Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
Pahlawan dengan Manisan
0
Suka
233
Dibaca

Di depan loyang dengan adonan panas yang tak beruap, Gustav mengaduk adonan manis di mangkuk kayu besar di meja dapurnya. Tangannya bergerak pelan, mengikuti ritme yang sudah dia kenal baik. Tepung, gula, dan sedikit ekstrak bunga mawar bercampur menjadi harmoni sederhana. Bau harum mulai memenuhi ruangan kecil itu, tetapi pikirannya melayang jauh—lebih jauh dari kain tipis yang menutupi dapur sederhana yang kini menjadi dunianya.

Dulu, tangannya ini tidak mengaduk adonan. Mereka menyalurkan sihir penyembuhan, menutup luka dalam pertempuran, dan memulihkan nyawa yang hampir melayang. Dia adalah Gustav, Sang Penyembuh Agung, seorang legenda yang dipuja di seluruh penjuru benua. Tak ada prajurit yang tidak mengenal namanya, dan tak ada raja yang tak ingin jasanya. Namun, berat tanggung jawab itu tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.

Dia mengingat malam yang menjadi puncak segalanya—medan perang yang dipenuhi jeritan, darah mengalir seperti sungai. Dia telah mendorong batas kekuatannya, mencoba menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa. Namun, tidak semuanya bisa diselamatkan. Ada wajah-wajah yang hilang di tengah sihirnya yang memudar, mata-mata yang memandangnya dengan harapan terakhir, hanya untuk menemukan ketiadaan.

Setelah hari itu, Gustav memutuskan sudah cukup. Dia berjalan pergi dari dunia yang memujanya, membawa rasa bersalah yang tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Langkah kakinya membawanya ke desa kecil ini, jauh dari ingar-bingar dunia. Kini, dia bukan lagi penyembuh agung, hanya Gustav, penjual makanan manis di pasar.

Dia menuangkan adonan ke dalam cetakan, matanya kosong tapi tangannya tetap bekerja. Hidup ini sederhana, tanpa sorakan atau tuntutan. Tapi dia bertanya-tanya, apakah itu benar-benar cukup?

Pagi itu, kios Gustav diselimuti embusan angin lembut yang membawa aroma manis madu dan bunga-bunga liar. Seorang wanita muda berdiri di depannya, tangannya memegang erat tas kain lusuh. Wajahnya pucat, dengan lingkaran gelap di bawah mata yang menceritakan malam-malam tanpa tidur. Dia tidak berbicara saat pertama kali berdiri di sana, hanya menatap deretan makanan manis yang tersusun rapi di meja Gustav.

"Selamat pagi nona cantik. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Gustav dengan suara lembut. Tatapannya tetap pada wanita itu, mencoba membaca luka yang tidak terlihat.

Wanita itu tersentak dari lamunannya. "Ah, maaf," katanya dengan suara gemetar. "Saya hanya ingin... sesuatu yang bisa membuat saya merasa lebih baik, mungkin." Dia mengalihkan pandangannya.

Gustav mengamati wanita itu dengan hati-hati. Ada kelelahan dalam caranya berdiri, seperti tubuhnya terlalu berat untuk ditopang. Dia mengulurkan tangan ke sebuah kue kecil berbentuk bunga, dilapisi lapisan gula merah muda. “Cobalah ini. Saya membuatnya pagi ini. Katanya, makanan manis bisa mengembalikan semangat.”

Wanita itu menerima kue itu dengan ragu. Dia merogoh tasnya, tetapi Gustav menggeleng. "Gratis. Anggap saja hadiah kecil."

Dia duduk di bangku dekat kios dan menggigit kue itu perlahan. Seketika, ada perubahan yang hampir tak terlihat di wajahnya. Mata yang tadi buram mulai berbinar, punggung yang bungkuk sedikit tegak. Rasa manis memenuhi mulutnya, tetapi lebih dari itu, ada kehangatan yang mengalir ke dadanya, seperti pelukan yang sudah lama dia lupakan.

Wanita itu menahan air mata, menatap kue di tangannya. “Ini… ini aneh. Rasanya seperti lebih dari sekadar makanan.” Dia terdiam, lalu dengan suara hampir berbisik, menambahkan, “Anak saya sedang sakit. Sudah berhari-hari saya mencoba merawatnya, tapi saya merasa tak berdaya. Entah kenapa, setelah makan ini, saya merasa saya bisa mencoba lagi.”

Gustav tersenyum kecil. Dia hanya mengangguk, membiarkan wanita itu menyelesaikan kuenya dengan tenang. Ketika dia pergi, langkahnya lebih ringan, meskipun dunia di sekitarnya tidak berubah.

Gustav memandangnya hingga menghilang di sudut pasar. Angin membawa sisa-sisa aroma manis ke udara. Dia merasakan sesuatu di dadanya, campuran antara rasa lega dan rindu akan masa lalu. Mungkin, pikirnya, dia tidak sepenuhnya meninggalkan perannya sebagai penyembuh.

Siang itu, matahari berada di puncaknya, menyinari pasar yang ramai. Gustav, seperti biasa, berdiri di balik kios kayunya, dengan susunan makanan manis yang terlihat mengundang. Di antara kerumunan, seorang pemuda berambut kusut dan wajah penuh luka muncul, mengenakan baju kulit yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya. Sebilah pedang kecil tergantung di pinggangnya, tetapi goresan dan karat di bilahnya mengungkapkan bahwa pedang itu sudah terlalu tua untuk bertarung.

“Jadi, kau penjual makanan manis yang terkenal itu?” tanya pemuda itu dengan nada nyaring, jelas ingin menarik perhatian orang di sekitarnya. Langkahnya lebar, tetapi kakinya sedikit gemetar.

“Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud, tapi saya satu-satunya penjual makanan manis di sekitar sini.”

“Aku mencari kekuatan,” jawabnya tegas. “Aku ingin menjadi pahlawan! Melindungi orang-orang, melawan monster, dan menulis namaku dalam sejarah. Tapi... saat ini aku hanya lemah. Aku tidak punya pengalaman, dan pedangku ini nyaris tidak bisa memotong kayu bakar.”

Ada keheningan singkat. Mata Gustav meneliti pemuda itu, bukan hanya dari luka-luka di tubuhnya, tetapi juga dari caranya berbicara—ada semangat, tetapi juga keraguan. Dia mengambil sebuah kue berbentuk pedang kecil, dihiasi glasir perak yang bersinar di bawah matahari. “Cobalah ini.”

Pemuda itu memandangi kue itu dengan alis terangkat, tetapi rasa lapar di wajahnya tak bisa dia sembunyikan. Dengan satu gigitan, matanya melebar. Tubuhnya mendadak terasa ringan, seolah energi baru mengalir dalam darahnya. Nafasnya terasa lebih dalam, dan kelelahan yang menghantui otot-ototnya lenyap begitu saja.

“Apa... apa ini?” tanyanya, suaranya setengah tercekik.

“Kata orang yang mengajariku, makanan manis bisa membuat jiwa segar dan percaya diri,” jawab Gustav sederhana. “Datanglah kembali. Aku akan memberimu 1 potong kue gratis jika kamu mau bercerita tentang petualanganmu.”

Pemuda itu terdiam, memandang pedangnya yang kini terasa lebih tajam di tangannya. Dia membungkuk dalam-dalam pada Gustav. “Terima kasih. Aku akan mengingat ini.”

Saat pemuda itu pergi, seorang pria tua bertubuh tegap berjalan tertatih menuju kios Gustav. Rambutnya memutih, dan wajahnya dihiasi kerutan yang mencerminkan berat tahun-tahun yang telah dilalui. Sebuah jubah lusuh menutupi tubuhnya, dan di punggungnya tergantung pedang besar yang terlihat jauh lebih berat daripada yang pantas dibawa oleh seseorang seusianya.

Pria itu berdiri di depan kios Gustav, tubuhnya tegap meski terlihat ada beban berat di setiap gerakannya. “Tadi Aku dengar kau memberi makanan gratis untuk mereka yang mau bercerita? Benarkah itu?”

Gustav mendongak dari susunan kuenya, menatap pria tua itu. “Benar. Tapi cerita yang menarik, bukan sekadar omong kosong.”

Pria itu terkekeh, suara beratnya menggetarkan udara. “Kalau begitu, kau akan menyukai ceritaku.” Dia melepaskan pedang besar dari punggungnya, membiarkannya jatuh ke tanah dengan dentingan berat, lalu duduk di bangku kecil di depan kios.

“Dulu, aku adalah bagian dari Perang Besar. Aku bukan siapa-siapa saat itu, hanya seorang prajurit bayaran yang dipekerjakan untuk menjaga garis belakang. Tapi garis itu runtuh, dan aku tak punya pilihan selain maju ke medan perang,” katanya, memandang jauh ke arah langit yang mulai berubah warna. “Aku melihat teman-temanku gugur satu per satu. Aku bahkan lupa berapa banyak darah yang mengotori pedang ini.”

Gustav mendengarkan dengan seksama, tangannya tetap sibuk merapikan kue di hadapannya. Dia tahu cerita itu, tetapi memilih diam. 

“Aku terus bertarung, bukan karena keberanian, tetapi karena ketakutan. Jika aku berhenti, aku akan menjadi mayat seperti yang lain. Tapi akhirnya, perang selesai, dan aku kembali ke rumah dengan tangan penuh luka. Ternyata, aku tak tahu bagaimana hidup setelah itu.” Pria itu mengangkat tangannya yang gemetar, menunjukkan bekas luka yang mendalam. “Tangan ini, yang dulu memegang pedang dengan bangga, kini hanya berguna untuk menopang tubuh tua yang tak berguna.”

Saat dia selesai berbicara, Gustav mengambil sebuah kue berbentuk perisai kecil, dihiasi glasir emas lembut. Dia menyerahkannya kepada pria itu. “Ini untuk ceritamu. Kau telah melalui banyak hal.”

Pria itu menerima kue itu dengan mata berbinar, lalu menggigitnya tanpa ragu. Wajahnya perlahan berubah, dari penuh rasa pahit menjadi damai. Dia memejamkan mata, seolah merasakan kehangatan yang telah lama hilang kembali mengisi jiwanya.

“Apa yang kau masukkan ke dalam ini?” tanya pria itu, suaranya serak, hampir berbisik.

“Hanya sedikit sihir,” jawab Gustav dengan senyum kecil. 

Pria itu terdiam lama, lalu berdiri dengan perlahan, mengangkat pedangnya kembali ke punggungnya. Dia membungkuk dalam-dalam pada Gustav, lalu berjalan pergi dengan langkah yang lebih ringan. Gustav menatapnya pergi, seorang yang dulu pernah ia sembuhkan di medan perang. Meskipun sekarang dia tidak menyembuhkan luka tebasan, masih ada cara untuk menyembuhkan luka yang tak terlihat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
Pahlawan dengan Manisan
zain zuha
Cerpen
Paradoks
Varenyni
Cerpen
Siapa Penjahat Sebenarnya?
MONSEUR
Cerpen
Nyala Di Kota, Pijar Di Dada
Lily N. D. Madjid
Novel
Diskualifikasi Manusia
Arinimase
Cerpen
Bronze
Perwakilan Rakyat? No! Majelis Binatang? Yes!
Habel Rajavani
Novel
Bronze
kisah kami, kisah kamu?
Dingu
Novel
Bronze
Para Joki
Farida Zulkaidah Pane
Skrip Film
Scripted #2
Oktavia Tri Jayanti
Cerpen
The Storm Catcher
Fidiya Sharadeba
Novel
Bronze
Rama's Story : Krisna - Pandawa Pertama
Cancan Ramadhan
Novel
VLINDER
Yohanna Claude
Novel
Babad Tanah Majapahit
Ma'arif
Cerpen
Bronze
Senggol Tonjok
Feryan Christ Jonathan
Novel
Gold
Catwoman
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Pahlawan dengan Manisan
zain zuha
Cerpen
Beruang dan Serigala
zain zuha
Cerpen
Bahasa Bunga
zain zuha
Cerpen
Burung di Luar Sangkar
zain zuha
Cerpen
Pengantar Maut
zain zuha
Cerpen
Vampir yang Merindukan Rumah
zain zuha
Cerpen
Tiang Nostalgia
zain zuha
Cerpen
Cawan Ajaib
zain zuha
Cerpen
Mie di Kala Hujan
zain zuha
Cerpen
Jejak yang Hilang
zain zuha
Cerpen
Ketika Telepon Terputus
zain zuha
Cerpen
Dua Matahari
zain zuha
Cerpen
Para Pencari Kerja
zain zuha
Cerpen
Satu Astronot Telah Pergi
zain zuha
Cerpen
Buku yang Hilang
zain zuha