Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
2013
9.30
Terdengar suara wanita paruhbaya yang sedang menelepon dari luar kamar.
"Iya, Bengga kelas 4-D. Izin dulu, Bu. Hari ini dia demam."
Tangan hitam itu terulur ke arah ku. Aku yang lagi - lagi hanya bisa terbaring, kembali menyaksikan tangan yang datang dari dinding di sebelah kananku. Tangan itu berhenti di atas dahi, perlahan mulai menyapu peluh yang membanjiri.
Enatah ayah membuat robot canggih yabg ditarush di dalam tembok atau bagaimana, kini tangan hitam itu mdmbantuku untuk menyender di atas ranjang.
Semakin terjulur dan memanjang, tangan hitam kurus yang sepertinya hanya membalut tulang tanpa daging itu mengambil bubur di atas nakas. Menyuapiku bubur yang ayah sediakan. Suapan demi suapan meluncur ria dalam tenggorokan.
Dan esok harinya saat aku tersadar.
"Wah, syukur demam mu sudah turun," kata ayah yang sedang menggunakan kemeja mahalnya.
Setelah memeriksa kondisiku, ayah segera pergi berangkat kerja ditemani oleh istrinya.
Aku mentap tembok di sebelah kanan yang menempel dengan ranjang tidur ukuran 3x2 ini. Ku raba dinding itu dengan perlahan. Tidak ada celah yang memungkinkan sebuah tangan untuk dilewati. Aku menengok ke atas nakas yang kini tersedia segelas air putih serta piring kecil yang tersajikan obat-obatan dengan berbagai ukuran.
"Ah, aku pernah baca terlalu banyak obat itu menimbulkan halusinasi."
---
2015
•SMP 3 Cimanyeran•
09.30
kringgg!!!
Alaram di sekolah Bengga brbunyi menanadakan waktunya jam makan siang.
Bengga yang kini berada di bangku kelas 8 SMP dengan teman laki-laki lainnya segera menuju lapangan. saat orang sibuk berebut gorengan dan es teh di kantin,mereka memilih untuk bermain bola sejenak. melepas penat dari banyaknya materi baru yang dipaksa masuk kedalam otak walau mereka tidak paham.
10 menit mereka habiskan untuk bermain lalu Bengga dan 3 kawannya memutuskan untuk membeli minuman di katin.
"Mau apa kalian ? biar aku yang pesenin" tawar Zaki si anak yang memang tidak bisa diam dan selalu terbar pesona pada adik kelas.
Gala yang merupakan ketua kelas Bengga memutarkan bola matanya sambil berdecak. Sudah hapal dengan apa yang ingin temannya itu lakukan.
Mengantri jajanan sambil mengobrol dengan para gadis.
"Es jeruk, deh. Kamu apa engga?"
"Aku air mieral botol aja," ucap Bengga sambil memberikan uang 5000 rupiah.
"Dih, kurag seru abis gerah gini cuma minum air putih," protes Zaki.
Gala memukul lengan Zaki pelan. "Heh, berisik. Kamu, kan, tau kalau kondisi fisik Bengga kurang fit. masih bisa main bola sama kita aja udah syukur."
Bengga hanya tersenyum melihat interkasi keduanya. Lebih tepatnya memaksakan diri ubtuk tersenyum.
Tidak buțuh waktu lama untuk mengantri Zaki kembali dengan pesanan Bebgga dan Gala. Ia mengulurkan botol mineral ukuran 300ml beserta kembalian milik Bengga. Saat mulut Zaki terbuka dan mulai bergerak,
'kamu lucu,' yang bengga dengar, malah suara seorang perempuan muda yang agak melengking.
Tagan Bengga yang hendak mengambil minumnya terhenti di udara. matanya mengedip dua kali menatap Zaki lekat.
"Engga, kamu kenapa? nggak enak badan?" panik Zaki yang segera duduk di sebalah Bengga untuk memeriksa temannya itu.
Gala yang duduk di depannya agak mencondongkan badan untuk mengecek kening Bengga. "Nggak demam tapi. Gak apa-apa, Engga?"
Bengga segera tersadar, ia tersenyum simpul dan menggelng pelan, "Oh, ga apa-apa. Tadi tiba-tiba kersa dingin aja, hehe," Bengga membuka botol mineral yang baru saja dibelikan oleh Zaki dan lanjut berbincang dengan teman-temannya. walau rasanya ada yang janggal.
Selama jam pelajaran, Bengga merasa ada angin yang terus berhembus dari tengkuknya. berapa kali ia mengelus tengkuk yang tidak ada apa-apanya itu, duduknya semakin gelisah, peluh mulai membanjiri dirinya.
"Bengga, kamu nggap apa-apa? mau ibu telponin ayah kamu?" tanya guru yang sedang menerangkan.
Bengga yang enggan merepotkan ayahnya menggelengkan kepala . Ia memilih izin untuk pergi ke uks. Di UKS, Bengga mendapat pertolongan pertama yang sangat mujarab dari petugas yang menjaga. Teh manis hangat lalu ia diminta untuk berbaring dan mengistirahatkan diri.
Teh manis yang dibuat cukup ampuh, Bengga tidak lagi merasahan ada angin dingin yang membuatny tak nyaman, ia pun meilih untuk tiduran di ranjang Uks.
1 detik
5 menit
10 menit.
'Hehe, lucuu'
Lagi-lagi suara wanita yang agak melengking itu kembali terdengar. Mungkin ia petugas PMR pikir Bengga yang masih meutup matanya.
fuuu
Hebusan angin kembali terasa, bukan dari tengkuk melainkan di kuping kanannya. Mungkin karena petugas tadi membuka jendela yang ada di seberang nya, pikir Bengga.
'Hehe, lucu. Aku makan, ya.'
Sura wanita itu terdengar jelas berbisik seperti anak kecil di telinga kanan Bengga. Terasa jari-jari yang dingin membuat pola acak pada pipinya. Napas Bengga tercekat di tenggorokan, bahkan degup jantungnya dapat ia dengar dengan jelas. Saat Bengga akan membua matanya,
Klek.
"Loh, bengga kamu gak apa-apa?" petugas UKS yang baru saja kembali dibuat panik melihat kondisi Bengga yang sudah basah kuyup oleh keringat. Mukanya pun pucat pasi bagai tak memiliki darah barang setetes. Mata yang biasnaya bulat cemerlang itu mendadak sayu.
Petugas UKS akhinya melaporkan pada guru untuk menghubungi orang tua Bengga. Setengah jam setelah laporan dari sekolah Bengga di jemput oleh sang ibu. Ah, tidak. Bengga bilang orang itu adalh istri ayahnya.
Wanita paruh baya itu menjemput Bengga. Semsampainya di rumah, baru saja sampai di depan pintu masuk berbagai omelan dilayangkan.
"Sakit terus kerjaan kamu. Dikit-ddikit sakit , nyusahin ora tua aja. Mau sampai kapan kayak gini?! sampai ayah kamu bagiin warisan, iya?!"
Sayangnya, semua omelan yang dilayangkan itu tidak dapat Bengga dengar dengan jelas. Ia hanya fokus pada hawa yang berasal dari belakangnya. Saat masuk kedalam rumah Bengga melepaskan sepatu, mau tidak mau ia harus berbalik untuk mengambil sepatu dan menyimpannya dalam rak yang bersanding dengan tembok.
Dengan cepat bengga berbalik dan segera berjongok untuk mengambil sepatu berusaha mengabaikan apa yang ia rasa. Tepat saat tangannya terulur mengambil sepatu, sepasang kaki melayang tepat di depan wajahnya. Rinding merambat dari tengkuk menyebar ke seluruh tubuhnya. Baru hendak mangakat badan tiba-tiba, dari kedua kaki itu muncul kepala wanita berambut panjang, matanya hanya dipenuhi oleh warna biru shapire dengan mulut yang tersebum lebar sampai menyentuh .
Badan Bengga menegang, degup jantungnya kembali dapat ia dengar dengan jelas. Bengga berdiri dan dengan cepat ia berdiri melesat masuk ke dalam rumah. Mengabaikan suara para wanita yang meneriakunya.
Ada dua, ada dua suara wanita yang menerobos paksa pendengaran Bengga.
"Anak nggak tau diri, taruh sepatu aja nggak bisa!"
'Hai, anak lucu. Ayo biarin aku makan kamu~'
Bengga terus berlari, tidak perduli ia terpeleset dan jatuh beberapa kali sampai lututnya memas. Ia berlari ke lantai atas dan berbelok ke arah kiri lalu memasuki sebuah pintu yang berada di paling ujung ruangan.
Gundang.
Entah kenapa, ia juga tidak paham kenapa kakinya membawa untuk berdembunyi di tempat itu. Mungkin karena dulu ruangan itu adalah kamarnya.
Bengga berlari ke pojok ruangan tepat di sela kecil samping lemari yang hanya muat dirinya saja.
Bengga menundukan kepala hingga terapit di antara kedua kaki dan dadanya. Dia merasakan makhluk menyeramkan yang mengikutinya dari sekolah itu kini sudah berada di hadapannya.
Hantu dengan kepala melayang yang tergelantung di antara celah kakinya itu tersenyum lebar di depan Bengga. Ia membuka lebar-lebar sampai membentuk oval dengan diameter 15cm.
Bengga kembali merasakan adanya angin dingin tak nyaman. Tapi kali ini, rasanya angin itu berasal dari arah depan, angin yang seakan sedang menyedot dirinya mendepat pada mulut si hantu. Layaknya vakum cleaberr yang sedang menjalankan tugas.
Bengga semakin menempelkan diri pada tembok berusaha menahan sedotan si kepala celah kaki.
Dirasa dirinya sudah tidak mampu lagi menahan sedotan itu dan mulai melemas. Sebuah tangan hitam keluar dari sisi pinggang kirinya yang berada di samping lemari dan mulai melingkari perut Bengga. Panik bukan kepalang menjadi ancaman cara mati terburuk baginya.
Tangan itu mendekap Bengga dan membawa punggungnya kembali besentuhan dengan dinding tembok. Lalu, muncul satu tangan lagi dari dinding yang sama tepat di atas kepala Bengga, terulur menutup mulut si kepala celah kaki. Merematnya dengan keras hingga terdengar suara retakan-retakan halus.
Bengga yang tidak lagi merasa dirinya tersedot perlahan mengangkat kepala. Mata Bengga terbelalak bagai melihat tokoh kartun favoritnya keluar dari TV. Matanya bertatapan tepat dengan si kepala celah kaki yang rahangnya tengah diremat kencang oleh sebuah tangan hitam legam yang terlihat cukup kekar
Detik berikutnya, cengkraman tangan itu terlepas membuat Bengga tekejut secara spontan memundurkan kepalanya hingga terbentur dinding dengan keras. Pandangaannya sedikit memburam bersamaan dengan pusing yang mulai menjarah isi kepala.
Si kepala celah kaki berusaha mengatur napas. Kulit di sekitar mata mengkerut sempurna menunjukan emosi yang memucah. Baru saja akan kembali mengeluarkan mode penyedot debu, si hantu kepala celah kaki dibuat bingung. Ke dua telapak kaki yang mengapit kepalanya ia gunakan untuk meraba wajahnya. Mulutnya,
Bzzz bzzz,
Terdengar seperti suara lebah yang menggerutu karena harus terus bekerja untuk sang ratu.
Hilang! Mulutnya hilang- Tidak, senyumannya yang hilang!
Dari telapak kakinya, ia merasakan ada benag-benang halus yang menjahit mulut lebarnya hingga tidak bisa terbuka kembali. Kedua telapaknya masing-masing menekan pipi kiri dan kanan guna membuka mulutnya, tapi percuma. Ia pun panik dan terus menekan pipinya karena tidak bisa lagi terbuka. Sampai, tanpa ia sadari tubuhnya perlahan mulai memudar dan menghilang dari pandangan Bengga.
"Sa...kit," keluh Bengga sambil memegang bagian belakang pelalanya.
Tangan yang tadinya menahan tubuh Bengga melonggar. Perlahan menaik dan mulai mengelus bagian belakang kepala Bengga. Tapi, karena perbedaan mereka dan kondisi Bengga yang sedang buruk membuat energi Bengga terserap hingga ia tersungkur tidak sadarkan diri di atas lantai.
Tangan itu terhenti di udara. Dengan pelahan, tangan hitam itu memanjang dan mulai menggerak-gerakan badan Bengga.
----
Setelah kejadian itu, Bengga di temukan pingsan dan dilarikan kerumah sakit hingga dirawat seminggu. Ayah Bengga memutuskan untuk pindah rumah. Bengga juga pindah sekolah bersamaan dengan ingatannya yang mulai memudar.