Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
OUR HOPE
1
Suka
24
Dibaca

*cerita ini terinspirasi dari anime 'summer ghost' dengan perubahan nama karakter dan beberapa alur

───── ◆◆◆ ─────

Musim panas datang lagi, dan dengan itu datang pula langit yang terlalu biru untuk menyembunyikan kesedihan.

Aku duduk di atap gedung kosong, menatap awan yang lambat berjalan. Dari bawah terdengar deru kota kecil—suara yang menua bersamaan dengan siang.

Liam bilang langit musim panas punya aroma logam yang getir. Annie bilang itu bau dari sesuatu yang pernah terbakar tapi tak benar-benar padam.

Aku sendiri tak tahu. Bagiku langit hanya batas: sesuatu yang menolak menjawab, namun selalu membuatku menatap lagi.

“Kau di sini lagi.”

Suara Liam datang dari balik pintu besi. Aku tak menoleh; langkahnya sudah kukenal.

Ia membawa dua botol minuman dingin. “Kupikir hari ini kau mau turun. Annie mencarimu.”

“Tidak apa-apa. Aku hanya butuh udara.”

Liam menghela napas. “Kau butuh lebih dari udara, Lui.”

Nama itu selalu terdengar aneh di telingaku. Lui. Pendek, tapi terasa berat. Nama yang kuterima dari seseorang yang tak lagi di sini.

Malam itu kami bertiga duduk di taman kecil dekat rel yang tak lagi dilalui kereta. Annie menyalakan senter, cahaya lembut memantul di wajahnya.

“Pernah dengar tentang summer ghost?” tanya Liam tiba-tiba.

Aku mengangkat kepala. “Roh musim panas? Kedengarannya seperti urban legend.”

“Iya. Katanya dia muncul kalau seseorang menyalakan kembang api dengan hati yang jujur. Tapi hanya bagi orang yang tak lagi takut mati.”

Annie memutar pergelangan tangannya, tatapannya kosong. “Hanya bagi yang tidak takut mati… itu berarti dia muncul untuk orang yang sudah berhenti hidup.”

Liam tertawa kecil, tapi tawanya patah di tengah. “Mungkin begitu.”

Aku menatap dua sahabatku, lalu menatap malam. Ada sesuatu di dalam dadaku yang bergerak—bukan rasa ingin tahu, lebih seperti dorongan untuk memastikan bahwa sesuatu di dunia ini masih bisa menjawab panggilan.

“Mari kita coba,” kataku akhirnya.

Lapangan tua di pinggiran kota itu sunyi. Rumput-rumputnya tinggi, dan rel besi di sebelahnya memantulkan cahaya bulan.

Kami membawa sekotak kembang api kecil. Annie menyalakan satu, percikannya menari di udara, memantul di matanya yang hitam.

“Apa yang akan kau tanyakan kalau dia muncul?” tanyanya.

Liam menjawab lebih dulu. “Aku ingin tahu kenapa semua orang pergi sebelum aku sempat mencintai mereka dengan benar.”

Annie terdiam lama. “Aku ingin tahu bagaimana rasanya tidak takut.”

Aku menatap ujung kembang api di tanganku. “Aku ingin tahu… kenapa hidup terasa begitu sepi bahkan ketika aku tidak sendirian.”

Cahaya terakhir padam, asap tipis melingkar di udara—dan dari balik kabut tipis itu, seseorang berdiri.

Gadis muda, rambutnya panjang sedada, gaunnya biru muda halus , dan matanya memantulkan warna langit.

Ia tersenyum lembut, seolah kemunculannya bukan keajaiban, melainkan sesuatu yang seharusnya terjadi.

“Kalian memanggilku?”

Suara itu lembut, hampir tak nyata. Kami tak menjawab. Hanya angin yang bergerak di antara kami.

Akhirnya aku berkata, “Kau… summer ghost itu?

Gadis itu tersenyum lagi. “Kau bisa memanggilku Kath.”

Kami berbicara lama malam itu. Ia duduk di antara kami, cahaya bulan menempel di bahunya seperti debu.

Liam bertanya macam-macam—dari kematian sampai apakah arwah bisa bermimpi. Annie hanya mendengarkan. Aku sendiri lebih banyak menatap tangannya yang kurus tapi terlihat hangat.

“Apa kau takut?” tanyaku.

Kath menggeleng. “Tidak. Tak ada yang menakutkan ketika kau sudah melampaui rasa kehilangan.”

“Kalau begitu, kenapa kau masih di sini?”

Ia menatap jauh, ke arah rel yang gelap. “Karena aku belum bisa pulang.”

Kata itu—pulang—meninggalkan gema di dadaku. Seolah ada sesuatu di diriku yang juga tertahan di antara pergi dan kembali.

Sejak malam itu aku kembali ke lapangan sendirian.

Aku menyalakan satu batang kembang api, hanya untuk melihat apakah ia akan muncul lagi.

Dan hampir selalu, ia datang.

Kami berbicara tentang hal-hal kecil: tentang warna langit, tentang suara jangkrik, tentang mimpi yang tak sempat diselesaikan.

Kadang ia tersenyum, kadang hanya diam, memandangi api kecil di tanganku seperti seseorang yang mengingat rumah dari kejauhan.

“Kau masih punya mimpi?” tanyanya suatu malam.

“Aku dulu ingin menjadi pelukis,” jawabku. “Tapi aku berhenti. Semua yang kulukis terasa kosong.”

“Kosong bukan berarti tak ada arti,” katanya pelan. “Kadang ruang kosong justru tempat harapan bersembunyi.”

Aku tertawa kecil. “Kau bicara seperti seseorang yang masih hidup.”

Kath menatapku lama, lalu berkata lirih, “Mungkin karena aku masih setengahnya.”

Suatu malam ia tak datang. Dan untuk pertama kalinya sejak musim panas itu dimulai, aku merasa benar-benar sendiri.

Aku berjalan menyusuri rel tua, membawa sketsa wajahnya yang baru selesai kugambar. Angin membawa aroma logam dan bunga kering.

“Kath,” panggilku, meski tahu tak ada jawaban. “Kalau kau bisa mendengar, beri aku tanda bahwa kau masih di sana.”

Angin berhenti sesaat.

Lalu di kejauhan, percikan kecil menyala—bukan dari kembang api, tapi dari udara itu sendiri. Cahaya itu perlahan membentuk siluet tubuhnya.

“Aku di sini,” katanya. “Aku tidak pernah benar-benar pergi.”

Aku berjalan mendekat, tapi sebelum sempat bicara, cahaya di sekelilingnya bergetar hebat.

Kath memejamkan mata, wajahnya menahan sakit.

"Apa yang terjadi?”

“Aku tidak punya banyak waktu. Dunia tempatku berada semakin memudar.”

“Kau bisa mati?”

Ia menggeleng. “Aku sudah setengah mati. Yang tersisa hanyalah jiwa yang belum menemukan jalan pulang.”

Tanganku gemetar. “Bagaimana kalau aku menolongmu?”

Kath membuka matanya. Ada sesuatu di sana—harapan, atau mungkin rasa takut yang manis.

“Kau tak bisa menyentuh dunia tempatku tertahan,” bisiknya.

“Kalau begitu, biarkan aku mencoba.”

Malam berikutnya ia menggenggam tanganku. Dingin, namun terasa seperti denyut halus di ujung jari.

Tiba-tiba dunia di sekeliling kami berubah. Lapangan hilang, digantikan oleh koridor panjang berwarna putih. Bau antiseptik menusuk hidung.

“Di mana ini?”

“Di tempat tubuhku tertidur,” jawabnya.

Ia berjalan pelan ke sebuah kamar. Di sana, di ranjang yang dikelilingi mesin, seorang gadis terbaring dengan mata tertutup. Rambutnya panjang, wajahnya tenang.

“Itu aku,” katanya.

Aku menatap tubuh itu. “Kau koma…”

“Sudah tiga tahun. Kecelakaan saat festival musim panas. Aku tidak sempat melihat kembang api terakhir. Sejak itu, aku terjebak di sini.”

Suara mesin berdetak seperti jam yang kehabisan waktu.

“Kau ingin hidup kembali?” tanyaku.

Kath menunduk. “Aku takut. Tapi lebih takut kalau tak ada yang menungguku di dunia sana.”

"Aku menatapnya dalam-dalam. “Maka aku akan menunggumu.”

Ia menatapku lama, lalu tersenyum. Senyum itu begitu manusiawi hingga aku hampir lupa bahwa kami berdiri di antara dua dunia.

Sejak hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri aku akan membawanya pulang.

Aku kembali melukis. Setiap malam kuletakkan hasil lukisanku di lapangan, menyalakan satu batang kembang api, seolah cahaya kecil itu bisa menuntun jiwanya menemukan arah.

Liam dan Annie akhirnya tahu apa yang kulakukan. Mereka tak bertanya banyak; hanya duduk di sampingku suatu malam, memandangi kembang api kecil yang kugenggam.

“Kau masih percaya dia akan kembali?” tanya Annie.“

Aku harus percaya,” jawabku. “Kalau tidak, siapa lagi yang akan melakukannya?”

Liam menepuk bahuku. “Kalau begitu, kami juga percaya.”

Musim panas hampir berakhir ketika langit tiba-tiba berubah—malam yang terlalu jernih, angin yang terlalu tenang.

Kami bertiga berdiri di lapangan yang sama.

Aku menyalakan kembang api terakhir, kembang api terbesar yang kupunya.

Cahaya meluncur ke langit, membelah malam, lalu mekar menjadi warna-warna yang nyaris menyakitkan karena terlalu indah.

Dan di tengah cahaya itu, Kath muncul lagi. Tubuhnya lebih pucat dari sebelumnya, namun matanya bersinar.

“Kau benar-benar menungguku,” katanya.

“Aku berjanji.”

“Kau tahu, setiap kali aku hampir hilang, aku melihat warna dari lukisanmu. Itu yang menuntunku kembali.”

Aku menelan air mata. “Kalau begitu, jangan berhenti melihatnya.”

Aku menggenggam tangannya. Dingin berubah hangat. Cahaya dari kembang api turun perlahan seperti hujan bintang.

“Kath,” bisikku, “ingat setiap hal yang membuatmu ingin hidup. Langit. Senyum temanmu. Rasa hangat dari tanah ketika kau menapakinya.”

“Aku mencoba,” katanya. “Tapi semuanya buram.”

“Kalau begitu, biarkan aku menjadi ingatanmu.”

Ia menatapku—pandangan yang membuat waktu berhenti.

Lalu dunia pecah menjadi cahaya.

───── ◆◆◆ ─────

Aku membuka mata di tengah keheningan.

Lapangan itu sudah kosong, hanya tersisa batang kembang api yang hangus. Angin malam berputar pelan, membawa aroma hujan yang belum jatuh.

Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di sana. Waktu terasa cair, seperti detik-detik memanjang yang menolak berhenti

Liam dan Annie menemukanku di sana pagi-pagi.

Wajah Annie bengkak karena kurang tidur, sementara Liam memaksaku minum air.

Mereka tidak menanyai apa pun. Tapi dari cara mereka menatapku, aku tahu: mereka mengerti sesuatu yang besar baru saja terjadi, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata.

Hari-hari berikutnya berjalan samar. Aku mencoba kembali ke kehidupan biasa, tapi setiap kali matahari condong ke barat, aku mendengar suaranya—serak, lembut, seperti gema dari tempat yang jauh.

“Kau sudah melakukan yang bisa kau lakukan, Lui.”

“Tapi aku tidak tahu apakah dia benar-benar pulang…”

“Percayalah,” suara itu berkata. “Percayalah pada harapan yang kau nyalakan.”

Tiga minggu kemudian, berita kecil di koran lokal membuat dunia berhenti berputar sesaat.

“Gadis yang koma selama tiga tahun akhirnya sadar.”

Nama di bawah foto itu membuat napasku hilang.

Kathleen Nayna

Aku membaca setiap baris berita itu berulang-ulang. Ia disebut gadis dengan “keajaiban musim panas,” bangun tanpa sebab medis yang jelas, dengan senyum lembut yang katanya membuat para perawat menangis.

Aku tidak bisa langsung menemuinya. Entah kenapa, ada rasa takut yang aneh—takut bahwa semua yang kualami hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa ingin tahu lebih kuat dari ketakutan.

Aku pergi ke rumah sakit itu pada sore yang hujannya ragu-ragu turun.

Ruangan itu putih dan sederhana.

Kath duduk di kursi roda dekat jendela, rambutnya kini dipotong pendek. Mata itu… masih sama: biru keabu-abuan seperti fajar yang belum sepenuhnya bangun.

Ketika aku berdiri di ambang pintu, ia menoleh.

“Aku tahu kau akan datang,” katanya pelan.

Langkahku berat. “Kau… benar-benar hidup.”

Ia tersenyum. “Aku tidak yakin kata ‘hidup’ cukup menggambarkan rasanya. Aku seperti baru disusun ulang dari serpihan cahaya.”

Kami diam lama. Tak ada yang perlu dijelaskan; seolah semua kenangan di antara kami masih tergantung di udara, masih mengelilingi kami seperti debu yang belum sempat jatuh.

“Aku mengingat semuanya,” katanya akhirnya. “Lapangan, kembang api, dan kamu.”

“Aku pikir kamu tidak akan kembali.”

“Aku juga hampir tidak kembali,” ia menatap jendela, “tapi suaramu menarikku. Kau bilang biarkan kau jadi ingatanku. Dan itu yang terjadi. Aku melihatmu di antara cahaya, menggenggam tanganku.”

Aku menunduk, perasaan hangat menyesak di dada. “Aku hanya tidak ingin kau sendirian.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang aku ingin kau bahagia.”

Hari-hari berikutnya seperti potongan musim panas yang baru.

Kami sering duduk di taman rumah sakit, berbagi cerita kecil yang dulu tak sempat kami miliki. Ia suka menatap langit sore, bilang warna oranye membuatnya ingin menangis dan tertawa bersamaan.

Kadang ia menyentuh jariku, memastikan kehangatan itu nyata.

“Kau tahu?” katanya suatu sore, “aku dulu takut kalau dunia akan terasa asing begitu aku bangun.”

“Lalu?”

“Ternyata tidak. Karena aku bangun dengan keyakinan bahwa seseorang menungguku.”

Aku tersenyum. “Aku hanya menepati janji.”

Ia tertawa pelan. “Janji yang sederhana tapi luar biasa keras kepala.”

Musim panas hampir selesai ketika Kath akhirnya boleh pulang.

Hari itu kami bertiga—aku, Liam, Annie—menjemputnya.

Angin hangat menerbangkan rambut Annie; Liam menggoda Kath soal cara jalannya yang masih goyah. Tapi di balik tawa itu, aku tahu kami semua merasa hal yang sama: bahwa sesuatu di dunia ini akhirnya pulih.

Kami kembali ke lapangan tempat semua dimulai. Rumput sudah lebih tinggi, tapi rel tua itu masih di sana, diam seperti saksi.

Kath berdiri di tengah, menatap langit.

“Aku tidak ingat kapan terakhir kali menatap langit dengan tubuh sendiri,” katanya pelan.

“Maka mulailah dari sekarang,” jawabku.

Kami menyalakan kembang api kecil—hanya satu, tapi cukup untuk memantulkan cahaya di matanya.

Ia menoleh padaku, dan di bawah sinar oranye itu, matanya bersinar seperti dulu.“

Lui,” katanya lembut, “terima kasih karena tidak menyerah padaku.”

“Bagaimana mungkin aku menyerah pada seseorang yang membuatku percaya bahwa hidup masih punya makna?”

Cahaya terakhir padam. Tapi kali ini, tak ada kesedihan.

Yang tersisa hanya keheningan indah dari sesuatu yang telah kembali utuh.

Kini Beberapa tahun telah berlalu.

Liam menulis buku tentang makna bertahan; Annie menjadi fotografer yang suka memotret langit senja.

Aku dan Kath tinggal di kota kecil di tepi laut. Setiap musim panas, kami menyalakan satu batang kembang api di balkon, membiarkan percikannya memantul di wajah kami.

“Masih percaya pada summer ghost?” tanya Kath suatu malam.

Aku tersenyum. “Aku percaya pada harapan yang datang di musim panas.”

Ia tertawa, lalu menyandarkan kepala di bahuku. “Mungkin karena kita sendiri sudah jadi bagian dari legenda itu.”

Dan malam pun berjalan seperti napas yang panjang.

Di atas langit, kembang api terakhir mekar, lalu perlahan padam—meninggalkan sinar samar yang jatuh lembut ke laut.

Aku menatapnya, lalu berbisik,

“Terima kasih sudah pulang, Kath.”

Ia menatapku kembali, matanya berkilau.

“Terima kasih sudah membuatku ingin hidup.”

Dan di sanalah, di bawah langit musim panas yang tak lagi menakutkan, dua jiwa yang pernah tersesat akhirnya menemukan rumah.

Bukan di dunia antara, bukan di cahaya yang fana—tapi di satu hal yang selalu menyalakan kita:

harapan.

───── ◆◆◆ ─────

🕊️ OUR HOPE SELESAI

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
OUR HOPE
Ningningluvvzz
Flash
Jika Nanti
Rizki Mubarok
Cerpen
Bronze
Cerita Pemanis Kopi
T. Filla
Cerpen
Tanah yang Ditinggalkan
Yovinus
Cerpen
Merajut Diri
INeeTha
Cerpen
Bantu Aku Mengeja "Tuhan"
dari Lalu
Cerpen
Bronze
KEPADA SENJA
angin lembah
Novel
Kepin(?)
Saniatu Aini
Cerpen
Bronze
Tentang Cinta
Bang Jay
Flash
Sebuah Jalan
Titin Widyawati
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 1
Dyah
Novel
Mystic Reveries: Chronicles of the Soul's Journey
Liepiescesha
Novel
Bronze
Kamuflase Cinta
Lestari Senja
Cerpen
Kehilangan Diri
Fata Raya
Cerpen
Pertunjukan Air Mata
Ictos Gold
Rekomendasi
Cerpen
OUR HOPE
Ningningluvvzz
Cerpen
Embun untuk Daun
Ningningluvvzz
Cerpen
ANTARA KITA
Ningningluvvzz
Cerpen
Langit Malam untuk Bulan dan Bintang
Ningningluvvzz
Cerpen
Rinai Hujan
Ningningluvvzz
Novel
I Became The Mother of Duke Family
Ningningluvvzz