Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pak Khairul dikenal sebagai sosok yang sangat dihormati di kampungnya. Setiap hari Minggu pagi, dia selalu memberikan nasihat-nasihat berharga kepada warga kampung seusai sembahyang.
Tidak jarang, petuahnya panjang lebar dan diselipkan dengan ayat-ayat suci serta cerita-cerita inspiratif dari kitab agama. Suaranya yang lantang dan penuh keyakinan selalu berhasil menarik perhatian, meskipun sering kali membuat orang-orang merasa bersalah karena merasa tak mampu menjalankan segala nasihat yang disampaikannya.
"Kita sebagai manusia ini harus peduli kepada segala makhluk Allah. Bukan cuma manusia, tapi juga binatang!" begitulah salah satu wejangan khasnya.
"Kalau kita menyayangi hewan, insya Allah kita akan disayangi oleh Allah. Jangan abaikan hewan-hewan itu, mereka juga makhluk yang butuh kasih sayang, makan, dan perhatian!"
Tapi, anehnya, nasihat-nasihat itu kadang terdengar sangat ironis di telinga para tetangganya. Mengapa? Karena semua orang di kampung tahu bahwa ayam-ayam milik Pak Khairul adalah salah satu gangguan terbesar di kampung.
Setiap hari, ayam-ayam Pak Khairul berkeliaran tanpa kendali. Dari pagi buta hingga menjelang maghrib, mereka bebas berkeliaran, masuk ke kebun tetangga, mengais-ngais tanah, dan lebih parahnya lagi, sering meninggalkan "jejak" yang tak sedap di beranda rumah-rumah orang.
Bu Sumi, tetangga sebelah rumah Pak Khairul, adalah korban paling sering dari ulah ayam-ayam itu. Setiap pagi, sebelum sempat menyeruput kopi hangatnya, ia sudah mendapati pemandangan tidak mengenakkan: kotoran ayam yang berserakan di teras rumahnya.
Pernah suatu hari, ia bangun tidur dengan semangat untuk menyiram tanaman hias kesayangannya, hanya untuk menemukan tanahnya sudah diacak-acak habis oleh ayam-ayam itu. Ia pun menggerutu sendirian.
“Yah, ini ayam-ayam Pak Khairul lagi! Padahal, tiap pagi dia itu ceramah panjang lebar tentang peduli terhadap hewan, tapi ayam-ayamnya sendiri dibiarkan kelaparan sampai keluyuran ke sini!”
Pak Dullah, tetangga lainnya, juga tidak luput dari gangguan si ayam. Suatu pagi, ia melihat seekor ayam Pak Khairul dengan tenangnya duduk di atas atap mobilnya. Ayam itu tampak santai, seperti sedang menikmati pemandangan, namun tiba-tiba... plep!—ayam itu meninggalkan "oleh-oleh" di kaca depan mobil.
“Lihat tuh!” seru Pak Dullah marah-marah.
“Kalau sekali-dua kali sih bisa dimaafkan. Tapi ini sudah tiap hari, dan tiap hari juga aku harus bersihkan mobil karena ayam-ayam itu! Kalau begini terus, nanti mobilku jadi kandang ayam!”
Tak tahan lagi, beberapa tetangga akhirnya berunding. Mereka semua sepakat untuk berbicara baik-baik kepada Pak Khairul tentang ayam-ayamnya. Maka, berkumpullah mereka di rumah Pak Dullah, yang memimpin pertemuan ini.
"Pak Khairul ini orangnya baik sebenarnya," kata Pak Dullah memulai. "Tapi ayamnya... ah, sudahlah. Kita perlu bicara baik-baik sama dia."
Namun, Pak Dullah yang terkenal paling berani ini rupanya tetap merasa gugup. “Bagaimana kalau dia ceramah panjang lagi?” gumamnya khawatir.
Tetangga-tetangga lainnya pun mengangguk-angguk. Mereka semua tahu, bicara dengan Pak Khairul tidaklah mudah. Begitu ia mulai bicara soal agama, bisa-bisa topik ayam terlupakan dan mereka malah dapat ceramah gratis.
Meski begitu, pertemuan ini membulatkan tekad. Mereka pun mendatangi rumah Pak Khairul dengan hati-hati. Saat sampai di sana, mereka disambut oleh Pak Khairul yang sedang duduk santai di teras dengan teh manis dan sebuah buku agama tebal di tangannya.
“Ada apa ini, tetangga-tetangga sekalian?” tanyanya dengan senyum lebar. “Alhamdulillah, ini bisa kita jadikan ajang silaturahmi. Ada yang ingin didiskusikan?”
Pak Dullah berdeham. “Eh, iya, Pak Khairul. Sebenarnya, kami mau membicarakan soal ayam-ayam, Pak.”
“Ayam?” Pak Khairul mengerutkan dahi, tampak bingung. “Ayam yang mana?”
“Ayam-ayam Bapak,” lanjut Pak Dullah dengan hati-hati. “Ayam-ayam Bapak itu, kan, sering berkeliaran, masuk ke halaman orang, mengais-ngais tanaman... ya, maaf, Pak, kadang juga... buang kotoran di teras orang.”
Mendengar hal itu, Pak Khairul tertawa keras. “Hahaha! Oh, ya ampun! Itu hanya ayam, kok. Nanti kotorannya bisa disapu, kan?”
Tetangga-tetangga lain mulai saling pandang. Mereka bingung harus berkata apa, karena bagi mereka masalah ini cukup mengganggu, tapi Pak Khairul tampaknya tidak menganggapnya serius. Pak Dullah mencoba lagi.
“Bukan cuma soal kotorannya, Pak Khairul, tapi ayam-ayam itu kelaparan, sampai-sampai mereka mengacak-acak tanaman di kebun tetangga. Itu cukup mengganggu...”
Pak Khairul tiba-tiba memasang wajah serius. "Masya Allah, Pak Dullah. Saya rasa ini saat yang tepat untuk membahas soal tanggung jawab sebagai sesama umat manusia. Ini adalah ujian dari Allah. Sabar, sabar itu kuncinya. Kalau ayam itu mengacak-acak kebun, mungkin Allah sedang menguji kesabaran kita semua."
Pak Dullah berusaha keras menahan diri. "Iya, Pak, tapi..."
"Dan soal memberi makan hewan itu, saya sering ceramah, kan? Itu tanggung jawab kita. Kita semua punya kewajiban untuk berbagi rezeki dengan makhluk Allah yang lain. Termasuk ayam-ayam itu! Tapi, memang kadang-kadang saya lupa memberi mereka makan... mungkin ini bagian dari rencana besar Allah!"
Tetangga-tetangga lainnya yang semula diam mulai tergerak. Bu Sumi, yang sudah lama menahan unek-unek, akhirnya angkat bicara. "Pak Khairul, sabar itu sabar, tapi kalau ayam itu tiap hari bikin onar, ya harus diurus, dong! Mereka kan ayam Bapak. Setiap pagi, kami harus bersihkan beranda dari kotoran mereka. Ini bukan soal sabar lagi, Pak."
Pak Khairul terdiam sejenak. Tampak jelas ia sedang memikirkan sesuatu. "Hmm...," gumamnya pelan. "Ya, ya, saya mengerti. Mungkin, mungkin memang saya harus lebih memperhatikan mereka."
Tetangga-tetangga itu akhirnya bisa bernapas lega. Namun, lega mereka tidak berlangsung lama. Pak Khairul, yang tampaknya mulai memahami masalah ayamnya, tiba-tiba kembali bersemangat untuk berceramah.
“Tapi, coba lihat dari sisi lain,” katanya sambil bangkit berdiri. “Ayam-ayam ini adalah pelajaran hidup yang nyata, lho! Bayangkan, mereka kelaparan, tapi tetap berusaha mencari makan. Nah, kita ini, sebagai manusia, jangan sampai kalah dengan ayam! Kita harus berusaha juga, terus berdoa, bekerja keras, jangan mengandalkan rezeki datang begitu saja...”
Tetangga-tetangga yang tadi datang untuk komplain soal ayam, kini terjebak dalam ceramah Pak Khairul yang melantur entah ke mana. Mereka saling pandang dengan tatapan putus asa.
Ceramah Pak Khairul terus berlanjut selama hampir setengah jam, hingga akhirnya Pak Dullah berhasil menyelipkan kalimat penutup.
“Baiklah, Pak Khairul, terima kasih atas wejangan Bapak. Kami sangat menghargai, dan semoga ayam-ayam itu bisa segera diurus lebih baik ya, Pak.”
Pak Khairul tersenyum lebar. “Oh, tentu, tentu. Jangan khawatir, mulai besok, saya akan memberi makan mereka lebih sering. Mungkin saya juga akan memperbaiki kandangnya. Insya Allah!”
Tetangga-tetangga pun pamit pulang dengan perasaan campur aduk. Mereka berhasil menyampaikan keluhan, tapi juga mendapatkan ceramah panjang. Begitulah Pak Khairul, meskipun ia kadang membuat frustasi, ia juga sulit untuk dibenci.
Keesokan harinya, tetangga-tetangga menunggu apakah Pak Khairul benar-benar akan menepati janjinya. Pagi-pagi sekali, Bu Sumi sudah berjaga-jaga di teras rumah, memastikan tidak ada ayam yang akan mengotori halaman rumahnya lagi.
Namun, betapa terkejutnya ia ketika melihat pemandangan di halaman rumah Pak Khairul. Ayam-ayamnya berkeliaran seperti biasa, namun kali ini, Pak Khairul sendiri yang ikut-ikutan berkeliaran sambil membawa seember penuh jagung.
“Woi! Woi! Ayo, makan! Ini jagung buat kalian! Jangan ganggu tetangga lagi, ya!” teriak Pak Khairul kepada ayam-ayamnya yang tampak tak peduli.
Sambil terkekeh, Bu Sumi berpikir, setidaknya usaha Pak Khairul kali ini lebih baik daripada sebelumnya. Meskipun, ia masih ragu apakah ayam-ayam itu benar-benar akan berhenti "berwisata" ke rumah tetangga.
Dan ternyata benar saja, meskipun Pak Khairul rajin memberi makan ayam-ayamnya sejak hari itu, ayam-ayam tersebut tetap saja nakal. Mereka masih sering berkeliaran, meski intensitasnya sudah berkurang.
Tapi setidaknya, kini tetangga-tetangga punya satu hal baru yang bisa mereka tertawakan bersama: setiap pagi, mereka tak hanya mendengar kicauan ayam, tapi juga teriakan Pak Khairul yang panik mengejar-ngejar ayam-ayamnya agar tidak kabur ke kebun tetangga.
“Kampung ini memang tak akan pernah sepi kalau ada Pak Khairul dan ayam-ayamnya,” gumam Pak Dullah sambil tertawa kecil.
Itulah yang membuat kampung mereka selalu terasa hidup. Ada cerita kocak di balik setiap masalah kecil, dan Pak Khairul dengan nasihat-nasihatnya, adalah pusat dari semua kekocakan itu.
***