Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Panjang Umur Manusia-Manusia Gagal
1
Suka
2,831
Dibaca

Matahari belum juga terbit. Aku bergegas untuk memanaskan si Puki, motor jadulku. Hendaknya Aku akan pergi mengejar matahari terbit di Perbukitan Menoreh yang terletak tak jauh dari kediamanku. Sembari menunggu si Puki panas, isteriku menyiapkan gorengan dingin yang telah dimasaknya semalam. “Sayang jika tidak dimakan. Lumayan juga untuk mengganjal perut. Sebab, tukang nasi pecel pasti belum buka pagi-pagi buta begini.” Gorengan dingin tersebut ku makan dengan lahap, dan sebagiannya kumasukkan ke dalam kresek bening untuk camilanku di Menoreh nanti.

Tubuhku yang semakin memanas akibat metabolisme pasca memakan gorengan dingin berjalan beriringan dengan mesin si Puki. Aku tak sabaran. Segera ku gaspol dalam posisi transmisi netral. Pikirku, itu akan membantunya lebih panas lagi dan lagi.

“Suamiku, si Puki sudah cukup panas.”

“Iya, Aku menyadarinya.”

“Lalu bagaimana dengan puki-ku? Tampaknya sudah lama tidak kau panaskan.”

“Nanti saja. Aku sedang tidak mood. Kalau kau tidak sabaran, lakukan saja dengan pisang goreng yang masih panas. Tampaknya akan sama serunya."

Isteriku hanya terdiam dan lekas masuk. Entahlah, mungkin ia marah karena sudah lama tak dapat jatah. Aku pun tidak bermaksud mengabaikan barang-nya. Memang, naga yang kuberi nama Anton ini sedang enggan bermain. Sebab, seluruh daya pikirku sedang teralihkan dari leher ke atas daripada perut ke bawah.

Aku enggan memikirkannya terlalu lama. Segera kumasukkan tumbler berisi kopi yang baru saja diseduh ke dalam bagasi si Puki. Melihat oranye sudah mulai menyembul jauh di timur, segera ku naiki Puki untuk bergegas ke Perbukitan Menoreh. Kali ini Aku akan melihat matahari terbit dari Desa Giripurnomo.

Rupanya, perjalananku tak berjalan mulus. Setelah kami berhasil menerobos kabut pagi, mesin si Puki mati lagi. “Barangkali cuaca dingin membuat karbunya tidak berfungsi optimal.” Aku memutuskan untuk menepi. Tentunya, belum ada bengkel buka pukul segitu.

Di sela-sela pembongkaran karbu, datanglah empat orang pemuda yang membawa sajam-sajam berukuran panjang. Di sini, pemuda-pemuda tersebut biasa disebut “member klub klitih”. Sajam yang dibawanya ada yang berbentuk celurit, dan ada juga yang berbentuk keris. Mereka menepi.

“Motornya kenapa pak?”

"Sepertinya karbunya agak bermasalah. Ini sedang saya bersihkan.”

“Coba saya lihat.”

Mereka tampak mengorek-orek karbu si Puki dengan ujung celurit. “Rupanya jalur bensin tersumbat kodok pak.” Mereka pun membersihkannya. Kini karbu si Puki tampak kembali kinclong.

“Sudah saya ancam pak, karbunya. ‘Kalau masih tidak menyala, akan saya bacok kamu’.”

Alhamdulilah, matur nuwun.”

“Sama-sama pak. Kami tinggal ya pak. Sebentar lagi waktunya masuk sekolah.”

Monggo, hati-hati yaa!”

Untung saja anak-anak baik itu lewat. Jika tidak, sudah pasti Aku tidak akan mendapatkan matahari terbit hari ini.

Kembali ku gaspol si Puki. Kini kami melalui hutan yang penuh dengan kabut, serta jalanan yang terus menanjak. Si Puki kembali meraung saat ku turunkan transmisi ke gigi satu.

“Pak’e Aku takut! Jalanannya gelap.”

“Tidak usah takut, kamu fokus jadi motor saja. Biar pak’e yang menyetir.”

Puki hanya mengiyakan.

Jujur saja, Aku juga takut dengan jalanan yang gelap begini. Takut ada yang menggantung, atau takut ada yang loncat-loncat dan menghadang. Aku pun lebih takut kepada hantu daripada manusia. "Kalau ketemu orang-orang jahat Aku masih bisa menabraknya, atau sekadar memberi salam manis dengan melayangkan pukulanku ke wajahnya. Lalu bagaimana kalau makhluk tak kasat mata? Mereka mampu menembus segalanya, termasuk hati manusia."

Syukurnya, kami tiba di pintu masuk desa dengan aman. Tampak beberapa warga baru pulang dari surau sehabis subuhan. Tentunya, sebagai warga masyarakat yang baik, Aku mengucapkan permisi kepada mereka-mereka.

Nuwun sewu! Nuwun sewu!

Nggih, monggo.”

Salah satu warga yang tampak berpakaian lusuh memberhentikanku.

“Boleh menumpang sampai atas pak?”

“Ya boleh dong pak, monggo.”

Aku tidak mempermasalahkannya. Sebab, dari pakaiannya orang ini tampak begitu butuh bantuan.

Di perjalanan, kami berbincang-bincang asik nan menarik. Rupanya, si bapak yang Aku boncengi adalah pemilik percetakan buku Gransindi yang sedang berlibur di rumah keluarganya. "Bena-benar tidak sesuai sampul!" Gumamku.

“Kalau bapak memang ingin mencoba, kabari saya saja. Jangan lupa untuk membawa draft-draft tulisan bapak kemari.”

Aku mengiyakan. Kini bapak yang diboncengi telah turun dari motor dengan salto dan sedikit parkour.

“Terima kasih pak!”

Nggih pak!”

Faktanya, jarak dari rumah si bapak yang tadi Aku boncengi cukup dekat dengan Kedai Tobrut, tempatku akan mengopi di Perbukitan Menoreh hari ini. Segera ku parkirkan si Puki. Aku pun bergegas menduduki bangku yang telah ku reservasi jauh-jauh hari. Biaya menongkrong di Kedai Tobrut juga terhitung mahal untuk UMR Jogja dan sekitarnya. Tapi tak mengapa. Aku harus sedikit berkorban uang demi mengeluarkan sejumlah inspirasi untuk menulis dongeng terbaru.

Di sekitarku, bangku-bangku lainnya juga dipenuhi oleh orang-orang lain yang juga sedang mengejar matahari terbit. Ada yang datang karena rekomendasi kenalan. Ada pula yang datang dengan tidak sengaja. Ada juga yang datang dan menyogok antrean bangku karena enggan antri untuk reservasi. Kebanyakan dari mereka memesan makanan barat dan minuman beralkohol seperti Lanjiu dan Chivas Regal. “Mereka benar-benar menghamburkan uang,” pikirku. Memang, konon katanya dengan berfoya-foya dapat meningkatkan kualitas kenikmatan menuju matahari terbit, tapi Aku tidak memercayainya. Sementara itu, Aku hanya memesan segelas kopi tubruk sambil menyemil gorengan dingin yang ku bawa dari rumah, “Biarlah murah, yang penting masih sama-sama mengenyangkan.”

Matahari mulai terbit. Beberapa dari mereka, terutama yang memesan "menu foya-foya" tampak kesilauan dengan cahayanya. Segera ku keluarkan buku dan pena. Lalu ku buka acara dengan sedikit termenung memandang indahnya cakrawala. Hatiku kini merapalkan mantra baru yang selama ini tidak pernah kuucapkan:

Sudah jutaan kali tubuh ini mengejar matahari,

dan tak kutemukan sumber api untuk penghidupanku

kali ini Aku menyerah: Aku hanya ingin menulis karena kebahagiaanku seorang.

Biarlah tujuan awal terabaikan

terkadang, berhenti juga menjadi tujuan lain

urusan perut bukanlah urusanku, itu urusan pemilik matahari

 

Tuhan, jika nyatanya Aku adalah pegawai kantoran biasa, biarlah

Aku harus terus menghidupi dua puki

Tuhan, Aku ikhlas atas segala takdir yang telah engkau buat

Tuhan, Aku berterima kasih atas segala takdir yang telah engkau buat

Amin.

Tak disadari, air mata telah menenggelamkan wajahku. Di ujung parkiran, si Puki menangis air bensin karena iba melihatku menangis. “Mungkin saja puki isteriku di rumah juga akan menangis air asin apabila melihatku begini.” Tak ingin berlama-lama, Aku kembali melanjutkan dongeng yang sedang ku tulis.

 Jujur saja, Aku khawatir. Sudah lama sekali tulisanku tidak naik percetakan, atau sekadar dikutip di koran harian. Terkadang Aku merasa bahwa menulis bukanlah jalanku. Sebab, Aku tidak pernah merasa berhasil menjadi seorang penulis. Namun, jika tidak menulis, Aku harus apa? Aku memanglah seorang lulusan sarjana dari universitas terkemuka. Kendatipun demikian, Aku tidak pernah merasa cocok dengan pekerjaan lain selain menulis. Sementara Aku hanya terus menulis dan menulis, teman-temanku sudah menjadi miliarder dengan pangkat-pangkat tinggi di ibukota.

Di tengah lamunanku, Aku mengingat pesan dari salah satu guruku, “Jika engkau merasa menyukainya, lakukanlah sekalipun hal tersebut terlihat tidak berguna, dan terkejutlah dengan dampaknya di masa depan.” Aku menghirup napas dalam-dalam, dan mengimani kata-kata itu kembali. Kini tanganku bergerak sendiri. Ia menulis sesuatu di buku catatan yang telah ku bawa ke Kedai Tobrut. Tanganku terus saja menulis, sementara sekitarku sudah terbawa suasananya masing-masing. Di antara mereka ada yang menangis dan menyembah matahari, dan yang lainnya sudah cekikikan atau pun pingsan karena terlalu banyak minum alkohol.

Setelah matahari naik sepenuhnya, tulisanku selesai. Segera kuhabiskan sisa kopi dan gorengan yang masih ada. Setelahnya, Aku masih bersantai dengan menyalakan beberapa puntung rokok. Tepat pukul sembilan pagi Aku bergegas turun kembali untuk pulang ke rumah. Sebab, nanti siang Aku harus mengisi jadwal mengajar di balai desa. Hari itu Aku juga harus bekerja freelance sebagai waiters di kedai kopi yang terletak tak jauh dari rumahku. Pikirku, Aku harus mengerjakan pekerjaan sampingan agar bisa tetap menghidupi si Anton dan kedua Puki-ku.

Dalam perjalanan pulang Aku menyempatkan untuk mampir ke rumah bapak pemilik percetakan Grasindi yang tadi pagi ku bonceng. Sebab, tuturnya tadi ingin sekadar melihat tulisanku.

"Tsahhh!” Bapak pemilik percetakan keluar rumah dengan sedikit freestyle.

“Tulisanmu sudah selesai?”

Nggih pak.” Kataku seraya menyerahkan buku catatanku.

“Ini saya bawa dahulu ya. Saya minta kontak kamu untuk nanti saya kabari.”

Nggih pak. Saya adanya kontak Instagram, tidak apa-apa?”

“Tidak masalah. Apa username-nya?”

“@jawamendunia, pak”

Kami pun follow-follow-an akun Instagram.

Setelahnya, tanpa berharap apa-apa Aku kembali bergegas turun dari desa. “Paling di-ghosting lagi,” gumamku. Kegagalan benar-benar telah membuat pola pikirku menjadi begini.

Di hari itu dan di hari-hari berikutnya kegiatanku selalu saja begitu. Bangun pagi, mencari spot sunrise baru lainnya, hanya untuk menulis dan menyeruput kopi. Bahkan, Aku sudah melupakan tulisan yang kuserahkan kepada bapak pemilik percetakan Grasindi. Harapanku mulai pupus, sementara uang yang kubutuhkan semakin banyak. Aku memutuskan untuk kembali bekerja kantoran, sehingga akhir-akhir ini Aku juga sibuk interview dan kirim-kirim surat lamaran. Namun, belum ada satu pun kantor yang berjodoh.

Berhubung uangku semakin sedikit, Aku tidak lagi dapat menongkrong di kedai-kedai kelas menengah ke atas seperti Kedai Tobrut. Kini Aku hanya menghabiskan waktu matahari terbit dengan menongkrong di spot-spot pinggiran yang terbilang murah meriah. Sesekali, Aku juga tidak pergi mengejar matahari terbit. Sebab, terkadang Aku kelelahan karena bekerja freelance seharian.

 Hingga pada suatu waktu, ketika Aku menghabiskan waktu untuk melihat matahari terbit di tepi pantai, Aku mendapatkan direct message dari bapak pemilik percetakan Grasindi. Katanya, tulisanku menarik, sehingga ia memutuskan untuk mencetaknya sekian eksemplar. Namun, ia tidak menjanjikan akan keuntungan besar. Katanya, keuntungan tersebut akan diberikan dari hasil penjualan per buku. Aku pun tidak berharap demikian, yang penting tulisanku kembali terbit saja Aku sudah bersyukur.

 Rupanya sang pemilik matahari berkehendak lain. Di saat-saat krisisku yang tidak lagi mengharapkan karir menulis, ia justru membuat bukuku yang dicetak Grasindi meledak. Jujur saja Aku bergidik. Akan tetapi, alih-alih Aku tinggi hati, ku pikir ini hanya sementara saja, nantinya juga akan kacau balau lagi, sehingga Aku tidak berbahagia lebih. Sementara waktu terus berlalu, tak ku sangka karir menulisku justru semakin meningkat. Kini ada banyak sekali percetakan ternama yang memohon-mohon kepadaku untuk bekerja sama. Jujur saja, Aku sempat tertarik dengan sejumlah penerbit besar yang mengontakku. Di sisi lain, penerbit Grasindi tidak pernah mengecewakanku, jadi ku pikir Aku tidak perlu mencari percetakan lain.

....

  Kini, namaku sebagai penulis telah banyak dikenal orang. Tak sedikit pula yang datang dengan tujuan buruk atau hanya sekadar memanfaatkanku. Aku tidak mengambil pusing. Alih-alih memikirkannya, Aku memilih untuk menghabiskan waktu ke kota demi belajar parkour bersama bapak pemilik percetakan Grasindi. Tentunya, hubungan kami menjadi semakin akrab. Sementara itu, Puki, motorku telah ku benahi agar tidak sakit-sakitan lagi. Aku pun memutuskan untuk melakukan swap engine dengan mesin dukati untuk motor kesayanganku itu. Kendati membeli motor baru karena telah mampu, Aku lebih baik terlihat biasa-biasa saja. Di sisi lain, isteriku tampak berbahagia. Selain karena bangga, ia juga terpuaskan karena jatah yang semakin rutin kuberikan. Anunya tersenyum bahagia.

Walaupun harta yang kumiliki telah berlimpah, tetapi hal tersebut tidaklah mengubah perangaiku untuk menghambur-hamburkan uang dengan cara pergi ke spot-spot matahari terbit yang mewah dan mahal. Paling-paling, jika ingin sedikit boros, Aku hanya menghabiskannya dengan memesan Indimie rebus di Kedai Tobrut. Tak jarang, Aku kembali menongkrong dan menulis di spot-spot matahari terbit yang murah. Asal kau tahu, tak jarang Aku menemui pengunjung-pengunjung Kedai tobrut yang semulanya boros di sana ikut melipir di spot-spot murah tempatku biasa singgah. Katanya, uangnya habis hanya untuk foya-foya, dan mereka menyesalinya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Down To Earth
Siti Nur Holipah
Novel
MAX. 25 TAHUN
Ara Segara
Flash
Bronze
AKU INGIN IBU KEMBALI
Okino ojoeng
Cerpen
Panjang Umur Manusia-Manusia Gagal
Achmad Afifuddin
Novel
A Piece of Puzzle
Yovi Eviani Chandra
Novel
Bronze
Half of Lemon
Sinta Yudisia
Cerpen
Keluarga Wira
Mustofa P
Novel
Fall in Love with Devils
judea
Novel
Bronze
Lukisan Jiwa Raga
DAMAIZANNE
Novel
Ini SMK bukan SMA
Yayak
Novel
Bukan Mandul
Mambaul Athiyah
Novel
Bronze
Sorry to Goodbye
Allena Moria
Novel
Bronze
Tentang Kisah Kita: Trilogi Novelette 3
Imajinasiku
Novel
Catatan Tentang Ryza
tomatbulet
Novel
Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa
Nadya Wijanarko
Rekomendasi
Cerpen
Panjang Umur Manusia-Manusia Gagal
Achmad Afifuddin
Cerpen
Bronze
Taman Kanak-Kanak
Achmad Afifuddin
Novel
Bronze
Jangan Lekas Pulih, Ingatan-Ingatan Itu
Achmad Afifuddin
Novel
Romansa Dunia Berikutnya
Achmad Afifuddin