Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Paradoks Kehidupan
“Turunkan tanganmu jangan sampai kau memegang barang-barang itu! Itu lukisan-lukisan yang sangat berharga sekali, jangan sampai ada orang lain menyentuhnya.” kata pamanmu dengan nada tinggi.
Begitulah pamanmu memperlakukan barang keistimewaannya. Sampai begitu hati-hati. Ia adalah pamanmu yang berperawakan tinggi dan lebih gendut sedikit dengan kumis melengkung ke atas yang mirip Sarpadol Dali seorang seniman lukis bergaya surealis asal Spanyol.
Kamu tinggal bersamanya ketika kamu masih berusia sekitar 10 tahunan. Kamu ditingggal ayahmu dan ia adalah satu-satu ayah yang sangat menginspirasimu sampai hari ini. Ia pernah mengatakan kepadamu, peluang akan datang kepada mereka yang terus maju, tinggal kamu ambil peluang itu kapanpun kamu mau. Jangan pernah coba-coba berhenti, karena peluangmu akan hilang disitu. Kira-kira begitu ucapan ayahmu terakhir kalinya sebelum ia pergi selamanya.
Kamu sekarang dihadapkan dengan suatu pilihan yang sulit. Antara pergi meninggalkan rumah paman dan berjuang merantau sendirian. Sudah dewasa dan harus cari uang sendiri jangan terus berpangku tangan sama orang lain. Kalau bersama paman, hidupmu bisa terjamin namun tidak ada tantangan dan lambat untuk berkembang, karena sudah enak bersamanya. Tapi dalam hati kamu juga berat untuk meninggalkannya. Sudah banyak dibantu olehnya dan saatnya hari ini kamu harus memberikan balas jasa dan mencari uang sendiri ke luar kota serta membuktikan bahwa kamu bisa sepertinya bahkan lebih.
“Entah berhasil atau gagal aku tidak tahu. Dan perjuanganku akan dimulai di sana. Sendirian, tidak usah ada yang menemani” katamu meyakinkan.
Setiap hari kamu menulis tentang esai, catatan pribadi. Ingin rasanya untuk mengolah tulisan tersebut menjadi sebuah karya utuh yang bisa dibaca banyak orang. Kamu bisa menginspirasi orang lain. Berbagi cerita dengan mereka. Menjadi seorang idealis adalah pilihan begitu pun tidak menjadi apa-apa itu juga sebuah pilihan. Dari pilihan-pilihan itu, apakah akan ada aksi yang kita lakukan atau hanya sebuah pilihan saja tanpa ada pergerakan setelahnya. Entah itu diam atau maju ke depan dengan penuh keyakinan. Keyakinan pada diri sendiri, kepada segala apa yang kita miliki saat ini. Jangan sampai terbebani oleh pengaruh dari luar dan godaan-godaan yang membuat kita menjadi lemah dan putus asa karenanya. Orang lain tidak akan peduli denganmu ia hanya akan tertawa ketika melihatmu terjatuh dan susah. Dan ia akan mendekat menjadi teman ketika dirimu ada di atas. Kebanyakan orang sekarang seperti itu. Faktanya memang demikian. Kejam dan tidak bisa ditawar lagi.
Jalan yang kamu lalui tidaklah mudah. Jalan terjal dengan segala gelombang di dalamnya pasti ditemui. Rasa lelah, frustasi, bosan, dukungan yang kurang pasti terjadi. Tapi dunia itu kan berputar seperti roda. Namun, di sisi lain roda juga pasti ada kempesnya gak bisa melaju entah itu tertusuk duri di jalanan, atau kondisi ban yang sudah tidak layak pakai atau mungkin karena beban tumpuan terlalu berat. Dunia pun demikian adanya.
Momen antara peluang yang diambil dan resiko setelahnya adalah menjadi tanggung jawab sendiri. Bayang-bayang keraguan akan muncul, akankah kita melanjutkan dengan segala ketidakpastiannya dan berhenti yang dipastikan gagal tidak ada harapan.
Aku menunggumu menunggumu..mati di depanku…
Tersenyum melihatmu adalah harapan aku selama ini. Sosok seorang ayah yang menjadi satu-satunya panutan saat ini agar kamu bisa untuk terus bertahan dan berkembang dalam kerasnya kehidupan ini. Dibawa santai dan serius adalah caramu untuk mengolah batin dan emosi yang kadang-kadang berubah sewaktu-waktu tanpa kompromi.
Paradoks kehidupan sering menghampiri, kita tidak tahu bahwa itu hal yang tidak disadari menjadi sebuah ilmu yang terus bertambah. Sewaktu kecil kamu berpikir bahwa ilmu itu hanya bisa didapatkan di sekolah saja. Dan di luar hanya sebatas main-main. Tapi ternyata dunia tidak sesempit itu. Kamu yang kurang paham terhadap definisi ilmu itu sendiri. Lalu kamu menyanggahnya, yaa.. namanya juga anak kecil. Hanya fokus dengan bermain-main. Kemudian kamu bertanya pada dirimu sendiri.
Tugas kaum pembelajar itu seperti apa? Dalam artian belajar seumur hidup.
Bagaimana seharusnya bisa menumbuhkan rasa keingintahuan setiap anak agar bisa berpikir kritis, bisa mengambil keputusan yang cepat disaat situasi yang harus membutuhkan penyelesaian yang cepat pula? Atau mungkin nanti terjawab sendiri, kamu tidak tahu.
Walau hidup adalah permainan. Tapi kamu tidak mau dipermainkan. Dipermainkan oleh keadaan. Entah diri sendiri atau orang lain.
Belajar dengan sungguh-sungguh dan mendapatkan nilai bagus, juara kelas. Itu dambaan bagi orang tua. Agar hidup kita terjamin nantinya. Katanya begitu. Kamu orangnya bosanan, sering apa-apa atau kerjaan yang menoton malah membuatmu menjadi malas gak ada hal yang baru. Kamu bukan orang pandai di kelas, biasa saja gak ada yang istimewa. Kata gurumu sewaktu di madrasah aliyah, murid yang paling diingat oleh guru itu ada dua. Pertama orang pintar yang sering juara kelas, kedua orang yang sering buat masalah di kelas dan bikin guru kesal. Ia sulit untuk dilupakan katanya. Apalagi masa-masa reunian sekolah. “Wah, ini saya bu, yang sering bolos, sering buat gaduh di kelas, suasana kelas jadi berantakan gara-gara saya.” Sumringahnya guru dengan senyumannya, “kamu sekarang sudah hebat ya, gak sia-sia kamu sering di jewer sama ibu dulu!”
Sementara kamu, bukan termasuk diantara keduanya. Kamu orangnya tidak pintar dan juga nggak senakal-nakal itu, keknya cenderung biasa aja. Ikut aturan sekolah, pintar nggak, jarang buat masalah. Nurut sama guru. Jalan saja gitu. Sampai sekarang pun, gak ada satupun guru yang kenal kamu, kecuali guru sd aja. Rasanya lebih ke minder, kenapa orang lain bisa begitu. Apa yang membuat kehadiran kamu bisa berkesan bagi mereka dan menurut kamu tidak ada sama sekali didapatkan. Bergaul hanya dengan segelintir orang, tidak banyak teman yang bisa diajak menjadi teman-teman yang benar-benar menjadi teman. Hanya sebatas kenal habis itu sudah.
Orang-orang rupanya bisa banyak sekali bercerita ketika ada masanya dipertemukan kembali dengan orang-orang masa sekolah dulu. Menceritakan kembali hal-hal lucu, kekonyolan, berlari di tengah lapang karena gak ngerjain tugas, di panggil ke depan ketika beres upara bendera karena terkena razia celana pensil, rambut gondrong, menjahili teman dengan menaruh permen karet di bangkunya. Tertawa riang dengan mereka dan saya hanya menyaksikan cerita-cerita mereka sebagai penonton. Karena gak ada yang mau diceritain, cuma satu dua ada lah tapi ya gak berkesan aja, buat apa cerita juga kalah sama yang lain.
Dipikir-pikir juga malah ribet, mikirin kisah-kisah cerita waktu sekolah jadi tambah masalah, yang harusnya bisa tertawa, senang malah sedih. Tapi sekarang keingat, banyak masalah bukan menjadi alasan untuk tidak bahagia. Yang lalu biarlah berlalu. Orang dahsyat, orang kuat itu orang tahan dengan banyak masalah bukan orang pintar cari solusi. Menurut Fahruddin Faiz, seorang tokoh yang dikenal filsuf abad ini mengatakan; masalah hidup itu tidak ada habisnya, kalau teman-teman mengandaikan kepandaianmu mencari solusi, kalian akan capek. Cari jurus yang mudah, yaitu apa? Ketika ada masalah santai saja itu lebih ringan untuk hidupmu daripada setiap masalah harus cari solusi, puyeng kamu nanti.
Kini kamu berani berangkat merantau ke Jakarta. Dengan tekad yang sudah bulat kamu berpamitan ke paman bahwa kamu siap dengan segala konsekuensinya nanti di perantauan. Baik buruknya, untung dan ruginya, senang dan susahnya siap kamu hadapi di sana.
Jakarta, November 2024