Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Orang Gila yang Menyenangkan
0
Suka
14
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Semakin hari, dunia berubah dengan begitu cepat. Katanya, cara beradaptasi paling cepat adalah mengikuti semua standar yang sedang ramai diperbincangkan. Rasanya, semua orang akan dikendalikan oleh teknologi. Bahkan dari gaya hidup, sifat, karakter, dan lingkungan memiliki standar yang seolah-olah jika kita tidak mengikutinya akan dianggap tertinggal zaman.

Pun demikian dengan aku, Dimas. Remaja yang hidup dalam lingkungan perfeksionis dan penuh ambisi. Hidupku tak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan banding-membandingkan, mulai dari pekerjaan, tempat bermain, status sosial, gaya berpakaian, selera musik, perilaku, hingga pencapaian hidup. Alhasil, aku tumbuh menjadi anak yang arogan dan sulit menghormati orang yang secara kasta jauh di bawahku.

Sampai aku menemukan titik, di mana saat itu motorku mogok di tengah jalan. Dengan suasana jalanan ibu kota yang hujan, waktu yang sudah sangat larut malam, ponsel yang kehabisan baterai, dan tempat yang jauh dari bengkel. Aku hanya terdiam, bingung, dan penuh perasaan campur aduk.

Sambil menyulut rokok dan melafalkan doa penuh cemas, di saat itulah doaku terkabul. Dua orang dengan baju basah dan celana pendek serta motor matic butut menghampiriku yang sedang berteduh di bawah ruko yang sudah tutup. Awalnya aku sedikit waswas, takut mengira mereka berdua maling. Sampai akhirnya, mereka malah menawarkan bantuan.

“Bang, neduh dulu aja di tempat gue. Soalnya di sini sepi, bengkel juga udah pada tutup,” ucap seorang bertubuh jangkung.

“Eh, gimana ya? Gak apa-apa, Bang, di sini aja,” jawabku.

“Di sini sepi banget, Bang. Kalau abang mau nunggu bengkel, paling besok siang baru buka.”

“Iya, Bang, gak apa-apa. Saya di sini aja,” balasku menegaskan.

Mereka berdua pun tetap bersikeras menawarkan bantuan. “Bener, Bang? Santai aja, kita bukan orang jahat kok.”

Cukup lama pikiranku bergumul, sampai akhirnya aku menerima ajakan mereka. Motor yang kukendarai pun didorong menuju basecamp mereka.

Ternyata, tidak hanya mereka berdua yang ada di sana. Ada dua orang lainnya yang sedang berbincang di tempat berantakan yang dipenuhi puntung rokok berserakan, coretan grafiti di tembok, gelas bekas kopi yang belum dicuci, dan bungkus kacang yang bertumpuk.

“Bang, maaf ya tempat kita berantakan gini,” sahut mereka begitu aku masuk ke dalam basecamp berupa rumah tua.

“Eh, gak apa-apa, Bang. Justru saya yang ngerepotin,” balasku sambil bersalaman dan berkenalan dengan mereka.

Setelahnya, aku ikut berbincang satu sama lain. Mempertanyakan latar belakang, kesibukan, kegiatan sehari-hari, sampai membicarakan banyak hal. Kesan pertamaku, mereka terlihat seperti kumpulan pemuda gagal arah. Dari pakaian yang lusuh, cara bicara yang meledak-ledak, hingga tawa yang terlalu lepas seolah dunia tak pernah memberatkan mereka.

Namun, semakin lama aku duduk bersama mereka, semakin aku sadar bahwa mereka bukan gagal. Mereka hanya memilih jalan yang berbeda—jalan yang mungkin tidak disukai oleh orang-orang sepertiku.

Malam itu, obrolan kami tak hanya berhenti pada basa-basi. Ada cerita tentang Agoy, si jangkung yang menolongku tadi, yang dulunya atlet basket sekolah. Cedera parah membuatnya berhenti total. Ayahnya kecewa, ibunya meninggal, dan dunia seolah mencoret namanya dari daftar orang yang berhak sukses.

Tapi Agoy anak yang sangat humoris. Di balik kegetiran hidupnya, ia anak yang paling aktif melontarkan lelucon-lelucon yang kadang terdengar cringe. Meskipun kelakuannya gila, Agoy anak yang sangat baik terhadap sesama. Kegemarannya dalam membantu orang bukan karena paksaan atau tuntutan, melainkan dari hati terdalam.

Lalu ada Reno, si pendek berkepala botak yang selalu menyambung cerita dengan penuh penghayatan. Dulunya ia anak pesantren yang, saat lulus, malah terjerumus dalam dunia gelap. Setelah ditangkap karena mengedarkan narkoba, ia bertobat supaya lebih baik lagi. Kini hidupnya disibukkan dengan menjadi marbot masjid. Meskipun sering diremehkan, ia senang mengabdikan diri untuk banyak orang.

Dan dua orang lainnya, Eko dan Satria. Satu pendiam dan satu sangat bawel mengomentari berita-berita terkini. Eko hobi bermain musik, walaupun baru merilis satu lagu. Tapi ia sangat mahir dalam melantunkan melodi petikan senar. Beda halnya dengan Satria, mulutnya yang sering ceplas-ceplos, meskipun sering melontarkan omongan kasar. Namun, ia sangat aktif dalam kegiatan sosial. Kini, selain bekerja sebagai sales mobil, ia juga turut berpartisipasi dalam gerakan kemanusiaan di dekat rumahnya.

Waktu berjalan pelan. Hujan masih mengguyur jalanan kota, tapi rasanya terasa lebih hangat dalam perbincangan. Aku yang biasa menilai seseorang dari penampilan luarnya, kini disadarkan setelah mendengar banyak cerita orang-orang yang dianggap sampah masyarakat.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa seseorang tak bisa dilihat hanya dari penampilan luarnya saja. Kadang, kita terlalu cepat menilai sampai lupa bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan jalan ceritanya masing-masing.

“Ya, kita mah udah sering banget dianggap nakal lah, brengsek lah, musuh masyarakat lah, dan stigma negatif lainnya, Bang. Cuma, namanya hidup, ya udah lah, kita juga gak bisa maksain semua orang suka sama kita, kan?” jelas Reno yang berapi-api.

“Tugas kita cuma memperbaiki hidup supaya lebih baik lagi dan bermanfaat aja buat banyak orang.”

Setelah banyak berbincang, menjelang subuh aku izin untuk merebahkan mata sejenak. Aku ikut menginap bersama mereka, dan setelah matahari menyambut, motor yang mogok itu dibawa ke bengkel. Dibantu oleh Reno dan Agoy, aku pun mengucapkan terima kasih dan saling bertukar kontak.

“Kapan-kapan main lagi ya, Bang,” ucap Agoy setelah aku berpamitan.

***

Beberapa minggu setelah kejadian itu, aku malah sering main ke basecamp mereka. Kadang hanya untuk melepas penat sambil ngopi dan tertawa. Kadang ikut mereka dalam kegiatan sosial seperti berbagi nasi kotak, bermain bersama anak panti asuhan, atau ikut turun dalam aksi kemanusiaan lainnya. Dari mereka, aku banyak belajar soal kepedulian terhadap sesama, kebahagiaan tanpa validasi, kegilaan yang justru mampu menyembuhkan kepedihan, dan perjuangan soal kehidupan.

Namun, tak selamanya cerita baik berakhir dengan indah.

***

Tak terasa, dua tahun sudah aku mengenal mereka. Meskipun kadang menjengkelkan, aku sangat bahagia karena memiliki orang yang mampu menerimaku dengan baik. Tanpa melihat latar belakang personal, mereka mampu menularkan energi baik kepadaku.

Sampai pada suatu malam, selepas pulang kerja, aku sengaja datang membawa martabak untuk dimakan di basecamp. Akan tetapi, suasana terasa sangat dingin. Reno dengan wajah murungnya menangis dalam diam. Eko hanya duduk tanpa suara, dan Satria yang biasanya mengoceh banyak hal hanya memandangi langit-langit sambil menahan isak tangis.

“Agoy udah meninggal, Bang…” Satria membuka obrolan dengan serius.

Satria melanjutkan dengan tarikan napas panjang, “Dua hari yang lalu, dia sama saya lagi jalan ke warung, Bang. Pas ada nenek-nenek yang mau nyebrang, dia ditabrak sama pengendara mobil yang lagi mabuk.”

Aku yang mendengar langsung merinding dan menarik napas dalam-dalam.

“Sempet dibawa ke rumah sakit. Tapi ternyata… wassalam.”

***

Agoy. Si penghibur tongkrongan. Si paling idiot. Anak yang hobinya membuat gebrakan penuh kegilaan. Dia yang selalu menyembunyikan rasa sedihnya dengan lelucon garingnya. Bahan ejekan kami karena tingkah lakunya yang di luar nalar, kini telah pergi tanpa berpamitan.

Ternyata, tak hanya kami berempat yang merasa kehilangan. Teman-teman lainnya pun turut merasakan kedukaan mendalam.

Beberapa orang mengenal Agoy sebagai anak yang bandel dan nakal. Lebih banyak lagi yang mengenalnya sebagai anak baik, humoris, suka menolong, dan sering mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya sendiri. Anak yang berani berbuat tanpa takut salah. Ia murah senyum terhadap semua orang.

Seakan rekaman kebaikan-kebaikannya memutar di kepalaku. Lebih besar ketimbang stigma nakal yang sering ia terima. Meskipun baru sebentar aku mengenalnya—dengan cara yang tidak sengaja bahkan—pertemuan singkat itu membekas sangat dalam di hatiku.

Kini, aku kembali menjalani hidup seperti biasa. Eko memutuskan merantau demi tawaran pekerjaan yang lebih baik. Reno dikenal sebagai musisi dan disibukkan dengan jadwal manggung. Sedangkan Satria sudah aktif sebagai pembicara di berbagai media.

Aku, yang dahulu bertemu dengan mereka sebagai orang biasa, kini sangat bangga melihat mereka berkembang pesat hanya dalam beberapa tahun. Semua kenangan bersama mereka menjadi pelajaran berharga di hidupku.

Bahkan aku yang dahulu memandang rendah seseorang hanya dari penampilan belaka, kini berubah total hanya karena bertemu manusia antah-berantah ini. Sekarang, aku banyak memandang seseorang tidak hanya dari luar, melainkan dari hati.

Hidup memang terasa sangat misterius. Lika-liku kehidupan membawaku pada orang-orang yang sering dianggap gila, namun justru paling menyenangkan. Anak-anak yang dikenal sebagai sampah masyarakat, justru merekalah yang paling terdepan mengajariku soal menghargai dan peduli terhadap sesama.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Bronze
Jejak Kaki di Pasir yang Terhapus Angin
Rudi Ardi Hamzah
Cerpen
Coba Sekali Lagi
Rizki Mubarok
Cerpen
Orang Gila yang Menyenangkan
Rizki Mubarok
Novel
Bronze
DOSA YANG SALAH
Alda.
Novel
Endless Origami
dedanel
Novel
MAX. 25 TAHUN
Ara Segara
Skrip Film
Sesayat Munajat Cinta (Sebuah Skenario Film)
Imajinasiku
Flash
Bronze
PADA SEBUAH CAFE
Onet Adithia Rizlan
Flash
Indah Pada Waktunya
Wilis Juharini
Flash
Bronze
Don't Lose Yourself When You're Falling in Love
Silvarani
Novel
Selena Tsabina - I Just Believe You
Angela Ann
Flash
Bronze
Cilok Sepuluh Ribu
B12
Cerpen
Bronze
Farah
Artmeza
Novel
Bronze
Karir & Cinta
Lusi permata sari
Novel
Gold
I Love Cooking
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Coba Sekali Lagi
Rizki Mubarok
Cerpen
Orang Gila yang Menyenangkan
Rizki Mubarok
Cerpen
CIBIRU
Rizki Mubarok
Cerpen
Selepas Ayah Berpulang
Rizki Mubarok
Cerpen
Semua Butuh Waktu
Rizki Mubarok
Cerpen
Siapa Peduli
Rizki Mubarok
Cerpen
Catatan si Anak Emas
Rizki Mubarok
Cerpen
Jatuh dalam Pelukan
Rizki Mubarok
Flash
Senjata Terakhir
Rizki Mubarok
Cerpen
ARUNIKA
Rizki Mubarok
Cerpen
Gaun Putih
Rizki Mubarok
Cerpen
When Nation Falls
Rizki Mubarok
Cerpen
Cerita yang Tak Pernah Selesai
Rizki Mubarok
Cerpen
Tak Ada Lampu Merah di Bandung
Rizki Mubarok
Cerpen
Tia Monica Manis Sekali
Rizki Mubarok