Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Pantai Rahasia Paman Yusuf
0
Suka
7
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pantai Rahasia Paman Yusuf

Oleh: Dirman Rohani

 Pesawat kecil yang kami naiki mulai terbang meninggalkan keramaian bandara Kota Medan. Aku berlibur untuk yang kedua kalinya ke rumah kakek dan nenekku yang berada di sebuah pulau kecil di Aceh. Nama pulaunya: Pulau Simeulue, dibaca simelu. Satu jam kemudian pesawat yang membawa kami mendarat di bandara kecil di Pulau Simeulue. Kami sudah ditunggu Paman Yusuf di tempat parkir bandara. Lalu dengan mobilnya kami dibawanya ke rumah Kakek dan Nenek.

Dari dalam mobil aku tak bosan-bosannya melihat-lihat pemandangan di kiri kanan jalan. Indah sekali. Hamparan lautan biru dan bukit-bukit kecil tampak di mana-mana, dan pada waktu yang sama aku menguping pembicaraan Paman Yusuf dengan Ayah serta Ibu. Sesekali mereka bertiga tertawa kecil. Sesekali juga terdengar teriakan riang gembira adikku yang baru bisa ngomong.

Tidak lama kemudian tibalah kami di rumah Kakek dan Nenek. Sambil menurunkan koper milik Ibu beserta ranselku dari bagasi mobil, Paman Yusuf bilang besok pagi kita petik buah kelapa muda di kebun Kakek.

“Di dekat kebun Kakek ada pantai rahasia yang sangat indah.” Kini suara Paman Yusuf terdengar setengah berbisik.

“Pantai Rahasia?!” Aku sangat senang dan teramat penasaran.

Paman Yusuf menutupi bibirnya sendiri dengan jari telunjuk tangan kanannya. “Jangan keras-keras,” katanya lagi dan masih dengan suara kecil, “pantai rahasia itu ... pantai tersembunyi, belum ada seorang pun anak yang tinggal di pulau ini pernah pergi bermain ke sana.”

Aku semakin penasaran. “Paman Yusuf, bolehkah aku berenang di pantai itu?”

Aku semakin senang setelah Paman Yusuf bilang bahwa pantainya tidak berombak sama sekali, dan airnya jernih, kedalamannya cuma sebatas pinggang anak yang umurnya masih sepuluh tahun seperti diriku. Jadi, tentu saja aku boleh berenang di situ.

Dan saking penasarannya, malamnya, saat kedua orangtuaku bersama Paman Yusuf keluar rumah untuk mengunjungi famili-famili kami, aku segera menanyakan tentang pantai rahasia itu pada Kakek.

Kakek pun bercerita kepadaku. Pada suatu hari, pulau ini diguncang gempa bumi. Gempanya sangat kuat dan lama. Ketika gempa berhenti, tiba-tiba air laut surut dengan cepat, hingga karang-karang serta ikan-ikan di dasar lautan kelihatan dengan jelas dari tepi pantai. Lalu tiba-tiba! Jauh di tengah laut sana, muncullah ombak besar. Sangat besar dan tinggi sekali. Tingginya … tiga kali lebih tinggi dari pohon kelapa yang paling tinggi di kebun Kakek. Ombak besar itu mengalir sangat cepat menuju ke daratan, ke arah pulau ini—”

“Tsunami 26 Desember ya, Kek?” Aku menyela. Aku mengetahui bencana alam tsunami di Aceh itu dari kakak-kakak mahasiswa yang mendatangi sekolahku. Saat itu kami juga diminta keluar kelas dengan tertib sambil memegang tas yang kami letakkan di atas kepala. Seakan-akan saat itu sedang terjadi gempa bumi.

“Bukan, ini bukan peristiwa bencana tsunami tanggal 26 bulan Desember tahun 2004 itu. Bencana tsunami dalam cerita Kakek ini … sudah lama sekali kejadiannya—”

“Kapan, Kek? Tahun berapa? Lalu, Kakek tahu ceritanya dari mana?”

“Tahunya, dari kakeknya Kakek. Beliau menceritakannya pada saat Kakek membantu beliau memetik cengkeh. Sudah lama sekali kejadiannya. Mungkin … pada jaman dahulu, hehehe …” Kakek tertawa sesaat, lalu melanjutkan, “cerita ini juga diceritakan oleh semua orang tua di pulau ini kepada anak-anaknya dan cucu-cucunya. Tujuannya, supaya kita semua akan ingat selalu dan waspada pada bencana alam tsunami. Bila terjadi gempa kuat yang diikuti air laut surut, kita harus cepat-cepat lari ke bukit, atau ke tempat yang tinggi, untuk menyelamatkan diri. Tsunami itu dalam bahasa Simeulue disebut ‘Smong’.”

“Oh, begitu ya, Kek.”

Kakek melanjutkan, setelah bencana alam tsunami di jaman dulu itulah, pantai rahasia itu muncul di kaki bukit, di dekat kebun Kakek. Pantai itu terbentuk karena gelombang air laut yang besar yang membuat longsor tebing-tebing bukit.

Lalu, kedua orangtuaku pulang. Aku pun segera berlari ke ruang tamu untuk membuka pintu depan.

Keesokan harinya, dengan mobil Paman Yusuf, kami menuju kebun Kakek. Letaknya di balik sebuah bukit kecil. Atau bisa dikatakan bagian belakangnya bukit itu. Lima belas menit kemudian kami pun tiba di bukit itu.

Paman Yusuf meletakkan mobilnya di tanah bererumputan pinggir jalan. Kami lalu berjalan kaki menelusuri jalan setapak di tepi kaki bukit. Jalannya kadang-kadang naik, kadang-kadang turun. Lima menit kemudian, tibalah kami di kebun Kakek. Aku segera melihat-lihat sekitar hingga ke puncak bukit, mencari pohon kelapa paling tinggi. Ternyata semuanya tinggi. Tidak tampak pohon kelapa pendek, seperti yang ditanam di perkarangan rumah di kompleks tempat tinggal kami di Kota Medan.

“Paman Yusuf, di mana pantainya?!” Aku bertanya sambil terus mengamati satu demi satu pohon kelapa.

“Ayo.” Paman Yusuf menjawab sambil menunjuk ke suatu arah. “Di bawah sana.”

Kami mengikuti Paman Yusuf. Melangkah turun di tanah kebun yang terus melandai. Lalu, tibalah kami di pantai kecil berpasir putih. Aku menatapnya takjub. Benar kata Paman Yusuf kemarin, memang sangat indah pemandangannya. Pantainya dikelilingi batu-batu karang besar.

Selagi aku berenang, Ibu menemani adikku bermain pasir. Dari tempat ini kami masih bisa melihat ke kebun. Paman Yusuf sudah berada di atas pohon kelapa dan ayahku sedang mencabut semak-semak di bawah pohon cengkeh.

Aku keluar dari air. Saat mendekati Ibu, tiba-tiba pasir putih di bawah telapak kakiku terasa berguncang. “Gempa,” kata Ibu.

Ya, tadi gempa, kataku dalam hati saat gempanya sudah berhenti. Aku pun jadi teringat lagi cerita Kakek.

“Ayo, Bu! Kita ke atas.”

“Nggak mau berenang lagi?” tanya Ibu yang tampak keheranan karena aku memakai sendalku dengan terburu-buru.

“Kita naik dulu ke kebun Kakek.” Aku menarik tangan Ibu. Ibu lalu mengendong adikku.

Sambil meninggalkan pantai aku berteriak-teriak memanggil Paman Yusuf yang sedang mengumpulkan buah kelapa yang dipetiknya tadi, “Paman Yusuf! Smong! Smong!”

Saat kami sudah tiba di kebun, kulihat Ayah dan Ibu saling tatap dan berdiri mematung. Aku terus berjalan cepat mendekati Paman Yusuf.

“Ada apa?” tanya Paman Yusuf sambil mengupas buah kelapa muda dengan parangnya.

“Kalau terjadi Smong, apakah kita aman di sini? Kan tadi ada gempa!”

Paman Yusuf tersenyum lebar, lalu mengacungkan jempolnya kepadaku. Paman Yusuf bilang, walaupun tadi gempanya tidak kuat, aku sudah melakukan tindakan yang benar dengan segera mengajak ibuku menjauhi pantai. Lalu aku pun menceritakan ulang cerita dari Kakek. Paman Yusuf bertanya heran, dari mana aku tahu cerita tentang Smong dan pantai rahasia itu?

“Rahasia!” jawabku singkat sambil mengambil buah kelapa muda yang diberikan Paman Yusuf kepadaku, lalu segera kuminum airnya.

Terdengar tawa Ayah dan Ibu. Lalu terdengar suara Paman Yusuf, “Pasti Kakek yang menceritakannya, kan?”

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Tentang Asa
Kumala Sari
Flash
Bronze
Wanita Terhormat Vs Perempuan Jalang
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Pantai Rahasia Paman Yusuf
Dirman Rohani
Novel
Bronze
You Are
Sauda Khoiriyah
Novel
Episode
Perspektifat
Novel
IKATAN PEJUANG
NUR C
Flash
KAKI
Delia Angela
Flash
Sejatinya Dunia
Impy Island
Flash
Bronze
KHWATIRKU
Yattis Ai
Cerpen
Bronze
Smartphone Menculik Nayla
Darryllah Itoe
Novel
Bronze
Pembohong
Noveria Retno Widyaningrum
Skrip Film
Delusi (write on title)
MiiraR
Skrip Film
Jejak-Jejak Renjana
Yayang Putri Ayunda
Flash
Kepala Bawah Tanah
Berkat Studio
Flash
Bronze
Penulis Berlumut (Membicarakan Adam Series Part 16)
Silvarani
Rekomendasi
Cerpen
Pantai Rahasia Paman Yusuf
Dirman Rohani
Flash
Mahar Uang Digital
Dirman Rohani
Novel
Kisah Para Penyamun dan Tujuh Pemberani
Dirman Rohani
Novel
Robot Jahat
Dirman Rohani
Flash
Pamanku Pendiam
Dirman Rohani
Novel
Kelap-Kelip Kunang-Kunang di Telapak Tangan dan Telapak Kaki Kami
Dirman Rohani
Novel
Gunawan dan Rosela
Dirman Rohani