Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit siang itu kelabu, seperti kain berkabung yang digantung di atap langit.
Udara berat, menyeret langkahku menuju rumah duka yang sudah riuh oleh bisik-bisik belasungkawa.
Aku masuk, menyalami keluarga yang ditinggal. Kata-kata basi kehilangan meluncur dari bibirku, seperti masuk ke sebuah ritual yang terlalu sering kita hadiri.
Lalu aku duduk di kursi paling belakang, menjadi penonton pasif di teater duka yang babaknya sudah tak terhitung.
Tangis bertabrakan di udara. Ada yang pecah seperti kaca, ada yang lirih seperti desah lilin yang hampir padam. Aku hanya menjadi sepasang telinga yang terlalu takut membuka mulut.
Tak lama, rombongan baru datang. Mereka duduk tak jauh dari pemuda yang baru saja kehilangan ibunya. Wajahnya pucat, matanya kosong, tapi di bibirnya terpaksa tergantung senyum sopan—senyum yang lahir dari keterpaksaan, bukan keramahan.
“Yang sabar, ya, Mas. Ini sudah takdir Tuhan,”
ucap seorang ibu dengan nada menghibur yang terdengar seperti kalimat hafalan.
“Iya, Buk,”
jawab si pemuda pelan. Sisa getar tangis masih terdengar di suaranya.
Keheningan jatuh sebentar, lalu tangan sang ibu meraih lengan pemuda itu.
"Ibumu… kok bisa kecelakaan itu, kejadiannya gimana, Mas?"
Pemuda itu menarik napas. Luka yang masih basah dipaksa membuka mulut, mengisahkan kembali bagaimana ibunya pergi.
Ia menceritakan detail demi detail—dari suara rem yang terlambat, hingga tubuh yang terlempar. Kadang ia berhenti, menghapus air mata.
Si ibu mengangguk, wajahnya menegang. Seolah sedang menonton film horor yang tak ingin ia tonton tapi tetap ia nikmati.
"Seumpama tadi bawa helm, mungkin masih bisa tertolong ya, Mas."
katanya, seakan ia baru saja menemukan kunci pembuka peristiwa.
Lalu ditambah lagi, .
"Kamu juga salah, Mas. Tahu ibumu mau naik motor, kenapa dibiarin aja nggak pakai helm?”
Hanya anggukan yang keluar dari pemuda itu. Mungkin bukan karena setuju, tapi karena tak ada sisa tenaga untuk menyangkal.
Beberapa menit setelah ibu itu pergi, datanglah seorang bapak. Salam, pertanyaan yang sama, cerita yang sama, saran yang sama.
Belum satu jam aku di sini, tapi cerita yang sama telah diputar ulang berkali-kali. Seperti kaset kusut yang diputar paksa.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri—ini sebenarnya apa? Peduli? Atau hanya rasa ingin tahu yang dibungkus manis oleh budaya basa-basi?
Di saat luka masih panas, saat syok dan marah masih berebut tempat dengan duka, kita malah memaksa mereka menjadi narator cerita pahitnya sendiri.
Kita menggali detail, lalu menaburkan garam “seandainya” ke atasnya. Seakan memberi saran bisa memutar balik waktu.
Beginilah kita: terbiasa menyamakan rasa ingin tahu dengan empati. Menyamakan mengorek luka dengan mengobati.
Mengira kehadiran kita adalah penopang, padahal kita cuma penonton yang duduk nyaman di kursi barisan depan, menyaksikan penderitaan orang lain seperti sebuah drama.
Aku merasa malu. Lalu berdiri, menyalami si pemuda. Aku tak bertanya apa-apa, hanya bilang semoga ia kuat.
Dan aku pergi, meninggalkan parade panjang para domba yang sibuk merumput di ladang tragedi, sambil yakin mereka sedang berbuat baik.
********
Epilog:
Duka di negeri ini sering kali bukan hanya soal kehilangan, tapi juga soal bagaimana kehilangan itu diperlakukan. Orang datang, membawa kalimat yang dibungkus niat baik, tapi diselipkan duri keingintahuan.
Mereka memegang tangan yang gemetar, bukan untuk menenangkan, melainkan untuk memastikan cerita mengalir, lengkap dengan adegan dan kronologi yang bisa mereka bawa pulang sebagai oleh-oleh percakapan.
Lalu setelah puas, mereka pergi, meninggalkan ruang duka dengan hati yang merasa telah menunaikan kewajiban sosial, padahal yang tertinggal hanyalah tubuh letih yang dipaksa berkali-kali menelanjangi lukanya sendiri.
Di kursi-kursi ruang duka, kita belajar bahwa empati tak selalu berarti menahan diri. Ada yang mengira kehadiran harus selalu diisi kata-kata, padahal diam pun bisa menjadi bahasa.
Tapi kita jarang memilih diam, sebab diam tak memberi kita cerita, tak memberi kita rasa penting, tak memberi kita bahan untuk membungkus diri sebagai orang yang peduli.
Akhirnya, duka orang lain berubah menjadi panggung, dan kita menjadi penonton yang ingin ikut merasakan ketegangannya tanpa benar-benar menanggung bebannya.
Begitulah, parade domba akan terus berjalan. Mereka akan datang, menunduk dengan wajah muram yang hanya separuh hati, menyalami tangan yang lemah, lalu menggali lubang-lubang kecil di tanah yang belum kering menutupi jenazah.
Mereka akan pulang dengan kepala penuh cerita yang tak mereka alami, sementara yang ditinggal—masih duduk di kursi yang sama—memandang lantai yang dingin, menimbang-nimbang bagaimana caranya menghadapi babak berikutnya.