Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Pacar Pura-Pura
0
Suka
47
Dibaca

"Kamu mau enggak jadi pacar saya?" Mataku menyipit.

Aku duduk di ruang Pak Bayu, dosenku. Tadi setelah kelas, beliau memintaku menemuinya. Aku pikir akan ditawari menjadi asisten penelitian. Ternyata...

"Maaf, Pak. Saya pikir ini menyalahi etika," ucapku mencoba menjaga nada bicaraku tetap sopan meski jantungku berdebar keras.

Pak Bayu tersenyum tipis. "Rara, kamu mahasiswi cerdas. Nilai-nilaimu sempurna. Sayang kalau potensimu tidak berkembang maksimal karena... kurang dukungan."

Ada tekanan halus di balik kata-katanya. Ancaman yang dibungkus dengan elegan.

"Saya ada rapat himpunan, Pak. Permisi." Aku bangkit dan melangkah keluar. Tanganku gemetar saat menutup pintu.

Di koridor, aku bersandar ke dinding berusaha mengatur napas. Aku kenal Pak Bayu sejak semester satu. Dosen muda, populer, dihormati. Tapi sejak dia menjadi pembimbing magangku semester lalu, ada yang berubah. Tatapannya terlalu lama. Pesannya terlalu larut malam. Pujiannya terlalu personal.

Aku selalu mencoba mengabaikannya. Sampai hari ini.

"Ra!" Aku mendongak. Galih berlari kecil menghampiriku, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Lo dari ruangan Pak Bayu? Gue tunggu dari tadi. Kenapa muka lo pucat gitu?"

Galih. Sahabatku sejak orientasi kampus. Cowok yang selalu membawakan kopi saat aku begadang mengerjakan tugas. Yang mengirimkan meme lucu saat aku stres ujian. Yang tahu aku takut gelap dan selalu menemani pulang kalau kuliah malam.

"Lih..." suaraku serak. "Pak Bayu... dia ngajak aku pacaran."

Ekspresi Galih berubah. Rahangnya mengeras. "Dia serius? Padahal dia sudah punya istri. Bahkan istrinya lagi hamil."

"Aku tahu." Aku mengusap wajahku frustasi. "Dia bahkan nyindir soal nilai kalau aku enggak... enggak dukung dia."

Galih diam sejenak, lalu menarik lenganku. "Ayo."

Kami berjalan ke bangku taman di belakang gedung fakultas, tempat favorit kami mengobrol.

"Lo harus lapor ke fakultas," kata Galih tegas. "Ini pelecehan akademis, Ra. Lo enggak bisa diam saja."

"Terus siapa yang bakal percaya?" Aku menatapnya lelah. "Dia dosen favorit. Aku cuma mahasiswi biasa. Enggak ada bukti, Lih. Chat-chatnya bisa dia bilang cuma bimbingan. Pertemuan di ruangannya? Normal. Yang di ruangan tadi? Cuma aku yang dengar."

"Gue percaya sama lo." Kehangatan di suaranya membuatku ingin menangis. Tapi aku tahan.

"Gue butuh waktu buat ngumpulin bukti," ucapku. "Tapi selama itu... gue butuh perisai. Gue butuh dia mundur dulu."

"Perisai kayak apa?" Aku menatap Galih. Cowok tinggi dengan rambut sedikit gondrong, mata yang selalu jujur, senyum yang selalu membuatku merasa aman.

"Pacar pura-pura. Lo mau enggak jadi pacar pura-pura gue?"

Galih terdiam. Aku melihat berbagai emosi lewat di wajahnya. Kaget, bingung, lalu... ada yang lain. Sesuatu yang tidak bisa kuidentifikasi.

"Berapa lama?" tanyanya pelan.

"Sampai gue bisa kumpulin bukti yang cukup. Atau sampai dia nyerah."

"Syaratnya satu." Galih menatapku serius. "Kalau lo merasa terancam, dalam situasi apa pun, lo langsung kabur dan hubungin gue. Deal?"

Aku mengangguk. "Deal." Galih mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya. Tangannya hangat dan kokoh.

"Oke, pacar palsu gue." Dia tersenyum, tapi matanya masih serius. "Sandiwara dimulai."

Pagi itu, aku berjalan di koridor menuju kelas. Ponselku berbunyi. Pesan dari Galih: Gue udah deket gedung. Lo di mana?

Koridor lantai 3, balasku.

Saat aku mengangkat kepala dari ponsel, Pak Bayu baru keluar dari ruang dosen. Matanya langsung menangkap keberadaanku. Dia tersenyum dan berjalan mendekat.

Sial.

"Rara, sudah pikirkan tawaran saya?"

Sebelum aku sempat menjawab, lengan hangat melingkari bahuku.

"Pagi, Sayang. Maaf telat." Galih. Dia datang tepat waktu.

Aku langsung menyesuaikan, menyandarkan tubuhku ke sisinya. "Enggak apa-apa, kok. Aku juga baru sampai."

Pak Bayu berhenti melangkah. Matanya menyipit, mengamati kami berdua.

"Oh, Pak Bayu," kataku, berusaha terdengar natural. "Ini Galih, pacar saya. Galih, ini Pak Bayu, dosen pembimbing magang saya dulu."

"Selamat pagi, Pak," sapa Galih sopan, tapi tangannya tidak lepas dari bahuku.

"Pacar?" Pak Bayu menaikkan alisnya. "Kemarin kamu tidak bilang punya pacar, Rara."

"Karena bukan urusan siapa-siapa, Pak," jawabku, berusaha tersenyum meski dadaku sesak. "Kami sudah tiga bulan pacaran."

Kebohongan pertama yang terucap dengan lancar.

Pak Bayu menatap kami bergantian, lalu mengangguk singkat. "Baiklah. Sampai bertemu di kelas nanti."

Dia berlalu. Kami tetap berdiri dalam posisi itu hingga sosoknya menghilang di ujung koridor.

"Lo gemetaran," bisik Galih. "Lo juga," balasku.

Kami tertawa kecil, melepaskan ketegangan. "Akting lo bagus, Lih."

"Lo juga. Tapi next time, jangan bilang tiga bulan. Kurang lama. Harusnya enam bulan biar lebih solid."

Aku mendorong lengannya main-main. "Belagu lu."

"Gue kan pernah ikut teater." Dia nyengir. "Yaudah, gue antar lo ke kelas. Pacar yang baik harus antar jemput."

"Pacar pura-pura," koreksiku. "Tetap harus total," balasnya.

Dan kami berjalan berdampingan, dengan jarak yang lebih dekat dari biasanya.

Sandiwara kami berlanjut selama dua minggu. Kami bergandengan tangan di kampus. Makan bersama di kantin. Galih menungguku setiap selesai kelas. Kami bahkan membuat postingan di media sosial, foto kami berdua di depan gedung fakultas dengan caption cheesy yang dibuat Galih: "Kampus lebih indah kalau bareng kamu."

Teman-teman kami senang. Mereka bilang kami cocok, padahal dari dulu memang sudah dekat. Aku tersenyum mendengarnya, tapi ada rasa aneh yang mulai tumbuh di dadaku.

Galih terlalu baik dalam perannya. Atau mungkin... dia tidak sedang berperan?

Aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran itu.

Pak Bayu terlihat semakin dingin di kelas. Dia jarang memanggil namaku lagi. Tapi aku sering menangkap tatapannya yang mengamati dari kejauhan. Seperti predator yang menunggu kesempatan.

Hingga hari Rabu siang, aku dikejutkan oleh kehadiran seseorang di parkiran.

Wanita anggun dengan blazer rapi dan tas bermerek. Perutnya terlihat membuncit. Dia berdiri di samping motorku. Istri Pak Bayu.

"Mutiara, kan?" sapanya langsung.

Aku menegang. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"

Dia tersenyum, tapi tidak sampai ke matanya. "Saya istri Pak Bayu. Saya tahu kamu dekat dengan suami saya."

Jantungku berdegup kencang. "Bu, saya—"

"Tolong jauhi suami saya." Suaranya lembut, tapi ada ancaman di dalamnya. "Saya hamil tiga bulan. Saya tidak mau ada masalah dalam rumah tangga saya."

"Bu, justru Pak Bayu yang—"

"Tidak mungkin suami saya tertarik pada mahasiswi seperti kamu." Tatapannya merendahkan. "Kamu pikir saya tidak tahu? Mahasiswi yang cari perhatian dosen untuk nilai bagus. Klasik sekali."

Amarahku memuncak. "Saya punya pacar, Bu. Saya tidak tertarik sama Pak Bayu."

Dia tertawa kecil. "Oh, 'pacar pura-pura' itu? Semua orang tahu itu sandiwara murahan. Suami saya yang cerita. Dia bilang kamu berusaha keras menghindar setelah suami saya menolak ajakanmu."

Darahku mendidih. Jadi Pak Bayu memutar balik cerita? Membuatku terlihat seperti penggoda yang kemudian ditolak?

"Dengar," lanjut Istri Pak Bayu. "Jaga jarakmu. Demi masa depanmu sendiri. Nilai-nilai UTS akan keluar minggu depan. Kamu mahasiswi pintar, kan? Jangan sia-siakan."

Ancaman yang sangat jelas.

Dia pergi meninggalkanku yang terpaku di tempat.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus memutar ulang pertemuan dengan Istri Pak Bayu. Ancaman tentang nilai, tuduhan sebagai penggoda, sandiwara yang terbongkar.

Ponselku berbunyi. Galih.

Lo belum tidur?

Belum. Lo juga?

Gue ke kosan lo. 15 menit.

Ini udah malam, Lih.

Gue tahu. Tapi gue merasa lo butuh teman.

Aku tidak membalas, tapi lima belas menit kemudian aku sudah duduk di teras kosan. Membawa dua gelas kopi instan.

Galih datang dengan jaket tebal dan rambut berantakan. Dia duduk di sampingku, menerima gelas yang kuberikan.

"Cerita," katanya singkat.

Dan aku menceritakan semuanya. Tentang Istri Pak Bayu, ancaman nilai, tuduhan yang dibalik, dan rasa lelah yang mulai menggerogoti.

"Gue pengen nyerah, Lih," bisikku. "Mungkin gue memang harus pindah kelas atau—"

"Jangan." Suara Galih tegas. "Lo enggak salah apa-apa, Ra. Lo yang jadi korban."

"Tapi semua orang pikir gue yang salah."

"Gue enggak pikir gitu." Galih menatapku. "Dan lo tahu kenapa? Karena gue kenal lo. Gue tahu lo bukan tipe orang yang cari gampangnya. Lo selalu kerja keras buat nilai lo sendiri."

Air mataku menetes. Aku tidak tahu sejak kapan aku menahan tangis.

Galih menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat dan tulus. "Nangis saja. Gue di sini."

Dan aku menangis. Melepaskan semua beban yang kutahan selama ini.

Setelah aku tenang, Galih melepaskan pelukannya. Dia mengusap air mataku dengan ibu jarinya, lembut.

"Ra, gue harus jujur sama lo." Aku menatapnya bingung.

"Sandiwara ini... buat gue bukan sandiwara." Suaranya pelan. "Gue suka sama lo. Udah lama. Mungkin dari semester dua. Tapi gue enggak pernah bilang karena takut lo enggak merasakan hal yang sama dan gue kehilangan lo sebagai sahabat."

Jantungku berhenti berdetak untuk sesaat.

"Waktu lo minta jadi pacar pura-pura, gue setuju karena gue pikir ini satu-satunya cara gue bisa deket sama lo tanpa kehilangan lo. Egois, gue tahu." Dia tersenyum pahit. "Tapi gue enggak nyesel. Karena gue bisa ngerasain gimana jadi orang yang lo pegang tangannya, yang lo panggil sayang, yang lo sandarin kepala."

"Galih..."

"Lo enggak harus jawab sekarang," potongnya cepat. "Atau bahkan jawab sama sekali. Gue cuma pengen lo tahu, apa pun yang terjadi, gue ada buat lo. Bukan sebagai pacar pura-pura. Tapi sebagai orang yang... sayang sama lo."

Aku terdiam. Pikiranku kacau. Tapi ada satu hal yang jelas: kehangatan di dadaku saat Galih menggenggam tanganku, rasa aman saat dia memelukku, senyum yang selalu kutunggu setiap pagi.

"Gue juga enggak tahu apa yang gue rasain," akuku pelan. "Tapi... rasanya nyaman kalau lo ada. Dan akhir-akhir ini, gue sering berpikir... gimana kalau ini bukan pura-pura?"

Galih menatapku dengan mata berbinar.

"Jadi... ini bukan pura-pura lagi?" tanyanya. "Enggak. Ini sungguhan."

Dengan hubungan kami yang sekarang nyata, aku merasa lebih kuat. Tapi masalah dengan Pak Bayu belum selesai.

Hari Senin, hasil UTS keluar. Nilai kami berdua: D.

Aku menatap layar ponsel dengan tangan gemetar. Galih duduk di sampingku, wajahnya memerah menahan amarah.

"Ini enggak adil," gumamku.

Galih meninju meja. "Dia main kotor."

"Kita harus ngelawan, Lih."

"Caranya?"

Aku berpikir keras. Lalu aku teringat sesuatu. "Pak Bayu selalu kirim chat malam-malam. Pesannya selalu terlalu personal. Gue screenshot semuanya. Mungkin itu bisa jadi bukti."

"Bagus. Kita kumpulin semua bukti dan kita ke bagian akademik."

"Tapi istrinya sudah ancam gue. Kalau dia tahu—"

"Ra." Galih menggenggam tanganku. "Kita lakukan ini bareng. Lo enggak sendirian."

Kami menghabiskan sore itu menyusun laporan. Semua screenshot chat, email, dan bahkan kesaksian dari beberapa teman yang sering melihat Pak Bayu menatapku terlalu lama.

Keesokan harinya, kami ke bagian kemahasiswaan.

Bu Sari, kepala bagian kemahasiswaan, mendengarkan dengan serius. Wajahnya mengeras saat melihat bukti-bukti yang kami tunjukkan.

"Ini serius," ucapnya. "Saya akan eskalasi ke dekan. Nilai kalian akan di-review ulang, dan akan ada investigasi terhadap Pak Bayu."

"Terima kasih, Bu," ucapku lega.

"Tapi kalian harus bersiap. Proses ini tidak mudah. Mungkin akan ada pemeriksaan, mungkin akan ada tekanan. Kalian yakin?"

Aku menatap Galih. Dia mengangguk. "Kami yakin, Bu."

Dua minggu kemudian, hasilnya keluar. Pak Bayu diberi sanksi administratif. Nilai UTS kami di-review dan dikoreksi: kami berdua mendapat A.

Istri Pak Bayu datang menemuiku sekali lagi, kali ini matanya berkaca-kaca.

"Maaf," ucapnya pelan. "Saya terlalu buta membela suami saya. Saya seharusnya percaya sama kamu.”

Aku mengangguk. "Saya harap Ibu baik-baik saja." Dia tersenyum sedih, lalu pergi.

Aku dan Galih duduk di bangku taman kami, menikmati senja kampus dengan perasaan lega dan bahagia yang nyata.

Tidak ada lagi sandiwara. Hanya kebenaran, keberanian, dan cinta yang tumbuh dari persahabatan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Pacar Pura-Pura
Sekar Kinanthi
Cerpen
Bronze
Fiksiagra
Habel Rajavani
Cerpen
Sugeng Ricuh
Siti Qoimah
Cerpen
Bronze
Pelukan Ibu
Lely Saidah Al Aslamiyah
Cerpen
Bronze
Gaji Seharga Dignitas
LettersByIn
Cerpen
Bronze
BOY BEHIND THE VEIL
glowedy
Cerpen
Pergi Melaut, Tak Kembali
HIJACKED LIBRARY
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Memecat Bos
Ravistara
Cerpen
Bronze
Buat Apa Membeli Kembang Api?
Juli Prasetya
Cerpen
Ban Kempes
Awal Try Surya
Cerpen
Bronze
Dapur dan Labelnya
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Merah Putih di Setiarejo
AndikaP
Cerpen
Sejarah Pandemi
Athoillah
Cerpen
Bronze
Silence
Anisah Ani06
Rekomendasi
Cerpen
Pacar Pura-Pura
Sekar Kinanthi
Cerpen
Kereta Terakhir Menuju Rumah
Sekar Kinanthi
Cerpen
Bunga (di Retakan Dinding)
Sekar Kinanthi
Flash
Jiwa yang Dikucilkan
Sekar Kinanthi
Cerpen
Heaven is Troubled
Sekar Kinanthi
Novel
Jebakan Cinta Sang Pewaris
Sekar Kinanthi
Flash
Keluargaku di Garis Takdir Lain
Sekar Kinanthi
Flash
77 Questions Before I Was Born
Sekar Kinanthi
Cerpen
Luna: Bayangan yang Kembali (Prequel Luna: Jiwa yang Hilang)
Sekar Kinanthi
Flash
Di Balik Kamera
Sekar Kinanthi
Cerpen
Halaman Terakhir
Sekar Kinanthi
Flash
Jebakan Cinta Sang Pewaris
Sekar Kinanthi
Cerpen
Luna: Jiwa yang Hilang
Sekar Kinanthi
Flash
Rumah yang Retak
Sekar Kinanthi
Flash
Kasus Terakhir Rissa
Sekar Kinanthi