Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin malam menggigit tajam saat Aditya Wira melangkah keluar dari kafe kecil di sudut Jalan Veteran. Sejak meninggalkan dunia intelijen dua tahun lalu, hidupnya hanyalah deretan rutinitas biasa—kopi, membaca, dan lari pagi. Ia pikir dunia lamanya sudah terkubur. Ia pikir... salah.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk tanpa nama pengirim.
> “72 jam. Atau sahabatmu menghilang selamanya. —E.”
Aditya mendadak berhenti. Matanya menyipit. Ia tahu hanya satu orang yang cukup dekat untuk disebut 'sahabat' — Arga, rekannya saat masih di badan intelijen. Arga yang dulu selalu menutupi punggungnya dalam misi-misi penuh darah dan tipu daya.
Dengan napas memburu, Aditya segera menghidupkan motor tuanya dan melesat menembus kota yang basah oleh gerimis. Ia menuju satu-satunya tempat yang mungkin bisa memberinya jawaban cepat—Markas Lama Divisi Phantom, unit bayangan rahasia tempat ia dan Arga dulu mengabdi.
Tapi saat ia tiba, tempat itu sudah porak-poranda. Bau terbakar dan darah samar tercium. Di antara reruntuhan, secarik kertas disematkan di pintu masuk dengan pisau kecil.
> "Kami Eclipse. Jangan cari kami. Atau kau akan kehilangan segalanya."
Tangan Aditya mengepal. Eclipse. Nama yang hanya dibisikkan dalam lingkaran terdalam badan intelijen—kelompok pengkhianat, mantan agen, tentara bayaran, dan kriminal berkelas yang bergerak dalam bayangan.
"Kalau mereka berani menantangku," gumam Aditya, suaranya serak menahan amarah, "mereka belum benar-benar mengenalku."
Aditya kembali ke apartemennya, menarik keluar koper besi dari bawah lantai kayu. Di dalamnya: pistol FN Five-seveN, beberapa magazine penuh, pisau tempur, serta laptop khusus dengan sistem pengacak sinyal. Ia mengenakan jaket kulit usang miliknya dan mengunci pintu dari luar.
Langit di atas Jakarta semakin gelap, seolah ikut mengabarkan bahwa ini bukan perjalanan biasa.
Malam itu, dari sudut kecil apartemennya, Aditya mulai mengumpulkan potongan-potongan informasi. Lewat jaringan lama yang masih setia, ia menemukan sesuatu—ada gerakan senyap di pelabuhan Tanjung Priok. Pengiriman barang besar tanpa dokumen, dijaga ketat, dan tanpa logo perusahaan resmi.
Pukul dua dini hari, Aditya sudah berada di atap gudang nomor 7, mengamati lewat teropong malam.
Satu truk hitam berhenti. Beberapa pria bertopeng mengangkat sesuatu yang ditutupi terpal abu-abu. Aditya membidik. Kamera kecilnya menangkap gambar. Saat ia memperbesar, matanya melebar—ada logo Eclipse tercetak samar di sudut terpal.
Tiba-tiba, suara di belakangnya.
“Sudah lama, Wira.”
Aditya berbalik cepat, pistol terangkat. Seorang pria dengan wajah sebagian tertutup masker berdiri di bawah lampu redup. Ia mengenakan jaket kulit hitam, dan di tangan kanannya, sebilah pisau berkilat.
"Siapa kau?" desis Aditya.
Pria itu tertawa pelan. "Aku... masa lalu yang tak bisa kau kubur."
Tanpa aba-aba, pria itu menyerang. Pisau berkilat membelah udara, tapi Aditya menangkis, berbalik, dan mendorong lawannya mundur. Mereka bertarung diam-diam di atas atap, hanya disaksikan cahaya bulan.
Dalam satu gerakan cepat, Aditya berhasil menahan lawannya dan menodongkan pistol ke pelipisnya.
"Siapa pemimpin Eclipse?!" bentak Aditya.
Pria itu tertawa pelan, lalu berbisik, "Kau akan segera tahu. Tapi siap-siap kecewa, Wira."
Seketika, dari bawah, suara tembakan menggema. Lawan Aditya tersenyum sinis, melepaskan dirinya, lalu menjatuhkan granat asap ke lantai atap. Dalam kekacauan itu, ia menghilang.
Batuk keras, Aditya memicingkan mata menembus asap tebal. Saat kabut mulai menipis, pria itu sudah tak ada.
Namun sebelum pergi, ia meninggalkan sesuatu di tempat Aditya berdiri: kunci kecil berukir angka "09" — entah petunjuk, atau jebakan.
Aditya memasukkan kunci itu ke saku jaketnya. Matanya menatap ke jauh, ke horizon gelap Jakarta.
Waktunya berpacu telah dimulai. Dan Aditya tahu, tak ada jalan mundur.
Pagi itu, Aditya berlari membelah lorong-lorong kota, mengejar
bayang-bayang masa lalu yang kini berubah menjadi musuh. Kunci kecil berangka
"09" di tangannya seperti membisikkan teka-teki baru. Ia tahu, dalam
dunia intelijen, setiap petunjuk bisa berarti hidup atau mati.
Ia membuka laptop khususnya. Dengan sedikit rekayasa, ia memecahkan kode pada kunci itu. Ternyata, "09" mengarah pada sebuah lokasi lama—Unit Arsip Divisi Phantom, tempat penyimpanan data-data rahasia yang telah dikubur dari dunia.
Lokasi itu berada di bawah gedung tua bekas kantor pemerintah, yang kini dibiarkan terbengkalai di kawasan Jakarta Utara.
---
Siang itu, dengan matahari mengintip malu-malu di balik awan, Aditya memasuki gedung kumuh tersebut. Bau lembap dan debu tebal menyambutnya. Ia menuruni tangga sempit yang hampir runtuh, menuju ruang bawah tanah.
Pintu baja di ujung lorong. Terkunci. Tapi kunci kecil itu pas di lubangnya.
Klik.
Pintu terbuka perlahan, menguak ruang gelap yang hanya diterangi lampu darurat merah. Puluhan laci besi berderet, masing-masing berisi file, foto, rekaman suara—semua tentang operasi-operasi gelap Phantom.
Di antara tumpukan itu, Aditya menemukan satu berkas tebal bertuliskan "Eclipse: Proyek Terputus."
Dengan napas tercekat, ia membaca:
> Eclipse adalah hasil eksperimen Divisi Phantom. Tujuannya: menciptakan unit tak terkendali, agen-agen yang bebas dari perintah moral untuk melaksanakan operasi kelam. Namun proyek itu dihentikan ketika banyak agen berbalik melawan atasan. Mereka menghilang, membawa rahasia, dan membentuk organisasi baru: Eclipse.
Aditya menutup berkas itu dengan tangan gemetar.
Jadi, ini semua salah kita... Phantom sendiri.
Tiba-tiba, suara sepatu berderap dari lorong atas. Ia tak sendiri.
Dengan cepat, Aditya mematikan lampu darurat dan bersembunyi di balik rak.
Tiga pria bersenjata lengkap masuk, mengenakan seragam hitam tanpa tanda pengenal. Salah satu dari mereka mengangkat walkie-talkie.
"Target belum ditemukan. Periksa setiap sudut."
Aditya menarik napas dalam-dalam. Pilihannya hanya dua: bersembunyi selamanya, atau melawan.
Dan Aditya Wira bukan tipe orang yang menyerah.
Dengan gerakan cepat, ia melemparkan kunci cadangan ke arah berlawanan. Bunyi dentingan logam membuat para pria itu berbalik.
Saat itulah Aditya meluncur keluar dari balik rak, menumbangkan pria pertama dengan pukulan ke tengkuk. Yang kedua sempat mengangkat senjata, tapi Aditya lebih cepat—sebuah tendangan menghantam tangannya, membuat pistol terjatuh.
Pria ketiga menembak membabi buta. Aditya berguling, meraih pistol dari lantai, dan dalam dua tembakan terarah, menjatuhkan musuhnya.
Hening.
Lorong kembali sunyi, hanya diselingi gemeretak napas Aditya.
Ia tahu waktu semakin menipis. Dengan berkas Eclipse di tangan, ia melarikan diri dari gedung itu sebelum bala bantuan datang.
---
Di tempat aman, Aditya meneliti catatan lain dalam berkas itu. Ia menemukan peta sederhana dengan tanda silang merah di satu tempat: Pelabuhan Lama Sunda Kelapa.
Di sana, menurut catatan, Eclipse akan memindahkan sesuatu yang disebut "Kunci Akhir." Tidak dijelaskan apa itu, tapi cukup untuk membuat Aditya bergerak cepat.
Di perjalanan menuju pelabuhan, Aditya menghubungi satu-satunya orang yang bisa ia percaya: Rani, mantan analis Phantom, yang kini bekerja sebagai konsultan keamanan independen.
"Ada masalah besar," katanya begitu Rani menjawab. "Aku butuh mata dan telinga di pelabuhan malam ini."
"Aditya, kau gila. Setelah apa yang terjadi dulu, aku janji takkan kembali," jawab Rani, suaranya bergetar.
"Kau tahu aku tak pernah meminta tolong tanpa alasan," potong Aditya. "Arga dalam bahaya. Eclipse kembali."
Hening beberapa detik. Lalu, Rani menghela napas panjang.
"Oke. Tapi ini sekali ini saja."
Aditya tersenyum tipis. "Kau tahu itu bohong."
Malam itu, bayang-bayang bergerak di pelabuhan tua. Di antara tumpukan kontainer dan kapal-kapal tua yang berderit diterpa angin, Aditya dan Rani menyusun rencana.
"Kita harus temukan Kunci Akhir sebelum mereka memindahkannya," bisik Rani sambil menunjukkan peta di tablet kecilnya.
"Aku akan masuk lewat sisi barat," kata Aditya. "Kau awasi dari menara kontrol."
Mereka saling bertatapan, lalu mengangguk. Seperti masa lalu, sekali lagi mereka bertarung bersama di dunia yang penuh pengkhianatan dan bahaya.
Dan Aditya tahu, pertarungan kali ini akan lebih berdarah daripada yang pernah mereka bayangkan.
Aditya bergerak dalam gelap, hanya berbekal insting dan peta
kasar yang dibuat Rani. Suara air bergelombang memantul di antara kontainer
besi, membuat malam semakin terasa mencekam.
Dari menara kontrol, Rani mengawasi lewat kamera pengintai yang berhasil ia retas. Suaranya terdengar di earphone Aditya.
> "Dua orang patroli di lorong sebelah barat. Hati-hati."
Aditya menempelkan punggungnya ke dinding kontainer, menunggu saat tepat. Saat dua pria bersenjata lewat, ia menumbangkan mereka dengan gerakan cepat, membungkam mereka sebelum sempat berteriak.
Langkah demi langkah, ia mendekati zona utama: sebuah kontainer berlabel "EK-09"—kode yang ia temukan dalam berkas Eclipse.
Namun sebelum ia sempat mendekat, suara tembakan membelah malam.
> "Aditya, jebakan! Mereka tahu kau datang!" teriak Rani.
Dari balik bayang-bayang, puluhan pria bersenjata muncul, mengepung Aditya.
Ia berbalik cepat, mencari rute kabur, tapi jalan di belakang
sudah dipotong.
Seseorang melangkah maju. Seorang pria jangkung berjas hitam, wajahnya setengah tertutup topeng kain.
"Selamat datang kembali, Agen Wira," katanya, suaranya berat dan menghantui. "Kami sudah lama menunggumu."
Aditya mengepalkan tangan.
"Siapa kau?"
Pria itu tertawa kecil. "Nama tidak penting. Yang penting adalah kau tahu... Phantom telah gagal. Dunia butuh kekuatan baru. Dunia butuh Eclipse."
Dengan isyarat tangan, pria itu memerintahkan anak buahnya menyerang.
Aditya melompat ke samping, berlindung di balik kontainer. Peluru beterbangan, menghujam besi dan tanah.
> "Rani, aku butuh gangguan!" teriak Aditya.
> "Sedang diusahakan!" balas Rani.
Beberapa detik kemudian, sirine keras meraung dari menara kontrol, diikuti padamnya sebagian lampu pelabuhan. Kegelapan tiba-tiba menyelimuti segalanya.
Aditya menggunakan momen itu untuk menyerang. Dengan kelincahan terlatih, ia melumpuhkan satu demi satu musuh dalam kegelapan.
Sementara itu, Rani dari jauh mengaktifkan sistem pemadam kebakaran, membuat air menyembur dari pipa-pipa dan menambah kekacauan.
Dalam kekacauan itu, Aditya akhirnya mencapai kontainer EK-09. Ia membuka gemboknya dengan paksa dan masuk.
Di dalam, ia menemukan sebuah brankas kecil berlapis baja. Di atasnya tertulis:
> "Kunci Akhir: Proyek Genesis"
Aditya mengangkat brankas itu, beratnya hampir membuatnya jatuh.
> "Aku dapatkan barangnya," katanya ke Rani. "Sediakan jalur keluar."
> "Arahkan ke dermaga selatan. Ada kapal tua yang bisa kau gunakan."
Namun jalan menuju dermaga tidak mudah. Eclipse telah mengirim lebih banyak pasukan. Dalam pelarian itu, Aditya bertarung mati-matian.
Ia kehabisan peluru. Ia memar. Luka di pelipisnya mengalirkan darah, mengaburkan penglihatan.
Tapi ia terus berlari.
Saat ia hampir mencapai dermaga, pria bertopeng itu menghadangnya lagi.
"Serahkan Kunci Akhir," kata pria itu, mengangkat pistol.
Aditya mengeraskan rahangnya. "Kau harus membunuhku dulu."
Mereka bertarung sengit di dermaga. Tinju, tendangan, pukulan keras bertukar tanpa ampun. Brankas hampir terjatuh ke laut saat Aditya terguncang, tapi ia berhasil menangkapnya di saat-saat terakhir.
Akhirnya, dalam satu gerakan cepat, Aditya menendang pistol dari tangan pria itu dan menjatuhkannya ke air.
Dengan tubuh terluka, Aditya melompat ke kapal tua yang sudah dinyalakan oleh Rani.
"Gas!" teriaknya.
Mesin meraung, dan kapal perlahan meninggalkan dermaga, membawa Aditya, Rani, dan Kunci Akhir menjauh dari cengkeraman Eclipse.
---
Di atas kapal, dengan napas tersengal dan tubuh penuh luka, Aditya menatap langit malam.
Perang ini baru dimulai. Apa pun isi brankas itu, ia tahu satu
hal:
Phantom, Eclipse, dunia—semuanya akan berubah selamanya.
Dan ia ada di tengah-tengahnya.
Kapal tua itu melaju lambat di perairan gelap, dihantam ombak
kecil. Di belakang mereka, pelabuhan semakin mengecil, hanya bayangan buram di
kejauhan.
Aditya duduk bersandar di dek, menahan perih di sekujur tubuhnya. Di sampingnya, brankas baja EK-09 yang mereka bawa mati-matian.
Rani menghampiri dengan kantong P3K seadanya. Ia membersihkan luka di pelipis Aditya, diam-diam, matanya berkaca-kaca.
> "Kalau terlambat lima menit saja, kau mungkin sudah..." katanya pelan.
Aditya tersenyum tipis meski perih.
> "Kita masih hidup. Itu yang penting."
Kapal mereka akhirnya merapat ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni, tempat aman yang sudah mereka siapkan sebelumnya.
Di sebuah bangunan reyot, di bawah cahaya lampu darurat, Aditya menatap brankas.
> "Saatnya melihat apa yang membuat Eclipse rela berperang," gumamnya.
Dengan alat sederhana, Aditya membobol brankas itu.
Terkunci di dalamnya adalah:
Sebuah dokumen tebal berlabel "Genesis Project - Classified Top Secret".
Sebuah tablet berisi peta-peta dunia dengan titik-titik merah.
Sebuah amplop kecil dengan nama... "Aditya Wira".
Rani membuka dokumen pertama. Matanya membelalak.
> "Ini... bukan sekadar senjata."
Proyek Genesis ternyata adalah eksperimen genetika untuk menciptakan manusia super—tentara sempurna, tanpa rasa takut, tanpa belas kasihan. Phantom dulu membatalkannya karena terlalu berbahaya.
Tetapi Eclipse berniat membangkitkannya kembali.
Aditya menatap tablet itu. Titik-titik merah menunjukkan laboratorium tersembunyi di berbagai belahan dunia—semua dalam proses mengaktifkan Genesis.
Ia membuka amplop yang tertulis namanya.
Di dalam, selembar surat tangan.
> "Aditya, jika kau membaca ini, berarti dunia di ambang kehancuran. Kau adalah benteng terakhir. Jangan biarkan Genesis hidup kembali. Dunia tidak butuh dewa baru. Dunia butuh manusia yang masih punya hati."
– Jenderal Bramanta (mantan pemimpin Phantom)
Aditya menggenggam surat itu erat-erat.
> "Kita harus menghentikan mereka," katanya, suara bergetar oleh amarah.
Rani menatapnya. "Kita berdua saja?"
Aditya mengangguk.
> "Kita berdua cukup untuk memulai."
Malam itu, di pulau kecil tak bernama, dua orang yang dianggap hilang dunia mendeklarasikan perang mereka sendiri.
Bukan untuk balas dendam.
Bukan untuk kekuasaan.
Tapi untuk mempertahankan apa yang tersisa dari kemanusiaan.
**
Beberapa minggu kemudian, dunia perlahan mulai berubah.
Laboratorium-laboratorium Eclipse hancur satu demi satu, disabotase oleh "hantu" yang tak terlihat.
Nama Aditya Wira menjadi legenda—pahlawan bayangan yang tak pernah mengklaim kemenangan, yang terus berjuang di balik layar.
Sementara itu, di balik tirai dunia yang tampak damai, perang sunyi masih berlangsung.
Genesis belum sepenuhnya mati.
Tapi selama ada seseorang seperti Aditya dan Rani, harapan akan selalu menyala.
Sekalipun dunia hanya melihat bayangan mereka.