Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Organisasi Rahasia
1
Suka
1,434
Dibaca

Selama ini aku selalu berpikir bahwa kucing adalah hewan yang luar biasa lucu dan menggemaskan. Tingkah polah mereka selalu berhasil menarik perhatianku. Aku sanggup menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk duduk diam memerhatikan kelucuan mereka. Rasanya sungguh menyenangkan; menenangkan. Para kucing itu serupa hujan yang membasahi tanah kering, bagai lantunan musik di sela hari-hari yang sepi dan menjemukan; penuh dengan tugas dan tuntutan yang membuatku cemas tiada berkesudahan.

Oh, aku belum tahu. Rupanya semesta memperhitungkan setiap keluh kesah yang kita ungkapkan. Aku tidak tahu apakah kelak mesti bersyukur atau menyesalinya.

Aku rasa segala sesuatu bermula pada hari itu, ketika aku hendak pulang dari sekolah. Langit perlahan berubah gelap. Hujan sepertinya akan segera jatuh tanpa mau menungguku tiba di rumah.

Aku mempercepat langkah dan tak sengaja menabrak seorang kakek tua berwajah ramah. Ia tersenyum dan memintaku untuk berhati-hati. Aku minta maaf ala kadarnya lalu bergegas pergi menuju jalan pintas. Sebuah gang sempit yang jarang dilalui orang. Di sudut gang itu terdapat sebuah tempat sampah raksasa. Aku hanya ke tempat itu jika Ibu memberi tugas untuk membuang sampah. Menurutku tempat sampah dari besi itu sangat menyeramkan. Ia besar, berkarat dan jorok. Ia mengeluarkan suara derit yang aneh setiap kali aku mendekat. Kurasa ia sedang mengintai untuk bisa menelanku begitu ada kesempatan. Hari ini aku tidak punya pilihan lain.

Aku bersiap untuk lari sekencang-kencangnya. Namun, mendadak kakiku tak mampu bergerak. Sebuah kardus kecil di samping 'si raksasa besi' terlihat bergerak-gerak. Aku mematung. Menahan napasku. Jantungku berdetak dua kali atau mungkin empat kali lebih cepat. Apa itu?

Sesuatu yang kecil dan berbulu menyembul keluar dari dalam kardus. Seekor anak kucing! Keteganganku belum mengendur. Langit semakin gelap. Aku harus cepat. Aku berhasil bernapas dengan normal, dan dengan cepat berlari melewati raksasa besi. Tapi anak kucing itu kini mengeong. Lagi-lagi laju kakiku terhenti. Langit sudah sepenuhnya gelap. Aku merasakan setitik hujan jatuh di rambutku, lalu meresap ke dalam kulit kepalaku yang berkeringat. Si anak kucing mengeong nyaring. Aku rasa kucing itu pasti tengah merasakan hal yang sama denganku, ketakutan.

Aku buru-buru berbalik. Kuhampiri anak kucing itu. Ia berhenti mengeong dan memandangiku dalam diam dengan bola mata hitamnya yang besar. Aku bagai tenggelam dalam pekat bola mata itu. Lalu suara itu muncul. Suara derit raksasa besi. Kusambar kardus berisi anak kucing, kemudian lari pontang panting. Titik-titik hujan sudah tak sabar. Mereka mengeroyokku sepanjang sisa jalan pulang.

Anak kucing tinggal bersamaku sejak hari itu. Kunamai dia Si Hitam. Dan sejak itu pula, pulang sekolah menjadi hal yang semakin kunantikan. Aku merawat Si Hitam dengan sungguh-sungguh. Karena jika tidak, ibu akan dengan senang hati mengembalikannya ke sisi raksasa besi. Aku harus memastikan hal tersebut tidak terjadi. Si Hitam telah memberi warna pada hari-hariku.

Setiap hari, aku tak pernah terlambat menyiapkan santapan lezat untuk Si Hitam. Aku juga rajin memandikannya dan mengajaknya jalan-jalan ke taman di akhir pekan. Aku bahkan membacakan dongeng untuknya setiap malam, kadangkala mengajaknya berdiskusi soal PR Matematika yang bukan main banyaknya. Intinya, kami menjadi sahabat baik. Paling tidak, begitulah anggapanku.

Sebulan berlalu, dan sesuatu hal yang aneh mulai terjadi. Si Hitam sering merajuk. Ia tak mau lagi diajak bermain. Ia juga mengabaikan dongeng yang kubacakan. Sering aku mendapatinya tengah menatapku lekat-lekat. Sebuah tatapan dingin yang membuatku takut. Pada malam hari menjelang jam tidur, beberapa kali aku melihatnya menyelinap keluar melalui jendela dapur. Ibu selalu mengunci jendela itu paling akhir. Aku merengek pada Ibu untuk tidak menguncinya. Aku kuatir bagaimana Si Hitam akan masuk nanti. Ibu menatapku jengkel sembari bilang kalau Si Hitam selalu kembali ke rumah setiap pagi.

Terdorong oleh rasa penasaran, malam ini aku bertekad untuk mengikuti Si Hitam. Aku harus tahu apa yang dilakukannya sampai pagi, aku kan sahabatnya. Jam dinding di dapur menunjukan pukul sepuluh kurang sepuluh menit. Aku melihat Si Hitam lagi-lagi menyelinap pergi.

Kucing kecil itu menyusup ke dalam gelap malam. Melenggang tenang menyusuri jalanan yang sepi. Langkah-langkahnya ringan tanpa suara. Aku mengikutinya dari kejauhan. Jantungku berdebar. Hembusan angin malam ternyata cukup dingin, tapi tidak kupedulikan. Si Hitam berbelok ke kanan, ke arah taman tempat biasa kami menghabiskan akhir pekan.

Aku bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Di dekat sebuah kursi taman, beberapa ekor kucing tampak bergerombol. Mereka seperti menunggu kedatangan Si Hitam. Aku mengenali seekor kucing jalanan yang biasa kuajak bermain di taman sebelum aku menemukan Si Hitam.

Kini para kucing itu duduk melingkar, masing-masing mengeong pelan, seolah saling memberikan laporan. Aku terkejut sekaligus bangga pada Si Hitam. Diam-diam ia ternyata bergabung dengan suatu organisasi rahasia--organisasi kucing-kucing taman.

Susah payah aku menahan senyum. Kurasa sudah waktunya untuk pulang. Akan kubiarkan Si Hitam menghabiskan waktu bersama rekan-rekan komplotannya.

Aku bermaksud pergi diam-diam. Dengan sangat hati-hati aku berbalik. Namun, krak! Aku menginjak sebatang ranting kering. Suara patahannya menggema di taman yang hanya ada aku dan para kucing organisasi.

Aku menoleh ke arah para kucing itu. Mereka melotot ke arahku. Tatapan mereka sengit. Sepertinya mereka marah. Aku tersenyum canggung. Minta maaf karena mengganggu pertemuan mereka, lalu pamit pulang. Kumasukan kedua tanganku ke dalam saku, lalu bergegas pergi menjauh dari taman.

Udara mendadak menjadi berkali-kali lipat lebih dingin. Aku berjalan buru-buru. Aku ingin sesegera mungkin berada di kamarku yang hangat. Namun, entah hanya perasaanku saja atau jalan setapak menjadi lebih panjang dari biasanya. Aku belum juga tiba di rumah. Padahal jarak dari taman ke rumah tak sampai lima menit.

Aku menoleh ke belakang. Seekor kucing gendut berbulu kelabu mengikutiku. Langkah-langkahnya berderap cepat dalam keheningan. Perasaanku tidak enak.

Kupercepat langkahku. Namun, rumahku belum kelihatan juga. Kucing-kucing yang mengikutiku semakin banyak.

Aku mulai berlari. Sempat menoleh ke belakang beberapa kali. Si Hitam tak nampak di antara gerombolan makhluk berbulu itu. Apa yang mereka inginkan? Aku kan sudah minta maaf. Lagipula, baru sekali ini aku menginterupsi pertemuan rahasia mereka. Itu pun tanpa sengaja. Andai aku bisa menjelaskan hal ini pada mereka.

Aku menoleh lagi. Tatapan para kucing itu membuatku semakin merasa ngeri. Aku panik dan terus berlari.

Malam makin pekat. Menemani diriku yang tengah lari ketakutan tanpa alasan yang jelas. Bruk! Aku menabrak sesuatu. Ah, tidak. Aku menabrak seseorang. Seorang kakek berwajah familiar. Ia tersenyum ramah, lalu membantuku berdiri. Ia bahkan mengelus rambutku dan bertanya mengapa aku berlarian di tengah malam.

Aku yang terengah-engah tak mampu menjawab, aku menoleh ke belakang dan menunjuk komplotan kucing yang mengejarku. Tapi mereka sudah tak lagi di sana. Rombongan itu lenyap begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi?

Seekor anak kucing berbulu hitam muncul dari balik pepohonan. Ia menatapku heran sambil mengeong pelan.

Si Hitam? Sungguh aku kehilangan jejaknya tadi, tapi sekarang ia duduk manis di hadapanku. Menatap sendu dengan bola mata hitamnya yang besar.

Kepalaku mendadak pening. Sekelilingku seperti berputar. Aku jatuh terduduk dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhku. Si Hitam terus mengeong. Aku masih merasakan tatapan mata bundarnya yang gelap.

Pandanganku semakin kabur. Pohon dan rerumputan di sekitarku tampak semakin besar; seolah menghimpitku.

Mataku memejam. Kurasakan sebuah sensasi yang aneh. Lalu, kurasa aku jatuh tertidur, entah berapa lama.

Kesadaranku perlahan kembali. Kubuka mataku dan menatap sosok yang berjongkok di hadapanku. Ia tersenyum, mengelus kepala dan leherku. Seorang anak kecil, mungkin kelas tiga atau empat sekolah dasar. Wajahnya sangat kukenal. Anak itu, aku!

Mataku mengerjap tak percaya. Tubuhku diam mematung. Anak itu pun bangkit. Ia tersenyum seraya berkata, "Ini lebih cepat dari rencana, tapi tidak masalah."

Sekarang, kamu tidak perlu khawatir lagi soal PR Matematika dan semua jadwal les yang padat itu. Aku akan mengurus semuanya untukmu."

Anak itu kemudian melambaikan tangannya dan melangkah pergi. Aku berusaha mengejar dan memanggilnya, tapi aku tidak bisa bicara. Aku mengeong!

Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?!

Di tengah kekalutan, jari-jari keriput melingkarkan dirinya di tubuhku. Seketika aku merasa hangat dan nyaman. Aku diangkat dan didekap, lalu dibawa pergi. Entah ke mana.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Organisasi Rahasia
Venny P.
Novel
Demi Arwah Kekasihku
Arzaderya
Cerpen
Ayah di Seberang Sungai
Fazil Abdullah
Cerpen
Samsara Paradox
N.P. Ramadhan
Flash
Truntum
Nunik Farida
Cerpen
Bronze
UTI PUTRI & BANJIR YANG MENENGGELAMKAN IBUKOTA
Sri Wintala Achmad
Novel
The Game After Married
Mustofa P
Cerpen
Bronze
Dua Kisah dalam Satu Taring
Andriyana
Novel
Margin
Aliurridha
Cerpen
Perempuan Setengah Gila
Sofa Nurul
Cerpen
WITNESS
Rudie Chakil
Novel
Who is the killer? [Celine]
I M A W R I T E
Flash
Endemi dari Peri
MosaicRile
Flash
Lintas
Seto Yuma
Skrip Film
Langit Putih Awan Biru
Jafri Hidayat
Rekomendasi
Cerpen
Organisasi Rahasia
Venny P.
Cerpen
Pulang
Venny P.
Flash
Saksi Bisu
Venny P.
Cerpen
Selepas Petang
Venny P.
Flash
Bronze
Gerbang Nasib
Venny P.
Cerpen
Bronze
Dua Perempuan
Venny P.