Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
PAHIT GETIR CINTA
0
Suka
177
Dibaca

Langit sore bersaput jingga keunguan, memantulkan gradasi warna yang indah di kaca jendela ruang tamu keluarga Pak Handoko. Namun, Mia, dengan seragam SMP putih-biru yang sedikit kusut setelah seharian belajar, sama sekali tak tertarik pada keindahan alam di luar. Pikirannya, dan seluruh indranya, tersita oleh drama yang sedang dimainkan di depannya.

Abang Rio, mahasiswa semester lima yang menjabat Ketua BEM, mondar-mandir seperti setrikaan di karpet ruang tamu, sementara jemarinya sesekali mengacak rambut hitamnya yang biasanya rapi. Wajahnya ditekuk, urat lehernya menegang, dan setiap desahan yang keluar dari mulutnya terdengar seperti ledakan frustrasi.

"Mia, sini deh! Abang mau cerita, pusing banget kepala Abang!" Rio berhenti tiba-tiba di depan Mia yang baru saja meletakkan tas di sofa. Ia menatap adiknya dengan mata yang memancarkan keputusasaan tingkat dewa.

Mia, gadis SMP kelas dua yang berjiwa observatif, hanya melirik Abangnya malas. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan. Ini pasti tentang Cindy, pacar Abang Rio yang posesifnya kelewatan.

"Apa lagi, Bang?" tanya Mia, menekan nada jengkelnya agar tidak terlalu kentara. Ia mendudukkan diri di sofa, mengambil posisi yang nyaman untuk mendengarkan—atau lebih tepatnya, menahan diri untuk tidak memutar bola mata.

"Cindy, Mia! Cindy lagi!" Rio menjatuhkan dirinya di samping Mia, langsung membanjiri adiknya dengan keluh kesah. "Masa ya, Abang lagi rapat penting di sekretariat BEM, bahas program kerja yang bakal jadi *legacy* kita, eh, dia tiba-tiba telepon! Bilang kalau Abang itu enggak pernah ada waktu buat dia, selalu sibuk BEM. Terus dia teriak-teriak di telepon, Mia! Suaranya sampai kedengeran ke seluruh ruangan!"

Mia menahan napas. Ia membayangkan para anggota BEM, dengan wajah serius, tiba-tiba harus mendengar teriakan histeris dari telepon ketua mereka. Pasti memalukan sekali.

"Terus?" Mia pura-pura tertarik, meski dalam hati ia sudah memprediksi alur cerita selanjutnya.

"Terus ya dia bilang kalau Abang itu lebih sayang BEM daripada dia. Dia ngancam mau putus kalau Abang enggak keluar dari rapat dan langsung jemput dia di depan kampus. Kan gila!" Rio menggebrak sandaran sofa, membuat Mia sedikit terlonjak. "Malu banget Abang, Mia! Semua orang lihat Abang cuma bisa cengengesan sambil minta maaf ke anggota!"

Mia hanya manggut-manggut. Baginya, kisah semacam ini sudah menjadi tontonan rutin. Cindy, gadis manis dengan senyum memikat, punya sisi gelap yang Mia sebut "ratu drama posesif." Mia tidak mengerti, bagaimana bisa Abang Rio yang berwibawa di kampus, luluh lantak di hadapan pacarnya?

"Udah, Bang. Putusin aja. Kan beres." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Mia, sebuah solusi paling logis di matanya.

Rio melotot. "Enak aja ngomong! Kan Abang sayang dia, Mia! Lagian, dia kalau lagi enggak ngambek, manis banget kok." Rio merosotkan bahunya, ekspresi wajahnya kembali galau. "Tapi ya itu, setiap kali Abang ada kegiatan, pasti berantem. Pusing Abang!"

Mia hanya menggelengkan kepala. Sayang? Dengan harga diri Abangnya yang diinjak-injak begitu? Mia tidak mengerti logika cinta orang dewasa. Baginya, cinta itu seharusnya membahagiakan, bukan membuat seseorang frustrasi dan kehilangan muka.

Belum sempat Rio melanjutkan dramanya, pintu rumah depan terbuka. Sosok Kak Saras, kakaknya yang sulung, muncul dengan senyum lebar dan tas jinjing penuh belanjaan. Namun, senyum itu langsung pudar begitu ia melihat Mia dan Rio di ruang tamu.

"Mia, Abang Rio, ada Andre di teras, Kakak lupa enggak bawa minuman sama camilan buat dia," kata Saras, tanpa basa-basi. Matanya berbinar memohon. "Kamu bisa tolong belikan enggak? Itu uangnya ada di dompet Kakak, di kamar."

Mia menghela napas panjang. Begitu pulangnya Kak Saras. Begitu mulainya drama yang lain. Andre, pacar Kak Saras, adalah tipe cowok cuek yang irit bicara, tapi punya aura "keren" di mata Kak Saras. Dan Kak Saras, demi Andre, rela melakukan apa saja, termasuk memanfaatkan adiknya sendiri.

"Nanti ya, Kak. Mia capek." Mia mencoba menolak halus. Aroma masakan Mama yang tercium dari dapur jauh lebih menarik daripada drama pacaran kakak-kakaknya.

"Ayolah, Mia. Sekali aja. Nanti Kakak kasih uang jajan tambahan deh," bujuk Saras, matanya masih memohon, tangan sudah sibet mencari dompet di tasnya. "Kakak enggak enak kalau Andre enggak dikasih minum. Dia kan baru pulang kerja, pasti haus."

Rio, yang tadinya asyik dengan kegalauannya, kini mengangkat kepalanya. "Kak Saras, masa Mia lagi capek disuruh-suruh sih? Beli sendiri aja lah."

"Ih, Abang! Kan Kakak baru pulang belanja, berat bawaannya," balas Saras, sedikit sewot. "Udah, Mia aja. Mia kan kuat!"

Mia akhirnya pasrah. Ia tahu, jika sudah begini, akan sulit menolak Kak Saras. Ia hanya akan membuang energi berdebat. Dengan langkah gontai, ia menuju kamar Kak Saras untuk mengambil uang. Pikirannya dipenuhi gambaran Abang Rio yang galau karena Cindy, dan Kak Saras yang rela merepotkan adiknya demi Andre. Cinta. Sebuah kata yang di benak Mia, sepertinya cuma bikin pusing dan drama.

***

Mia kembali dari warung kelontong dengan tangan penuh kresek berisi minuman dingin dan beberapa bungkus keripik serta wafer. Kakinya pegal, hatinya dongkol. Ia mengintip ke teras, melihat Kak Saras dan Andre sedang duduk berdua. Andre asyik dengan ponselnya, sementara Kak Saras, dengan senyum manis yang dipaksakan, berusaha memulai percakapan yang tampaknya hanya ditanggapi dengan gumaman singkat.

"Tuh, Kak," kata Mia, meletakkan belanjaan di meja teras dengan sedikit sentakan. Ia berharap suaranya cukup keras untuk didengar Andre, setidaknya untuk menunjukkan usahanya.

"Makasih, Mia sayang," ujar Saras, tersenyum lebar. Ia segera mengambil minuman dingin dan menyodorkannya pada Andre. Andre hanya mengangguk pelan, tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar ponsel.

Mia mendengus dalam hati. "Sayang" hanya kalau disuruh-suruh. Mia lantas masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur untuk mengambil air minum dingin. Ibunya, Mama Nurma, sedang sibuk di depan kompor, menyiapkan makan malam. Aroma tumisan sayur dan ayam goreng menggoda hidungnya.

"Tumben Mia pulang sudah sore?" tanya Mama Nurma tanpa menoleh, tangannya cekatan membolak-balik masakan.

"Tadi disuruh Kak Saras belanja buat Andre, Ma," jawab Mia jujur, mencicipi kuah sayur di panci. "Dia lagi di teras sama Andre."

Mama Nurma menghela napas. "Oh, jadi begitu. Ya sudah, lain kali kalau Kak Saras nyuruh-nyuruh kamu, tolak saja. Mama enggak mau kamu jadi babu kakakmu." Ada nada tegas dalam suara lembut Mama.

Mia tersenyum tipis. Setidaknya ada Mama yang mengerti perasaannya. Ia mengisi gelas dengan air putih, meneguknya hingga tandas. Rasa dahaga dan dongkol bercampur aduk di tenggorokannya. Ia kemudian bergabung dengan Mama di dapur, membantu memotong-motong bumbu dan mencuci piring.

Tiba-tiba, suara menggelegar dari ruang tamu mengagetkan mereka.

"MIA! MAMA! KERIPIK ABANG HILANG LAGI!"

Itu suara Abang Rio. Suaranya terdengar sangat kesal, seolah-olah dunia baru saja kiamat. Mia dan Mama Nurma saling pandang. Mia langsung tahu apa yang terjadi.

Mereka berdua bergegas ke ruang tamu. Di sana, Rio berdiri di depan toples keripik kentang kesayangannya yang kini kosong melompong. Toples itu diletakkan di atas meja, tapi terlihat bekas remah-remah di sekitarnya. Rio menatap toples itu seperti menatap pengkhianat.

"Siapa yang habiskan keripik Abang?" Rio menoleh, matanya menuduh Mia. "Mia ya?"

"Bukan Mia, Bang!" Mia membela diri. "Mia baru pulang! Lagian, Abang kan tahu, Mia enggak suka keripik kentang itu."

Mama Nurma mendekat, mengamati toples kosong itu. "Saras?" tanyanya lembut, tapi ada nada ketegasan yang tak terbantahkan.

Rio mengangguk lesu. "Pasti Kak Saras, Ma. Dia pasti makan sama Andre. Kemarin Abang baru beli, padahal baru Abang makan separuh!"

Mia menyambung, "Iya, Ma. Kak Saras itu memang begitu. Sering banget ambil barang Abang sama Mia tanpa izin. Padahal Abang udah kasih tahu berkali-kali buat minta izin dulu."

"Kemarin roti sobek Mia juga hilang, Ma," tambah Mia, mengungkit "kejahatan" Saras yang lain. "Mia yakin Kak Saras yang makan."

Mama Nurma menatap kedua anaknya bergantian, lalu menghela napas panjang. Ia mengusap rambut Rio lembut. "Ya sudah, Abang. Mama nanti yang bicara sama Kak Saras. Kamu juga, Mia, kalau Saras nyuruh-nyuruh kamu, bilang tidak. Kamu berhak menolak kalau memang merasa tidak adil."

Mia merasa divalidasi. Ada Mama yang mendukungnya. Ada Abang Rio yang juga punya keluhan serupa. Ini bukan cuma Mia yang merasa diperlakukan semena-mena oleh Kak Saras. Rasa kesal terhadap Kak Saras memang meningkat, namun Mia juga belajar bahwa ada cara untuk mengatasi masalah dengan komunikasi dan ketegasan, meskipun ia sendiri masih sering ragu untuk melakukannya.

Rio masih menggerutu tentang keripik kentangnya yang tak berdosa. "Ini nih, Ma, gara-gara dia ada pacar, jadi makin sering merepotkan kita."

Mia mengangguk setuju. Pacaran. Lagi-lagi biang keroknya.

***

Malam harinya, setelah makan malam, Kak Saras akhirnya pulang. Wajahnya terlihat berseri-seri, seolah tidak ada dosa yang ia perbuat. Mia, yang sedang mencuci piring di dapur, hanya meliriknya sinis.

"Asiiiik, Kak Saras senang banget nih!" goda Rio yang sedang lewat. "Baru ditembak lagi ya, Kak?"

Saras hanya tertawa geli, tapi ia buru-buru masuk ke kamarnya. Mia segera menyelesaikan tugasnya, lalu, dengan dalih hendak meminjam buku pelajaran Kak Saras, ia mengikuti kakaknya ke dalam kamar. Sebenarnya, Mia punya niat lain: menggali lebih dalam tentang pandangan Kak Saras mengenai hubungan romantisnya yang absurd itu.

"Kak, Mia mau pinjam buku sejarah kamu," kata Mia, berdiri di ambang pintu kamar Saras. Saras sedang duduk di meja belajarnya, memeriksa ponsel dengan senyum-senyum sendiri.

"Oh, ambil aja, Mia. Di rak sana," jawab Saras santai, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

Mia mengambil buku yang ia maksud, lalu berpura-pura membacanya, sambil melirik Kak Saras. "Kak, kamu itu kok betah banget sih pacaran sama Andre? Dia kan cueknya kelewatan, terus nyuruh-nyuruh Mia terus." Mia memulai aksinya.

Saras mengangkat kepala, senyumnya masih mengembang. "Ih, Mia! Kok ngomong gitu? Andre itu cueknya keren tau. Cowok kan memang begitu, Mia. Kalau terlalu perhatian malah *clingy*."

Mia mengernyitkan dahi. "Keren? Keren apanya? Keren karena bikin kamu galau tiap hari?"

Saras terkekeh. "Kamu belum ngerti cinta, Mia. Cinta itu datang karena terbiasa. Awalnya memang cuek, tapi nanti juga luluh sendiri." Ia mengedikkan bahu, seolah itu adalah hukum alam yang tak terbantahkan. "Lagian ya, Andre itu punya karisma. Dia kan perokok, cowok perokok itu kesannya *gentle* gitu."

Mia menahan napas. *Gentle*? Bagi Mia, rokok cuma bikin napas bau dan paru-paru hitam. Bagaimana bisa itu dianggap *gentle*? "Jadi, Kakak suka Andre karena dia perokok?" tanya Mia, mencoba memahami logika Kak Saras.

"Ya enggak juga sih. Tapi itu salah satu poin plusnya," kata Saras, kembali tersenyum-senyum melihat ponselnya. "Eh, btw, Mia, roti sobek kamu kemarin enak banget deh. Kakak nyomot sedikit ya. Hehe."

Mia membelalakkan mata. "Sedikit apanya, Kak? Habis satu bungkus! Itu roti sobek kesukaan Mia, tahu! Kakak enggak minta izin dulu lagi!"

Saras hanya terkekeh, tidak merasa bersalah sedikit pun. "Alah, kan Kakak sering beli juga. Nanti Kakak ganti deh, kalau Andre traktir lagi."

Mia mendesah. "Ini nih, Ma, yang Mia maksud. Kak Saras itu cuma mikirin diri sendiri kalau sudah berhubungan sama pacarnya." Pikirannya berputar. Andre yang cuek dan egois, Kak Saras yang rela dimanfaatkan dan sering melanggar batas kenyamanan adik-adiknya demi pacarnya. Pandangan Kak Saras tentang cinta yang begitu dangkal, meremehkan, dan bertentangan dengan nilai-nilai Mia, semakin memperdalam disilusi Mia terhadap pacaran. Mia semakin yakin bahwa pacaran seperti yang dilakukan Kak Saras dan Abang Rio hanya membawa kerumitan, kekonyolan, dan bahkan tindakan yang tidak jujur seperti mengambil barang orang lain tanpa izin. Ia mulai menjauhkan diri secara emosional dari ide pacaran serupa. Baginya, itu hanya akan menghabiskan waktu dan energi.

Mia memutuskan untuk segera keluar dari kamar Kak Saras. Buku sejarah yang ia pinjam terasa berat di tangannya, seberat kebingungannya tentang fenomena "cinta" yang begitu rumit dan tak masuk akal.

***

Dua hari kemudian, Mia sedang membantu Mamanya menyiapkan masakan di dapur. Aroma bawang putih goreng dan cabai yang baru saja diulek memenuhi udara. Mama Nurma, dengan celemek bermotif bunga, tampak santai saat mengupas kentang.

"Mia, Mama mau tanya, kamu di sekolah sudah punya pacar belum?" tanya Mama Nurma, suaranya pelan dan penuh perhatian.

Mia terlonjak. Pertanyaan itu, meskipun ia duga akan datang suatu saat, tetap membuatnya sedikit kaget. Ia memotong wortel dengan gerakan cepat, mencoba menyembunyikan pipinya yang sedikit memerah.

"Enggak, Ma. Belum," jawab Mia singkat. Ia mencoba memilah-milah kata di benaknya. Ini kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.

Mama Nurma menoleh, menatap Mia dengan senyum lembut. "Lho, kok belum? Teman-teman kamu pasti banyak yang sudah punya pacar, kan? Kamu kan manis, pintar."

Mia meletakkan pisau, menghela napas. "Mia malah *males* pacaran, Ma."

Mama Nurma mengangkat alis, menunjukkan ekspresi kaget sekaligus penasaran. "Kenapa begitu, Nak? Kenapa malah malas?"

Mia menatap Mamanya. "Ya itu, Ma. Mia lihat Abang Rio sama Kak Saras. Pacaran kok isinya drama terus. Abang Rio setiap hari galau karena Cindy yang posesif. Kak Saras setiap hari dimanfaatkan Andre, terus kita juga ikut repot. Keripik Abang hilang, roti sobek Mia hilang. Pokoknya Mia lihat pacaran itu cuma bikin pusing, bikin berantem, terus buang-buang waktu aja."

Ia melanjutkan, mengingat pengalaman singkatnya menyukai teman SMP-nya dulu. "Dulu sih Mia sempat suka sama Fandi, teman sekelas Mia. Ganteng, pintar juga. Tapi Mia lihat dia lagi dekat sama teman Mia yang lain. Ya sudah, Mia enggak mau pusing, Mia mundur aja. Mia mikir, kalau memang jodoh kan nanti juga ketemu lagi. Kalau enggak, ya sudah."

Mama Nurma mendesah lega, namun juga sedikit khawatir. "Mama senang kamu punya pemikiran seperti itu, Nak. Mama juga enggak mau kamu pacaran cuma buat main-main, apalagi sampai mengganggu sekolah." Mama menepuk bahu Mia lembut. "Tapi, cinta itu kan juga indah, Mia. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan merasakannya sendiri."

Mia hanya mengangguk, tidak terlalu yakin dengan pernyataan Mamanya. Baginya, "cinta" seperti yang ia saksikan di rumah hanya penuh dengan kerumitan dan kekonyolan. Ia kini memiliki keyakinan yang kuat untuk memprioritaskan pendidikan dan pengembangan diri. Ia mentransformasi rasa "malas" menjadi tekad untuk membangun fondasi diri yang kokoh sebelum menemukan "calon suami" yang sesuai, bukan sekadar pacar yang menimbulkan drama. Ia bertransisi dari pengamat pasif menjadi individu dengan arah dan prioritas yang jelas.

Pengalaman singkatnya dengan Fandi mengukuhkan keputusannya. Ia tidak ingin lagi merasakan sakit hati atau kerumitan emosional hanya karena sebuah perasaan yang belum tentu berbalas. Ia lebih memilih fokus pada dirinya sendiri, pada hal-hal yang bisa ia kontrol, seperti nilai-nilai di sekolah atau keterampilannya. Mia merasa lebih dewasa dalam menyikapi perasaannya sendiri dan menolak tekanan untuk mengikuti tren pacaran remaja yang populer di kalangan teman-temannya. Ia akan menunggu sampai ia benar-benar siap, dan sampai ia menemukan seseorang yang bisa menghargainya, bukan hanya membuatnya pusing kepala.

***

Beberapa hari kemudian, Mia kembali menjadi pengamat drama cinta di sekitarnya. Kali ini, bukan hanya kakak-kakaknya, tapi juga sahabat karib Kak Saras, Putri, ikut meramaikan.

Mia sedang duduk di teras rumah, membaca buku pelajaran IPS, ketika Kak Saras dan Putri bergabung di sampingnya. Mereka berdua, dengan wajah ditekuk, sibuk mengeluhkan pacar masing-masing.

"Andre itu ya, Put, dia itu 'ngaretnya' minta ampun!" keluh Saras, mengibaskan tangannya frustrasi. "Masa kita janjian jam empat, dia baru sampai jam enam, alasannya ban kempes lah, macet lah. Padahal dia cuma main game di rumah!"

Putri mengangguk-angguk setuju, matanya melotot. "Sama banget sama Dimas, Ras! Pacar aku juga 'belagu' banget. Aku minta ditemani ke pasar, dia bilang sibuk. Eh, ternyata dia lagi nongkrong sama teman-temannya! Aku kan jadi kesal!"

Mia hanya bisa menahan senyum geli. Ia menenggelamkan diri lebih dalam ke dalam buku IPS-nya, berpura-pura tidak mendengar. Namun, telinganya tetap mencuri dengar setiap keluhan yang keluar dari mulut Kak Saras dan Putri. Drama itu, Mia menyadari, tampaknya universal dalam dunia pacaran remaja.

Tak lama kemudian, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Andre, dengan helm di tangan, turun dari motornya dengan wajah datar. "Maaf, ya, Yang. Ban motor kempes tadi," katanya, suaranya cuek.

Saras langsung bangkit, menatap Andre dengan mata menyala. "Ban kempes? Ban kempes lagi? Kemarin juga ban kempes! Kamu kira aku ini anak kecil, Dre?"

Pertengkaran kecil pun pecah di depan mata Mia. Andre tetap datar, Saras terus mengomel. Mia hanya bisa menggelengkan kepala. Bagaimana bisa mereka bertahan dalam hubungan yang seperti itu?

Di sekolah pun, drama serupa terjadi, meskipun tidak melibatkan pertengkaran. Mia sedang berjalan pulang sendirian setelah les tambahan, ketika Pinoy, teman sekelasnya yang lumayan populer, berjalan mendekatinya.

"Mia, kamu pulang sendiri?" tanya Pinoy, senyumnya ramah. "Mau bareng aja? Aku bawa motor kok."

Jantung Mia sedikit berdesir. Pinoy itu memang tampan dan baik. Beberapa teman Mia bahkan terang-terangan mengatakan mereka cemburu karena Pinoy sering mendekati Mia. Namun, Mia teringat semua drama yang ia saksikan. Ia langsung membayangkan Abang Rio dan Kak Saras yang akan meledeknya habis-habisan jika ia pulang bareng Pinoy. Atau, lebih parah lagi, Pinoy akan jadi drama berikutnya dalam hidupnya.

"Eh, enggak usah, Pinoy," tolak Mia halus, mencoba tersenyum ramah. "Aku naik angkot aja. Lagian, Kakak-Kakakku nanti pada rese kalau aku pulang bareng cowok. Nanti diomelin Mama juga." Mia menggunakan alasan keluarga sebagai tamengnya.

Pinoy terlihat sedikit kecewa, tapi ia mengangguk mengerti. "Oh, begitu. Ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya, Mia."

"Kamu juga, Pinoy," balas Mia, melambaikan tangan.

Mia menghela napas lega setelah Pinoy pergi. Penolakan terhadap Pinoy menunjukkan konsistensinya dalam menghindari drama yang tidak perlu, meskipun ada potensi "pacaran santai" dari teman sebayanya. Mia semakin kokoh dengan pendiriannya. Tidak ada pacaran, tidak ada pusing, tidak ada drama. Lebih baik fokus pada dirinya sendiri.

***

Siang itu, terik matahari membakar kulit, membuat aspal jalanan menguapkan panas. Mia dan Antin, teman sebangkunya, baru saja keluar dari salah satu toko buku di pusat kota. Mereka berencana mencari es krim untuk mendinginkan tenggorokan.

"Antin, kita ke kafe itu aja yuk? Katanya es krim di sana enak banget," usul Mia, menunjuk sebuah kafe modern dengan fasad kaca yang bersih.

"Boleh, Mia! Yuk!" Antin dengan antusias menyetujui.

Namun, saat mereka mendekati kafe itu, suara bising yang familiar mulai terdengar. Suara itu meninggi, diikuti suara bentakan. Mia dan Antin saling pandang, lalu tanpa sadar mempercepat langkah.

Dan di sanalah, di depan kafe, terlihat Abang Rio dan Cindy sedang terlibat pertengkaran yang sengit. Wajah Rio memerah, tangannya terangkat ke udara seolah frustrasi. Cindy, dengan rambut sebahu yang berantakan, air mata membasahi pipi, terus memarahi Rio. Beberapa pasang mata di sekitar kafe sudah menatap mereka dengan penasaran.

"Abang Rio?" bisik Antin, matanya membelalak kaget.

Mia hanya bisa menelan ludah. Ini adalah puncak drama yang paling intens, memalukan, dan publik yang pernah ia saksikan.

"Kamu tuh ya, Rio! Aku udah bilang berkali-kali! Jangan pernah dekat-dekat sama mantan kamu itu! Sekarang kamu mau studi banding ke Jogja, tempat mantan kamu kuliah?! Kamu sengaja kan?!" teriak Cindy, suaranya melengking.

Rio mencoba menenangkan Cindy, tangannya meraih lengan gadis itu. "Cindy, dengerin Abang dulu! Studi banding itu urusan BEM, Sayang! Abang sebagai ketua harus ikut! Dan mantan Abang itu, dulu udah lama banget! Sekarang Abang sama kamu!"

"BOHONG!" Cindy menepis tangan Rio dengan kasar. "Kamu bohong! Kamu pasti mau balikan sama dia kan? Ngaku aja! Kalau memang kamu lebih pilih dia, ya sudah! Kita putus aja sekarang!"

Mata Rio membelalak. "Cindy! Jangan main-main! Kamu tahu Abang sayang kamu!"

"Sayang apa?! Kamu itu enggak pernah sayang sama aku! Kamu cuma sayang BEM kamu, sayang mantan kamu! Aku benci kamu, Rio!"

Cindy, tanpa pikir panjang, memutar tubuhnya dan berlari ke arah jalan raya. Tak lama kemudian, sebuah ojek online melintas, dan Cindy langsung menghentikannya, naik ke jok belakang, lalu pergi begitu saja.

Rio berdiri mematung di pinggir jalan, wajahnya pucat. Ia tampak sangat frustrasi. Ia mengacak rambutnya lagi, lalu dengan langkah gontai, ia berusaha mengejar ojek online yang sudah melaju jauh. Namun, ia kalah cepat. Ojek itu sudah menghilang di balik keramaian lalu lintas.

Mia dan Antin bersembunyi di balik pot bunga besar, menyaksikan seluruh adegan itu. Mia merasa "ilfil" (ilang feeling) dan semakin mantap bahwa pacaran seperti itu tidak diinginkannya. Ia melihat langsung betapa hubungan posesif bisa menghancurkan reputasi seseorang, menimbulkan stres, dan membuat seseorang frustrasi hingga kehilangan akal sehat di tempat umum. Abang Rio, yang biasanya berwibawa dan tenang, kini terlihat seperti orang linglung, putus asa di tengah keramaian.

"Gila, Mia! Kakakmu itu... kok bisa ya begitu sama pacarnya?" bisik Antin, masih terpaku dengan apa yang mereka saksikan.

Mia hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Yang ia tahu, pemandangan tadi semakin mengukuhkan keyakinannya. Pacaran? Tidak, terima kasih.

***

Malamnya, suasana di rumah terasa hening. Abang Rio baru pulang setelah berjam-jam menghilang, mungkin menenangkan diri atau mencari Cindy. Wajahnya lesu, matanya sembab, seolah baru saja menangis. Ia langsung menuju kamarnya, mengunci diri.

Mia, yang sedang menonton televisi di ruang keluarga, mendengar suara langkah kaki Rio menuju dapur. Ia mengikuti, penasaran. Rio sedang membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin, lalu meneguknya dengan cepat.

"Abang enggak apa-apa?" tanya Mia pelan, mendekati Rio.

Rio menoleh, wajahnya terlihat semakin hancur. Ia mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri di kursi makan. "Pusing, Mia. Pusing banget."

Mia duduk di hadapannya. "Cindy lagi?"

Rio mengangguk. "Dia putusin Abang, Mia. Bilang dia enggak mau lagi sama Abang." Suara Rio terdengar bergetar. "Abang udah berusaha telepon dia berkali-kali, tapi enggak diangkat. Abang ke rumahnya, tapi dia bilang enggak mau ketemu. Dia beneran marah banget."

Mia tahu, Abangnya benar-benar mencintai Cindy, meskipun hubungan itu penuh drama dan menguras emosi. Ia meraih tangan Rio, menggenggamnya lembut. "Sabar, Bang. Nanti juga baik-baik lagi."

Rio menatap Mia, matanya kosong. "Kamu tahu kan, Mia, betapa ribetnya kalau cewek lagi ngambek? Abang harus bujuk, harus minta maaf, harus beliin ini itu. Padahal Abang enggak salah apa-apa. Cuma mau studi banding buat BEM."

Mia merangkul bahu Abangnya, memberikan simpati tulus. Tapi, di balik simpati itu, ada keyakinan kuat yang semakin kokoh dalam dirinya. Ia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri, dan merasakan dampaknya secara tidak langsung, betapa pacaran bisa merenggut kedamaian, menimbulkan stres, dan menghancurkan harga diri seseorang.

"Makasih ya, Mia," kata Rio, menyandarkan kepalanya di bahu adiknya.

Mia hanya mengangguk.

Beberapa hari kemudian, kehidupan di rumah kembali normal, meskipun Abang Rio masih terlihat sedikit murung. Kak Saras tetap sibuk dengan Andre-nya, dan sesekali masih "meminjam" barang tanpa izin. Namun, Mia sudah tidak terlalu terganggu. Ia sudah menemukan jalan hidupnya sendiri.

Suatu sore, Mia membantu Mamanya memilah bumbu dapur. Aroma rempah-rempah memenuhi ruangan. Mama Nurma sedang mengajari Mia perbedaan antara jahe dan kencur.

"Mia, kamu ini sudah besar ya," kata Mama Nurma, sambil tersenyum lembut. "Mama senang kamu punya prioritas. Jangan sampai pendidikanmu terbengkalai karena hal-hal yang tidak penting."

Mia menatap Mamanya, lalu tersenyum lebar. Ia merasa siap untuk mengungkapkan tekadnya yang sudah bulat.

"Iya, Ma," kata Mia, suaranya mantap dan penuh keyakinan. "Mia janji bakal jadi gadis yang berprestasi, sekolah yang pintar, mandiri, dan punya pekerjaan yang bagus." Ia menatap mata Mamanya, lalu melanjutkan, "Nanti, kalau Mia sudah sukses, sudah siap segalanya, baru Mia akan cari 'calon suami' yang baik, yang bisa menghargai Mia, bukan cuma pacar yang bikin pusing dan drama, Ma. Biar nanti Mia bisa kenalin dia ke Mama dan Papa dengan bangga, sebagai calon Imam keluarga, bukan sekadar 'pacar' yang bikin Mama dan Papa khawatir."

Mama Nurma terdiam sejenak, menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian, ia tersenyum, senyum bangga yang tulus. "Itu baru anak Mama."

Mia merasakan kelegaan dan kebahagiaan. Ia kini memiliki visi yang jelas tentang masa depannya, jauh dari kerumitan romansa remaja yang disaksikannya. Ia ingin membangun fondasi dirinya yang kokoh terlebih dahulu. Pertanyaannya sekarang, apakah Mia akan mampu mempertahankan prinsipnya itu ketika dunia mulai menawarinya "cinta" dengan segala bentuk dan warnanya? Akankah ia tetap teguh pada visinya, ataukah drama cinta, seperti gravitasi tak kasat mata, akhirnya akan menariknya ke dalam pusaran yang sama? Hanya waktu yang akan menjawab. Mia, untuk saat ini, memilih jalan yang berbeda. Jalan yang ia yakini akan membawanya pada kebahagiaan sejati, bukan sekadar pusing kepala.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
PAHIT GETIR CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Sebentar
eSHa
Cerpen
Bronze
Jeritan Ray
Desynata Purnamasari
Cerpen
Bronze
Nada y Pues Nada
Eki Saputra
Cerpen
Bronze
Keflavik 2020: Cinta, Curhat dan Cokelat
Rosa L.
Cerpen
Perhatikan Rani
Cassandra Reina
Cerpen
Bronze
Di Ujung Langit Yang Sama
Anoi Syahputra
Cerpen
Paduka Yang Mulyo
Kiiro Banana
Cerpen
Bronze
Jackpot yang Menghancurkan
Wahyu Hidayat
Cerpen
Pietist
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Melepas Kala
Nurul faizah
Cerpen
Harapan Yuna dan Yuni
Mutia Ramadhanti
Cerpen
Bronze
Pendidikan Negeri Sipili (Bag-2)
spacekantor
Cerpen
Bronze
Pending Apologize (Sintas Universe)
Keita Puspa
Cerpen
Bronze
Pendorong Gerobak
Titin Widyawati
Rekomendasi
Cerpen
PAHIT GETIR CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERKHIANAT DEMI SI BULE
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RENDANG UNTUK IBU MERTUA
ari prasetyaningrum
Cerpen
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
PERSAHABATAN YANG CULAS
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH PUTIH DARI HINDUSTAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JODOHKU, IBU SATU ANAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
RESEP KEDUA AYU
ari prasetyaningrum