Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Pahlawan Tanpa Tanda Apa-apa
2
Suka
4,160
Dibaca

Jika guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, apa sebutan yang tepat untuk seorang operator sekolah? Bagi sebagian orang, profesi tersebut masih asing di telinga, meski posisinya bisa dikatakan sebagai jantung sekolah. Saat jantung berhenti bekerja, maka terhentilah pula seluruh kehidupan di dalamnya. Bagaimana jika jantung tersebut berhenti bukan karena organnya yang rusak, melainkan dialah sendiri yang memilih untuk berhenti? Kira-kira, apa penyebabnya?

Dewantara, nama lengkapnya. Akan tetapi, dia lebih suka dipanggil dengan nama Dewa. Seorang pria berusia seperempat abad yang sudah mengabdi sebagai operator sekolah selama hampir tiga tahun. Awalnya, Dewa tidak mau bekerja di sekolah. Melihat nasib honorer sekolah di lapangan, Dewa tidak bisa melihat masa depan yang menjanjikan. Kalaupun ikut tes ASN, lowongan yang disediakan di setiap sekolah tidak lebih dari satu atau dua orang saja. Jika hokinya bagus, dialah yang akan menempati posisi tersebut. Jika cerdas tetapi kurang hoki seperti Dewa, harus berbesar hati mencoba lagi di kesempatan berikutnya walaupun sudah memenuhi nilai ambang batas. Dewa sudah pernah ikut tes ASN satu kali, dan gagal karena kalah nilai.

Sebelum memutuskan bekerja di sekolah, Dewa sudah mengirim beberapa surat lamaran ke berbagai perusahaan. Namun, selalu berakhir dengan surel penolakan.

"Ini gara-gara Kakek!" rutuknya ketika terakhir kali menerima penolakan.

Nama Dewantara adalah warisan dari kakeknya. Inspirasinya adalah Ki Hajar Dewantara yang dijuluki Bapak Pendidikan Nasional. Kakek berharap, Dewa bisa menjadi tokoh pendidikan yang melegenda juga. Namun, Dewa sendiri malah merasa namanya adalah sebuah kutukan. Menurutnya, dia ditolak di berbagai perusahaan karena takdirnya diharuskan bekerja di dunia pendidikan. Bagus kalau jadi menteri pendidikannya. Ini jadi operator sekolah yang ketika dia ceritakan kepada teman-temannya, mereka akan bertanya,

"Hah, apaan, tuh?"

"MLM, bukan?"

"Jobdesk-nya apa aja?"

"Gajinya UMR?"

"Work life balance gak?"

"SK-nya bisa digadein ke bank kayak PNS gak?"

Dan, semua pertanyaan itu tidak ada yang bisa dijawabnya dengan baik. Tidak ada yang familier dengan profesi operator sekolah. Mereka tahunya TU. Ya, memang pekerjaan Dewa juga mirip-mirip TU. Namun, idealnya, TU itu terdiri dari beberapa staf. Berhubung tempat kerja Dewa kekurangan karyawan, semua pekerjaan TU dia kerjakan sendiri. Setiap yang berhubungan dengan TIK dia kerjakan sendiri. Sampai printer rusak pun dia atasi sendiri. Kadang, dia juga suka membantu membetulkan genteng bocor. Sudah begitu, pekerjaannya tidak kenal waktu. Apalagi kalau semester baru dimulai. Mau jam kerja atau bukan, mau hari kerja atau libur, kalau harus kerja ya kerja. Tidak usah tanya uang lemburnya berapa, karena memang tidak ada. Saking bekerja terus-menerus, Dewa sering tidak sadar dengan tanggal merah, seolah-olah kalender di rumahnya sudah berubah jadi tanggal hitam semua. Jadi, kalau ditanya work life balance atau tidak, ya jelas jawabannya tidak. Apalagi kalau dibandingkan dengan gaji yang diterima. Meski begitu, Dewa mana berani mengatakan semua kebenaran pada teman-temannya? Gengsi! Mereka semua bekerja di perusahaan yang gajinya—paling kecil saja—sudah UMR. Gaji Dewa jangankan UMR. Masih bisa isi kuota internet dan beli bensin saja sudah alhamdulillah.

Terlepas dari semua itu, Dewa belajar menjalani pekerjaannya dengan ikhlas. Tidak apa-apa gaji seadanya, yang penting berkah. Dia selalu ingat pepatah guru ngajinya waktu kecil dahulu.

"Bersyukur saja. Nanti nikmatnya Allah lipat gandakan."

Namun, yang namanya manusia tentu saja tidak akan lepas dari bermacam-macam masalah. Badai memang pasti berlalu, tetapi siapa yang jamin kalau dia tidak bawa teman-temannya? Satu masalah terlewati, masalah lain sudah antre di belakang. Apalagi masalah yang satu ini sulit sekali diikhlaskan. Karena setiap kali berhadapan dengan masalah ini, Dewa selalu ingin marah-marah walaupun tidak tahu harus marah pada siapa. Ya, paling tidak dia mengumpat sendiri di ruangannya yang sempit.

Di tempat kerjanya, Dewa tidak punya ruangan khusus. Hanya space kecil yang disekat menggunakan rak buku, bersebelahan dengan ruang guru. Di atas rak buku tersebut, Dewa biasa menaruh ponselnya menggunakan tumpukan buku sebagai sandaran. Tujuannya adalah untuk mencari sinyal. Kalau semesta sedang bersahabat, sinyalnya lumayan kuat untuk dipakai menonton video Youtube dengan kualitas HD. Namun, kalau sedang apes-apesnya, mau kirim pesan Whatsapp saja harus banyak istigfar. Inilah yang menjadi tantangan terbesar Dewa selama menjadi operator sekolah. Apa-apa harus serba online, sedangkan sinyalnya saja jelek minta ampun.

Ya, namanya juga hidup di kampung. Kondisi geografis yang berbukit-bukit khas daerah pegunungan membuat kualitas sinyal antara daerah satu dengan lainnya sangat tidak seimbang. Kadang, masih satu desa pun kualitas sinyalnya bisa berbeda. Hanya karena rumah Dewa tepat berada di kaki bukit, dia tidak kebagian sinyal. Berbeda dengan ibu-ibu pemilik warung seblak, tetangganya di kampung sebelah. Setiap kali Dewa lewat, wanita itu pasti sedang main Tiktok.

"Gaes ayo cobain seblak viral gaes ayo ayo sini jajan."

Dewa sampai hafal setiap kata yang keluar dari mulutnya. Sudah seperti poster iklan yang dibaca berulang-ulang. Bedanya, ini iklannya secara langsung. Sebenarnya, terkadang Dewa merasa kagum dengan perkembangan zaman. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tukang seblak di kampung bisa secanggih pedagang di perkotaan. Berkat teknologi, semuanya menjadi mungkin. Mulai dari promosi, sampai layanan pesan-antar bisa dilakukan melalui ponsel pintar.

Cuma masalahnya, mau sepintar apa pun sebuah ponsel, kalau tidak ditunjang dengan sinyal yang memadai percuma saja. Kurang canggih apa ponsel milik Dewa? Ya, lumayan, lah, di kampung mah. Ponsel android RAM 2 GB juga masih cukup. Masih bisa dipakai untuk menampung pesan dari para atasan yang tersebar di berbagai grup obrolan. Yang kadang-kadang baru bisa dibaca setelah tumpukan pesan mencapai puluhan, bahkan ratusan. Ya, mau bagaimana lagi? Dewa tidak bisa online full 24/7. Kalau sudah di rumah, artinya ponsel Dewa akan mati dalam keadaan hidup. Dewa tidak pernah mematikan ponsel. Hanya saja, semua pesan dan panggilan tidak bisa masuk. Baru mau lewat sudah membentur bukit belakang rumahnya. Dewa baru bisa menerima pesan dan panggilan kalau sedang berada di luar atau di sekolah. Itu pun kalau mau sinyalnya stabil, ponselnya harus ditaruh di atas rak buku. Sedikit saja ponselnya bergeser atau tergelincir, sinyalnya langsung tenggelam ke inti bumi.

Beberapa hari ini, sinyal—yang tadinya sudah jelek—jadi makin jelek. Dewa sendiri tidak tahu penyebabnya apa. Biasanya, sinyal akan memburuk jika cuaca juga sedang buruk. Sekarang malah tidak pilih-pilih cuaca lagi. Sedang panas terik pun, kalau jelek ya jelek saja.

"DAPODIK sudah sinkron?" tanya kepala sekolah saat Dewa mengatur ulang posisi ponsel ke tempat yang lebih tinggi.

"Belum, Pak."

"Oh, begitu? Kata Pak Pengawas cepat disinkronkan, ya."

"Iya, Pak."

Dewa menjawab iya iya saja bukan karena pekerjaannya memang bisa diselesaikan dengan cepat. Dia hanya malas menjelaskan kalau prosesnya tidak semudah itu. Orang aplikasi DAPODIK-nya saja baru rilis tiga hari yang lalu. Untungnya, Pak Kepala sekolah juga tidak banyak pertanyaan lain. Dia memilih kembali ke ruangannya setelah Dewa mengiakan.

DAPODIK atau Data Pokok Pendidikan merupakan sebuah sistem pendataan pendidikan berskala nasional yang di dalamnya mencakup seluruh data di tiap-tiap sekolah. Mulai dari siswa, karyawan, sampai sarana dan prasarana. Selain sebagai pangkalan data, DAPODIK juga berfungsi sebagai tolok ukur kesejahteraan sekolah dan semua orang yang ada di dalamnya. Sebab, bantuan rehab akan mengacu pada data kerusakan bangunan yang diinput di DAPODIK. Begitu juga dengan dana BOS atau Bantuan Operasional Sekolah. Dana yang diterima akan dihitung berdasarkan jumlah siswa yang terdata di DAPODIK. Siswa yang terdata di DAPODIK juga bisa diajukan untuk mendapatkan bantuan PIP atau Program Indonesia Pintar dengan kriteria kelayakan masing-masing. Tunjangan profesi untuk guru juga tergantung validitas data di DAPODIK.

Setiap pergantian semester, aplikasi DAPODIK akan rilis versi baru. Untuk mendapatkan aplikasi terbaru, tentu saja harus mengunduhnya terlebih dahulu. Selesai diunduh, baru bisa diinstal ke dalam laptop. Kalau sudah diinstal, harus dilakukan registrasi agar data yang ada di database bisa masuk ke aplikasi. Registrasinya ada dua macam. Online dan offline. Dewa biasanya menggunakan metode offline karena tidak memerlukan koneksi internet yang terus menerus. Masalahnya, untuk registrasi offline memerlukan prefill yang harus diunduh. Dan, ketika Dewa berusaha mengunduh prefill, usahanya selalu gagal. Sudah lebih dari sepuluh kali percobaan, halamannya tidak mau terbuka. Situsnya tidak bisa dijangkau, katanya. Maklum, baru awal-awal rilis memang servernya suka penuh. Terlalu banyak yang mengakses. Namanya juga seluruh Indonesia.

"Pak Dewa, mau minta tolong," ujar seseorang. Saat Dewa menoleh, seorang pria yang berusia hampir pensiun membawa laptop di tangannya.

"Ini laptopnya gak bisa nge-print. Tolong dibenerin, dong."

Dewa meninggalkan meja kerjanya sebentar untuk mengambil laptop Pak Momon, sang kepala sekolah. Setelah diperiksa, ternyata aplikasi printer-nya tidak terpasang di laptop.

"Ini laptopnya habis diinstal ulang?" tanya Dewa.

"Iya."

"Pantesan."

"Gimana atuh?"

"Ya, harus diinstal lagi printer-nya."

"Tolong atuh diinstalin. Bapak mah gak bisa."

"Siap."

Dewa kembali ke mejanya, menaruh laptop. CD printer ada di kolong meja, biasanya. Namun, tiba-tiba benda itu menghilang. Saat dia tanya kepada guru-guru, seseorang mengaku membawanya ke rumah. Habis dia pakai, katanya. Dewa garuk-garuk kepala. Untung rambutnya cepak, jadi tidak awut-awutan gara-gara dia menggaruk terlalu kencang.

"Harus online lagi," keluhnya.

Ya, mau tidak mau aplikasi printer-nya harus diunduh dari internet kalau mau terpasang sekarang. Akan tetapi, dipikir-pikir kuota internet Dewa tinggal sedikit. Untuk pekerjaan utamanya saja belum tentu cukup. Lebih baik instal printer tidak usah sekarang.

"Sinyalnya jelek banget. Gak bisa download sekarang. Nanti aja pakai CD," kilah Dewa. Ya, tidak sepenuhnya berkilah juga. Kenyataan memang sinyalnya sedang jelek.

Tanpa banyak protes, Pak Momon mengambil kembali laptopnya. Dewa kembali pada pekerjaannya. Percobaan ke sekian, mengunjungi halaman prefill lagi. Masih tidak bisa diakses. Dewa hampir putus asa dan memilih jajan Indomie saja.

"Sekali lagi, deh. Kalau yang ini gagal, mending nyari Indomie," katanya pada diri sendiri.

Seolah tidak rela melihat Dewa mengisi perut, halamannya tiba-tiba terbuka dan Dewa berhasil mengunduh prefill-nya. Tidak mau membuang waktu, Dewa langsung melakukan registrasi. Setelah berhasil, barulah dia beranjak dari duduknya untuk mencari Indomie. Bagaimanapun, urusan perut bukan masalah sepele. Konon, perut adalah otak kedua. Jadi, wajar saja kalau orang lapar tidak bisa berpikir.

Warung langganan Dewa tidak jauh dari sekolah. Tinggal keluar dari gerbang, belok kanan, lalu berjalan sekitar dua ratus meter. Di sekolah Dewa tidak ada kantin. Para pedangan biasanya mangkal di luar pagar. Saat jam istirahat, anak-anak akan berhamburan ke luar untuk mengisi perut mereka. Dewa tidak cocok dengan jajanan anak-anak di depan sekolah yang didominasi peracian. Mulai dari cilok, cilor, cilung, cireng, cimol. Dewa lebih memilih makan Indomie yang diberi toping potongan bala-bala, biar lebih kenyang. Kadang, kalau Bi Yayah punya sayur-sayuran, ditambah sayur juga. Namun, seringnya tidak ada.

"Bibi, kan, bukan tukang bakso. Kalau mau ada sayuran lengkap mah ke tukang bakso," kata Bi Yayah saat Dewa meminta Indomienya ditambah sayur.

Dagangan Bi Yayah memang didominasi dengan gorengan-gorengan. Ada juga macam-macam makanan ringan seperti pilus yang bergelantungan di atas tali rafia layaknya jemuran. Dewa mengambil sebungkus pilus dan menuangkannya ke dalam mangkuk, sampai mangkuk Indomienya terlihat penuh.

"Kapan mau nikah, Wa? Teman-teman kamu udah punya anak semua," celetuk Bi Yayah tiba-tiba. Indomie yang baru sesuap mendadak seret di tenggorokan Dewa.

"Iya, tapi habis punya anak, gak lama dia jadi duda," jawab Dewa sedikit kesal.

"Ya, kalau jadi duda tinggal nikah lagi."

Dewa menghela napas, tidak habis pikir. Dikira menikah itu seperti lotre? Cuma untung-untungan yang kalau gagal tinggal coba lagi.

"Atau kamu belum nikah karena merasa belum mapan?" tanya Bi Yayah. "Karena cuma kerja jadi honorer? Makanya keluar aja dari sekolah kayak si Udin. Kerja di pabrik jadi buruh aja gajinya lebih gede. Kamu cuma menang keren doang, baju rapi, tapi duitnya sedikit. Makanya perempuan gak ada yang mau."

Memang kadang-kadang Bi Yayah ini mulutnya lebih pedas dari seblak Ceu Odah. Dewa sampai kehabisan kata-kata untuk meladeninya. Dihabiskannya sisa Indomie cepat-cepat, agar bisa segera pergi. Percuma dia berdebat dengan emak-emak. Kalah telak. Setelah membayar, Dewa kembali ke sekolah.

Baru juga duduk sambil memeriksa pesan Whatsapp, sudah ada pekerjaan baru lagi.

"Diberitahukan kepada seluruh satuan pendidikan agar segera menutup BKU bulan Juli. Jika sudah menutup BKU dan masih belum terbaca di manajemen, silakan lakukan sinkronisasi ulang. Terima kasih."

Begitulah bunyi pesannya. Di bawahnya, ada sebuah file excel berisi rekap sekolah yang sudah menutup BKU (Buku Kas Umum). Saat Dewa memeriksa sekolahnya, ternyata datanya belum masuk ke manajemen. Padahal, dia sudah melakukan sinkronisasi, walaupun saat itu prosesnya memang agak macet. Wajar saja kalau datanya tidak masuk ke manajemen. Mau tidak mau Dewa melakukan sinkronisasi ulang. Untuk mengecek sinyal sudah stabil atau belum, Dewa mencoba membuka Youtube. Terpantau video bisa diputar dengan lancar. Segera Dewa membuka ARKAS untuk melakukan sinkronisasi.

ARKAS adalah Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah. Seharusnya, ini ada adalah jobdesk bendahara sekolah yang merupakan pengelola dana BOS. Namun, lagi-lagi Dewa yang harus mengerjakan, karena bendaharanya sudah sepuh dan agak gaptek.

Selesai dengan ARKAS, Dewa tidak mau menyia-nyiakan kesempatan karena sinyal sedang lumayan lancar. Dewa langsung melakukan tarik data di DAPODIK. Fungsinya adalah untuk menurunkan data yang ada di manajemen ke aplikasi lokal. Berbeda dengan sinkronisasi yang merupakan proses dua arah—mengirimkan data dari dan ke aplikasi lokal, tarik data dimaksudkan hanya untuk mengambil data yang mengalami perubahan di manajemen. Seperti penambahan siswa baru, misalnya.

Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB, untuk pertama kalinya di sekolah Dewa dilakukan secara online. Dewa pikir, Data siswa yang sudah masuk di aplikasi PPDB akan otomatis masuk ke manajemen, dan dia tinggal melakukan tarik data saja. Namun, setelah dua kali tarik data, tidak ada satu pun nama siswa yang masuk ke aplikasi lokal. Saat dicek di manajemen, ternyata di sana juga tidak ada. Dewa hanya bisa geleng-geleng. Padahal, proses PPDB online-nya pun dia kerjakan sendiri, sebab mayoritas orang tua siswa di sini gaptek dan tidak punya ponsel.

"Kalau gini caranya mah, harus kerja dua kali," gerutu Dewa bicara sendiri.

"Kenapa, Pak Dewa? Ngomel-ngomel sendiri." Bu Anisa, melongokkan kepalanya memeriksa Dewa dari dekat pintu.

Dewa hanya cengengesan sambil menjawab, "Enggak, Bu. Gak apa-apa."

Sekarang, Dewa tidak punya pilihan selain mengecek kembali formulir pendaftaran dan melihat satu per satu data siswa baru. Mencari sekolah asalnya, lalu menarik siswa tersebut satu per satu ke sekolah Dewa. Siswa baru kelas satu ada sekitar dua puluh orang lebih, dan beberapa di antaranya agak sulit ditemukan. Ada yang nama siswanya mirip-mirip, ada juga nama TK-nya yang mirip. Dewa harus teliti melihat NPSN (Nomor Pokok Sekolah Nasional) sekolah tersebut agar tidak salah mengambil siswa milik sekolah lain.

Perjalanan Dewa masih sangat panjang. Setelah semua siswa berhasil ditarik ke manajemen, harus dilakukan sinkronisasi agar datanya masuk ke aplikasi lokal. Baru setelah itu, Dewa bisa mengisi data periodik seperti tinggi dan berat badan, serta lingkar kepala siswa. Data pribadi dan data keluarga biasanya akan mengikuti data dari sekolah sebelumnya, jadi akan otomatis sudah terisi. Kecuali jika ada perubahan, misalnya pindah alamat, atau bertambah saudara kandung. Masalahnya, data-data seperti itu ada di buku absensi yang dipegang oleh wali kelas. Dan, Bu Anisa, selaku wali kelas satu sudah tidak ada di kantor guru. Dewa baru sadar kalau kantor sudah kosong. Rupanya jam pulang sudah berlalu hampir setengah jam yang lalu.

Dewa mencoba mencari buku absensi di mejanya Bu Anisa, tetapi tidak ketemu juga. Akhirnya, dia menyerah dan ikut pulang saja. Mengunci pintu kantor, lalu kuncinya dia bawa. Di sini tidak ada penjaga sekolah, dan Dewalah yang mengerjakan pekerjaannya. Untungnya cuma ada enam kelas dan satu bangunan kantor. Perpustakaan sudah tidak digunakan karena kondisinya rusak berat. Jadi, tidak terlalu banyak pintu yang harus Dewa kunci.

Dengan motor matic usangnya, Dewa melewati jalanan naik turun yang dipenuhi bebatuan. Dahulu, jalanan ini pernah merasakan pengaspalan. Namun, sekarang, aspalnya sudah habis tergerus waktu dan air hujan. Cantika, keponakannya, pernah terjatuh saat belajar menaiki motor. Dia sampai kapok tidak mau memegang motor lagi. Padahal, sebentar lagi dia akan lulus SMA dan berencana kuliah di kota.

"Di kota, kan, banyak Gojek. Gak usah bawa motor sendiri," omel Cantika saat suatu hari ibunya menyuruh belajar motor lagi.

"Tapi kalau bayar Gojek lebih boros daripada bawa kendaraan sendiri."

"Justru kalau bawa kendaraan sendiri malah nambah volume kendaraan dan bikin macet. Ibu enggak lihat di TV, gimana macetnya di kota?"

Teh Ida, ibunya Cantika, tidak bisa berkata-kata lagi. Dia selalu kalah debat kalau bicara dengan anak perempuannya. Padahal, kalau Teh Ida debat dengan Dewa, Teh Ida yang akan menang. Buah yang jatuh tepat di bawah pohonnya, itulah Cantika.

Ngomong-ngomong soal Cantika, Dewa jadi ingin melipir ke warung seblak Ceu Odah. Cantika biasanya suka minta dibelikan, tetapi akhir-akhir ini sudah berhenti. Ibunya yang melarang.

"Kasihan om kamu. Gajinya aja belum dibayar," ujar Teh Ida pada anaknya.

Ya, memang gajian Dewa tidak selalu tepat waktu karena menunggu dana BOS cair. Dalam setahun, pencairan dana BOS dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap satu untuk bulan Januari sampai Maret, tahap dua untuk bulan April sampai Agustus, tahap tiga untuk September sampai Desember. Masing-masing persentasenya adalah 30%, 40%, 30%. Kebetulan, bulan Juni kemarin baru cair tahap dua. Gaji Dewa langsung dibayarkan untuk lima bulan. April sampai Agustus.

Dewa memarkir motornya di depan warung Ceu Odah. Memesan enam porsi seblak. Bukan hanya untuk Cantika, melainkan juga penghuni rumahnya yang lain.

"Baru pulang, Wa?" tanya Ceu Odah saat Dewa duduk di bangku kayu panjang.

"Iya, Ceu."

"Yang lain mah udah dari tadi."

"Iya, saya mah ngunciin pintu dulu."

Sebagai petugas pembawa kunci, Dewa harus berangkat paling awal dan pulang paling akhir. Sudah biasa. Cuma kalau bangun kesiangan, agak repot juga. Pernah Pak Momon sudah menunggu di depan pintu saat Dewa datang. Kalau sudah begitu, Dewa tinggal mengaktifkan mode tebal muka saja.

Ceu Odah memberikan satu kantung plastik hitam agak besar kepada Dewa. Isinya seblak yang dibungkus plastik transparan. Setelah membayar, Dewa bergegas pulang. Awan hitam sudah menggantung, dan angin dingin mulai menusuk kulit. Firasatnya akan segera turun hujan. Bahaya kalau sampai hujan turun sebelum Dewa tiba di rumah. Jaraknya dari sekolah ke rumah sekitar setengah jam. Jalanan tanah yang batu-batunya sudah tidak tersusun rapi pasti akan sangat licin.

Dipacunya gas agak kencang dan tetap berhati-hati. Namun, hujan turun tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Mana hujannya langsung deras seolah-seolah semua air langsung ditumpahkan dari langit. Nahasnya, Dewa lupa membawa jas hujan. Jas hujannya masih menggelantung di tali jemuran di rumah, habis dia pakai kemarin. Sudah begitu, rumah-rumah di desa seperti ini sangat jarang. Jarak antara satu rumah dengan yang lain lumayan jauh. Sulit sekali menemukan tempat berteduh. Dewa baru menemukan sebuah bengkel saat dirinya sudah kuyup. Satu-satunya yang dia khawatirkan adalah laptop di dalam ransel. Saat dia periksa, air sudah rembes ke dalam dan laptopnya pun basah. Dewa meminjam handuk ke pemilik bengkel untuk mengelap laptopnya. Setelah itu, laptopnya dibungkus menggunakan plastik yang selalu dia bawa ke mana-mana. Jaga-jaga kalau hujan seperti ini.

Dewa duduk di bangku bengkel sembari mendengarkan bapak-bapak yang mengobrol sambil ngopi. Hujan tidak ada tanda-tanda berhenti. Malah makin deras disertai guntur dan kilat sesekali. Dewa harus menunggu lama sampai seblaknya bengkak, baru hujannya reda. Itu pun bukan sungguhan reda. Namun, dibandingkan dengan tadi, airnya tidak terlalu deras. Karena hari makin sore, Dewa memutuskan untuk pulang hujan-hujanan saja. Laptop sudah dibungkus plastik, jadi aman, pikirnya.

Tiba di rumah, Dewa memberikan seblak kepada ibunya. Rumah Teh Ida ada di sebelah rumahnya, jadi biar ibunya saja yang antarkan ke sana. Sebelum berganti pakaian, Dewa menyelamatkan laptopnya dulu dari ransel hitam yang airnya sudah mengucur ke lantai. Dia juga menghambil handuk untuk membersihkan air yang tetap rembes ke dalam plastik dan mengenai laptopnya. Dewa tidak punya hair dryer. Kakaknya juga. Di kampung seperti ini jarang sekali yang punya hair dryer, kecuali tukang cukur atau MUA. Jadi, untuk mengeringkan laptonya, Dewa hanya bermodalkan handuk. Dewa memastikan mengelap setiap celah-celah laptopnya.

Setelah memastikan laptopnya kering, Dewa baru bisa pergi mandi dan mengganti pakaiannya. Setelah itu, dia kembali lagi untuk memeriksa apakah laptopnya masih hidup atau tidak. Perasaan Dewa mendadak tidak enak ketika menekan tombol power dan laptopnya tidak mau menyala. Beberapa kali percobaan tetap gagal. Bahkan, saat Dewa menyambungkan laptopnya ke daya listrik pun tetap tidak mau menyala. Ada-ada saja ujian seorang operator sekolah. Mau tidak mau Dewa menggunakan laptop pribadinya sebagai pengganti. Laptop butut zaman kuliah. Selain karena usianya yang sudah tua, spesifikasi yang tidak sesuai standar juga memengaruhi tingkat kelambatan laptopnya. Namun, Dewa tidak punya pilihan lagi.

Besoknya, Dewa segera melapor ke Pak Momon. Laptop inventaris sekolah mati karena kehujanan.

"Tidak apa-apa. Pakai laptop Pak Dewa saja dulu," ujar Pak Momon seolah tanpa beban.

"Tapi laptop saya enggak core i3."

"Tapi masih bisa dipakai, kan?"

"Bisa, sih. Cuma harus sabar."

"Ya, tidak apa-apa. Sabar saja."

Padahal, Dewa ingin sekali ditawari, "Pakai laptop Bapak saja dulu."

Namun, bapak-bapak itu ternyata tidak peka. Dewa terpaksa menggunakan laptop pribadinya dan mengulang pekerjaan dari awal. Sudah digembar-gemborkan oleh admin dinas, bahkan admin pusat, untuk menampung aplikasi DAPODIK minimal spesifikasi laptopnya harus core i3. Akan tetapi, Pak Momon sepertinya lupa. Ya sudahlah, daripada banyak debat, malah membuang banyak waktu. Lebih baik Dewa segera bekerja. Stok sabarnya harus ditambah, karena selain menghadapi sinyal jelek, sekarang harus menghadapi laptop yang lemot juga. Belum lagi habis ini dia juga harus menginstal ulang ARKAS, sambil menunggu laptop inventaris dibawa ke tukang servis oleh Pak Momon. Namun, sebelum itu, DAPODIK lebih utama karena batas waktunya sebentar lagi.

Hari-hari Dewa kini dipenuhi dengan umpatan dan istigfar. Bagaimana tidak? Laptop yang pernah menemani perjuangannya semasa kuliah itu agaknya sudah meminta pensiun. Sering not responding saat dipakai. Tahu-tahu batas cut off BOS sudah makin dekat. Biasanya, batas akhir sinkronisasi DAPODIK untuk penghitungan dana BOS adalah tanggal 31 Agustus. Dan, sekarang sudah tanggal 31, sedangkan Dewa belum berhasil sinkronisasi. Semua data sudah siap, tetapi saat melakukan sinkronisasi, selalu gagal di tengah jalan. Dewa sampai tidak berani pulang ke rumah, dan berniat menginap di sekolah untuk lembur. Walaupun dia agak penakut dan sekolah ini konon angker, tidak menjadi halangan. Orang kalau sudah nekat, tidak akan ada yang bisa menghentikannya.

Segala upaya sudah dilakukan Dewa. Mulai dari pindah tempat mencari sinyal yang lebih bagus, mengecek kualitas sinyal dengan speed test dan mencoba streaming di platform penyedia film, sampai mengirim direct messages ke akun media sosial admin DAPODIK pusat.

"Halo, Min. Ini kenapa, ya, saya gagal sinkron terus? Servernya sedang perbaikan atau gimana? Padahal saya streaming film lancar, kok," tulis Dewa.

"Silakan tunggu beberapa menit, lalu bersihkan history cache browser dan ulangi kembali," balas sang admin setelah Dewa menunggu cukup lama.

Dewa mematuhi arahan. Dilihatnya jam di pojok layar laptop, sudah hampir waktu asar. Dari tadi, dia tidak beranjak dari depan laptop kecuali untuk salat. Masih ada waktu karena azan belum terdengar. Jadi, dia pergi mencari makanan dulu sebelum salat dan kembali ke pekerjaannya. Tidak ada waktu pergi ke masjid, jadi Dewa salat di ruangannya saja. Untuk mengisi perut, mi instan cup yang sudah diseduh dengan air panas dari dispenser di bawanya ke depan laptop, dan Dewa makan sambil bekerja. Mencoba melakukan sinkronisasi lagi sambil berdoa biar lancar. Kadang-kadang sambil istigfar juga memohon ampun, barangkali sinkronisasinya gagal gara-gara dia mengumpat terus akhir-akhir ini.

Sampai hampir magrib, akhirnya proses sinkronisasi berhasil setelah memakan waktu nyaris setengah jam, saking lambatnya. Tidak apa-apa daripada gagal. Namun, Dewa masih belum tenang jika datanya belum terkirim ke server. Jadi, dia mengecek progres pengiriman data di laman DAPODIK. Menyortirnya bersadasarkan provinsi, kabupaten, lalu kecamatan. Terlihat progresnya sudah seratus persen. Jumlah siswa sesuai dengan keadaan. Akhirnya, Dewa bisa menghela napas lega, nyaris mau menangis juga. Sebab, kalau dia gagal sinkronisasi hari ini, dana BOS tahun depan bisa jadi tidak akan cair. Dan, Dewa tidak akan dibayar.

Azan magrib berkumandang. Dewa mengemasi laptopnya dan pindah ke kantor guru. Ruangan yang digunakannya sejak tadi adalah ruangan kelas, karena ternyata di sana sinyalnya lebih bagus. Sekarang, Dewa kembali ke kantor guru. Mau pulang juga tanggung karena sudah capek. Lebih tepatnya capek hati. Dewa lebih memilih bermalam di sekolah. Menjelang tidur, Dewa menaruh ponselnya di atas kusen jendela, sementara dirinya sendiri duduk di sofa sambil memangku laptop, membuka akun Twitter. Di sana, dia menumpahkan segala keluh kesah melalui sebuah utas. Atau, warga Twitter biasa menyebutnya dengan "sambat".

"Benar kata Pak Sapardi Djoko Damono, tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni," tulis Dewa mengawali cuitannya di akun @dewa19000. Dewa bukan lulusan sastra. Dia adalah lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Hanya saja, puisi terkenal itu tiba-tiba terlintas karena terasa sesuai dengan kisah hidupnya.

"Setabah-tabahnya operator sekolah, pada akhirnya akan sambat juga," lanjut Dewa.

"Saya sudah menjadi operator sekolah selama hampir tiga tahun. Dan hari ini, saya memutuskan untuk resign. Kalian tahu apa penyebabnya? Sinyal."

"Ya, sinyal. Bagi seorang operator sekolah, selain laptop, sinyal adalah senjata utama. Tanpa itu, dia bagaikan kucing ompong dikasih tulang."

"Selama ini saya sudah bersabar, sambil berharap suatu hari nanti sinyal di kampung saya akan bagus. Namun, mimpi tetaplah mimpi. Karena ketika saya bangun, kenyataan tetap berkata lain."

"Apa kalian pernah pulang kerja magrib-magrib hanya demi sinyal? Apa kalian pernah duduk di atas batu besar di pinggir jalan hanya demi sinyal? Padahal, orang-orang menyebut batu itu ada penghuninya. Yang jelas, penghuninya adalah saya."

"Saya tidak menyalahkan takdir karena terlahir di kampung. Saya malah bangga karena dengan segala keterbatasan, saya masih bisa menjalankan tugas meski tertatih-tatih."

"Hanya saja, pertanyaannya, apakah saya harus menerima semua ini seumur hidup saya? Tidakkah ada tempat untuk saya mengadu dan meminta bantuan? Jika ada, tolong beritahu saya."

Setelah menekan tombol kirim, Dewa menutup laptop dan membaringkan tubuhnya di atas sofa berselimutkan jaket. Barangkali karena terlalu lelah fisik dan pikiran, Dewa bisa tidur nyenyak meski beralaskan tempat seadanya. Saat dia bangun subuh-subuh, pandangannya langsung tertuju pada laptop di atas meja. Sudah ditekadkan, hari ini dia akan menulis surat pengunduran diri. Walaupun dia tahu, orang tua—terutama kakeknya, tidak akan mengizinkan.

Setelah salat subuh, Dewa bergegas membuka laptop, bersiap menulis surat pengunduran diri. Laman Twitter yang semalam tidak di-close masih menampilkan cuitan yang diunggahnya. Saat me-refresh halaman, Dewa kaget karena notifikasi Twitternya mencapai angka ribuan. Cuitannya mendapat sekitar dua ribuan like, komentar tiga ribuan, dan retweet sampai empat ribu. Berbeda dengan tombol notifikasi, tombol pesan hanya terlihat angka satu. Ada sebuah pesan dari akun bercentang biru. Saat Dewa membaca pesan tersebut, bola matanya sontak membulat.

"Halo, Pak Dewa. Kami dari KorNet, penyedia layanan internet yang bisa menjangkau seluruh wilayah NKRI. Kami sudah melihat cuitan Bapak, dan kami merasa sangat terharu dengan perjuangan Bapak. Jika Bapak berkenan, bisakah Bapak informasikan kepada kami di mana sekolah tempat Bapak bekerja? Kami akan membantu memasang wifi, gratis biaya perangkat dan instalasi, serta gratis biaya langganan selama lima tahun. Kami tunggu kabar baiknya, ya, Pak. Salam hangat."

Saking antusiasnya, kaki Dewa sampai terantuk meja saat dia mencoba duduk bersila di atas sofa. Namun, rasa sakitnya segera menghilang saat laptop sudah di atas pangkuan dan dia mengetik balasan.

"Halo, terima kasih sebelumnya. Saya informasikan, sekolah tempat saya bekerja adalah SDN Pasirnyumput 1, Desa Pasirnyumput, Kecamatan Pasirlumpat, Kabupaten Cigorolong. Sekali lagi terima kasih banyak. Semoga kebaikan bapak/ibu diberikan balasan terbaik oleh Allah SWT."

Setelah itu, Dewa beralih ke kolom komentar. Banyak komentar yang mendoakan kebaikan bagi Dewa. Barangkali, doa merekalah yang telah menembus langit dalam semalam, sampai Dewa langsung mendapat bantuan dari perusahaan wifi. Dengan perasaan haru, Dewa menambahkan sebuah pesan di dalam utas yang sudah diunggah, disertai tangkapan layar pesan yang baru saja dia terima.

"Teman-teman, terima kasih atas doa-doanya. Berkat kalian, akhirnya ada orang baik yang berkenan membantu sekolah saya. Kalau begini, kayaknya saya gak jadi resign hehe. Sekali lagi, terima kasih banyak. Semoga kalian banyak rezekinya."

Barangkali, inilah yang dinakaman rezeki tidak disangka-sangka. Dewa percaya bahwa kasih sayang Allah datang dari segala arah, tetapi dia tidak menyangka bahwa jalannya adalah Twitter.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
🥹🥹
Maaf ya, Dewa, Mimin juga baru tahu ada pekerjaan sebagai Operator Sekolah, soalnya di sekolah Mimin dulu kayaknya enggak ada.
Membaca kisah Dewa ini kita diajak sabar bersama, ya, paling tidak kesabaran Dewa membuahkan hasil.
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Pahlawan Tanpa Tanda Apa-apa
Wina Alda
Cerpen
Sarma's Story
Brigita Tampubolon
Cerpen
Bronze
PRADUGA
Lirin Kartini
Cerpen
Mutasi
Nadya Wijanarko
Cerpen
Semar Mendem
hyu
Cerpen
Cerita Toko Kopi Padma
Ananda Putri Damayanti
Cerpen
FISIKA oh FISIKA
Rian Widagdo
Cerpen
Mamamia
Lany Inawati
Cerpen
Bronze
SAVITRI
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Bronze
Ulang Lahir
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bird (Burung)
Celica Yuzi
Cerpen
Bronze
Pergi Dengan Angin
Viona fiantika
Cerpen
Bronze
Keajaiban Dokter Risna
Syaa Ja
Cerpen
A MAN WITH FEMALE BIRD
dito bagas
Cerpen
Rumah Tangga Tetangga
Priy Ant
Rekomendasi
Cerpen
Pahlawan Tanpa Tanda Apa-apa
Wina Alda
Novel
Anonymous Code
Wina Alda