Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kopi panas mengepul, uapnya menari-nari menembus bias cahaya matahari pagi yang menyelinap dari celah gorden tipis di kontrakan barunya. Satria Kusuma Wijaya menyesapnya perlahan, merasakan pahit pekat membilas sisa-sisa kantuk yang masih menggelayut. Setahun terakhir di Bandung adalah babak baru yang ia paksakan untuk dijalani. Setelah kehancuran kisah cintanya yang lalu, ia memilih pergi, menenggelamkan diri dalam tumpukan buku dan riset doktoralnya. Kontrakan sederhana di pinggiran kota ini, dengan tembok rendah yang memisahkan dari tetangga, terasa seperti metafora sempurna untuk kehidupannya: aman dalam kesendirian, namun tetap terhubung – setidaknya, secara fisik – dengan dunia luar.
Ia menatap kosong ke luar jendela, pandangannya jatuh pada halaman tetangga sebelah. Seorang wanita, dengan rambut hitam sebahu yang dikuncir asal, tengah membolak-balik ikan di atas panggangan arang. Asap tipis mengepul, membawa aroma gurih yang samar hingga ke halaman Satria. Ia mengamatinya. Gerakannya gesit, tampak cekatan. Dua bocah, seorang laki-laki dan perempuan, berlari-lari di sekitarnya, tertawa riang. Wanita itu sesekali menoleh, tersenyum, dan mengusap kepala mereka. Sebuah keluarga kecil, penuh hidup. Satria merasakan sengatan nyeri di dadanya. Kehidupan seperti itulah yang dulu ia impikan, yang kini hanya tinggal puing kenangan.
“Oom, sudah bangun?” Suara cempreng seorang bocah laki-laki menariknya dari lamunan. Satria menoleh. Soni, anak laki-laki tetangga itu, berdiri di balik tembok rendah, memegang bol...