Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Pantang Untuk Mencintai
0
Suka
93
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tidak ada yang patut disalahkan. Ketika di suatu senja dirimu datang ke rumahku dengan tiba-tiba. Dan aku yang duduk di teras terbelalak karena sangat terkejut dengan apa yang kamu bawa. Bunga anggrek larat. Aku langsung berdiri dan menampar wajahmu dengan sangat keras.

Kamu memang berani, Fajra, tapi kamu sudah terlampau batas kali ini. Jika ayahku tahu kamu ada di sini dan membawa bunga itu, kamu pasti sudah dikutuk.

“Tapi bunga ini akang par se sa, Yana. Bunga ini hanya par Nona Ambon kaya ale.”[1]

Tidak ada yang patut disalahkan. Tidak kamu, tidak juga bunga itu. Dengan wajah yang masih marah, aku merebut paksa bunga itu dari tanganmu. Lalu langsung masuk tanpa meninggalkan apapun kecuali suara bantingan pintu.

Aku tahu kamu belum pergi dari depan rumahku. Dan aku juga belum meninggalkan pintu. Aku bersandar di dinding, menunduk, dan dengan pelan menurunkan tubuhku, berjongkok di sebelah pintu rumah, menangis dengan memeluk bunga darimu.

Aku tahu ini kejam. Tapi aku dan kamu tidak punya kuasa. Pela Gandong[2] sangat pantang untuk dilanggar. Aku dan kamu tahu pasti akan hal itu. Jangan nekat jika ingin selamat. Petaka itu, sudah banyak yang merasakannya. Aku hanya tidak ingin kamu menjadi salah satunya.

“Rayana! Rayana!”

Tidak ada yang patut disalahkan. Tidak diriku, tidak juga tindakanku sekarang. Meskipun ribuan kali kamu memanggil namaku sambil mengetuk pintu itu, aku tidak akan membukakannya untukmu dan harapanmu. Tidak akan pernah.

Tidak lama kamu berhenti. Dengan lemas, beranjak meninggalkan rumahku dengan sia-sia untuk ke sekian kalinya. Ketika itu kamu berpikir kalau senja itu angkuh. Tidak ingin mengabulkan harapanmu. Tapi seandainya kamu tahu. Senja sudah menyimpan kejutan terbaiknya untukku dan untukmu. Entah kamu menyukai atau membencinya, itulah yang terbaik darinya.

Janji-janjimu dahulu untuk tetap memegang sumpah Pela Gandong yang ada di antara keluarga kita apapun yang terjadi kamu lupakan begitu saja. Saat itulah kamu pertama kali datang setelah sumpah itu. Juga di waktu senja, di sebuah warung sederhana. Ketika itu pikiranku mengingatkanku bahwa kamu sekarang adalah kakak adatku, meski kita jarang bercengkerama sebagai keluarga. Tapi pikiranmu ingin sesuatu yang menurutmu 'lebih' daripada persaudaraan kita.

Tidak ada yang patut disalahkan. Sebab nafsu kekuasaan sudah membuat mereka hilang akal. Hasrat untuk menguasai apa yang ada di tanah kita membuat mereka menjelma menjadi pembisik hasutan perpecahan. Bagaikan pemantik yang mencari-cari bom peledak, mereka telah membuat dirimu tergoda dengan setumpuk busuk lembaran-lembaran uang di atas meja. Kamu terlanjur lupa janjimu kepadaku. Sumpah yang kita ikrarkan bersama tidak seberapa bagimu jika dibandingkan tawaran mereka. Sayangnya, diriku sekarang tidak sempat untuk tahu. Kamu pun tidak ingin mengakuinya karena malu.

Meski kamu tahu itu terlarang. Karena upacara yang dipimpin langsung oleh ayahku dan ayahmu beberapa tahun silam sudah membuat ikatan darah adat semenjak kita masih remaja.

Kamu bahkan baru saja mengatakannya sehari sebelum upacara itu, kalau kamu memiliki rasa itu.

“Yana, beta cinta se.”[3]

Jangan bilang aku lupa. Ketika kamu berdiri kikuk di depan rumahku. Dengan keringat dingin dan muka kebas karena malu dan ragu, kamu mengatakannya dengan sangat yakin sehingga pipiku langsung merona dan mataku langsung memejam karena malu luar biasa.

Pot bunga melati yang kamu berikan waktu itu, aku tidak akan pernah lupa, meski kamu hanya mencomotnya sedikit dari pekarangan rumahmu, tapi aku lebih menyukainya dibandingkan bunga anggrek larat yang ada dalam pelukanku ini. Meski dahulu aku sempat berhasrat ingin memiliki satu, tapi semenjak seluruh negeri bersepakat untuk melindungi anggrek itu sebagai warisan wilayah kita, aku lebih memilih menaati aturan yang ada.

Aku tahu ini kejam. Kamu menyimpan rasa itu sebegitu dalamnya. Tetapi juga harus berjanji untuk tidak pernah mematuhi rasa itu seumur hidup. Kamu sangat sadar bahwa menjaga janji itu berarti kebahagiaan bagi diriku. Menjaga kedamaian keluarga kita berarti menjaga ketenangan hatiku. Aku tidak ingin melihat ayahku murka, atau adik-adikku membenciku hanya karena melanggar sumpah itu. Terlebih lagi, kamu tahu ayahku adalah pemimpin wilayah kita. Jadi, kamu harusnya paham mengapa aku bisa bertahan menolak untuk memenuhi harapanmu.

Dan ternyata dirimu sendiri jugalah yang merusak titah janji yang sudah kamu buat. Meski itu bukan sepenuhnya dari hatimu. Merekalah yang membuat dirimu berubah, menghasutmu, bilang kalau kamu pantas mendapatkan pasangan sepertiku. Awalnya, kamu pasti ragu dan menepis tidak percaya akan ucapan mereka. Tetapi pelan-pelan hatimu yang masih menyimpan rasa itu bangkit. Mengingatkan perjalanan dirimu dahulu ketika mengucapkannya tepat di depan rumahku. Membuatmu tamak ingin memaksaku untuk kembali menjadi kita sebelum hari sumpah itu dikukuhkan.

Aku masih sangat kecewa dengan dirimu yang masih menyimpan rasa dan ingin mengingkari sumpah. Tetapi aku tidak sempat untuk tahu sekarang bahwa mereka menghasutmu sedemikian rupa untuk melupakan janji itu.

Jangan bilang aku lupa. Di kala senja bertahun-tahun silam, tepat setelah kerumunan upacara telah bubar, di bawah pohon besar, kamu melihatku duduk dengan kondisi sesenggukan. Aku menangisi kita. Dan ketika itulah kamu datang. Membuat janji denganku untuk menjaga keutuhan sumpah di antara keluarga kita. Meski itu berarti menghilangkan kesempatan bagi kita untuk selama-lamanya.

Ka seng, se jadi beta ade secara adat sakarang.”[4]

Ketika itu, kamu mengucapkannya dengan sangat senang. Aku juga mencoba mengusap air mata agar tidak lagi merasakan nestapa. Agar aku juga ikut menerima dan menganggap semua ini adalah kodrat terbaik Tuhan. Pelan-pelan, kamu mengarahkan kepalaku untuk menatap lurus ke ujung horizon barat. Lukisan Tuhan senja itu menunjukkan kekuatan magis yang membuatku dan kamu menerima semuanya dengan lapang dada.

Terakhir, kelingking kita bertaut mengukuhkan titah janji untuk selamanya. Sebagai satu keluarga adat.

Tak ada yang patut disalahkan. Suara langkah kakimu pelan-pelan terdengar menjauh. Ketika itu kamu ingin pulang dan kembali lagi keesokan harinya. Sudah berkali-kali, semingguan ini kamu datang dan pergi mencoba berbagai cara membujukku. Tetapi tidak ada yang dapat membuatku kembali seperti dulu. Dan tidak akan pernah ada.

Kepolosanmu untuk terus membujukku tanpa henti membuatmu luput akan nafsu dan niat jahat mereka.

Kamu berjalan lemas di jalanan. Karena pikiranmu bergelayut di antara harapan-harapan aneh yang berseliweran. Seperti satu-satu orang membisikkannya tepat di sebelah telingamu. Membuatmu bingung kepada dirimu sendiri. Limbung tak tahu arah. Semuanya terasa salah di benakmu. Termasuk dirimu sekarang. Tapi, percayalah, tidak ada yang patut disalahkan saat ini.

Ketika itu, senja mulai meninggalkan horizon. Aku masih menangis sesenggukan sambil memeluk bunga anggrek larat pemberianmu. Dari dalam rumah, aku berharap dirimu bisa kembali ke sini. Lalu meminta maaf dari balik pintu rumahku sehingga aku bisa bersama denganmu sebagai adik adatmu. Sebagai satu keluarga adat.

Tidak ada yang patut disalahkan. Mereka memang memanfaatkan sisi polos dan naif yang kamu miliki semenjak kita bersama dahulu. Aku pun tidak layak menyalahkan diriku yang sekarang sama sekali tidak mengetahui sebab asli kenapa kamu berubah mendadak.

Sampai satu penyesalan itu datang karena kamu ternyata sial. Kalau saja aku tahu sebab kedatanganmu setiap sore tanpa jeda, tentu sudah aku peringatkan dirimu sejak awal tentang siapa mereka sebenarnya. Kamu tertipu, Fajra. Mereka tidak berniat membuat kamu dan aku bersama. Mereka hanya ingin memecah belah keluarga kita dengan menjadikanmu tumbal. Mereka ingin mengambil alih kekuasaan di daerah kita dengan menghancurkan keluarga ayahku. Dan jika kamu sampai gagal menyelesaikan perintah mereka, maka kamu akan menderita.

“Dar!”

Suara itu dari luar rumah. Satu suara pendek yang sangat tidak asing bagiku. Aku sering mendengarnya ketika ikut menemani Ayah berburu biawak di hutan. Jadi, aku tahu persis suara apa itu. Dengan penasaran aku membuka tirai dan jendela. Menjulurkan kepala untuk melihat ke jalanan. Ada kerumunan di dekat pohon besar tempat sumpah adat antar keluarga biasa dilakukan. Tempat dahulu aku menangis dan membuat janji itu bersamamu, yang sekarang sosok seperti itu sudah hilang dari dirimu.

Aku menghampiri kerumunan itu. Pelan-pelan aku maju lewat sela-sela warga yang menonton. Mereka semua berwajah panik dan ketakutan. Aku justru bingung dengan apa yang terjadi. Hingga aku mengerti mengapa. Ketika aku berhasil menembus kerumunan dan melihatmu kepayahan dengan kondisi dadamu yang terluka. Kritis. Aku menutup mulutku. Tidak percaya dengan yang aku lihat. Dua orang bapak-bapak hendak menggotongmu untuk mendapatkan penanganan. Tapi kamu tahu itu tidak akan sempat.

Kamu melihatku tiba-tiba terduduk lemas di tanah. Mataku sudah dari tadi basah. Penglihatanmu sudah memburam. Tapi kamu tahu kalau itu aku. Kamu menunjukku. Memberikan isyarat untuk mendekat. Aku tidak sanggup melihatmu terbaring tidak berdaya. Hendak langsung berbalik pergi, namun tanganmu masih punya tenaga untuk menahanku.

Aku memutuskan untuk menurutimu kali ini. Kamu tersenyum melihatku menangis untuk terakhir kalinya. Dengan tarikan napas berat, mulutmu berusaha mengatakannya.

“Ya-na, am-am-pong be-be-ta ee.”[5] Kamu lalu tersenyum lembut sebelum akhirnya bernapas untuk terakhir kalinya dengan lega.

Tidak ada yang patut disalahkan. Tidak dahulu, sekarang, ataupun nanti. Bagaimanapun ulahmu ketika dahulu, tidak ingin aku sesali untuk sekarang ataupun nanti. Kamulah yang membuatku lebih bisa mengendalikan diri. Dengan menjaga janji atas sumpah adat keluarga kita.

Kini, kamu bisa tenang di sana. Kematianmu tidaklah sia-sia. Kamu juga tidaklah sial. Itu hanya bagian dari takdir yang ingin membuat mereka yang memecah belah tertangkap. Sehingga warga kita bisa beraktivitas dengan aman tanpa ada gangguan apa-apa. Dan itu semua bermula darimu. Karena dirimulah warga bisa aman sebab salah satu kaki tangan mereka berhasil tertangkap. Dan penangkapan-penangkapan berlanjut menjadi pencarian berantai untuk membasmi kaum pemecah-belah.

***

Tanah itu masih merah dan menguarkan aroma yang khas. Membuat diriku tidak percaya ini semua begitu cepat berlalu. Kamu sudah berada jauh di bawah sana. Hanya tinggal menunggu titah dari Tuhan. Sementara aku baru paham sekarang. Bahwa merekalah yang menyebabkan ini semua. Apakah aku terlambat? Entahlah. Tapi berkatmu pula, kini aku bisa berdamai dengan takdir. Kamu memberiku pemahaman tentang keteguhan hati lebih daripada yang lain. Dan kamu pula yang menjadi hikmah bagiku dan orang-orang tentang makna kesetiaan. Hal paling mahal yang tidak akan pernah terbeli oleh apapun.

Aku mengunjungimu kali ini karena ingin memberimu bukti kesetiaanku atas janji untuk selalu bersamamu apapun yang terjadi. Bunga melati darimu. Aku membawanya dalam pot besar karena pohon melati itu sudah besar sekali. Aku menghadiahkannya lagi untukmu di sini sebagai pengingat untukmu. Bahwa aku tidak pernah benar-benar meninggalkanmu. Kini, biarlah bunga melati itu yang menceritakan semuanya kepadamu. Bagaimana aku berharap yang terbaik untukmu selama ini. Meski kamu merasa semua yang telah terjadi tidak adil sama sekali. Meski ada hati yang harus tersakiti. Meskipun harus menghilangkan sosok yang paling dirindukan. Percayalah, tidak ada yang patut disalahkan karena inilah yang terbaik untuk kita.

[1] “Tapi bunga ini buatmu, Yana. Bunga ini hanya cocok untuk seorang Putri Ambon sepertimu.”

[2] Pela Gandong (dari kata "pela" yang berarti ikatan dan "gandong" yang berarti saudara) adalah sebuah tradisi asal Maluku yang menciptakan ikatan persaudaraan yang kuat antar komunitas, melampaui perbedaan agama dan wilayah. Hubungan pela gandong ditandai dengan saling membantu dalam berbagai aspek kehidupan, seperti saat suka maupun duka.

[3] “Aku cinta kamu, Yana.”

[4] “Setidaknya, kamu menjadi adik adatku sekarang.”

[5] “Ya-na, ma-ma-afkan a-a-ku.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Pantang Untuk Mencintai
Nabil Jawad
Novel
Gold
Jodoh Sang Superstar
Falcon Publishing
Novel
Gold
Dunia Sukab
Noura Publishing
Novel
Gold
The Woman in Cabin 10
Noura Publishing
Novel
Gold
Kenang - Kenangan Seorang Wanita Pemalu
Bentang Pustaka
Cerpen
Good Parts
SAKHA ZENN
Cerpen
Melepas dengan Ikhlas
Diyah Ayu NH
Cerpen
Bronze
Jatuh
Zia Arshavina
Cerpen
Dua Matahari
zain zuha
Novel
Bronze
AKAD
Icha Azzahra
Novel
Invisible Love
Natsume Risa
Novel
Kau Membuatku Rasa
Hani Abla
Skrip Film
Doa di akhir sujud ku
Merita
Flash
Bronze
Mata Kekasih
Afri Meldam
Novel
e-Partner
Anindya Oli
Rekomendasi
Cerpen
Pantang Untuk Mencintai
Nabil Jawad
Cerpen
Jangan Seperti Ibu
Nabil Jawad
Cerpen
Mata Cekung Mbah Kukung
Nabil Jawad
Flash
Aurora di Petala Langit
Nabil Jawad