Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Para Lelaki yang Kududuki
1
Suka
94
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku pernah percaya cinta adalah tempat untuk duduk. Tempat di mana aku bisa meletakkan lelah, menumpukan beban, menghela napas panjang tanpa takut jatuh.

Kursi pertamaku adalah ayahku, terbuat dari kayu jati yang usang. Sejak kecil, aku duduk di pangkuannya, menyelusup di sela lengannya yang hangat, menghirup aroma tembakau dan kayu yang bersemu waktu. Di balik ketenangan itu, aku tak tahu saat itu, retakan kecil mulai merayapi kayunya. Senyap, tapi pasti.

Malam-malam Ayah, berakhir dengan tatapannya terpaku pada layar kecil yang menyala. Jari-jarinya menekan tombol demi tombol, seperti tengah berdoa pada mesin yang tak kenal belas kasihan. Terkadang gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan:

“Sekali ini saja menang...”

Dan pagi itu, saldo rekening kosong. Ibu berdiri di depan pintu, tangannya mengepal, tapi hanya berani membentak angin. Ia tak pernah menatap ayah penuh amarah. Hanya denganku, suara tajamnya muncul seperti suara dari seseorang yang terlalu lama duduk di kursi yang diam-diam rapuh.

“Sudah tahu kayunya lapuk, masih juga kita sandar!” Ia mengibas-ngibaskan kain lap ke udara, seperti mengusir marah yang tak bisa ke mana-mana.

“Dibilangin jangan nekat! Tapi dia duduk manis, pura-pura kuat, padahal dalamnya keropos!” Wajahnya memerah, dan matanya menyorot padaku, tajam tapi perih.

“Kalau kursi itu ambruk, siapa yang angkat semua beban ini? Kamu pikir siapa? Biaya sekolah dua adikmu, belum lagi jajan si bungsu, listrik belum bayar, beras tinggal segini!” Ia menunjuk-nunjuk ke arah dapur, ke arah rak beras yang mulai kosong, seolah beban itu punya bentuk.

Lalu, lebih pelan, suaranya menyusut, pecah di ujung napas.

“Ibu capek, Nak... Ibu nggak bisa terus bersandar ke kursi yang bahkan tak bisa menyangga dirinya sendiri.”

Sejak itu, aku tahu: bukan hanya ayah yang roboh. Ibuku juga, pelan-pelan, menjadi bayangan dari dirinya sendiri berdiri, tapi menggantungkan semua pada pundakku. Aku tak sempat tumbuh perlahan. Aku harus bekerja, harus kuliah, harus tahu cara mengusahakan berbagai bentuk beasiswa, cara beli sembako saat harga naik, cara menjadi korsi untuk adik-adikku. Ibuku tak pernah minta langsung, tapi setiap keluhnya adalah perintah tersembunyi. Aku, tanpa sadar, telah menjadi kursi untuk semua orang, sementara diriku sendiri tak punya tempat untuk bersandar.

Setelah terlalu lama berdiri di rumah yang berat sebelah, aku ingin duduk. Bukan di kursi jati tua yang menyimpan rayap, tapi kursi lain. Kursi yang mungkin lebih muda, lebih ringan, lebih hangat, dan aku menemukannya atau mungkin lebih tepatnya, aku ingin sekali percaya telah menemukannya.

Ia adalah kakak kelasku saat SMP. Kursi rotan yang tampak anggun dari kejauhan, anyamannya rapi, warnanya hangat, suaranya selalu merendah seperti remang sore. berkali-kali dia menarikku untuk duduk dengan bahasa pendekatanya

"Capek, ya?" katanya. "Udah, diem aja. Aku yang pegang kendali."

Aku percaya. Dan aku duduk. Semula, ia memang seperti kursi malas yang nyaman—tidak meminta apa pun selain keberadaanku. Tapi pelan-pelan, anyaman rotannya mulai menyelip ke kulit. Duri-duri kecil yang tak tampak, tapi terasa.

“Kabari aku begitu kau sampai.”

“Jangan terlalu dekat sama temen cowokmu.”

“Kenapa kau tidak segera balas pesanku?”

“Jangan pakai baju itu, ya. Terlalu ‘kelihatan’.”

Setiap kali aku hendak bangun—meski hanya untuk menggeliat atau mengambil napas—ia menarikku kembali. Katanya, duduklah yang manis. Jangan macam-macam. Katanya, ini semua demi kebaikanku. Di awal, aku pikir ia memelukku. Belakangan, aku sadar ia membelenggu dan menghakimi setiap aku mengeluh atas luka-lukaku. Ia bukan kursi untuk beristirahat, tapi kurungan dari rotan yang tersusun rapi.

“Kalau kamu sayang aku, jangan bikin aku khawatir terus.”

“Kamu harus ngerti perasaanku. Jangan egois.” Kalimat-kalimat yang seperti tali tak tampak, melilit, melingkar, makin kencang.

Aku sempat berpikir, mungkin memang aku terlalu rusak untuk bisa dicintai tanpa dikontrol. Mungkin aku yang salah terbiasa menyangga beban, tak tahu caranya bersandar. Tapi suatu malam, sepulang kuliah, saat lelah, kakiku pegal, bahuku nyeri, aku kembali duduk di atas pangkuannya. Namun di dalam kepalaku, terdengar jelas:

“Duduk di sini tidak lagi nyaman.”

Lalu aku memilih bangkit kemudian beranjak pergi.

Beberapa waktu punggungku masih menyimpan garis-garis rotan, memerah seperti bekas luka yang enggan hilang, tapi aku tak menoleh lagi. Setelah punggungku penuh garis-garis rotan, aku bersumpah akan lebih cermat memilih tempat duduk. Tak lagi memimpikan kursi kulit mengilap atau sandaran tinggi berukir. Aku hanya ingin sesuatu yang diam, yang tak berderit setiap aku menghela napas. Yang tak mengunci pergelangan kakiku diam-diam. Yang tidak menyamar sebagai tempat bersandar hanya untuk kemudian runtuh.

Akirnya suatu hari, aku menemukannya. Ia berdiri tenang di sudut ruangan hidupku. Tak memanggil, tak melambai, hanya hadir. Kainnya abu-abu, busanya tampak tenggelam sedikit di tengah, tapi ia tak mencoba menutupi keletihannya. Justru dari situ aku percaya. Aku mendekat namun ia tak menoleh. Tapi seolah aku mendengar bisik halus:

"Kalau lelah, silakan bersandar." Jadi aku duduk, ia memelukku dalam diam. Tak mengajukan tanya, tak mencatat jam pulang. Setiap aku tiba dengan mata sembab atau bahu basah oleh hujan, ia tetap di sana, tetap mau diduduki tanpa pernah menghakimi.

Beberapa minggu terasa seperti udara sore. Nyaman, dan tak berlebih. Sampai di suatu hari aku merasa punggungku miring. Seperti diseret sedikit ke kiri. Kupikir tubuhku yang lelah. Tapi semakin sering aku duduk, semakin dalam aku tenggelam. Ada cekungan, kecil, tapi tak wajar. Aku geser posisi, kupindah beban, tapi tak ada tempat yang betul-betul rata.

“Sobekan kecil,” katanya suatu malam. Aku nyaris tak mendengar suaranya.

“Tak usah khawatir. Aku akan memperbaikinya sendiri.”

Tapi pagi-pagi berikutnya, kain di sandaran mulai terkelupas, di bawahnya, besi berkarat mengintip, seperti luka lama yang tak disembuhkan. Kemudian malam itu, saat aku mencium bau hangus samar, aku mengintip ke celah sobekan itu dan melihatnya:

Layar menyala. Angka-angka berpacu. Suara bip, bip, bip, dan jari-jari yang bukan tanganku menekan tombol-tombol yang akrab. Kursi ini, ternyata, juga punya kebiasaan duduk terlalu lama di depan mesin mimpi seperti kursi pertama dulu. Berharap tuas keberuntungan akan mengubah nasibnya, tanpa bergerak sejengkal pun.

“Aku cuma butuh sedikit waktu,” bisiknya,

“sedikit bantuan, biar bisa tetap menopangmu.”

Aku, yang bertahun-tahun mengisi kekosongan rumah dengan tubuhku sendiri, yang terbiasa menambal kekurangan dengan gaji magang dan bekal seadanya, kembali menyanggupi. Kupotong uang makan, kuundur beberapa rencana liburan dengan adik-adikku. Kusangga kaki kursi dengan balok tua, kupasangi perban di sisi kanan. Padahal aku tahu, ia tak sedang mencoba sembuh. Ia hanya ingin tetap cukup utuh agar bisa membuatku percaya.

Sampai satu malam, saat aku hampir tertidur di pangkuannya, sandarannya ambruk, dan tak ada tangan yang menahan kepalaku jatuh. Maka aku berdiri, dengan kaki gemetar dan napas patah-patah. Tapi aku bangkit, kursi itu kutinggalkan. Bersama semua harapan yang pernah kutanam di bawah dudukannya. Sekarang, jika lelah datang, aku akan membiarkannya duduk sendiri. Biarlah ia menunggu kursi lain yang bisa diajak jatuh bersama. Aku tak akan duduk, tak akan lagi menyerahkan tubuhku pada sesuatu yang tak bisa menanggung dirinya sendiri.

Aku akan berdiri, melangkah, menari jika perlu. Karena ternyata, tubuh ini yang pernah menyangga satu keluarga, menopang beban-beban diam, menyembuhkan kursi-kursi patah, aku lebih kuat daripada yang pernah kubayangkan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Para Lelaki yang Kududuki
Saharani
Cerpen
(Serasa) Ngga Punya Tetangga
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Cinta yang Tersisa
SURIYANA
Cerpen
Basa Basi Bisa
Zakiyatus Solihah
Cerpen
Bronze
Kerja, Kerja, Dikerjain
spacekantor
Cerpen
Malam Dingin di Cigigir
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
04 Dia Tabib
Bima Kagumi
Cerpen
Bronze
Beban di Pundak Pak Darmawan
Ron Nee Soo
Cerpen
CURHAT CUCU
Kiki Isbianto
Cerpen
Bronze
Kertas Balas Kertas
Omius
Cerpen
Bronze
Keputusan Abah
T. Filla
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Selembar Dunia
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Duwa Nyawa
Silvarani
Cerpen
Bronze
Akar Tumbuh
Tourtaleslights
Rekomendasi
Cerpen
Para Lelaki yang Kududuki
Saharani
Cerpen
Teater Satu Malam
Saharani