Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Papan Terlarang
Matahari sore merayap perlahan di balik deretan pohon pinus, melemparkan bayangan panjang yang menari-nari di dinding rumah tua itu. Rumah itu milik mendiang Kakek Harjo, sebuah bangunan kolonial yang lapuk dimakan usia, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela berdebu seperti mata buta. Bagi enam remaja yang menyelinap masuk sore itu – Arga, Bima, Candra, Dania, Erika, dan Farah – rumah itu lebih dari sekadar tumpukan kayu dan batu bata; itu adalah kapsul waktu yang menyimpan rahasia, gema tawa dan bisikan dari masa lalu yang tak terjangkau. Mereka sudah sering menjelajahi setiap sudutnya, dari loteng berdebu hingga ruang bawah tanah yang lembap, mencari petualangan kecil untuk membunuh kebosanan liburan sekolah.
Arga, dengan perawakan atletisnya dan rambut gondrong yang selalu diikat, memimpin jalan. Dia cucu Kakek Harjo, dan meskipun orang tuanya melarang keras, rasa penasaran selalu mendorongnya untuk kembali ke sana. "Sudah lama kita tidak ke gudang belakang," katanya, suaranya sedikit bergema di lorong yang kosong. "Kakek bilang banyak barang-barang aneh di sana."
Bima, si pemikir dari kelompok itu, seorang kutu buku dengan kacamata tebal dan kaos band metal, mengangguk setuju. "Siapa tahu ada harta karun," candanya, mencoba meringankan suasana yang mulai terasa berat. Tapi Bima selalu menyimpan sedikit ketidaknyamanan tentang tempat ini, semacam firasat samar yang selalu dia abaikan.
Candra, yang terkenal paling berani dan selalu ingin membuktikan dirinya, mengentakkan kaki. "Ayo! Jangan buang waktu!" Dia adalah tipe yang akan selalu mendorong batas, bahkan jika itu berarti mengabaikan instingnya sendiri. Di antara mereka, Candra adalah yang paling rentan terhadap pengaruh negatif, selalu haus akan sensasi.
Di belakang mereka, para gadis berjalan beriringan. Dania, si periang dengan tawa renyah, mencoba mengusir kecanggungan dengan melontarkan lelucon. Dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutannya, sebuah topeng yang sering dia kenakan. Erika, yang selalu tampil modis dan terkesan cuek, sibuk memeriksa ponselnya, sesekali mendongak dengan tatapan bosan. Dia hadir karena dorongan Candra, pacarnya, dan sebenarnya lebih memilih menghabiskan waktu di mall. Namun, di balik penampilannya yang angkuh, Erika adalah yang paling sensitif di antara mereka, sangat rentan terhadap kritik dan opini orang lain. Dia selalu berusaha menjaga citra sempurna, menyembunyikan sisi gelap yang dia yakini tidak akan diterima siapa pun.
Dan Farah, yang paling pendiam di antara mereka. Rambut panjangnya selalu menutupi sebagian wajahnya, dan matanya seringkali memancarkan kesedihan yang tak terucapkan. Dia jarang berbicara, lebih memilih mengamati. Di antara semua, Farah adalah yang paling tulus, namun ironisnya, juga yang paling terbebani oleh rahasia yang dia simpan sendiri. Dia datang karena ikatan pertemanan yang dalam dengan Dania, dan karena jauh di lubuk hatinya, dia berharap menemukan sesuatu di rumah tua ini yang bisa mengalihkan perhatiannya dari pikirannya sendiri.
Gudang itu gelap dan berbau apak, dipenuhi tumpukan barang-barang usang yang diselimuti sarang laba-laba tebal. Debu melayang di udara saat mereka melangkah masuk, mengganggu partikel cahaya yang menyusup dari celah-celah papan. Ada lemari tua tanpa pintu, kursi goyang yang kehilangan salah satu kakinya, dan tumpukan majalah lusuh yang mungkin berusia puluhan tahun.
"Lihat ini!" seru Arga, suaranya dipenuhi antusiasme, dari sudut yang paling gelap. Dia sedang menyapu jaring laba-laba dari sebuah kotak kayu persegi panjang yang tergeletak di baw...