Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Para Tanah yang Menyimpan Api
0
Suka
4,054
Dibaca

Sudah seminggu perkebunan kentangku tidak beroperasi. Perkebunan 12 hektar ini biasa ramai oleh pekerja. Kini sepi. Hanya penyiram otomatis perkebunan yang masih menyala lemah. Perkebunan yang sudah berjalan 8 tahun ini mau diambil alih secara paksa oleh persekutuan penguasa dan yang mengaku putra daerah.

Berbagai persoalan dibawa untuk memperkarakan perkebunanku yang telah maju dan modern ini. Mereka bilang lahan perkebunanku berada di hutan lindung, tanah adat, persoalan lingkungan, atau tanah milik pemerintah daerah. Semua dicari-cari alasan yang tampak benar di pihak mereka dan salah di pihakku. 

Aku sudah seminggu di perkebunan yang terletak di punggung bukit ini. Sendiri. Dari bale pondok kebun, kupandangi perkebunan kentangku. Tiga hektar tanaman kentang siap panen, tiga hektar sedang masa pembuahan, tiga hakter sedang ditanam bibit, dan tiga hektar lagi lahan baru yang sudah dibersihkan dari semak dan pepohonan, dan hendak kami bajak. Semua telah dikelola dan diatur jadwal tanam kentang dengan baik agar bisa panen setiap 1 bulan sekali. 

Langit biru. Matahari terik serasa dekat di atas bukit ini tapi angin tetap dingin. Awan kumulus pun tampak bergerombol begitu dekat.

Kulihat mereka datang dengan tiga mobil. Mereka, manusia-manusia anj*ng itu datang bergerombol dan berhenti tepat di depan rumah pondok kebunku. Mereka turun dari mobil. Tak kupersilakan mereka masuk atau duduk di bale. Kubiarkan berdiri di bawah garang matahari.

Mereka terdiri orang dinas tak kutahu nama, si Idham orang kecamatan, Sulaiman si kepala kampung, dua orang polisi, dan Hasbi mantan mandor di perkebunanku.

"Hari ini akan ada pemaksaan. Kami bawa polisi dan orang pemerintahan. Kalau masih melawan, akan ada kekerasan," ujar Sulaiman tanpa basa-basi. Nadanya lembut. Anj*ng dia!

"Tinggalkan perkebunan ilegal ini secara baik-baik," Orang dinas menimpali. "Tak ada hak secara hukum kalau tanah ini milik kamu. Kita sudah bahas ini di pertemuan-pertemuan sebelumnya sampai ke tingkat kabupaten." Orang dinas berbaju coklat itu sok berwibawa. Anj*ng juga dia! Dia bicara ilegal seolah aku merambah lahan suka-suka hati. 

"Sudah cukup kamu keruk keuntungan dari tanah leluhur kami. Pergilah!" kini si Idham orang kecamatan bicara. Dia mengeluarkan surat palsu dari kecamatan. Aku tertipu. B*bi dia! 

Di belakang Idham, Hasbi berdiri terpekur. Dia tak berani bicara padaku. Tak berani menatapku. Masih bersalah padaku. Namun hatinya menyimpan serakah. Semua mereka menyimpan api. Termasuk dua polisi itu.

Kurang ajarlah mereka. Manusia-manusia curang yang serakah dan ingin memperoleh secara mudah dengan tipu-menipu. Ingin memiliki dengan menipu orang lain. 

Aku telah membangun perkebunan ini dengan modal, ilmu, dan jalin kerja sama. Kini mereka memutus kerja sama itu ketika modal dan ilmu plus keserakahan telah dimiliki. Mereka memperkarakan status lahan dan meminta mengembalikan ke pemerintah. Mereka akan reboisasi katanya. 

Aku tak percaya sedikit pun kata mereka. Ketika kutinggalkan nanti, mereka akan bersekongkol untuk tetap memakai lahan ini diam-diam jadi perkebunan tanpa diketahui pihak luar. Mereka, sekelompok b*bi ini, ingin garap sendiri demi menyalurkan hasrat keserakahan. 

Sembilan tahun lalu, penduduk kampung di sini adalah pekebun-pekebun tradisional. Mengolah lahan dengan seadanya dan tanpa dipersoalkan status lahan. Peralatan seadanya dan hasil pun seadanya. Tenaga dan waktu besar tapi hasil tanpa cukup memenuhi kebutuhan hidup.

Lalu aku hadir. Kubangun perkebunan ini. Kurencanakan matang. Dari hulu ke hilir. Kudatangkan alat-alat teknologi untuk memudahkan pekerjaan dan mempercepat kerja mereka. Para petani lain boleh sewa atau pinjam traktor atau alat canggih dari perkebunan kami. Kumasukkan listrik. Aku juga rintis dan bangun jalan dari bebukitan ke jalan utama, bangun gudang canggih, packing kentang, bahkan pabrik pengolahan kentang. 

Banyak warga mendapat lapangan pekerjaan buat kampung terpencil dan terisolir ini. Petani pun meningkat ekonomi dengan kehadiran perkebunanku. Harga jual kentang mereka bisa tetap menguntungkan meskipun saat harga kentang jatuh di pasaran. Kentang mereka kubeli dan kutampung di gudang sementara atau kuolah di pabrik.

"Kalian boleh menang secara hukum, tapi yang punya nurani bakal merasa bersalah seumur hidup. Kau Hasbi, kau bawa aku ke sini. Kau juga Sulaiman, yang mengatakan tanah ini bisa diolah. Aku percaya kalian, tapi rupanya bangs*t. 

Kalian tau, aku gak makan sendiri hasil perkebunan ini. Para pekerja dan masyarakat di sini kuperhatikan. Jalan kubangun. Listrik kumasukkan, pengairan kubangun, bahkan beberapa rumah kubangun. Kubantu juga pembangunan masjid dan sekolah. Banyak dana hasil kebun kubantu buat pembangunan di kampung dan kecamatan ini.

Sekarang kalian cari-cari kesalahanku padahal kalian tipu aku! Aku tak punya kertas hukum soal status tanah ini karena kalian sendiri yang tipu aku! Kenapa kalian tipu aku? Apa salahku? Apa karena aku bukan penduduk asli sini?! Picik kalian! Kalian licik, curang, penipu! Kalian bersekongkol! Anj*ing kalian! B*bi!" kutunjuk Sulaiman, Hasbi, dan Idham.

Angin menerpa tubuhku. Dingin tapi tak mendinginkan bara hatiku. Air sungai gemericik mengalir jernih berkilau di sepanjang kaki bukit. Indah alam, busuk manusia. Aku tertipu tiga manusia penuh tipu muslihat ini. 

"Mulutmu selalu makian. Sok pahlawan!" Sulaiman berkata. "Sudahlah, tak usah kau menyombongkan diri! Sekarang bukan lagi berdebat. Keputusan sudah jauh-jauh hari dan kami minta supaya pergi dari perkebunan ini. Semua pekerja pun sudah seminggu tidak bekerja. Tapi kau sendiri masih bersikeras kepala dan berlagak masih memiliki perkebunan ini. Pergilah sebelum ada kekerasan," mata Sulaiman memberi kode ke pistol di pinggang dua polisi itu.

Jahanamlah mereka! Kutantang semua mata mereka. Hanya Hasbi yang menunduk. Menyedihkan melihatnya. Sembilan tahun lalu Hasbi memohon modalku dan kerja sama buka perkebunan di punggung bukit ini. Aku setuju.

Awalnya dua hektar. Panen perdana langsung berhasil. Harga kentang pun sedang tinggi-tingginya di pasaran waktu itu. Lalu kutambah buka lahan lagi. Tumbuh dan berkembang berhektar-hektar. Tumbuh pula diam-diam serakah dan iri. 

Jahanamlah manusia iri dan serakah. Alasan hukum apapun yang mereka utarakan untuk membenar-benarkan mengambil usahaku, sebenarnya dimulai karena serakah dan iri. Mereka bersekongkol; Hasbi, kepala kampung, dan orang kecamatan.

Hasbi dan Sulaiman kupercayakan pengurusan tanah lahan ini. Aku dipertemukan pemilik lahan palsu dan orang kecamatan yang pintar mengolah surat-surat palsu. Lahan ini tidak sampai diurus serifikat sampai ke BPN. Kupikir sudah sama-sama sepakat dan kuat surat kepemilikan dan izin pengolahan lahan cukup di tingkat kecamatan, tanpa perlu ke BPN yang makan biaya pengurusan lagi. Mereka ternyata bertipu muslihat dan bersekongkol.

Ketika sudah mantap berjalan perkebunan, tinggal mengikuti alur operasionalnya, baru kutahu api hati mereka. Mereka dengan liciknya mau mengambil semua dengan memperkarakan status lahan. Pabrik yang sudah kualihjualkan ke salah satu anggota dewan di sini demi modal dan supaya aku fokus ke produksi di perkebunan, juga bukan milikku lagi. Habis semua usaha milikku. 

Dalam musyawah desa, kecamatan, bahkan di kabupaten, aku kalah secara hukum. Sempat kupolisikan mereka, tapi aku tanpa bukti penguat. Sementara mereka dengan wajah lugunya tak mengaku telah menipuku. Pengacara pun angkat tangan membelaku. Aku lemah dan tentu kalah. Mereka kuat. Semua bersekongkol menggulingku dan akan merebut lahan perkebunan. B*abi! 

"Jangan mengharapkan lebih dari di luar kemampuan kalian!" ucapku sambil memantik mancis dan membakar rokokku. 

"Kasih dia peringatan, Pak!" Sulaiman memberi aba-aba pada polisi itu dan menembak langit. Lalu diarahkan pistol itu padaku.

Aku melangkah menuju jeepku. Kubanting pintu. Kuderum gas berharap asap knalpot membusukkan mereka. Kutancap gas dan menyusuri jalan tepi perkebunan. 

Di ujung perkebunan, di hamparan hijau daun kentang yang sudah tumbuh dua bulan, aku melempar mancisku. Api dengan sekejap menyala dan merayap ke sembilan hektar perkebunan. Mesin penyemprot otomatis itu telah kuisi bahan bakar cair. ***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Para Tanah yang Menyimpan Api
Fazil Abdullah
Novel
Bronze
Budak Cacing
Omius
Novel
AFRAID OF FALLING IN LOVE
silviya all
Komik
Bronze
SISI SURAM
maryadi anwar
Novel
Bronze
Villa Cinta
Herman Sim
Novel
Perempuan Tanpa Nama
Daras Resviandira
Novel
Monolog dalam Kenangan
Lskritokun
Novel
Escapade: A Lone Wayfarer
E-Jazzy
Flash
Izin Tuhan
hyu
Skrip Film
Ketika Aku Tidur Script
Yaraa
Novel
Bronze
ASTAGHFIRULLAAH (Suropati)
Hermawan
Novel
Raihanun 2
Onet Adithia Rizlan
Novel
Danau Kegelapan
Nelwan Syden
Novel
NAURA
Cindy Tanjaya
Novel
Bronze
Kuda Jantan Dan Pelukis Kesepian
Bisma Lucky Narendra
Rekomendasi
Cerpen
Para Tanah yang Menyimpan Api
Fazil Abdullah
Cerpen
Yang Mengutuk Diri Kita
Fazil Abdullah
Cerpen
Lelaki yang Menyobek-nyobek Hidungku
Fazil Abdullah
Cerpen
Ayah di Seberang Sungai
Fazil Abdullah
Cerpen
Panggung untuk Abu Zan
Fazil Abdullah
Cerpen
Salah yang Tumbuh
Fazil Abdullah
Cerpen
Putri Nikah Siri
Fazil Abdullah
Cerpen
Empat Air Mata yang Jatuh Bersama Gerimis
Fazil Abdullah
Cerpen
Menjadi Tua, Lalu Luka
Fazil Abdullah
Cerpen
Bronze
Di Sabang Kau Kukenang
Fazil Abdullah
Cerpen
Bah yang Akan Datang ke Kota Kami
Fazil Abdullah
Flash
Papamu Sayang
Fazil Abdullah
Cerpen
Sang Pemancing dan Burung Kembara
Fazil Abdullah
Flash
Sulitnya Mencintai Tuan
Fazil Abdullah
Cerpen
Bronze
Yang Berjuang di Balik Sunyi
Fazil Abdullah