Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Keinginan pertama Ian, mengukir senyum di wajah Daehyu, Hyunjin, dan dia sendiri secara bersamaan. Keinginan kedua, memenuhi ajakan Daehyu berpiknik.
Di sisi lain, Ian hanya bocah polos dengan wajah menggemaskan. Mengetahui dua fakta berbenturan mengenai Daehyu dan Hyunjin, dia tak mau diam saja, tetapi juga bingung harus berbuat apa.
Kenyataan tersebut memaksa Ian merelakan salah satu keinginan demi mewujudkan lainnya.
Apa yang Ian pilih?
"Mengetahui seluruh sisi.
"Entah siapa gerangan patut disalahkan.
"Demi satu kali dua puluh empat jam teristimewa."
Ian dan Ki Daehyu—nama diambil dari kata 기대 (gidae) yang berarti harapan, di Kota Jeju.
Outlook, cerpen keempat dari seri 8 Spring Session, kisah-kisah bertema musim semi dengan latar tempat berbagai destinasi wisata di Korea Selatan.
Tak ada alasan melarang seseorang untuk tersenyum, Ian yakin hal itu. Dia bisa bercanda tawa dengan Daehyu, tetapi hancur ketika Hyunjin datang, seolah kutipan tersebut tak berlaku padanya.
Ian sungguh ingin mereka bertiga bisa tertawa bersama. Namun, dia hanya bocah polos dengan wajah menggemaskan.
Tempo hari saat orang tua Ian memutuskan pindah ke Jeju, tantangan dimulai.
Belum lama bertemu, pembicaraan Daehyu dan Ian sudah bak soulmate. Si lelaki yang selalu tertawa membuat Daehyu enggan mengalihkan perhatian. Sementara Ian antusias dengan ramahnya gadis itu.
“Kalau yang di sebelah itu siapa? Saudaramu?” Daehyu menyadari dua keluarga baru datang ke perumahan belum lama ini. Dia sudah mendapat jawaban salah satunya, keluarga Ian.
Ian terdiam sesaat, terlihat bingung. Kemudian menggeleng. Lucu sekali.
Rasa penasaran Daehyu bertambah. Tiba-tiba, tatapannya beralih pada seorang lelaki yang hendak memasuki perumahan. Dia berhenti di pos, berbincang dengan para penjaga.
“Yap, saya tinggal di rumah nomor sembilan. Penghuni baru.”
Daehyu melonjak gembira. Beruntung sekali dia menemukannya dengan mudah. Dua tangan saling berpegangan satu sama lain. Tak sabar ingin menyapa.
Berselang sebentar, pemuda itu beranjak dari pos penjaga dan akhirnya menunjukkan wajah yang dinanti-nanti Daehyu. Namun, seketika gadis itu tak berselera lagi. “Hei, amburadul! Beraninya kau kemari!”
Ian spontan mengalihkan pandangan dari pemuda itu ke Daehyu. Selama lima puluh menit mengenalnya, baru kali ini dia melihat sikap kesal Daehyu. Padahal, menurut perkiraan Ian, gadis itu bukan tipe orang mudah terpancing amarah.
Bisa saja Ian abai, tetapi sanubari terus menolak tiap kali dia berusaha beranggapan bahwa tak ada apa pun terjadi.
Sebagai pendatang, Ian tak tahu harus apa untuk mengisi kegiatan. Bosan terobati saat Daehyu menyapa dari kejauhan. Seragam rapi. Ransel menggantung. “Karena kau orang baru, ayo kuajak keliling!”
Harapan melambung tinggi. Senyum lebar Ian tak tertahan. Kini dia bisa lepas dari kata gabut.
Pemuda lain menyusul. Setelan seragam hampir sama, meski berbeda warna. Name tag terpampang, bertulis ‘Hwang Hyunjin’. “Aku juga orang baru! Boleh ikut, ‘kan?”
Semangat Daehyu langsung menurun. Dia menggerutu, terpaksa membiarkannya ikut setelah Hyunjin menawarkan tumpangan mobil.
“Festival Cherry Blossom?” Hyunjin memastikan arahan jalan yang diberikan Daehyu barusan. “Mau mampir ke restoran sekalian?”
“Tak perlu!” Daehyu menaikkan suara. “Aku muak mendengarmu, dasar amburadul! Kau belum berubah sama sekali!”
“Atau makanan pinggir jalan? Es krim? Minuman?” ujar Hyunjin. Seolah Daehyu tak mengatakan apa-apa sebelumnya.
“Hwang Hyunjin!” Gadis itu menggertak.
Hyunjin melirik Daehyu sesaat, lantas kembali memandang jalan. Dia menghela napas sedikit. Tak terlihat ingin buka suara lagi.
Ian di bangku belakang menoleh ke kanan-kiri bergantian, layaknya penonton turnamen bulu tangkis. Secercah keinginan timbul, tetapi dia tak tahu harus berbuat apa.
Acara utama Jeju Festival Cherry Blossom bertempat di depan Sports Complex Plaza. Panggung besar ramai dikelilingi penonton. Menikmati konser jazz, lagu rakyat Jeju, musik instrumental, dan pertunjukkan lainnya.
Stan-stan berdiri tak jauh dari panggung. Menyajikan makanan tradisional.
Bunga sakura sudah menjadi pemandangan wajib. Istimewanya, Pulau Jeju memiliki King Cherry Tree, spesies pohon sakura terbesar yang paling langka dan unik.
Mencari tempat parkir perlu kerja keras di tengah acara seperti ini. Tak masalah meski mobil berada agak jauh dari titik utama festival, berjalan ditemani sakura di kanan-kiri, mau sampai kapan pun, tak terasa lelah.
“Ian, kemari!”
Pemuda itu segera menyesuaikan langkah setelah Daehyu menyeru dan berjalan lebih cepat.
Hyunjin terkejut, lantas berlari menyusul. “Aku ikut!”
Daehyu meminta Ian mencicip berbagai makanan. Senyumnya mengembang lebar ketika pemuda itu menyukai hampir semua camilan yang tersedia.
Tak sekali pun Daehyu menggubris Hyunjin—atau mungkin sengaja lupa akan keberadaan lelaki itu. Hyunjin sendiri yang berinisiatif mengekor, ikut mencoba makanan-makanan tradisional, menyahut ketika keduanya mengobrol, dan banyak lagi.
Hyunjin sama sekali tak menyerah, walau dirinya bak angin lalu di mata Daehyu. Terkadang, Ian menanggapinya, tetapi Daehyu akan langsung mengalihkan perhatian Ian dari Hyunjin. Seolah menjauhkan.
Semangat Daehyu mengelilingi Cherry Blossom Festival tak pernah ada habisnya. Namun, mengetahui Ian menguap beberapa kali, dia tak bisa menahannya lebih lama di sini.
Matahari hendak mengucap selamat tinggal. Semburat jingga menyala terang di ujung barat. Meski sedikit, suhu udara hangat khas musim semi telah menurun.
Daehyu curi-curi pandang pada Hyunjin yang masih setia membuntuti. Dengan malas Hyunjin menatap gadis itu, paham maksud terselubungnya. “Aku masih ingin menonton ….” Dia bersenandung sambil melangkah pergi.
“Hyunjin ….” Daehyu agak memelas. Sebelumnya sering memanggil dengan sebutan ‘amburadul’, kali ini dia menggunakan nama asli.
Hyunjin berhenti dan membalikkan badan. Sudut bibirnya terangkat lebar. “Iya?”
Bibir mungil Daehyu mengerucut. Perlu mengorbankan harga diri untuk bicara. Dia melirihkan suara, “Ayo pulang.”
Senyum Hyunjin kian lebar. Dia memimpin langkah menuju tempat parkir mobil.
Perjalanan dari Jeju Cherry Blossom Festival menuju perumahan, melewati Noksan-ro Road. Jalan lurus dengan aspal abu-abu terlihat jauh lebih damai di sini karena dipenuhi bunga canola di dua sisi.
Pohon sakura berjajar di belakang deretan kuning canola. Menciptakan perpaduan warna elok, membius tiap mata memandang.
“Aku selalu ingin piknik di tempat ini.” Jemari Daehyu menyentuh jendela kaca mobil. Tatapan menerawang luasnya lapang kuning seakan tak berujung, dengan latar belakang langit biru nan jernih.
“Kalau begitu, berpiknik saja,” ujar Ian enteng.
Daehyu spontan menatap Ian. “Sungguh? Kau mau piknik bersamaku? Akhir pekan ini, ya!”
Ian seakan dapat melihat bebungaan mekar di belakang gadis itu. Dia terbius, sedikit pun enggan kehilangan senyum Daehyu bak panorama, juga tak sabar ingin melukis raut serupa lain waktu.
Sudut bibir Ian terangkat tinggi, lantas mengangguk mantap. Aku tak boleh melewatkannya!
Sampai di perumahan, Daehyu membentak Hyunjin agar lelaki itu langsung pulang—sebelumnya dia masih saja mengekor.
“Daehyu.” Ian menahan gadis itu sebelum membuka pintu. “Mengapa kau seperti itu … pada Hyunjin?”
Beberapa saat Daehyu hanya menatap Ian. Menentukan pilihan apakah dia perlu bercerita atau tidak. Dengan berbagai pertimbangan, Daehyu memutuskan bicara.
Keduanya dulu sepasang kekasih. Daehyu tak nyaman semenjak sikap posesif Hyunjin menjadi-jadi. Sekadar mengobrol dengan rekan lelaki sekelas, Hyunjin tak suka.
Pertengkaran kerap terjadi. Puncaknya ketika Hyunjin menuduh Daehyu tak serius menjalani hubungan. Gadis itu kecewa dan muak, lantas menyelesaikan hubungan saat itu juga.
“Dia tak percaya, meski berkali-kali bilang aku sungguh mencintainya.” Daehyu menghela. “Aku tak ingin melihatnya lagi.”
Malas membahas lebih jauh, Daehyun menyarankan Ian agar segera pulang.
Ian menurut. Berniat langsung merebahkan diri, terpaksa urung usai mengetahui dua lelaki di gazebo.
Salah satu dari mereka terlihat familiar. Ian mendekat untuk curi-curi dengar.
“Kenapa kau membatalkan janji kerja kelompok demi Cherry Blossom Festival? Tak tahu kah teman-teman mencibirmu?”
“Aku ingin meminta maaf padanya …. Tapi sepertinya tak benar-benar akan bisa kulakukan.” Dia menghela. “Aku harus bagaimana?”
“Apa ini terkait Daehyu?”
Mendengar nama gadis itu disebut, bola mata Ian membulat.
“Itu urusanmu, ‘kan? Pikirkan sendiri!” Dia beranjak, lantas keluar dari perumahan.
Setengah takut Ian melirik belakang untuk melihat reaksi Hyunjin. Lelaki itu menunduk sambil memegang kepala.
Kenyataan bertubi yang diketahui Ian membuatnya bimbang. Kemarin malam tak tidur nyenyak. Saat ini pun lelah, tetapi ketika meletakkan tubuh di atas ranjang, lagi-lagi sulit terlelap.
Ian mendapati Hyunjin melangkah ke rumah Daehyu. Dia sengaja menahan sebelum lelaki itu sempat mengetuk pintu. “Aku juga hendak ke sana.”
“Baguslah jika kita bertiga berkumpul.” Hyunjin tersenyum. “Lebih baik kau membeli es krim dan kue hallabong, Daehyu sangat menyukainya.”
“Sungguh?” Antusiasme Ian meningkat. “Di mana aku bisa mendapatkannya?”
Hyunjun menunjuk gerbang perumahan. “Belok kanan lalu masuk ke gang sebelah. Tokonya ada di sana.”
“Akan segera kubeli!” Ian bergegas pergi.
Perlahan senyum Hyunjin berganti seringai. “Kena kau!”
Hyunjin mengetuk pintu. “Daehyu—”
Tuan rumah membuka pintu lebih dulu. Sorotnya tajam “Apa kau lakukan pada Ian?”
Sesaat Hyunjin terdiam. Menyusun kata-kata. “Aku hanya—”
Daehyu tak menggubris dan langsung meninggalkannya. Semula dia hendak menemui Ian—usai berganti baju sepulang sekolah—saat mendengar pembicaraan dua lelaki di balik pintu.
Daehyu menyusul Ian. Pemuda itu baru saja selesai memesan es krim hallabong dan kue hallabong, masing-masing tiga porsi.
Ian terkejut mendapati gadis itu. “Daehyu, kenapa kemari?”
Helaan napas terdengar. Daehyu hendak bicara, tetapi mengurungkan niat. Tak tega mengatakan pada Ian, bila dia dipermainkan Hyunjin.
“Hyunjin di rumahmu? Dia pasti menunggu kita.” Senyum Ian mengembang. Dia mengajak Daehyu untuk segera pulang.
Daehyu justru menggandeng Ian duduk di bangku panjang. Tepat di pinggir jalan, tak jauh dari kedai yang menjual berbagai olahan hallabong.
Jeruk khas Jeju, hallabong, telah ditanam sejak tahun 1998. Rasanya seperti jeruk mandarin dan cocok digabungkan dengan berbagai bahan makanan. Pendudukan setempat maupun wisatawan tak pernah lupa mencicipinya.
“Tak perlu memikirkan Hyunjin, kita makan di sini saja.” Daehyu membuka kotak kue hallabong, menyantap salah satu.
Ian terdiam. Dalam hati ingin menyanggah opini Daehyu, tetapi pada akhirnya menurut. Dia menyendok sedikit es krim hallabong.
“Hei, bagaimana menurutmu … tentang piknik akhir pekan?” Daehyu belum-belum sudah gembira.
“Aku sangat suka!”
Melihat Daehyu bergelora, Ian jadi tak sabar menanti esok hari. Mereka sibuk membahas jam berangkat, barang-barang yang perlu dibawa, camilan, dan sebagainya. Diiringi canda tawa nyaris tanpa jeda.
Waktu berdua yang tak pernah diinginkan usai, membuat Ian lupa bahwa Hyunjin seharusnya bisa tertawa bersama mereka.
Memang tak ada jadwal sekolah, tetapi Daehyu perlu mengerjakan tugas bersama teman. Kebetulan rumahnya tak jauh dari Noksan-ro Road. Dia bilang akan langsung ke tempat piknik setelahnya, sedangkan Ian bisa menyusul.
Barang bawaan sesuai rencana telah lengkap. Namun, Ian masih ingin menyiapkan hal lain. Dia pergi untuk membeli olahan hallabong di tempat sama. Tak habis pikir bagaimana bisa mereka melupakan street food satu ini, padahal Hyunjin bilang Daehyu sangat menyukainya.
Ian meninggalkan kedai usai membayar dan mengucap terima kasih sambil membungkuk. Dia terkejut melihat seorang tak asing melintas. Terlebih, dia mengalungkan kamera di leher. Kacamata menggantung di kerah baju. Membawa sekotak Manong Chicken.
Manong Chicken bukan makanan yang bisa didapat dengan mudah. Perlu mengantre berjam-jam. Rasa gurih dan renyah disukai banyak orang. Ditambah bumbu seperti chicken sauce, chicken salt, dan taburan bawang putih. Tekstur kulit ayam sangat krispi dan sama sekali tak berminyak.
“Hyunjin?” Ian bertanya-tanya melihat penampilan dan kotak di tangannya. “Kau ingin mengikuti kami lagi? Ke tempat piknik?”
Tak ada respons dari Hyunjin.
Ian memandang Hyunjin penuh arti. Kemudian menyodorkan ragam olahan hallabong yang telah dikemas ke dalam satu tas tenteng.
Melihat lelaki itu hanya diam. Ian langsung meraih satu tangan Hyunjin, membuatnya menggenggam tas tenteng.
Selama beberapa detik Ian berat hati menyerahkannya. Ini mungkin kesempatan emas agar senyuman bisa hadir di wajah mereka bertiga secara bersamaan tanpa mengorbankan salah satu. Pada akhirnya, Ian memutuskan untuk merelakan kehadirannya di piknik.
“Kau saja yang datang, Hyunjin.”
“Ta—”
“Aku percaya kau bisa menjelaskan semua pada Daehyu. Temui dan minta maaflah kali ini.”
Hyunjin tertegun.
Ian memaksa senyum. “Maaf aku menguping.” Dia tertawa kecil. “Barang-barang lain ada di depan rumahku. Semula akan kubawa menggunakan taksi, tapi kau punya mobil,’kan? Bawalah.”
Hyunjin belum juga melangkah. Ian mendorong pelan dan menepuk-nepuk pundaknya. Terpaksa Hyunjin mengikuti ucapan Ian.
Semua barang tersimpan di bagasi mobil, kecuali tas tenteng berisi olahan camilan hallabong—di dasbor. Hyunjin merasa bersalah tiap kali meliriknya. Dia sempat bertindak kurang baik pada pemuda itu demi kepentingan sendiri. Sekarang, Ian justru mau berkorban untuknya.
Mobil berhenti di sisi Noksan-ro Road. Hyunjin berencana bicara lebih dulu sebelum membawa tikar dan barang bawaan lain untuk diletakkan di tengah bunga-bunga forsythia membentang luas.
Daehyu berdiri di dekat salah satu kincir angin yang berjajar. Menjulang tinggi seolah ingin menggapai awan. Tiap putaran pelan baling-baling, terasa menenangkan.
Hyunjin melangkah ke arahnya.
“Kenapa Ian belum datang juga? Aku merindukannya.”
Mendengar gadis itu bergumam, seketika Hyunjin mematung.
Daehyu menoleh ke belakang saat merasa hawa-hawa kedatangan. Namun, dia tak melihat seorang pun di sana.
Hyunjin bersembunyi di balik batang pohon sakura besar di tepi jalan. Rambut poni agak panjang menutup wajah ketika dia menunduk.
Sepasang kaki menggantung di kursi, tak jauh dari kedai olahan hallabong. Ian terkejut saat tiba-tiba tas tenteng dan kotak Manong Chicken dilempar ke pangkuannya. “Hyunjin? Bagaimana permintaan maafmu, berhasil?”
“Lupakan.” Hyunjin kembali ke mobil dan melaju pergi.
Ian memandang mobil hingga benar-benar menghilang dari jalanan. Dia beralih ke tumpukan makanan di pangkuannya. “Padahal aku terlanjur tidak datang ke piknik ….”