Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
One Winter Night
0
Suka
12
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Butiran salju turun perlahan, menyelimuti dataran kota St. Paul tipis-tipis. Temaram lampu jalan kekuningan menyinari serpihan-serpihan putih, membuat perasaan siapapun yang memandangnya menjadi hangat walau angin di sekitar berhembus dingin. Langit terlihat gelap walaupun jarum jam di balai kota baru menunjukkan pukul enam sore.

Edward merapatkan syal. Baju hangat sudah tiga lapis tapi dia masih bisa mendengar gigi-giginya bergemeletuk, mengalahkan keratan tupai di batang pohon. Dia menatap si tupai dengki, karena nampaknya binatang itu tidak terusik oleh dingin yang menusuk, juga tidak perlu repot-repot membungkus dirinya seperti beef wellington karena bulu yang sudah lebat.

Tangan Edward yang terbungkus sarung mencoba meraih telepon genggam di saku. Sedetik kemudian dia teringat bahwa itu sia-sia. Bukan hanya karena cuaca dingin bisa menghabiskan daya baterai telepon dengan sekejap, tapi juga seseorang yang dinanti tidak memiliki apapun untuk bisa dihubungi. Seandainya ada sesuatu yang bisa membuat pertemuan ini lebih mudah, pikirnya. Satu-satunya yang dia nanti di tengah badai salju ini hanya dentingan jam delapan kali.

 

***

Tangan sedingin es menyentuh pundak Edward. Membuat dia terpekik. Dia tidak menyangka ada manusia lain yang repot-repot keluar rumah di tengah badai salju di tempat paling sepi di musim dingin. Tidak ada siapapun yang pergi ke balai kota di tengah badai. Tapi itulah yang dia cari. Hal terakhir yang dia inginkan adalah menyendiri saat gundah. Walaupun kafe di persimpangan jalan hangat dan memberikan kukis gratis setiap pembelian kopi, tapi tatapan prihatin dari pemilik kafe bisa membuatnya tak nyaman. Berdiam di balai kota membuat dia menggigil, tapi dia tidak keberatan. Kadang-kadang, dia berharap bisa mati kedinginan saja sekalian.

Dan gadis ini membuyarkan kesendiriannya. 

“A–apa, kamu, siapa…,” bisiknya tergagap-gagap. Tangan gadis itu bukan hanya dingin. Tapi seluruh tubuhnya seakan terbuat dari serpihan es. Rambut yang keperakan terjuntai hingga punggung. Mata abu-abunya berkilat-kilat, seakan bisa membekukan siapapun jika dia mau. Gaun sutra putihnya melambai diterpa angin. Kaki-kaki telanjang pucat itu memainkan gundukan salju di bawah. Pikiran pertama Edward adalah tidak mungkin ada manusia yang bisa bertahan dengan pakaian seperti itu dalam suhu sedingin ini.

Gadis itu tersenyum. Menyadari kehadirannya mungkin tidak biasa untuk pria tersebut.

“Apa yang membuatmu keluar rumah di malam Natal?” tanyanya sambil menjentikkan jari-jari di serpihan salju, mengabaikan tatapan ngeri dan penuh tanya Edward.

Edward masih terdiam. Tidak tahu apakah harus menjawab pertanyaan makhluk asing di depannya.

Gadis itu tertawa. “Maaf aku hanya ingin tahu. Karena setiap malam Natal, aku suka melihat keluarga-keluarga berkumpul di dekat perapian sambil minum cokelat panas. Aku ingin tahu bagaimana rasanya.”

“Kamu belum pernah minum cokelat panas?” selidik Edward. Kenyataan ada seseorang tidak pernah minum cokelat panas membuatnya lupa kalau makhluk di depannya tidak bertingkah layaknya manusia biasa.

 “Belum pernah, omong-omong,” gadis itu mengulurkan tangannya. “Liv. Namamu siapa?”

Edward menatap tangan pucat tersebut dengan takut, lalu menelan ludah. “A–Edward..” Tangannya terulur menjabat tangan Liv, yang ternyata tidak sedingin dia kira.

“Aku bisa membelikanmu cokelat panas di kafe,” tawar Edward, berusaha menjadi orang asing yang baik dengan suara bergetar. Liv menggeleng.

“Aku tidak bisa makan atau minum. Kamu kedinginan?”

Edward mengangguk ragu. Liv melambaikan kedua tangannya ke atas. Seketika curah salju melambat dan Edward bisa merasakan angin berhembus perlahan, menjadikan dingin sedikit demi sedikit berkurang.

“Kau yang melakukannya?” Edward terperangah.

Liv mengangguk bersemangat. “Jadi, kamu masih belum mau bercerita kenapa kamu memilih kedinginan di sini alih-alih–duduk bersama keluargamu?”

Edward mendesah. Dia memutuskan untuk tidak repot-repot bercerita tentang pertengkarannya dengan Ibu yang mengundang paman Gerald. Bagi Edward, lebih baik dia keluar daripada menghabiskan malam Natal duduk sambil memendam dendam pada paman Gerald, yang tidak pernah selesai membahas hutang-hutang ayah dan ibunya.

“Baiklah kalau kamu tidak mau bercerita. Kita bisa bersenang-senang kalau kamu mau.”

Edward mengangkat alis, bertanya-tanya apa yang dimaksud Liv dengan bersenang-senang.

Tapi beberapa menit berikutnya mereka sudah tertawa-tawa, menikmati seluncuran di atas salju dan bermain ice skating di danau yang beku. Liv juga bisa membuat kepingan-kepingan salju dengan bentuk terindah yang belum pernah Edward lihat. Dan kepingan-kepingan itu tidak lantas meleleh saat menyentuh tangan. Edward berdecak takjub berkali-kali.

“Jadi, apakah kamu ada selama musim dingin?” tanya Edward saat mereka berdua berjalan menyusuri trotoar sambil melihat jendela-jendela berhiaskan ornamen Natal. Edward sudah sampai pada kesimpulan bahwa Liv bukan bagian dari dunianya. Tentu saja, setelah melihat Liv melakukan semua hal dengan salju tersebut, mengingatkan pada karakter yang dibaca di dongeng-dongeng saat dia masih anak-anak. Edward selalu percaya mereka ada, hanya dia sadar mungkin tidak akan pernah bertemu mereka. Tapi di sinilah dia sekarang, berbincang-bincang dengan sosok yang mengingatkan pada lukisan peri salju.

Bau kayu manis, permen mint, cake, cokelat panas, ayam panggang, menguar dari cerobong-cerobong asap. Liv sibuk mengendus-enduskan hidung sambil tidak berhenti mengoceh mengagumi lampu-lampu yang menghias rumah-rumah dan halaman.

“Tidak selama musim dingin. Aku hanya datang sekali,” kata Liv, menjawab pertanyaan Edward setelah beberapa lama.

“Kenapa?”

“Karena,” mata Liv menerawang, lalu tertawa. “Karena aku badung. Sebenarnya kami diturunkan untuk mengatur musim dingin di dunia. Tapi Dewa menghukumku karena seratus tahun yang lalu aku muncul di depan seorang anak dan membuatnya takut. Hahaha.”

Edward terhenyak.

“Dan De–dewa tidak akan menghukummu lagi kalau bertemu denganku?” tanya Edward sedikit panik.

Liv terkekeh. “Dia sudah bosan menghukumku.”

“Kamu datang saat malam Natal?” tanya Edward.

Liv mengangguk riang. “Aku yang meminta pada Dewa untuk diturunkan pada malam Natal.”

“Kenapa?”

“Karena aku suka melihat hiasan-hiasan Natal ini, juga mengintip keluarga-keluarga yang saling berbagi.”

Edward tersenyum lemah, tidak tahu apakah Liv bicara jujur atau sedang menyindir dirinya. 

“Tapi tidak apa-apa. Kau tidak harus menghabiskannya dengan keluarga. Kau bisa menghabiskan malam ini dengan seorang teman,” kata Liv, seakan membaca pikiran Edward. 

Liv mengenggam tangan Edward, membuatnya dingin. Bukan dingin yang menusuk, tapi dingin yang menenangkan.

“Kamu mau menemaniku sampai tengah malam?” tanya Liv, menatap mata Edward.

Edward pun tak percaya pada bahasa tubuhnya. Seluruh sarafnya dipaksa saat menatap mata Liv yang sebening kristal, untuk mengangguk.

 

***

 

Dan begitulah. 

Waktu berputar. Musim berganti.

 Setiap tanggal 24 Desember malam, Edward tak lagi menghabiskan waktunya duduk di dekat perapian bersama ibu, menata kado di bawah pohon Natal, sambil menertawakan Ben yang menyalak dan meminta bermain salju di luar. Dia memilih duduk di kursi taman di balai kota menanti gadis seputih dan sedingin salju, yang membuat hatinya hangat. 

Lalu mereka akan menghabiskan malam Natal bersama, bermain di tengah badai, berjalan menyusuri kafe-kafe di jalanan kota St. Paul, berkeliling di rumah-rumah dan mengintip keluarga-keluarga, menghabiskan waktu hingga tengah malam tiba, berbincang tentang kehidupan di dunia manusia atau dunia peri, dan tak lupa kegiatan kesukaan Liv: melihat hiasan-hiasan dan lampu berbentuk Santa Klaus dan rusa-rusa.

Edward memilih menjalani hidup sendiri sepanjang tahun, tanpa pasangan, tanpa teman. Persetan dengan pembicaraan kolega di tempat kerja yang berpendapat Edward terlalu cupu, atau pembicaraan keluarga yang berkali-kali bilang dia akan mati sendiri saat tua. Mereka tidak tahu, aku memiliki musim dingin paling hangat dari yang mereka rasakan, pikir Edward.

Dan di sinilah dia. Menanti sejak matahari terbenam. Sesekali menggenggam pemanas di dalam saku jaket. Liv selalu bilang dia akan muncul di dentingan jam ke delapan, tapi untuk Liv, Edward mau datang berjam-jam lebih awal. Siapa tahu Liv bisa datang lebih awal, aku jadi bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya, itulah yang dipikirkan Edward.

Jam berdenting menunjukkan pukul delapan. Curah salju seketika melambat dan suhu menghangat. Mata Edward berbinar. Cahaya keperakan bersinar di bawah lampu. Terlalu mudah untuk dikenali. Berkelap-kelip, bertabur serbuk emas, perlahan membesar, membentuk bayangan seorang perempuan.

“Selamat Natal.” Edward tidak sabar mengucapkan walaupun raut muka perempuan itu belum muncul secara utuh.

“Selamat Natal, Edward.” Suara kontraalto yang ditunggunya setahun sekali membalasnya. Edward memejamkan mata, menikmati rasa rindu.

Mata Edward terbuka. Liv berdiri di depannya. Berusaha tersenyum. Tapi Edward bisa melihat dengan jelas gadis di depannya dengan mata berkaca-kaca, lalu menelan ludah.

“Kenapa, Liv?”

Liv memberi Edward tatapan nanar. Dia menggigit bibir. Untuk pertama kali selama bertahun-tahun, dia tidak bersemangat menceritakan rencana menghabiskan malam ini. Wajahnya tertunduk. Air mata mungkin sudah menetes sejak tadi, hanya Liv cukup pandai untuk membekukannya dalam sekejap, menjadikan kepingan-kepingan salju.

Edward meraih tangan Liv, mengajak duduk di bangku taman.

“Hey,” Edward memanggil pelan.

“Aku tidak akan bisa bertemu kamu lagi,” bisik Liv setelah terdiam cukup lama.

Edward terdiam. Bibirnya merapat. Dia terlihat tenang di luar. Tapi mendengar perkataan Liv barusan cukup membuatnya merasa ada yang memporak-porandakan isi tubuhnya. Ada tonjokan keras di jantung, hatinya seakan dipaksa lepas dari bagian organ dan dilempar ke dalam kolam yang hampir membeku, perutnya semacam ditancapi sembilu, kepalanya bagai ditusuk ribuan paku. Logika dan nafsu bergulat, antara berusaha berpikir jernih atau keluar dengan ide gila bagaimana cara memenangkan perasaan.

Jangan bodoh, kau tahu, bagaimanapun juga ini akan terjadi.

Tapi pasti ada cara untuk bisa bersamanya, kan? Bukankah mereka katakan bahwa cinta itu tidak mengenal batas? 

Jangan bodoh. Sedari awal kau tahu kau tidak akan pernah bisa bersama Liv, seberapa keras pun kau berusaha.

“Kenapa?” tanya Edward dengan suara serak, setelah mengumpulkan kekuatan melawan suara-suara dalam kepalanya sendiri.

“Karena…”

Liv memilin jari-jari. Tidak yakin apakah harus berbicara jujur pada Edward. Tapi toh aku sudah tidak akan bertemu dia lagi, jika tidak sekarang, dia tidak akan pernah tahu, pikir Liv.

“Karena aku mencintaimu, Edward.”

Perut Edward seakan terguyur es. Dia tidak pernah berharap Liv akan mengatakan itu. Selama ini, Edward sudah bahagia dengan hanya menikmati waktu bersamanya, menghabiskan malam setahun sekali sembari tertawa-tawa. Edward tidak pernah berharap Liv mencintai kembali. Bisa mengenal Liv saja dia sudah merasa tenang, merasa penuh harapan, merasa ada yang mengajarkannya bahwa musim dingin tak selamanya dingin, tak selamanya putih. Karena Liv, Ed merasakan musim dingin sewarna musim semi dan sehangat musim panas. 

“Tapi… Bagaimana…,” tenggorokan Edward tercekat, “Bagaimana men–mencintaiku membuatmu tidak bisa bertemu denganku lagi?”

“Karena Dewa tidak menginginkannya,” Liv menarik nafas. “Konsep tentang peri bersatu dengan manusia tidak pernah ada dalam rencana, dan memang seharusnya mereka tidak pernah bersatu,” bisik Liv lirih.

“Kenapa?” balas Edward putus asa, tidak tahu harus bertanya apa lagi.

“Edward, aku hidup selamanya, setidaknya sampai alam semesta ini hancur. Dan kalian manusia, berapa lama kalian bisa hidup? Seratus tahun? Kau tahu bagaimana sedihnya ketika seseorang yang kau cintai meninggalkanmu? Kami para peri sudah sering melihat anak manusia hancur karena kehilangan kekasih. Kami tidak tahu bagaimana kalian bisa sanggup merasakan itu semua. Kurasa–kurasa Dewa hanya tidak ingin para peri bersedih. Sudah terlalu banyak duka dan kesedihan di dunia ini.”

“Maafkan aku,” Liv berkata sedih. “Aku seharusnya tidak pernah menemuimu.”

Edward terdiam. Tangannya menggenggam Liv erat. Seandainya Liv tahu, bahwa bertemu Liv adalah hal paling membahagiakan dalam hidup. Jika kisah Edward adalah sebuah buku, Liv mungkin tidak ada di penghujung cerita. Tapi Edward pun tahu, pembatas bukunya akan selalu ada di bagian itu.

"Kalau kau bisa meminta satu hal untuk terakhir kali, apa yang ingin kau mau?" tanya Liv.

Edward menggenggam tangan Liv. "Mungkin aku minta pada Dewa untuk menghentikan waktu sebentar. Sekali saja."

"Mengapa begitu? Mengapa kau ingin waktu berhenti?"

"Aku ingin sedetik mensyukuri keberadaanmu. Keberadaan kita. Jika waktu terus berputar, aku tidak bisa memusatkan perhatian pada waktu kita berdua karena aku sibuk memikirkan ketakutanku saat ini. Ketakutanku akan kehilanganmu."

Edward dan Liv saling menatap. Edward menahan keras untuk mengalihkan pandangan, namun dia tahu mungkin saat-saat itu tidak akan datang lagi. Edward mengumpulkan seluruh kekuatannya dan menikmati setiap waktu yang ada, juga setiap kedipan mata Liv yang memberikan rasa tentram di hatinya.

Disibakkannya rambut Liv ke belakang telinga. Edward membisikkan sesuatu. Mendengar itu, Liv tersenyum bahagia. Peri salju itu merasakan hangat dalam diri yang belum pernah dirasakannya, selama seribu tahun terakhir.

 

***

 

“Kamu mau tambah whipped creamnya, Sayang?”

Edward menoleh. Kaleng whipped cream tergenggam di tangan Ibu. Edward tersenyum. Ibunya sudah berasumsi akan mengiyakan tawarannya walaupun dia belum bilang apa-apa.

“Boleh, Bu,” jawab Edward walaupun cangkirnya masih penuh dengan krim.

Dua puluh empat Desember setahun kemudian, Edward kembali menghabiskan waktu bersama ibunya. Duduk di dekat perapian, bergelung di atas sofa dengan kaki tertutup selimut rajut. Ben meringkuk di dekat kakinya. Anjing itu sudah tertidur semalaman.

Mata Edward memandang jarum jam di dinding. Lima menit menuju pukul delapan. Pandangannya beralih ke jendela. Dia mengusahakan matanya berkedip sekali dalam tiga puluh detik. Tidak ingin melewatkan sedetikpun. 

Ding!

Ding!

Ding! Ding!

Empat dentingan lagi. 

Ding!

Ding! Ding!

Ding!

Perlahan jendela memburam, seakan dingin membekukan kaca-kaca yang terbingkai. Suara berkeretak memecah keheningan, bersamaan dengan ukiran-ukiran kepingan salju yang merambat di pantulan wajah Edward di jendela. 

“Astaga,” bisik Ibu, “pasti dingin sekali di luar.”

Edward mengangguk. “Iya, Bu. Dingin sekali.” 

Saat Ibu kembali ke dapur, Edward memandang jendela, tersenyum, dan berbisik,

“I love you. Always."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
One Winter Night
Indah F. Wahyuni
Novel
Miss Lampir
Catrenaa
Novel
Before the Morning Comes
silfiyas
Novel
Kohesif [Pujaan Hatiku Adalah Hantu]
Sihan Siregar
Novel
Bronze
Demi Yono
Deviannistia Suyonoputri
Cerpen
Bronze
Senyummu Berbeda
Fataya
Novel
Bronze
Bukan Daun
Lily Zhang
Novel
Selap-selip Kota Metropolitan
Annie Annisa
Novel
Zena Lova
Faray Glad
Novel
Liefde
Ainun
Cerpen
Bronze
Seandainya Aku Tidak Membalas Ciumanmu
dari Lalu
Novel
Bronze
Boyfriend Hunting
Stella
Skrip Film
Bertemu Dilema
manna wassalwa
Novel
Burn Out
Siti Soleha
Novel
I Love You, Marsya
Ikhsan Ardiansyah
Rekomendasi
Cerpen
One Winter Night
Indah F. Wahyuni
Novel
Catch You Later!
Indah F. Wahyuni
Cerpen
Bronze
Love Me, Darling!
Indah F. Wahyuni