Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“JAGAT!” katanya. Suaraku sendiri. Atau mungkin suaranya.
Tidak ada yang lebih setia dari suara ibu di kepala. Bahkan setelah ibu mati. Suaranya tetap hidup, mengetuk-ngetuk dinding tengkorak seperti ingin kembali keluar, mengajari aku cara menyuap nasi dengan tangan kanan.
Namaku Jagat, dan aku menyimpan otak ibuku di dalam kepalaku sendiri. Secara harfiah. Kamu tidak salah dengar. Ini bukan metafora. Sekali lagi, harfiah.
Sebuah hasil dari program Regeneratif Warisan Neurokognitif Nasional yang diluncurkan dua tahun lalu.
KARENA KASIH IBU TAK LEKANG OLEH WAKTU
Kata iklannya.
Kini kasih itu bisa tetap membimbing. Lewat nadi, sinaps, dan medula oblongata.
Aku menandatangani surat warisan otak itu tiga hari setelah hari pemakaman. Aku tidak tahu kenapa. Bisa jadi karena aku anak baik. Mungkin juga karena tidak ada pilihan lain selain menjadi anak baik di hadapan ibu yang selalu lebih keras kepala melebihi kematian itu sendiri.
Operasinya memakan waktu dua belas jam. Setengah otakku diganti dengan jaringan limbik milik ibu. Saat sadar, aku langsung tahu ada yang berbeda.
Sejak hari itu, hidupku berubah.
Lidahku mulai melafalkan doa-doa yang sudah aku lupakan sejak SMP. Dan setiap kali aku menatap cermin, ada jeda setengah detik sebelum aku mengenali wajahku sendiri.
“Ibu nggak suka kamu pakai kaus itu!” Suara itu muncul pertama kali pada hari keempat. Lirih. Seperti getaran batin. “Ganti! Malu-maluin!”
Aku segera berganti baju saat itu juga. Karena di kepala ini, perintah ibu terasa seperti dengungan lebah dalam toples kaca, yang sulit untuk diabaikan.
Aku bangun pagi sebelum subuh dengan perasaan kenyang, padahal belum makan. Di dapur kompor menyala sendiri. Ada bubur ayam yang tak kuingat pernah kubeli.
“Sarapan sehat! Jangan kebanyakan mie instan,” bisik suara itu.
“Jangan-jangan kamu kena kanker lambung kayak Om Mahfud!”
Om Mahfud meninggal tujuh tahun lalu. Ibu masih menyimpan foto jenazahnya di dompet, sebagai pengingat agar tidak begadang. Sekarang aku yang menyimpan foto itu di kepalaku.
Aku coba membantahnya satu kali. Hanya satu kali. Hari itu hari Minggu, aku ingin tidur sampai siang. Baru saja menarik selimut…
“Pemalas! Bangun! Dulu, ibu jam lima sudah cuci popok, tahu!”
Kata-katanya bukan sekadar ingatan. Tapi perintah. Dan aku tunduk.
Dua minggu kemudian, ajaibnya, aku berhenti nonton film porno. Karena suara itu. Dan empat hari kemudian aku sudah tak suka masturbasi lagi.
Aku terbangun dengan pelipis berdetak seperti ketukan palu. Jantungku berdebar, karena rasa takut sekaligus malu. Seperti seorang anak yang tertangkap mencuri uang sumbangan Masjid. Rasa malu yang tidak wajar.
Sejak itu aku tahu jika otak ibu tidak hanya tinggal di kepalaku, tapi sudah mulai mengambil alih hidupku.
Tiga bulan berlalu, aku menemukan diriku duduk di ruang tamu, membaca kitab tafsir yang dulu hanya jadi ganjalan kaki meja. Ibu tersenyum lewat dinding tengkorakku. Aku bisa merasakannya, seperti aroma balsem yang tak pernah hilang dari aroma bantal lamanya.
Tahun ini aku berusia tiga puluh. Tapi sejak otak ibu hidup di dalam kepalaku, aku merasa seperti anak-anak lagi. Anak laki-laki berumur tujuh tahun yang belum tahu cara membantah, belum tahu cara meninggalkan rumah, dan belum tahu cara membungkam suara ibu yang tak pernah berhenti berkata, “Kalau bukan karena ibu, kamu nggak akan jadi siapa-siapa.”
Aku memutuskan menemui seorang psikiater, yang dianjurkan.
Dr. R. Ervina, SpKJ.
Aku bilang, “Saya merasa di dalam kepala saya… ada dua orang.”
Dia tersenyum lebar, sangat lebar.
“Itu normal. Banyak pasien kami merasa begitu setelah transplantasi otak keluarga. Tahapan integrasi kognitif memang seperti ini.”
“Jadi saya harus terbiasa?” tanyaku, mencari kepastian.
Dia menatapku dengan tatapan yang tenang, seolah sedang mengamati spesimen langka.
“Tujuan kita adalah integrasi. Menerima semua bagian dari diri Anda. Baik yang baru, maupun yang lama.”
Kalimatnya terdengar profesional, tapi entah kenapa tidak membuatku lega.
Di malam-malam berikutnya, ibu mulai bernyanyi. Lagu anak-anak yang dulu sering ia nyanyikan saat aku sakit demam. Sekarang dengan nada yang sumbang, dan kata-katanya berubah.
“Nina bobo, oh jangan bobo, kalau kamu bobo nanti ibu masuk…”
Masuk ke mana?
Aku tidak ingin tahu.
Aku mulai mengurung diri. Aku tutupi semua cermin. Aku menyumpal lubang kupingku dengan kapas dan menempelkan lakban. Aku menulis surat pengunduran diri, tapi ibu mengubahnya di malam hari.
Besoknya, saat akan ku kirim ke HRD kantor, aku baca ulang surat itu, tulisannya seperti bukan tulisanku. Kata-katanya lebih mirip dengan kata-kata ibu.
Suratnya berubah, bukan lagi permintaan resign. Tapi lamaran jadi pegawai tetap.
Hari itu, seorang teman datang. Nanda. Satu-satunya perempuan yang tahu aku pernah ingin jadi penulis, bukan pegawai negeri. Dulu dia percaya pada puisiku. Tapi sekarang dia menatapku seperti sedang melihat patung lilin yang meleleh setengah.
“Jagat, kamu ke mana aja? Aku khawatir tau.”
Aku ingin menjawab. Tapi lidahku kaku.
“Jangan ngomong! Cewek itu pembawa sial. Nakal. Dulu dia hampir bikin kamu berzina, kan!”
Kalimat itu terdengar keras di dalam kepalaku. Aku menunduk. Tanganku mengepal di balik meja. Nanda menunggu. Matanya lembut, sabar.
Aku akhirnya membuka mulut. Tapi yang keluar bukan suaraku. “Maaf, saya tidak bisa bicara dengan perempuan yang pakai celana ketat.”
Nanda mematung, terluka, lalu berdiri dan pergi meninggalkanku selamanya.
Malam itu aku menyalakan semua lampu. Duduk di ruang tengah. Menghadap ke cermin yang selama ini kututupi dengan koran. Penutupnya aku robek. Aku ingin tahu. Aku ingin melihat siapa sebenarnya yang tinggal di kepalaku.
Kupandangi bayanganku sendiri. Lama. Lalu aku bicara setengah berteriak. “Ibu, tolong… berhenti! Aku tidak tahan lagi!”
Tapi tidak ada suara. Hanya pantulan wajahku, menatap dengan mata memerah dan rambut yang sudah memanjang di pelipis.
Aku bicara lagi. Kali ini lebih keras. “Ibu! Aku bukan anak kecil lagi!”
Dan sebuah suara akhirnya menjawab, “Aku juga tidak pernah menyuruhmu jadi anak kecil.”
Suara itu keluar dari mulutku sendiri. Aku terhenyak. Mulutku terbuka sedikit, seolah aku baru menyadari sesuatu yang mengerikan. Dengan tangan gemetar, aku membongkar laci, mengeluarkan dokumen-dokumen lama. Surat operasi. Surat persetujuan. Iklan program warisan otak.
Kosong. Aku hanya menemukan kertas polos. Tanpa tanda tangan rumah sakit. Tak ada tanggal yang masuk akal. Di salah satu kertas bahkan hanya bertuliskan, 29 Februari 2007.
Kepalaku pening. Jantungku berdebar kencang. Jadi semua ini hanya halusinasiku? Operasi itu tidak pernah ada? Aku gila. Aku benar-benar sudah gila. Aku mencengkeram kepalaku, siap untuk menjerit.
Tiba-tiba, suara di kepalaku muncul. Tapi kali ini berbeda. Bukan lagi omelan atau bisikan. Nadanya tajam, dingin, dan mendesak.
"JAGAT, DIAM! JANGAN PANIK, BODOH!"
Aku terkesiap. Ini suara ibu, tapi bukan ibu yang kukenal.
"Mereka sengaja melakukannya," desis suara itu lagi, nadanya penuh amarah yang terkontrol. "Mereka membuatmu percaya kau gila agar kau mudah dikendalikan. Lihat kertas itu lagi. Tanggalnya. Itu bukan kesalahan. Itu kode! Mereka meremehkan kita!"
Aku menatap kertas bertanggal 29 Februari 2007 itu dengan mata terbelalak. Kode? Bukan bukti kegilaan?
"Aku mungkin sudah mati, Jagat," suara itu melanjutkan, "tapi aku tidak akan membiarkan dokter gila itu menjadikan anakku satu-satunya kelinci percobaan. Sekarang berhenti menangis. Berpikir. Siapa yang paling diuntungkan jika kau percaya kau gila?"
Dr. Ervina.
Wajahnya yang tersenyum lebar melintas di benakku. Kalimatnya yang kuanggap aneh kini terdengar seperti sebuah ancaman. "Tujuan kita adalah integrasi..." Integrasi. Atau... penaklukan total.
Rasa takutku tidak hilang, tapi berubah bentuk. Dari takut pada diriku sendiri, menjadi takut pada dunia di luar kepalaku. Aku tidak gila. Aku dalam bahaya.
***
Keesokan harinya, aku kembali menemui Dr. Ervina. Aku berusaha tampil seperti biasa, bingung, putus asa, seorang pasien yang patuh.
“Saya tidak tahu harus bagaimana lagi, Dok. Suara itu semakin kuat,” kataku dengan suara bergetar yang kubuat-buat.
Dia tersenyum lebar, sangat lebar. “Itu normal. Artinya prosesnya berjalan baik. Anda hanya perlu berhenti melawan, Jagat. Sebentar lagi, semuanya akan terasa damai.”
Aku menatap matanya, mencari celah di balik topeng malaikat penolongnya. Aku melihatnya. Kekosongan yang dingin.
“Jadi saya hanya perlu… tunduk?” tanyaku, mengujinya.
Senyum Dr. Ervina mencapai matanya. Senyum seorang pemenang.
"Waktu integrasinya habis. Sepertinya subjek menolak," katanya, bukan padaku, tapi pada interkom di mejanya.
Pintu di belakangku terbuka. Dua perawat berbadan besar masuk ke ruangan, tatapan mereka kosong, gerakan mereka mekanis.
Di kepalaku, suara ibu berteriak, bukan padaku, tapi bersamaku.
"LARI!"
Untuk pertama kalinya, kami berdua menginginkan hal yang sama.
***