Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setiap hari kalau tak di pustaka, maka satu-satunya tempat gratis sebagai pelariannya pasti di taman. Nadien sudah menjalaninya sejak semester pertama masuk di kampus. Ia tak mau tabungan ayahnya menguap. Paling tidak ia bisa mendapat IPK 3,9, nyaris sempurna. Atau targetnya cumlaude, dengan jumlah semester seminimalis mungkin, tapi nilai semaksimal mungkin.
Prinsip ekonominya jelas, meski tidak berbanding lurus dengan kondisi dan status sosial ekonomi dalam realitas kehidupan nyata. Setidaknya ia masih masuk kategori kelas menengah.
Buku tebal dan laptopnya didapatnya dari cowok flamboyan di kampus yang sekarang berstatus "Pacar". Berbekal otak encer, laptop Macbook-nya keluaran terbaru dan gratis.
Ia sedang memainkan permainan yang selalu membuat adrenalinnya bergejolak. Bukan soal bagaimana menaklukan cowok pujaan para temannya, tapi bagaimana menaklukkan kantongnya dengan cara yang elegan, tidak matre, dan tidak picisan.
Bento, mahasiswa dengan pesona yang tak bisa ditolak, salah satu nama besar di kampus dari soal ganteng, hingga tajir meski tak melintir. Berasal dari keluarga berada, modis, dan penuh percaya diri khas orang berduit.
Meski begitu, di balik senyumnya yang memesona, niat "lain" tersembunyi halus yang membuat tak semua orang tahu. Di antara banyaknya gadis yang mengejarnya, ada Camelia, anak bos besar pabrik ban yang punya segalanya. Camelia terus mengejar-ngejar Bento, memberikan apa saja yang diinginkannya, bahkan sampai mengizinkan Bento berdekatan dengan Nadien demi alasan tugas, karena ia juga kebagian manfatnya.
Seperti benalu yang tumbuh di pohon benalu, mereka saling menarik keuntungan-simbiosis parasitisme. Bento menarik rekening Camelia, dan Nadien menarik rekening Bento pelan tapi pasti dengan alasan tugas kampusnya.
“Nadien, tugas kelompok minggu ini, bantu aku ya?” Bento mendekati Nadien dengan senyum andalannya.
Nadien mendongak. Dia tahu pasti maksud Bento. Sudah terlalu sering permintaan seperti ini datang, dan dia tahu kenapa dia selalu jadi pilihan Bento. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berkata “tidak”.
“Oke, aku bantu. Tapi kali ini, aku butuh buku referensinya,” Nadien menyeringai kecil, menatap Bento dengan pandangan penuh arti.
Bento tersenyum, tak pernah menyangka Nadien akan memberi syarat. Tapi dia tak keberatan. Apa pun agar tugasnya selesai. Tinggal calling Camelia, syarat itu turun, dan ia masih mendapat sedikit selisih sebagai keuntungan. Lumayan!.
***
Hari demi hari, kedekatan mereka semakin terlihat. Bento membawa Nadien ke kafe, mengajaknya shopping, bahkan menjemputnya di rumah. Semua demi menjaga penampilannya sebagai pasangan serasi di mata Nadien dan teman-teman mereka, yang sebenarnya tahu betapa play boy-nya Bento. Tapi Nadien menikmatinya tanpa rasa cemas dan tanpa rasa bersalah. Sesuatu yang tidak jamak di lihat teman-teman, terutama yang terbiasa dengan urusan memainkan hati cewek.
Mereka akan semakin sering bersama, apalagi saat tugas-tugas kampus mulai menumpuk. Camelia, yang mengetahui semua ini, tidak keberatan selama Nadien hanya sebatas alat bantu untuk tugas. Ini yang membuat semuanya menjadi tidak mudah dipahami teman-temannya. Selingkuh atau poligami pacar. Apalagi selama Bento dekat dengan Nadien, Camelia berusaha memberi ruang dan menjaga jarak dengan santai tanpa sewot apalagi cemburu.
“You are lucky man,” uajr Deno teman Bento karena bisa menggaet dua cewek cantik yang saling melengkapi, satunya cerdas dan lainnya tajir melintir tujuh turunan.
Namun, tidak semua orang bisa dibohongi. Tania, sahabat Nadien, sudah berkali-kali mengingatkannya. “Nadien, kamu sadar ngak kalau dia cuma manfaatin kamu? Kamu nggak bisa terus kayak gini. Kamu layak dapat yang lebih baik.”
“Aku tahu, Tania. Tapi, aku juga memanfaatkan situasi ini. Aku butuh bantuannya untuk beberapa hal, dan... status ini.” Nadien tersenyum tipis, meski hatinya terasa berat harus mengatakan kebenaran itu.
Di balik semua itu, Nadien menyimpan satu rahasia besar. Dia tahu apa yang terjadi antara Bento dan Camelia. Dia tahu dia hanya figuran dalam kisah asmara mereka. Namun, dia memutuskan untuk bertahan demi kepentingannya sendiri. Baginya, selama Bento memberikan apa yang dia butuhkan, dia tidak peduli soal perasaan yang tersisa untuk dirinya. Sepenuh jiwa, separuh hati atau tidak sama sekali.
Dengan semua kemudahan itu, Nadien justru berhasil memenuhi harapannya. Namun, satu hal yang selalu dijaganya, kehormatan dan harga dirinya. Sandiwara yang dia mainkan sangat manis, tanpa meninggalkan cela sedikit pun.
Meskipun rasanya absurd menggadaikan harga dirinya demi kepentingan mencapai tujuan. Hanya karena satu hal kelihaian Nadien menyembunyikan semuanya dengan rapi, membuat semuanya tak terlihat seperti perempuan pencari pacar tajir dengan tertular kaya atau bisa mewarisi kekayaan jika bisa merebut hatinya
***
Seperti romantisme cerita yang klasik, cinta karena biasa. Seiring waktu, Bento mulai menyadari sesuatu. Jika dibandingkan dengan Camelia, Nadien memang tidak punya kekayaan luar biasa, tetapi dia memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga. Nadien menunjukkan kecerdasan, kehangatan, dan ketulusan yang membuat Bento semakin mabuk cinta. Sementara itu, sifat Camelia yang terlalu mengatur-posesif, dan mendominasi membuat Bento perlahan ingin menjauh darinya.
Suatu malam, saat mereka duduk di kafe, Nadien menatap Bento yang asyik dengan ponselnya. Dia tahu siapa yang dihubungi Bento. Tapi kali ini, dia tak lagi peduli soal hati meski diam-diam naluri keperempuannya juga membutuhkan kehangatan dalams ebuah hubungan. Saat ini Nadien justru lebih merasakan kepuasan dalam dirinya.
“Bento, nanti setelah tugas ini selesai, aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan,” ujar Nadien tenang.
Bento menatapnya dengan alis terangkat. “Apa? Bicara saja sekarang.”
“Nanti saja. Lagi pula, aku nggak yakin kamu benar-benar tertarik dengan hal yang penting untukku.” Nadien tersenyum simpul.
Saat semua tugas selesai, Nadien akhirnya berterus terang. “Aku tahu apa yang kamu lakukan selama ini, Bento. Aku tahu aku hanya jadi alat untuk tugas-tugasmu, dan aku tahu tentang Camelia.”
Bento terdiam, wajahnya memucat. “Tapi...Nadien, aku…”
“Aku tidak marah,” potong Nadien. “Aku bahkan memanfaatkan situasi ini untuk memenuhi kebutuhanku. Tapi sekarang, aku rasa aku sudah cukup. Aku ingin berhenti dari permainan ini.”
“Tunggu, Nadien. Aku serius sama kamu. Aku baru sadar kalau aku sebenarnya…” Bento terhenti, mencoba mencari kata yang tepat. “Aku mencintaimu. Bukan Camelia. Kamu yang aku mau.”
“Maaf, Bento. Aku tidak percaya padamu lagi. Dan aku rasa, aku lebih baik tanpa hubungan seperti ini.”
Kini, keadaan berbalik. Bento yang mati-matian berusaha mendapatkan hati Nadien. Dia mencoba berbagai cara, menulis surat panjang penuh permintaan maaf, hingga mencoba menunjukkan perubahan nyata dalam dirinya. Namun, Nadien tetap teguh pada pendiriannya.
Suatu hari, Bento memutuskan untuk menemui Nadien di perpustakaan, tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu untuk belajar. Dia membawa kotak kecil berisi sebuah cincin sederhana, tanda keseriusannya.
“Nadien, ini mungkin terdengar klise, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki segalanya. Aku ingin kamu percaya lagi padaku,” kata Bento dengan nada tulus.
Nadien menatap Bento dengan mata yang tenang, namun penuh arti. “Aku menghargai usahamu, Bento. Tapi, aku sudah memilih jalanku sendiri. Kehormatan dan harga diriku lebih penting daripada hubungan yang penuh kebohongan.”
Bento hanya bisa menatap Nadien yang beranjak pergi, meninggalkan dirinya yang terjebak dalam rasa sesal.
Nadien tahu dia telah memenangkan permainan ini. Namun, bukan kemenangan atas Bento yang membuatnya puas, melainkan kemenangannya atas dirinya sendiri, atas keberaniannya untuk melepaskan sesuatu yang tidak lagi layak untuk diperjuangkan.
Sedangkan Bento hingga minggu belakangan ini, sudah memutuskan hubungannya dengan Camelia dan berusaha menutup hatinya dari cewek manapun demi bisa mendapatkan hati Nadien lagi.