Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
PAPA UNTUK SONI DAN RANIA
0
Suka
4
Dibaca

Kopi panas mengepul, uapnya menari-nari menembus bias cahaya matahari pagi yang menyelinap dari celah gorden tipis di kontrakan barunya. Satria Kusuma Wijaya menyesapnya perlahan, merasakan pahit pekat membilas sisa-sisa kantuk yang masih menggelayut. Setahun terakhir di Bandung adalah babak baru yang ia paksakan untuk dijalani. Setelah kehancuran kisah cintanya yang lalu, ia memilih pergi, menenggelamkan diri dalam tumpukan buku dan riset doktoralnya. Kontrakan sederhana di pinggiran kota ini, dengan tembok rendah yang memisahkan dari tetangga, terasa seperti metafora sempurna untuk kehidupannya: aman dalam kesendirian, namun tetap terhubung – setidaknya, secara fisik – dengan dunia luar.

 

Ia menatap kosong ke luar jendela, pandangannya jatuh pada halaman tetangga sebelah. Seorang wanita, dengan rambut hitam sebahu yang dikuncir asal, tengah membolak-balik ikan di atas panggangan arang. Asap tipis mengepul, membawa aroma gurih yang samar hingga ke halaman Satria. Ia mengamatinya. Gerakannya gesit, tampak cekatan. Dua bocah, seorang laki-laki dan perempuan, berlari-lari di sekitarnya, tertawa riang. Wanita itu sesekali menoleh, tersenyum, dan mengusap kepala mereka. Sebuah keluarga kecil, penuh hidup. Satria merasakan sengatan nyeri di dadanya. Kehidupan seperti itulah yang dulu ia impikan, yang kini hanya tinggal puing kenangan.

“Oom, sudah bangun?” Suara cempreng seorang bocah laki-laki menariknya dari lamunan. Satria menoleh. Soni, anak laki-laki tetangga itu, berdiri di balik tembok rendah, memegang bola plastik yang tampak lusuh. Matanya hitam, bulat, dan polos. Di sebelahnya, adiknya, Rania, dengan bandana merah di kepalanya, mengintip malu-malu.

“Eh, iya. Sudah dari tadi,” jawab Satria, berusaha ramah. Senyumnya terasa sedikit kaku.

“Mama lagi bakar ikan, Oom. Wangi, ya?” tanya Soni, dengan napas terengah-engah. Rania mengangguk setuju, menunjuk ke arah asap.

Satria tersenyum hangat. “Iya, wangi sekali. Kalian tidak membantu Mama?”

Soni menggeleng. “Mama tidak boleh diganggu kalau sedang bakar ikan, Oom. Kata Mama, nanti gosong.” Ia tertawa renyah, diikuti Rania. “Oom nanti ikut makan, ya? Banyak sekali ikannya!”

Ajakan itu, lugu dan tulus, menghantam Satria seperti gelombang. Ia teringat masa kecilnya, rumah yang selalu ramai, masakan Ibu yang wangi. Luka lama itu, yang ia kira sudah mengering, kini terasa sedikit terbuka lagi. Wanita yang memanggang ikan itu, Sonia, menoleh ke arah mereka. Mata hitamnya bertemu pandang dengan Satria. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, membalas senyum yang tanpa sadar Satria layangkan.

“Soni, Rania, ayo masuk. Nanti ikannya dingin!” seru Sonia, suaranya lembut namun tegas.

Kedua bocah itu berlari ke dalam, namun Soni sempat berteriak, “Oom Satria nanti jangan lupa makan, ya!” Satria hanya mengangguk, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk antara kehangatan dan kesendirian yang mendalam.

Beberapa minggu berlalu. Satria disibukkan dengan kuliah doktoralnya, namun interaksi dengan keluarga sebelah tak terhindarkan. Terkadang Soni dan Rania akan menyapanya saat ia hendak pergi ke kampus, atau saat ia kembali, meminta permen atau sekadar bercerita tentang hari mereka. Satria selalu menyambutnya dengan sabar, hatinya yang kesepian sedikit terobati oleh celotehan polos mereka.

Suatu sore, hujan deras tiba-tiba mengguyur Bandung. Satria, yang baru pulang dari kampus, terjebak di tengah jalan. Motornya mogok di depan kontrakan. Ia mencoba menghidupkannya, namun nihil. Basah kuyup dan kedinginan, ia menyerah. Tiba-tiba, pintu pagar rumah Sonia terbuka. Soni muncul, membawa payung besar.

“Oom Satria, kenapa di situ saja? Ayo masuk sini, Oom! Nanti sakit!” seru Soni, dengan nada khawatir. Ia mendekat, memayungi Satria.

“Motor Oom mogok, Nak. Oom coba perbaiki dulu,” jawab Satria, giginya bergemeletuk menahan dingin.

“Tidak bisa, Oom! Hujannya deras sekali. Ayo, Oom masuk dulu, nanti kita minum teh hangat,” paksa Soni, menarik tangan Satria. Rania muncul di belakang Soni, membawa handuk kecil.

Satria merasa tak enak hati, namun kebaikan mereka tak bisa ia tolak. Ia akhirnya mengikuti Soni dan Rania masuk ke rumah mereka. Aroma teh melati dan masakan rumahan langsung menyambutnya, memeluknya dengan kehangatan yang sudah lama ia rindukan.

Sonia muncul dari dapur, menatap Satria dengan mata membulat kaget. “Ya ampun, Satria! Kamu basah kuyup begini. Kenapa tidak langsung masuk saja?” Ia buru-buru mengambil handuk bersih. “Ayo, ganti baju dulu. Nanti masuk angin." 

Satria merasa malu. “Tidak usah, Sonia. Tidak apa-apa. Sebentar lagi juga kering."

“Jangan begitu, Oom! Nanti Oom sakit,” Rania memaksanya.

Sonia tersenyum lembut. “Ada baju mendiang suamiku, mungkin muat di kamu. Soni, tolong ambilkan baju Papa di lemari.”

Soni dengan sigap melesat ke kamar. Ia kembali dengan kaus oblong berwarna abu-abu dan celana sport panjang . “Ini, Oom!”

Satria mengambilnya dengan ragu. “Apa tidak apa-apa?”

Sonia mengangguk. “Tidak apa-apa. Ukuran suamiku besar, jadi sepertinya pas di kamu."

Dan memang, kaus abu-abu itu secara mengejutkan sangat pas di tubuh Satria yang jangkung dan atletis. Celana pendeknya sedikit longgar, namun masih nyaman. Satria merasa aneh memakai baju mendiang suami seseorang, namun ada kehangatan yang aneh pula merayap di hatinya. Setelah mengganti pakaian dan menikmati teh hangat buatan Sonia, ia merasa jauh lebih baik.

Malam itu, setelah hujan reda, Satria melihat Rania duduk termangu di teras depan. Wajahnya ditekuk, matanya sembab.

“Kenapa, Rania?” tanya Satria, menghampirinya. 

Rania mendongak, matanya berkaca-kaca. “Tadi di sekolah, teman-teman mengejek Rania, Oom.”

“Mengejek kenapa?” Satria duduk di sampingnya, mengusap lembut punggung gadis kecil itu.

“Kata mereka, Rania tidak punya papa. Mama janda. Rania benci mereka, Oom!” isak Rania, air matanya tumpah.

Hati Satria terenyuh. Ia tahu betul bagaimana rasanya menghadapi cemoohan. Ia memeluk Rania erat. “Sst, jangan dengarkan mereka, Nak. Kamu itu anak yang hebat, punya Mama yang sangat menyayangimu. Papa kamu mungkin sudah di surga, tapi dia pasti bangga melihat Rania tumbuh jadi anak yang kuat.”

Rania menyeka air matanya. “Benar, Oom?" 

“Tentu saja benar. Dan Rania tahu? Oom juga dulu sering diejek teman-teman karena terlalu kurus. Tapi Oom tidak peduli, karena Oom punya Ibu yang selalu mendukung Oom,” kata Satria, berusaha menghiburnya. “Yang penting itu, kamu tahu siapa dirimu. Kamu anak baik, cerdas, dan Mama kamu pasti senang sekali punya Rania." 

Rania memeluk Satria erat. Kehadiran Satria, suaranya yang menenangkan, dan pelukannya yang hangat, entah mengapa terasa begitu familiar, seperti bayang-bayang seorang ayah yang tak pernah ia kenal. Satria merasakan kehangatan yang sudah lama hilang merayapi hatinya. Simpatinya pada Sonia dan anak-anaknya mulai tumbuh menjadi lebih dalam. Ia mulai melihat kemungkinan untuk bangkit dari masa lalunya. 

***

Minggu berganti bulan. Interaksi antara Satria dan keluarga Sonia semakin intens. Tembok rendah yang memisahkan rumah mereka seolah kian menipis. Satria sering membantu Sonia memperbaiki genteng yang bocor, memangkas tanaman, atau sekadar membawakan belanjaan berat dari pasar. Anak-anak Sonia, Soni dan Rania, sudah sangat akrab dengannya. Mereka memanggilnya ‘Oom Satria’ dengan nada penuh kasih sayang, seringkali merengek agar ia menemani bermain bola atau mendongeng sebelum tidur.

Suatu sore, Satria melihat Sonia duduk termangu di teras, matanya menerawang jauh. Ia mendekat, menyodorkan secangkir teh hangat.

“Melamun saja, Sonia. Ada apa?” tanya Satria, suaranya lembut.

Sonia tersenyum getir. “Ah, tidak apa-apa, Satria. Hanya memikirkan hidup saja.”

Satria duduk di sebelahnya. Aroma melati dari teh menyeruak, bercampur dengan aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. “Boleh aku tahu apa yang membebani pikiranmu?”

Sonia menghela napas panjang. “Ini tentang anak-anak. Mereka itu terlalu protektif, Satria.” Ia menatap Satria, matanya dipenuhi gurat lelah. “Sudah beberapa kali aku dekat dengan laki-laki. Ada Oom Rudi, pedagang di pasar. Lalu Babe Adi, tetangga komplek sebelah. Tapi setiap kali mereka tahu, reaksinya selalu sama: marah, kecewa, seperti aku melakukan kesalahan besar.”

Satria mendengarkan dengan saksama. Ia tahu betul bagaimana anak-anak itu sangat mencintai dan bergantung pada ibunya.

“Dulu Soni pernah membanting piring karena Oom Rudi datang membawakan martabak untukku. Rania mogok makan sampai tiga hari waktu Babe Adi mengantarku pulang dari rapat RT,” lanjut Sonia, suaranya pelan. “Pada akhirnya, mereka akan menyadari kalau laki-laki itu tidak punya maksud jahat. Tapi sikap mereka itu… membuatku jadi takut sendiri.”

Sonia menunduk, memainkan ujung jilbabnya. “Aku tahu mereka menyayangiku, Satria. Mereka tidak ingin ada yang menggantikan posisi Papa mereka. Tapi aku juga… aku juga kesepian. Lelah rasanya harus mengurus semuanya sendiri.” Ada nada pilu dalam suaranya.

Hati Satria mencelos mendengar pengakuan Sonia. Ia bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul wanita ini. Ia ingin memeluknya, mengatakan bahwa ia ada untuk Sonia, namun ia menahan diri. Dinding protektif anak-anak itu memang nyata, dan itu adalah tantangan yang harus ia hadapi jika ia ingin melangkah lebih jauh. Perasaannya pada Sonia, yang semula hanya simpati, kini telah tumbuh menjadi cinta yang tulus dan mendalam. Namun, ia menyadari tantangan besar yang akan dihadapinya. Anak-anak adalah segalanya bagi Sonia.

Malam harinya, Satria melihat Soni dan Rania asyik bermain catur di ruang tengah. “Soni, Rania, sudah malam. Ayo tidur,” tegur Sonia dari dapur.

“Sebentar lagi, Mama!” seru Soni, fokus pada bidak caturnya.

Sonia hanya menggelengkan kepala, namun senyumnya tersungging. Satria melihat bagaimana Sonia menatap anak-anaknya, penuh cinta, namun juga dengan sedikit kepedihan yang tersimpan. Ia tahu, Sonia sangat mencintai anak-anaknya, bahkan lebih dari dirinya sendiri. Satria sadar, untuk bisa masuk ke hati Sonia sepenuhnya, ia harus bisa menembus dinding pertahanan yang dibangun oleh Soni dan Rania.

*** 

Musim berganti, dedaunan di halaman kontrakan Satria mulai menguning dan berguguran, pertanda kemarau akan segera tiba. Sepanjang waktu yang berlalu, Satria semakin yakin dengan perasaannya. Ia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Cinta yang ia kira takkan pernah datang lagi, kini tumbuh subur di hatinya.

Suatu sore, saat anak-anak sedang tidur siang, Satria memberanikan diri. Ia duduk di teras depan Sonia, memandangi tanaman mawar yang mulai mekar. 

“Sonia,” panggilnya, suaranya sedikit bergetar.

Sonia menoleh, matanya menatap Satria penuh tanya. “Ya, Satria?” 

“Aku… aku sudah lama memikirkan ini.” Satria menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, atau bahkan terasa aneh bagimu. Tapi aku harus mengatakannya. Aku… aku mencintaimu, Sonia. Dan aku ingin menjadi bagian dari hidupmu, dan hidup Soni dan Rania.”

Sonia terdiam, matanya membulat. Pipinya memerah. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. “Satria… aku juga merasakan hal yang sama.”

Mendengar itu, hati Satria melonjak. Senyumnya mengembang. Ia meraih tangan Sonia, menggenggamnya erat. Kelegaan menyelimuti dirinya. Ada harapan baru yang membuncah.

Seminggu kemudian, Satria memutuskan untuk secara resmi memperkenalkan dirinya sebagai calon pasangan Sonia kepada Soni dan Rania. Ia tahu ini adalah momen krusial, dan ia mempersiapkan dirinya mental. Mereka makan malam bersama di rumah Sonia. Satria membawa martabak manis kesukaan anak-anak. Suasana awalnya hangat, penuh canda tawa.

“Soni, Rania, ada sesuatu yang ingin Mama dan Oom Satria beritahukan,” ucap Sonia, suaranya sedikit gugup. Ia menggenggam tangan Satria di bawah meja. 

Soni dan Rania menatap bergantian, raut wajah polos mereka dipenuhi rasa penasaran.

“Mama dan Oom Satria… ingin menjadi keluarga. Oom Satria ingin menjadi… papa baru kalian,” lanjut Sonia, berusaha selembut mungkin.

Seketika, suasana berubah drastis. Senyum di wajah Soni dan Rania memudar, digantikan oleh kerutan kening dan mata yang membulat tidak percaya. Soni menjatuhkan garpunya, menimbulkan bunyi nyaring di atas piring. 

“Apa Mama bilang? Papa baru?” tanya Soni, suaranya meninggi, penuh keterkejutan dan kemarahan. Ia menatap Satria dengan tatapan yang tadinya ramah, kini berubah menjadi antipati yang tajam.

Rania, yang biasanya lebih pendiam, langsung berdiri. Air matanya mulai menggenang. “Tidak! Rania tidak mau! Papa Rania cuma satu, yang sudah di surga! Oom Satria bukan papa Rania!” Ia berlari ke kamarnya, membanting pintu dengan keras.

Soni menatap ibunya dengan kecewa. “Mama jahat! Mama mau menggantikan Papa?!” Ia mendorong kursinya hingga berderit nyaring, lalu melesat menyusul adiknya, membanting pintu kamarnya juga.

Suasana hening mencekam. Satria dan Sonia duduk kaku di kursi makan. Martabak di piring terasa dingin, tak lagi menggoda. Satria merasakan penolakan pahit itu menghantamnya. Hubungannya dengan Sonia dan anak-anak mendadak dingin, menimbulkan keraguan dan kesedihan mendalam.

Sonia terdiam sejenak, lalu air mata mulai menetes membasahi pipinya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, isaknya pecah di ruang tamu yang sepi. Satria mencoba mendekat, namun Sonia menggeleng.

“Aku… aku mau ke dapur sebentar,” kata Sonia, suaranya parau. Ia bangkit, melangkah gontai menuju dapur.

Satria hanya bisa menatap punggungnya, hatinya teriris. Di dapur, Sonia menyalakan kompor, berniat membuat kopi untuk menenangkan diri. Tangannya gemetar saat mengaduk gula dan kopi di dalam cangkir. Air mata terus mengalir tanpa henti. 

“Kenapa… kenapa begini, ya Allah?” bisiknya putus asa. “Aku hanya ingin bahagia. Aku lelah, Satria. Lelah sekali mengurus semuanya sendiri. Mencari nafkah, mendidik mereka, memastikan mereka tidak kekurangan apapun. Aku juga butuh seseorang… yang bisa berbagi semua beban ini.”

Isaknya semakin keras. “Mereka tidak mengerti. Mereka tidak pernah mengerti bagaimana rasanya kesepian. Bagaimana rasanya harus berpura-pura kuat setiap hari demi mereka.” 

Sonia menumpahkan segala kepedihan, semua beban yang selama ini ia pikul sendiri. Ia merasa sangat terluka, tidak dihargai, dan kesepiannya semakin mendalam. Ini adalah titik terendah emosionalnya.

Pintu kamar Soni sedikit terbuka. Ia, yang diam-diam menguping pembicaraan ibunya, kini menyaksikan tangisan pilu itu dari celah sempit. Hatinya mencelos. Ia belum pernah melihat ibunya menangis sehebat itu. Kata-kata Sonia, tentang lelahnya mengurus semuanya sendiri, tentang kesepian yang membebani, menusuk langsung ke ulu hatinya. Sebuah benih penyesalan mulai tumbuh, pelan namun pasti, di hati bocah itu.

*** 

Setelah insiden malam itu, dinding antara kedua rumah, yang tadinya seolah telah runtuh, kini dibangun kembali dengan batu-batu kemarahan dan kekecewaan. Soni dan Rania menghindari Satria. Mereka tidak lagi menyapanya, tidak lagi meminta permen, bahkan enggan menatapnya. Jika Satria kebetulan berpapasan dengan mereka di halaman, mereka akan langsung masuk ke dalam rumah. 

Satria merasakan dinginnya penolakan itu. Hatinya sakit, namun ia tahu, ia tidak bisa memaksa. Sonia sendiri juga tampak murung. Hubungan mereka menjadi canggung, penuh jarak. Satria tahu ia adalah penyebab keretakan ini, penyebab kesedihan Sonia, penyebab anak-anak itu merasa terancam. Ia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.

Suatu malam, Satria duduk di teras kontrakannya, menatap bulan sabit yang menggantung di langit gelap. Ia memikirkan semua yang telah terjadi. Ia mencintai Sonia, sangat. Tapi ia juga menyadari bahwa kebahagiaan Sonia adalah prioritas utama, dan kebahagiaan itu tidak akan lengkap jika anak-anaknya tidak merestui. Jika kehadirannya justru memperkeruh keadaan, membuat Sonia dan anak-anaknya tidak nyaman, maka ia harus mengalah.

Dengan berat hati, Satria mengambil keputusan. Keesokan harinya, ia menemui pemilik kontrakan. Ia memutuskan untuk pindah, meski baru setahun menyewa. Alasan yang ia berikan adalah, ia membutuhkan tempat yang lebih dekat dengan kampus untuk menunjang risetnya. Pemilik kontrakan tampak terkejut, namun memahami.

Kabar tentang kepindahan Satria menyebar cepat. Soni dan Rania, yang biasanya cuek dan menghindar, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang hilang. Mereka melihat Satria mengemas barang-barangnya, kotak demi kotak. Senyumnya tidak sehangat dulu, tatapan matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam.

Pada hari kepindahan Satria, suasana di kedua rumah terasa begitu berat. Satria mengangkat kotak terakhir ke dalam mobil sewaan. Ia menoleh ke arah rumah Sonia. Wanita itu berdiri di ambang pintu, matanya merah. Soni dan Rania bersembunyi di balik punggung ibunya, mata mereka juga berkaca-kaca.

Satria berjalan mendekat. “Sonia… aku… aku pergi dulu.” Suaranya serak. 

Sonia hanya mengangguk, tidak mampu berkata-kata. Air matanya tumpah.

Satria menoleh ke arah Soni dan Rania. “Soni, Rania… Oom pergi dulu, ya. Kalian harus jadi anak baik, jaga Mama. Oke?” 

Soni dan Rania tidak menjawab. Mereka hanya menunduk, bahu mereka bergetar menahan tangis. Perasaan bersalah menyeruak di hati mereka. Sosok Oom Satria yang selalu sabar menemani mereka bermain, yang menghibur Rania saat diejek teman-temannya, yang meminjamkan bahunya untuk Sonia, kini akan pergi.

Satria melambaikan tangan dengan senyum getir, lalu masuk ke dalam mobil. Mobil bergerak perlahan, menjauh dari kontrakan yang sempat menjadi harapan barunya. Dari dalam rumah, Soni dan Rania menonton kepergiannya. Air mata mereka akhirnya tumpah.

“Mama…” isak Rania. “Oom Satria pergi…” 

Soni menatap ibunya, matanya dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ia teringat tangisan ibunya di dapur malam itu, tentang kesepian dan kelelahan yang membebani. Kini, sosok Oom Satria yang baik hati, yang mengisi kekosongan rumah mereka dengan tawa dan kehangatan, telah pergi karena ulah mereka.

“Kenapa Oom Satria pergi, Ma?” tanya Soni, suaranya bergetar. “Apa… apa karena kami tidak mau punya Papa baru?”

Sonia tidak menjawab, hanya memeluk kedua anaknya erat, air mata mereka bercampur. Kesedihan ini membuka mata Soni dan Rania. Mereka akhirnya menyadari bahwa mama juga membutuhkan cinta dan perhatian, bukan hanya dari mereka. Pengorbanan Satria, meskipun menyakitkan, menjadi katalisator bagi pencerahan hati anak-anak. Mereka telah kehilangan sosok yang baik, dan itu semua karena keegoisan mereka. Penyesalan yang mendalam merayapi hati Soni dan Rania. Mereka tumbuh dewasa secara emosional.

***

Dua minggu setelah Satria pindah, suasana di rumah Sonia terasa hampa. Tawa Soni dan Rania tak lagi riang seperti dulu. Mereka sering melamun, sesekali menatap kosong ke arah kontrakan Satria yang kini dihuni orang lain. Sonia sendiri juga tampak berbeda. Ia lebih banyak diam, senyumnya jarang terlihat. Ada kehampaan yang terasa begitu nyata. 

Suatu sore, Soni dan Rania duduk di teras, memandangi tanaman mawar yang Satria tanam di sudut halaman. Rania memetik kelopak mawar, wajahnya murung. 

“Soni…” panggil Rania pelan. “Rania kangen Oom Satria.” 

Soni mengangguk. Matanya berkaca-kaca. “Soni juga. Oom Satria baik sekali, ya.” 

Tiba-tiba, Soni menatap Rania. Sebuah ide melintas di benaknya. “Rania… Mama pasti juga kangen, kan?”

Rania menoleh ke arah ibunya yang tengah termenung di ruang tamu, pandangannya kosong. “Mungkin… Mama juga sedih, ya, Soni?” 

Soni mengangguk mantap. “Kita salah, Rania. Mama butuh Oom Satria. Mama juga butuh teman.” Ia teringat tangisan pilu ibunya di dapur. Itu adalah ingatan yang tak bisa ia lupakan. “Kita harus cari Oom Satria, Rania. Kita bilang kita mau Oom Satria jadi Papa kita.”

Rania menatap kakaknya dengan mata berbinar. “Benar, Soni? Kita cari Oom Satria?” 

“Iya! Ayo kita bilang ke Mama!” Soni bangkit, menarik tangan Rania.

Mereka berlari ke ruang tamu, menghampiri Sonia yang masih termenung. 

“Mama!” seru Soni, suaranya penuh semangat. 

Sonia tersentak. “Ada apa, Nak?”

“Mama… merindukan Oom Satria, ya?” tanya Rania, polos.

Sonia terdiam sejenak. Ia mencoba menyangkal. “Tidak. Buat apa merindukan dia? Dia sudah tidak penting lagi.” Namun, suaranya bergetar, dan matanya memancarkan kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.

Soni dan Rania menatap ibunya dengan tatapan meyakinkan. “Tidak, Ma. Mama pasti kangen. Kami juga kangen. Dan kami… kami mau Oom Satria jadi papa kami.” Kata-kata itu keluar dari mulut Soni dengan tulus, diiringi anggukan mantap dari Rania. “Kami salah, Ma. Mama juga berhak bahagia.”

Sonia memandang kedua anaknya, terkejut sekaligus terharu. Air mata kembali membanjiri pipinya, namun kali ini air mata kebahagiaan. Hatinya luluh. Anak-anaknya, benteng emosionalnya, kini telah merestui.

“Benar begitu?” bisik Sonia, tak percaya.

Soni dan Rania serempak mengangguk. “Iya, Ma! Ayo kita cari Oom Satria! Sekarang juga!”

Sonia tidak bisa menolak. Ia segera bersiap, membawa kedua anaknya ke kampus Satria. Ia tahu jadwal kuliah Satria, dan berharap masih bisa menemukannya.

Di sisi lain kampus, Satria baru saja keluar dari ruangan dosen pembimbingnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan rumitnya materi riset doktoralnya. Ia menghela napas, berjalan lesu di koridor kampus.

Tiba-tiba, ia mendengar suara-suara familiar memanggil namanya.

“Oom Satria!”

Satria menoleh. Matanya membulat tak percaya. Di ujung koridor, Sonia berdiri, dengan Soni dan Rania di sisinya. Kedua bocah itu berlari ke arahnya, senyum ceria merekah di wajah mereka.

“Oom Satria!” Soni dan Rania serempak memeluk Satria dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi. Satria membungkuk, membalas pelukan mereka, hatinya dipenuhi kebahagiaan yang tak terhingga.

Sonia berjalan mendekat, senyumnya merekah, matanya berbinar. “Satria…” 

Soni dan Rania melepaskan pelukan. Soni menatap Satria dengan mata penuh harap. “Oom jangan pergi lagi, kami mau oom jadi papa kami.” Rania mengangguk setuju, matanya memancarkan ketulusan yang sama.

Kata-kata itu, sederhana namun penuh makna, mengalirkan kehangatan luar biasa ke hati Satria. Ia menatap Sonia, yang kini tersenyum bahagia. Semua keraguan, semua kesedihan, seolah lenyap begitu saja.

Satria berlutut di hadapan Sonia, di tengah koridor kampus yang mulai sepi. Ia mengeluarkan cincin sederhana dari saku celananya. “Sonia… maukah kau, dan juga Soni dan Rania, menjadi keluargaku? Maukah kau menjadi istriku, dan menjadi ibu bagi anak-anak kita?” 

Sonia tidak bisa menahan tangis haru. Ia mengangguk, tanpa ragu. “Iya, Satria. Aku mau.” 

Soni dan Rania bersorak gembira, memeluk Satria dan Sonia erat. Mereka telah menemukan keluarga baru, kebahagiaan yang lengkap.

Pernikahan Satria dan Sonia berlangsung sederhana namun khidmat, dihadiri keluarga terdekat dan beberapa teman. Rumah kontrakan dengan tembok rendah itu, yang dulu menjadi saksi bisu kesendirian Satria, kini menjadi rumah yang penuh tawa dan kebahagiaan.

Malam itu, setelah anak-anak tidur, Satria duduk di meja belajarnya. Ia membuka buku catatannya, yang selalu ia gunakan untuk mencatat ide-ide risetnya, dan juga perasaannya. Ia menulis, dengan hati yang penuh syukur:

_Cinta yang kutemukan di balik tembok rendah ini, adalah cinta yang nyata dan indah. Cinta yang tak hanya menyatukan dua hati yang terluka, tetapi juga merangkul dua jiwa polos yang membutuhkan bimbingan. Perjalanan ini memang tidak mudah, penuh air mata dan pengorbanan. Namun, setiap tetesnya membentuk pondasi yang kuat untuk kebahagiaan yang kini kami miliki. Sebuah rumah baru, sebuah keluarga baru, yang dibangun di atas restu tulus dan janji untuk saling menjaga. Dan ini, sungguh, adalah awal dari kisah yang tak akan pernah berhenti ditulis oleh takdir. Tantangan mungkin akan selalu ada, namun dengan cinta yang tulus dan dukungan dari keluarga ini, aku tahu kami akan selalu menemukan jalan._

Ia menutup buku catatannya, menatap Sonia yang tertidur pulas di sampingnya. Tangannya mengusap lembut kepala Soni dan Rania yang kini tidur di kamar sebelah. Senyumnya mengembang. Ya, ini adalah kebahagiaan sejati. Dan ia akan menjaganya, seumur hidupnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Gold
KKPK Kompetisi Rahasia
Mizan Publishing
Skrip Film
Merayan Dibalik Jemari
Diah Pitaloka
Cerpen
PAPA UNTUK SONI DAN RANIA
ari prasetyaningrum
Novel
Tough Woman
Anggi faizta
Novel
Gold
Senandung Talijiwo
Bentang Pustaka
Skrip Film
Remuk
Rere Valencia
Novel
Gold
Sekosong Jiwa Kadaver
Falcon Publishing
Skrip Film
MONA
Arienal Aji Prasetyo
Flash
Teman baik
Bungaran gabriel
Novel
Gold
BECOMING
Noura Publishing
Skrip Film
Yes, Way
Benita Sulaiman
Novel
Bronze
Madah Penyusup
Wiwien Wintarto
Novel
Kisah yang Belum Usai
Husni Magz
Skrip Film
Tingkat Akhir -- Skrip(si)
Michelia Rynayna
Novel
Madu yang Kupilih untuk Suamiku
Rinz Sugianto
Rekomendasi
Cerpen
PAPA UNTUK SONI DAN RANIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
GEMA HATI SANG IBU KEDUA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RENDANG UNTUK IBU MERTUA
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERKHIANAT DEMI SI BULE
ari prasetyaningrum
Cerpen
PELANGI USAI BADAI
ari prasetyaningrum
Cerpen
RESEP KEDUA AYU
ari prasetyaningrum
Cerpen
PERSAHABATAN YANG CULAS
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RANTAU RAMADHAN PERTAMA
ari prasetyaningrum