Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Din, jadi nginep rumah gue, ya. Ga kuat sama tugas-tugas ini.” Hilya memanyunkan bibir.
Aku menghela napas. Baru semester dua, tetapi terasa penuh. Tugas membuat diagram metabolisme dan identifikasi jaringan mikroskopis diberikan secara bersamaan. Tenggat waktunya pun hampir berbarengan.
Sehari-hari waktu kami dihabiskan hanya untuk tugas dan tugas. Hilya malah double kill, mamanya sedang bermasalah dengan mantan papanya. Walau mereka sudah cerai, masih ada saja permasalahan yang diungkit terutama soal pembagian harta.
“Aku kok capeeek banget, ya, Din,” keluh Hilya sembari membenamkan wajah di atas tangannya.
“Nyokap lo ga lagi di rumah, kan?”
“Hmm,” terdengar gumaman tak jelas dari bibir Hilya.
“Gue kira jadi anak tunggal banyak enaknya.”
“Enak dari mana? Tuntutan di mana-mana!” Hilya mendengus. Aku tertawa kecil. Sebab tahu sejak masa SMA, meski orang tua Hilya tidak akur, keduanya berharap banyak pada Hilya. Apalagi mereka orang terpandang, sehingga berambisi agar putrinya berprestasi. Tak jarang Hilya keluar masuk Rumah Sakit karena kelelahan.
“Yaudah ayo pulang ke rumah lo! Udah mau Magrib.”
Hilya pun melangkah dengan wajah muram. Aku mendorongnya dari belakang. Hilya mencebik.
“Udahan dong galaunya, ayo kita check out mood booster.”
Mendengar hal itu, seketika mata Hilya membulat berbinar-binar. “Yes! Paket gue dateng hari ini, pasti udah di rumah,” serunya dengan langkah terburu-buru. Gegas dia tekan tombol yang ada di kunci mobil. Tak lama kemudian, bunyi bip bip menyahut dari mobil putih bergaris hitam di samping kanan dan kirinya. Mobil keluaran terbaru itu merupakan hadiah dari mamanya usai bercerai. Seperti perayaan perceraian mungkin.
Aku mengikuti dengan langkah tergesa-gesa, khawatir Hilya kelewat semangat. Sebelum itu terjadi, aku harus mengambil alih posisi sopir.
“Gue yang nyetir!”
“Gue aja, gue udah baikan kok!” Hilya antusias.
“Gak, lo tadi sempat bilang pandangan lo berkunang-kunang. Udah sini gue aja.”
Dengan agak terpaksa Hilya memberikan kunci mobil. Mungkin menyadari jika beberapa saat lalu dia masih mengeluh demam.
Inilah keunikan Hilya, aku mengetahuinya sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak dunia belanja daring mulai populer. Tekanan dari kedua orang tuanya sempat membuat Hilya depresi. Apalagi setahun ini kedua orang tuanya justru cerai, Hilya semakin menderita.
Dan yang membuat Hilya masih bertahan hingga saat ini adalah paket. Ya, paket! Dia bilang, euforia yang dia rasakan saat menunggu kedatangan paket serta unboxing paket itu membuatnya bersemangat hidup. Baginya, paket itu menunda kematiannya.
Begitu burnout, Hilya bergegas membeli barang dari aplikasi belanja daring. Mengetahui ada paket yang akan datang, dia mampu mengurungkan niatnya untuk menyakiti diri ataupun bunuh diri.
Saat memasuki pelataran rumah bergaya modern dengan cat berwarna putih, Hilya langsung buru-buru turun. Sementara aku memarkirkan mobil dengan hati-hati, gadis berambut panjang itu sibuk membuka kotak besi yang dilapisi dengan cat powdercoating.
Garasi di rumah Hilya terbilang sempit dibanding garasi lain di sepanjang jalan Cendana. Rumah-rumah yang berderet rapi di jalan Cendana ini rata-rata bergaya semi klasik modern, tetapi halaman serta garasi mobilnya sangat luas. Sementara di rumah Hilya, bagian terluas berada pada taman belakang. Di taman itu dikelilingi pagar besi yang tertutup. Hilya kerap mengajakku bersantai di sana dulu, sayangnya semenjak kedua orang tuanya cerai, taman itu kurang terawat. Terlebih asisten rumah tangga yang ada juga turut mengundurkan diri sebab seringnya pertikaian di rumah itu. Hilya bilang, lumayan sulit untuk mencari penggantinya hingga sekarang.
Usai memarkirkan mobil, aku mengambil tas ransel yang sengaja kuletakkan di mobil Hilya pagi tadi. Sebab Hilya sebenarnya sudah berhari-hari merengek agar aku mau menginap di rumahnya, dengan semangat 45 dia menjemputku pagi-pagi buta, padahal kondisi tubuhnya sama sekali tidak stabil. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, aku segera turun dari mobil, mengunci semua pintu, lantas bergegas masuk melewati pintu samping yang sudah terbuka. Rupanya Hilya sudah lebih dulu masuk.
Kamar Hilya ada di lantai dua, agak bergidik ngeri membayangkan Hilya sendirian di rumah ini tadi malam. Terselip rasa tidak tega jika membiarkan dia kesepian, apalagi dia mengeluh sakit. Begitu memasuki kamar, kulihat Hilya sudah sibuk merobek bungkus paketnya. Plastik, bubble wrap, dan kardus berserakan di sana sini. Aku menggeleng pelan.
“Nih, kuncinya,” ucapku seraya melempar kunci mobil.
Hilya menangkapnya dengan tangkas. “Thanks,” ucapnya sembari menunjukkan deretan gigi putihnya bak anak kecil.
Dia memandangi beberapa gantungan kunci dengan berbagai karakter yang baru saja dibeli melalui aplikasi berlogo merah. “Lucu, kan, Din? Lo mau yang mana?”
Aku turut mengamati, kemudian tertarik pada salah satu karakter bebek manyun dengan blushing di kedua pipi. Aku meraihnya, “Yang ini kayak lo, Hil.”
“Emang iya? Gue lucu dong?”
“Najis!”
Kami tertawa.
“Gue yang mana aja dah, lagian lo udah banyak ngasih gue gantungan kunci kek gitu.”
Hilya cengengesan, buru-buru mengambil sebuah kotak bening yang ukurannya lumayan besar. Aku tahu itu, dia sedang memamerkan koleksi gantungan kunci miliknya. Ada berbagai bentuk serta karakter unik di sana.
“Gue udah punya sepuluh, sampek gue bagiin ke orang rumah.” Aku berusaha menolak, terlalu banyak yang dia beri, sampai-sampai tidak ada lagi kunci yang hendak diberi gantungan. Mulai dari kunci rumah hingga ritsleting tasku pun tak luput dari gantungan lucu pemberian Hilya.
“Ya ini kasih ke adek lo lah,” ujar Hilya sembari menyodorkan karakter bebek manyun tadi.
“Paket lo cuma gantungan kunci doang?”
“Hari ini cuma satu, tadi gue cek paket lainnya menyusul besok. Yes!”
Aku menepuk jidat, besok weekend, alamat Hilya akan mendekam di rumah sembari menunggu paket-paketnya datang. Padahal harapanku bisa refreshing barang sejenak.
“Lo ga pengen hang out gitu? Ya kali kita ga manfaatin momen libur besok ini?” tanyaku sembari merebahkan diri di kasur. Kulihat Hilya tengah sibuk membereskan bekas bungkus paket.
“Karena lo udah mau nginap di sini, okelah kita hang out besok, perkara paket tetap aman, gue udah punya box paket di depan.”
Aku berteriak girang. Hilya menimpukku dengan bantal. Tumben sekali dia mau, biasanya meski ada box paket, dia tetap akan menunggu di rumah. Namun dalam hati aku bersyukur, karena tanpa paket-paket itu, mungkin Hilya tidak akan bertahan sejauh ini. Tiba-tiba aku teringat kejadian beberapa tahun lalu.
Pada saat itu, aku tengah berlibur dengan keluarga di kampung. Jaringan di sana sangat tidak stabil. Di dalam rumah, akan muncul tanda x di Hp saat mengecek sinyal. Semua orang di sana harus mondar-mandir di teras rumah. Kebanyakan dari kami selalu berdiri agar tidak kehilangan sinyal. Terkadang jaringan bisa tetap stabil meski sambil duduk, namun tidak bertahan lama, sepuluh menit kemudian kami akan menghela napas dengan raut wajah tak keruan.
Ada pesan masuk dari Hilya, tapi hanya satu.
“Din ....” begitu isi pesannya.
Aku bergegas membalasnya, “Iya, gimana?”
“Kenapa, Hil?”
“Jaringan gue buruk banget. Insyaallah besok pulang. Ga betah lama-lama di kampung.”
Kubalas dengan tiga pesan berturut-turut. Sayangnya jaringan yang tak stabil itu membuatku geram. Semua pesan itu gagal terkirim. Aku hanya menghela napas panjang, lantas beranjak ke kamar sebab sudah larut malam dan semakin banyak nyamuk di teras.
Keesokan paginya, aku merusuh minta pulang. Disetujui oleh kakakku yang juga tidak betah berlama-lama di kampung. Kami pun disuruh pulang lebih dulu. Orang tua dan dua saudaraku yang lain memilih untuk menetap di kampung untuk beberapa saat. Aku cepat-cepat berkemas berharap masih bisa mengejar keberangkatan kereta api.
Baru sampai di stasiun, aku menyempatkan untuk mengecek ponsel. Ada sekitar tujuh pesan beruntun dari Hilya. Namun, karena padatnya stasiun, kakakku meminta agar aku menyimpan ponsel dan fokus pada pencarian gerbong.
“Buruan, Dek, jangan main hape dulu. Ntar ketinggalan kereta kita.”
Aku menurut. Sekitar lima belas menit mencari, kami akhirnya menemukan kursi yang sesuai dengan nomor di tiket. Setelah mengatur kenyamanan pada kursi yang kududuki, aku kembali membuka ponsel.
“Gimana ini? Gue kena marah karena nolak ikut olimpiade.”
“Gue ga bisa, gue udah jelasin kalau ga mampu. Tapi mereka ga mau tau.”
“Din, gue capek. Mereka maksa gue ikut cuma buat nama baik mereka. Gue juga gamau curang.”
“Gue gamau dihantui rasa bersalah karena ortu gue yang gila pencitraan. Kalaupun gue harus ikut, gue maunya hasil yang bersih. Gue gamau pakai cara kotor.”
“Sekarang mereka lagi bertengkar dan saling menyalahkan. Padahal menurut gue mereka sama-sama salah. Gue mau gila rasanya.”
“Lo belum pulang?”
“Ah, gue baru inget kalau di kampung ga ada jaringan.”
“Gue harus gimana, Din? Apa gue mati aja?”
Jantungku berdebar kencang membaca kalimat terakhir yang dikirim Hilya. Mendadak aku merasa dikerubungi rasa bersalah. Kulihat beberapa pesan yang berusaha kukirim semalam baru saja centang satu. Aku pun membalas lagi.
“Hilya, sorry gue ga bisa nemenin lo semalam. Ini gue lagi di kereta mau pulang. Sekarang keadaan lo gimana? Lo baik-baik aja, kan?”
Kutunggu bermenit-menit sembari memandangi pemandangan di jendela yang sama sekali tidak bisa kunikmati akibat cemas. Centang satu bertahan hingga setengah jam. Laju kereta yang kunaiki seolah sama dengan lajunya kecemasan yang menyerangku. Masih tujuh jam lagi untuk sampai di stasiun kota. Itu pun aku harus naik taksi satu jam menuju rumah.
Sembari harap-harap cemas, aku berbagi cerita itu dengan kakakku. Dia berkata sebaiknya aku berpikir positif dan mendoakannya. Jujur saja, itu adalah perjalanan paling menegangkan. Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa memejamkan mata barang semenit. Aku sibuk mengecek ponsel berharap ada balasan dari Hilya. Sesekali kutelepon meski ponselnya tidak aktif dan berakhir sia-sia. Beberapa teman sekelasku juga kuinterogasi barang kali ada yang mengetahui kondisi Hilya. Namun, hampir semua menjawab tidak tahu dan jarang berkomunikasi dengan Hilya.
Kami sampai di rumah malam hari. Aku memohon pada kakakku agar dia mau mengantar ke rumah Hilya. Namun dia menolak dengan alasan aku harus beristirahat usai perjalanan yang cukup panjang. Malam itu pun aku memutuskan untuk tidur meski lumayan sulit. Sebelum benar-benar terlelap, aku memanjatkan doa untuk Hilya.
Aku membuka mata tepat saat azan Subuh tengah berkumandang. Ponsel yang semalaman dicas segera kucabut kabel charger-nya. Aku menghela napas lega begitu melihat beberapa balasan dari Hilya.
“Dinar, gue gapapa. Gue lagi di Rumah Sakit, tapi lo jangan ke sini. Kapan-kapan gue ceritain langsung. Sekarang gue masih dilarang pegang HP terlalu lama.”
Berbagai bayangan kejadian buruk berkecamuk dalam pikiran. Namun, semua kuredam sesuai permintaan Hilya.
Rupanya dia dirawat inap sekitar seminggu lebih dan mengabari sesekali, katanya dia sekarang harus kontrol rutin dengan psikiater. Aku tak berani bertanya lebih jauh hingga kabar baik datang, yakni saat Hilya sudah diperbolehkan pulang. Aku pun diminta untuk mengunjunginya sebelum liburan benar-benar berakhir.
Maka dengan izin dari keluarga, aku menginap di rumah Hilya untuk beberapa malam. Ada beberapa tugas yang harus kami selesaikan juga sebelum masuk sekolah.
Hilya menyambutku di depan rumahnya, wajahnya masih pucat, dia melambai-lambai dengan senyum lebar. Aku bergegas menghampirinya dan memeluk erat. Kulihat ada bekas luka di lehernya, hanya bekas, sudah tidak perlu dirisaukan. Namun, detik itu juga aku menangis. Hilya membawaku ke kamarnya, dia berkali-kali menegaskan bahwa dia sudah tidak apa-apa.
Setelah tangisku mereda, Hilya pun menceritakan masalahnya tanpa diminta. Malam saat Hilya dipaksa ikut Olimpiade di semester depan, juga ributnya kedua orang tua hingga melibatkan pertengkaran membuat Hilya merasa sesak. Terlebih, dia tidak bisa menghubungi siapapun. Banyak relasi serta koneksi yang dia punya, termasuk saudara sepupu dari pihak Mama dan Papanya. Meski demikian, dia tidak bisa menceritakan persoalan keluarganya kepada sembarang orang. Jika ketahuan, maka kedua orang tuanya akan marah besar. Sebab di luar sana, semua orang memandang keluarga Hilya sebagai keluarga yang sempurna.
Kedua orang tua yang bekerja dengan jabatan tinggi dan dikenal banyak orang penting. Sementara Hilya dikenal sebagai putri tunggal yang beruntung. Saat kedua orang tuanya berbicara dengan nada tinggi sembari menyinggung perceraian, Hilya pun merasa runtuh. Muncul bayangan melukai diri agar bisa menghilang. Hilya terus berpikir bahwa dengan ketiadaan dirinya akan membuat dunia lebih baik dan damai. Tanpa sadar, tangannya sudah memegang cutter mini yang biasa digunakan untuk prakarya.
Hilya melukai dirinya dengan tangisan dan bayangan akan kematian dirinya.
“Gue bener-bener ga sadar kalau udah ngelukain leher sendiri. Saat sadar pun, gue kira itu cuma khayalan doang,” ujar Hilya mengungkapkan apa yang dia rasa.
Aku bergidik ngeri saat Hilya berkata bahwa darah di lehernya itu sudah merembes ke pakaiannya yang berwarna putih. Memang tak begitu dalam, tetapi lumayan panjang luka yang dibuatnya. Hilya menjerit saat benar-benar sadar kemudian pingsan. Saat bangun, dia hanya mendapati asisten rumah tangga yang menemaninya rawat inap.
“Papa dan Mama lo ke mana?” tanyaku penasaran.
“Katanya sih nemuin psikiater, tapi kalau kata gue mereka lagi kompromi supaya kejadian itu ga tersebar ke mana pun.” Hilya menjawab dengan cuek. Dia beralih memainkan ponsel.
Aku melihat layar ponselnya, Hilya tengah menggulirkan produk-produk di aplikasi belanja daring. Hilya menyadari tindakanku. Lantas berkata, “Gue sekarang butuh paket, karena gue menyadari suatu hal saat baru sampai di rumah ini.”
Gadis berambut panjang itu menunjuk sudut kamar. Ada tumpukan kardus berbungkus bubble wrap dan stiker fragile.
“Pas gue lihat paket-paket itu ada di kamar. Rasanya sulit dijelaskan. Kebetulan saat baru sampai rumah, Mama sama Papa gue ngomelin hal yang sangat ga penting. Tapi gue sama sekali ga terbawa emosi. Gue sibuk bukain paket-paket ini. Gue ga peduli dengan ocehan mereka. Terus gue mikir, kayaknya gue harus punya banyak paket deh untuk ke depannya. Gue bener-bener merasa nemuin solusi yang luar biasa.”
Sebenarnya aneh mendengar alasan serta penjelasan dari Hilya. Namun aku juga bersyukur sebab masih ada hal yang membuatnya bahagia dan antusias. Apa pun itu, selama dia masih berpikir untuk hidup, maka tidak apa-apa.
Perkataannya itu terbukti hingga saat ini. Paket-paket itu benar-benar menjadi penyelamat. Hilya yang selalu mengurungkan diri untuk menghilang dari hiruk pikuk dunia sebab menunggu paket. Hilya yang tak jadi emosi setelah merasakan euforia membuka paket. Bagi Hilya, selama masih ada paket, maka hidupnya selamat.
Brukk!
Tiba-tiba selimut tebal masih terlipat rapi melayang dan jatuh membekap wajahku. Mengaburkan ingatanku. Dalam hati aku mengumpat. Tak lama kemudian, terdengar tawa renyah Hilya.
“Sorry, Din, habisnya lo kayak ngelamun gitu dari tadi. Nanti pake aja selimut yang itu, punya gue terlalu tipis,” ujar Hilya sembari mengarahkan sebuah remote pada AC. Dia menaikkan suhu AC dari 16° ke 21°.
“Thanks, Hil. Masih inget aja lo kalau gue ga tahan dingin.” Aku duduk melihat Hilya yang mondar-mandir di depan cermin usai meletakkan remote AC. Dia baru selesai mandi.
“Iyalah, gimana mau ga inget. Dulu lo langsung masuk rumah sakit setelah nginep di rumah gue, ya kali gue ga inget. Anak orang gue bikin masuk RS karena hipotermia.”
Tawaku pecah mendengar hal itu, kejadian yang membuat Hilya panik dan merasa bersalah selama berbulan-bulan.
“Mandi sana, habis ini ngerjain tugas,” tukas Hilya.
“Oke. Btw, water heater di kamar mandi lo masih berfungsi ‘kan?” tanyaku agak sedikit usil. Sudah lumayan lama aku tak menginap di sini.
“Masih dong! Rumah ini masih berpenghuni, ya. Lu kira separah apa ni rumah?”
Aku tertawa dan bergegas menuju kamar mandi. Kebanyakan orang berkata bahwa Hilya lah yang beruntung karena berteman denganku, padahal tidak demikian. Akulah yang beruntung, tak banyak orang yang seperti Hilya. Maka aku sangat bersyukur saat Hilya masih memiliki semangat untuk hidup. Walaupun dia masih harus konsultasi dengan psikiater per bulannya, setidaknya Hilya tak pernah lagi melukai diri.
Tamat