercipta. Seketika riwayat si pengamen telah tamat.

Setelah semuanya berhenti, Ujang mendelik lagi. Si Pengamen sudah tergeletak tak bernyawa. Darah menggenang di sekitarnya. Ia melirik ke arah Alex tadi sembunyi, tapi Alex sudah tak ada disana. Hatinya jadi kacau, ingin sekali rasanya Ia hajar satu-satu Polisi itu. Namun, tak mungkin rasanya jika harus bertarung sendiri. Terlebih mereka punya senjata.

Ujang mencoba untuk tenang. Ia pandangi sekeliling. Ditemuinya sebongkah batu yang cukup besar. "Bukan 'Betrik' kalau gak senggol bacok." Katanya lirih.

Sekonyong-konyong, Ia berlari mencari jarak yang dikiranya cukup untuk melempar. Sambil berteriak "BANGSAAAAAAAT!" Ia lemparkan batu itu ke arah polisi yang tak menggunakan helm. Tepat sasaran, lemparan yang keras itu membuat kepala korban bocor.

Karena tak siaga dan saking cepatnya Ujang Betrik, para polisi sempat bergeming. Saat mereka sadar apa yang terjadi. Si pemegang pengeras suara langsung mengumpat-umpat. Sejurus kemudian, ia suruh seluruh pasukan untuk menembaki Ujang yang sedang ngos-ngosan.

Ujang melakukan hal sama dengan si Pengamen: berdiri lantang menerima setiap peluru yang bersarang, lalu mati.

*

Sudah lima tahun beredar rumor horor: Jika kau tak ingin digentayangi oleh hantu di Pasar Kali Aja, jangan sekali-kali mengagungkan pemerintah ketika berbelanja. Pesan ini khusus disampaikan kepada bapak-bapak yang suka main catur di terminal. Sambil memikirkan strategi, biasanya mereka membicarakan prihal politik dan ekonomi. Tak ada ibu-ibu yang tertarik dengan hal itu, malah mereka suka mengeluh dengan harga beras dan cabai yang merangkak naik perlahan.

Sebenarnya sepekan setelah insiden. Pasar Kali Aja berjalan normal kembali. Alex Codet sejak saat itu menjadi buronan yang paling dicari. Penguasa pasar yang baru muncul tiga tahun setelahnya. Udin Pea namanya.

Suatu malam Udin Pea dan anak buahnya mengadakan pesta di markas bekas Alex Codet. Tak ada yang berubah dari tempat itu. Berliter-liter oplosan sudah tersedia di muka. Sebelum acara dimulai, Udin Pea membukanya dengan sedikit berpidato.

"Wahai anak buahku sekalian, kita berhasil merebut wilayah paling strategis di kota ini. Semua itu tak terlepas dari usaha kita dan bantuan dari bapak bupati. Tahun ini ia akan maju lagi dalam pemilihan. Ayok kita dukung! Bersulang untuk kita dan bupati!"

Pesta berlangsung sangat meriah, para jablay mulai beraksi menggoda anak buah Udin Pea. Namun, suhu yang tadinya panas mendadak membeku. Bulu rona semua orang yang ada di ruangan itu berdiri. Lampu padam. Sontak saja para wanita tuna susila itu menjerit. Terdengar sayup-sayup suara nyanyian.

Menembus rimba dan belantara sendiri

Pasar bisa diciptakan

Membangun kota dan peradaban sendiri

Pasar bisa diciptakan

Dinding menjadi lembab, dan muncul tulisan dari darah: Dasar ANJING Pemerintah. Di bawah tulisan itu terdapat huruf U dan B.

Sekonyong-konyong seisi ruangan lari terbirit-birit. Mereka mencoba keluar ruangan, mencari setiap celah. Namun, telalu sempit.

Ciamis, 2018

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Hiyahiyahiya 😎
Hiyahiyahiya. 😎
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Anak Asrama Gokil
Sky Melankolia
Cerpen
Ssstttt..Jangan Berisik!!!
Khairaniiii savira
Cerpen
Bronze
Memecat Bos
Ravistara
Cerpen
Pelangi Di Atas Tiara
Shinta Larasati
Cerpen
Jawaban Tuhan
spacekantor
Cerpen
Jenazah
Rita Puspitasari
Cerpen
Tentang Teman dan Waktu
Aura R
Cerpen
Bronze
Dari Balik Pohon Apel
astreilla
Cerpen
FISIKA oh FISIKA
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
Hidupmu
Yukina Gelia
Cerpen
Harapan
Cassandra Reina
Cerpen
Bronze
Another You Want
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Genggaman Makanan
Talita Shafa Arifin
Cerpen
Hari Kepulangan
Rinona
Rekomendasi
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Kematian Arifin Shuji
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Cinta Buta
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Mimpi Malam Kesebelas
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Pada Hari Minggu yang Cerah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Nyai Ronggeng Pulungsari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Cerita Calon Koruptor
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Tempat Kerja Papa
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa