Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jeon Jiyeon menginginkan satu hal, menang adu panco dengan lelaki. Selama ini dia selalu kalah. Namun, ketika melawan Hwang Hyunjin, seseorang yang dikenal berengsek dari sekolah sebelah, anehnya Jiyeon berhasil menang.
Bisikan sakura membawa Jiyeon menuju peristiwa itu, juga rasa penasaran akan sikap Hwang Hyunjin yang jelas-jelas mengalah padanya.
Sakura membimbing kalian dengan cara masing-masing. Turuti saja! Awal yang sama akan berakhir di satu tempat. Asal tak ada yang membangkang.
"Enggan mendengar.
"Kusimpan amanah di batin terdalam.
"Demi bisikan pohon sakura sungguh ‘kan kupenuhi."
Hwang Hyunjin dan Jeon Jiyeon—nama diambil dari kata 전령 (jeonlyeong) yang berarti pembawa pesan; di Gyeongpo, Kota Gangneung.
One Time Whisper, cerpen kelima dari seri 8 Spring Session, kisah-kisah bertema musim semi dengan latar tempat berbagai destinasi wisata di Korea Selatan.
Sekumpulan siswa menggerutu saat guru meminta mereka kembali ke penginapan. Jiyeon asing dengan wajah-wajah itu, pasti dari sekolah lain yang juga datang untuk study tour musim semi selama beberapa hari.
Rombongan dari sekolah Jiyeon juga hendak kembali ke Golden Tulip Skybay Hotel yang berada di antara Danau Gyeongpoho dan Pantai Gyeongpo. Menyerupai gapura di mana bangunan sisi kanan dan kiri terlihat kekar dan keduanya terhubung di bagian atas.
Terpaan angin lebih kencang dari biasa, memaksa Jiyeon melangkah mundur. Dia tertegun saat menyadari teman-teman dan guru tak terlihat merasakan dampak serupa. Kelopak bunga merah muda menghujani dari sisi kanan.
Jiyeon menoleh. Salah satu pohon sakura bergoyang, padahal angin telah reda. Bak ditarik oleh suatu energi, dia melangkah keluar dari zona pejalan kaki, melewati rerumputan hijau, kian mendekat pada tepi danau tempat bangku kayu panjang dan pohon itu berada.
Geumranjong.
Jiyeon mengernyit. Semula mengira ada yang salah dengan telinga, tetapi dia mulai yakin saat suara dan kata-kata sama terdengar lagi.
Bersamaan dengan bisikan ketiga kalinya, perasaan Jiyeon mengatakan mungkin terjadi sesuatu di sana sehingga dia bergegas pergi. Menuju arah berlawanan dari rombongan.
Ian beberapa kali tak digubris. Ketika menengok, hendak mengomel pada Jiyeon, dia mematung saat gadis yang sekian waktu lalu berada di belakangnya, mendadak hilang.
Langkah cepat menaiki tangga batu di depan bangunan hijau-merah tua khas tradisional Korea. Jiyeon susah payah membuka pintu. Usai berhasil menapakkan kaki pada lantai, dia spontan memandang seseorang yang baru saja masuk melewati pintu lain. “Hwang Hyunjin?”
Pemuda itu mengerutkan alis. “Kenapa kau di sini—”
Dentuman pintu yang tertutup kasar mengejutkan keduanya. Jiyeon berusaha membuka, tetapi nihil. “Apa-apaan ini?”
“Kita sial ….” Si pemuda menghela napas. “Ngomong-ngomong siapa kau? Bagaimana bisa mengetahui namaku?”
“Aku Jeon Jiyeon.” Dia menatapnya. “Kau banyak dibicarakan karena berengsek. Tak tahu?”
Hyunjin mendecak. “Tak kusangka wajahku sampai dihafal ….”
Mau tak mau mereka menyerah dengan urusan pintu. Lebih baik menunggu sampai seseorang menyadari ada yang hilang dan bala bantuan datang, begitu prinsip Jiyeon. Jangankan takut, dia justru mengeluh bosan.
Tempat ini sempat disinggung oleh pemandu wisata saat Jiyeon berkeliling siang tadi. Geumranjong, salah satu dari dua belas pavilliun bersejarah di area Gyeongpodae—letaknya tersebar di sekitar Danau Gyeongpoho.
Sesuatu melintas di benak Jiyeon. Selama ini dia selalu kalah adu panco oleh lelaki—termasuk Ian—melawan Hwang Hyunjin tak ada salahnya.
Hyunjin menerima tantangan. Keduanya mengambil posisi tengkurap, menggenggam jemari kanan satu sama lain di atas siku.
Tenaga dikumpulkan. Sesaat setelah aba-aba dari Hyunjin, Jiyeon beraksi. Dalam sekejap, dia berhasil menjatuhkan tangannya. Bola mata Jiyeon melebar karena terkejut.
Jiyeon tak habis pikir. Terlebih, Hyunjin sama sekali tak melawan atau sekadar menahan. Entah sejak kapan dia tersenyum manis, bahkan pura-pura kesakitan setelah kalah adu panco.
Tak ada rayuan sok manis, tak ada lagak seolah paling keren.
“Ini yang dibilang … lelaki berengsek?”
Dua jam kemudian, beberapa orang guru dan pria memakai seragam khas tour guide menemukan mereka. Berterima kasih pada Ian yang telah melapor. Jika tidak, keduanya bisa saja ditemukan—paling cepat—tengah malam setelah guru memeriksa tiap kamar dan menyadari ketidaklengkapan siswa.
Ian meminta Jiyeon untuk mengobrol, sedangkan lainnya kembali ke Golden Tulip Skybay lebih dulu.
“Hentikan!” Ian mendadak kesal, lantas mempercepat langkah. Meninggalkan Jiyeon di belakang.
Jiyeon heran. Padahal dia belum selesai berbagi opini tentang rasa penasaran terhadap sosok Hwang Hyunjin. Dia mencibir. “Biarlah ….”
Tur musim semi sekolah belum berakhir. Ribuan sakura sepanjang jalan tak boleh bosan dilihat. Agenda masih panjang. Beragam spot menarik mengantre untuk dikunjungi.
Gelak tawa Jiyeon hari ini tak seramai sebelumnya. Bukan hanya berada di kelompok berbeda, Ian juga tak tertarik berbincang dengan Jiyeon. Perlahan tapi pasti, hubungan dua insan ini merenggang.
Jiyeon sendiri malas membuang waktu hanya untuk membujuk Ian, dia punya urusan lain yang perlu dikerjakan.
Jika keadaan tidak seperti ini, Jiyeon pasti sudah mengajak Ian mencari udara segar setelah kegiatan penuh seharian. Namun, dia memutuskan pergi sendiri.
Berjalan cukup jauh dari penginapan, perhatian Jiyeon dicuri oleh sebagian tepi jalan dan danau yang terlihat istimewa.
Urut dari sisi kiri, ada patung-patung mini seolah berlapis emas, jembatan kecil—searah jalur kendaraan, dua area bersantai—dipisah oleh beberapa bongkahan batu indah ukuran setengah meter, lukisan pada semacam cor-coran, dan patung sepasang pria wanita setinggi asli yang bergaya bak dansa di atas sebidang lantai berbentuk lambang cinta.
Tiap area bersantai tersebut dibangun dua bagian, atas yang setinggi jalanan dan satu lagi perlu menuruti tangga—posisinya kian mendekat ke danau. Masing-masing selebar lima meter yang dikelilingi pagar kayu. Juga terdapat beberapa kursi.
Pemandangan dari bagian bawah menyuguhkan Danau Gyeongpoho seluas mata memandang dan sakura mekar menyala-nyala—diberi lampu—sepanjang tepinya, membuat elok pukaunya malam menjadi-jadi. Menjauh dari jalanan, suasana tenang menguasai.
“Hyunjin? Kau di sini?”
Pemuda itu menoleh. Sudut bibir terangkat lebar. Titik hitam kecil di sekitar mata menambah pesona ketika menyipit. “Kau menghampiriku?”
Jiyeon mengangguk. “Kenapa tidak? Aku tak akan mendengar omongan itu.”
Saat perjalanan kemari, sensasi yang sama lagi-lagi menarik Jiyeon menuju pohon sakura layaknya tempo hari. Deru angin bersama kelopak merah muda bertaburan dan bisikan, masih menggema di telinga.
Jauhi dia.
Jiyeon menganggapnya gonggongan anjing tak penting. Dia sudah risih dengan sikap Ian, ditambah lagi suara itu.
Sakura memiliki maksud sendiri dan itu berbeda dengan apa yang ditangkap Jiyeon. Seseorang yang dibicarakan, tak sama dengan pemuda yang ada di angan Jiyeon.
“Omongan … apa?” Hyunjin menatap Jiyeon lekat.
Jiyeon bungkam sesaat, lantas buru-buru menggeleng sambil memaksa senyum. “Bukan apa-apa.”
Hyunjin mengangguk pelan. Dalam hati terbesit sesuatu perihal cerita Jiyeon, tetapi dia abai. Memilih menikmati gelombang pelan yang sesekali timbul di permukaan danau. Sorot lembutnya berpadu sempurna dengan surai hitam berkilau oleh cahaya sekitar, berayun lembut karena angin. “Oh ya. Daripada aku, sepertinya kau akan lebih menyukai ini.”
Usai merogoh saku, Hyunjin menyodorkan gantungan kunci berbentuk bunga sakura di dalam lingkaran silver.
Tak kunjung ada respons dari Jiyeon, Hyunjin memastikan, “Kau tak suka? Ya sudah.”
Baru saja Hyunjin hendak menyimpan gantungan kunci kembali, Jiyeon langsung menahan. Bunga sakura tetap cantik di segala bentuk, tak ada salahnya menerima pemberian Hyunjin. “Kau dapat dari mana?” Jiyeon enggan lekang dari bunga kecil yang kini berpindah ke tangannya.
“Saat study tour tadi, kami diajak ke toko souvenir. Aku membeli satu.” Lagi-lagi senyum Hyunjin merekah. Paras manis kian menghipnotis tiap mata memandang, menebar kelembutan. “Pilihanku bagus, ‘kan?”
Jiyeon mengangguk semangat. “Terima kasih.”
Rembulan terus meninggi. Jiyeon tak bisa terlalu lama berada di sini atau guru akan memarahinya mati-matian, apalagi setelah dia sempat menghilang kemarin.
Tempat menginap keduanya sama, Golden Tulip Skybay Hotel. Jiyeon semula mengajak Hyunjin bersama, tetapi pemuda itu bilang masih ada urusan. Jiyeon terpaksa kembali sendirian.
Sebenarnya Jiyeon masih ingin lebih lama mengobrol dengan Hyunjin. Bukan apa, sikap halus kian bertentangan dengan rumor berengsek yang beredar tentangnya dan hal itu membuat rasa penasaran Jiyeon memuncak.
Mau tak mau Jiyeon harus melewati pohon sakura di tepi sungai yang ditemani bangku kayu. Untuk ketiga kalinya, sensasi tarikan terasa. Jiyeon lebih terbiasa, tetapi masih saja merasa terganggu.
Sesungguhnya, Jiyeon bisa mengambil jalan memutar untuk menuju penginapan tanpa melewati tempat ini. Namun, akan sangat jauh dan dia malas melakukan itu.
Jiyeon gusar. Tanpa takut menggerutu pada pohon sakura, “Ingin melarangku? Aku tak akan berhenti—”
Lanjutkan.
Spontan Jiyeon mengerutkan alis. Pohon sakura tak lagi berbisik, sedangkan dia belum sepenuhnya paham. Jiyeon menggaruk rambut tak gatal. “Tapi aku tak menjauhi Hyunjin seperti katamu? Lalu, apa yang harus dilanjutkan?”
Seolah frekuensi mereka berbeda. Jika bisa bicara lebih banyak, pohon sakura pasti sudah berceramah panjang lebar pada Jiyeon, geram karena gadis itu sulit sekali memahami siapa orang-orang yang dimaksud selama ini.
Dua sekolah berada di Golden Tulip Skybay Hotel dengan agenda study tour masing-masing. Salah satu sibuk mengemasi barang ke dalam koper, lalu membawanya keluar. Sementara siswa lain diberi waktu sebelum jadwal mengunjungi berbagai destinasi lain dimulai.
“Jangan bilang kau tak berpindah dari sini sejak kemarin malam?” goda Jiyeon sambil menuruni tangga menuju bagian bawah area bersantai yang dikelilingi pagar kayu. Semakin mendekat pada sejuknya Danau Gyeongpoho.
Hyunjin mencibir. “Bukan begitu ya ….”
Jiyeon terkekeh.
“Gantungan kunci yang kuberi kemarin,” Hyunjin menyelidik, “kau memakainya?”
Rasanya ingin menceburkan diri ke danau saja ketika Hyunjin menanyakan itu. Pasalnya, sesaat setelah Jiyeon memasuki pintu depan penginapan kemarin, Ian mendadak merebut gantungan kunci itu dan melemparnya.
Jiyeon memaksa tawa canggung. “Temanku … membuangnya.”
Bohong jika Hyunjin tak terlihat kecewa. “Tak apa.” Meski begitu, dia tidak marah.
“Maaf, Hyunjin.” Jiyeon melirihkan suara.
“Itu bukan salahmu. Lagipula itu hanya gantungan kunci.”
“Tapi itu pemberianmu.”
Hyunjin terdiam sejenak memandang Jiyeon, kemudian menarik napas dalam. “Nanti akan kubelikan lagi.”
“Lupakan.” Sorot Jiyeon melembut. “Tak ada waktu.”
“Maksudmu?” Setelah mengamati penampilan Jiyeon, bola mata pemuda itu seketika melebar. “Kau sudah mau pulang?”
Jiyeon tersenyum miris. Dia masih belum ingin berpisah dengan tempat tidur senyaman kamar Golden Tulip Skybay Hotel, ribuan sakura sepanjang jalan, udara khas musim semi, dan hal-hal menyenangkan lain.
“Jiyeon, ada sesuatu yang perlu kukatakan!” Hyunjin mendadak mempersingkat jarak keduanya. Terkesan tergesa-tega seolah tak boleh terlambat barang sedetik. “Aku—”
“Jiyeon, ayo!” Ian datang entah dari mana. Menggandeng tangan Jiyeon, lantas mengajaknya pergi. Sekilas tatapannya bertemu dengan Hyunjin. Walau tak memancar aura mencekam, sinis, atau benci, Ian jelas tak menyukai keberadaan Hyunjin.
Jiyeon beberapa kali protes dan mencoba melepaskan tangan dari Ian, tetapi lelaki itu tak lengah sedikit pun.
Hyunjin melihat Jiyeon sempat menoleh ke belakang—padanya, seakan-akan meminta pertolongan atau pembelaan darinya agar Jiyeon bisa berbicara lebih lama. Namun, Hyunjin membiarkan gadis itu dibawa pergi.
Lebih dari sembilan puluh koper tertata rapi, terpisah di empat bagasi bus berbeda. Guru menyeru agar semua siswa bergegas ke kursi masing-masing.
“Aku tidak marah.” Tempat duduk Ian ada di sebelah Jiyeon. Melihat gadis itu tak lekang dari jendela bus, dia kian menggebu, “Kubilang aku tidak marah! Jiyeon kumohon lihat aku!”
Berat hati Jiyeon mengalihkan pandangan menuju Ian seraya mendengus.
“Aku hanya ingin memastikan Jiyeon baik-baik saja,” Ian melembut. Suara pelan sedikit lucu dan wajah imut tak pernah gagal meluluhkan hati Jiyeon. “Kau tahu sendiri rumor yang beredar tentang pemuda itu, Hwang Hyunjin, ‘kan?”
Jiyeon mengangguk pelan.
“Jangan terlena.” Ian khawatir. “Kudengar begitulah caranya bekerja. Dia mendekati perempuan, lalu meninggalkannya begitu saja. Maka karena itu Hwang Hyunjin disebut berengsek.”
Tak ada respons dari Jiyeon. Dia memang tak terlihat marah, tetapi dia meragukan penjelasan Ian barusan.
“Terlebih sekolahnya Hwang Hyunjin cukup jauh dari kota kita, ‘kan?” Ian belum henti menegarkan Jiyeon. “Pikirkan bagaimana kalian bisa bertemu lagi.”
Tersisa satu sekolah yang masih bertahan di Gyeongpo. Kegiatan study tour mereka hari ini mengunjungi lima tempat. Menghabiskan lebih dari delapan jam untuk berkeliling dan mempelajari tiap destinasi.
Menjelang malam, setelah agenda usai, siswa bebas berkeliaran selagi belum terlalu larut.
Kerlip lampu pohon sakura memantul pinggiran danau. Gemuruh angin menciptakan gelombang air yang terdengar kencang. Bangku kayu panjang di sebelah menjadi satu-satunya tempat duduk, juga posisi paling sempurna untuk menenangkan pikiran.
“Gadis itu, ‘kan?” Hyunjin menyahut lebih dulu sesaat setelah pohon sakura bergoyang dan muncul sensasi tarikan seolah meminta perhatian. “Lima tahun lalu, saat kunjungan wisata sekolah dasar kemari, kau memintaku mencari gadis yang juga bisa mendengarmu.”
Hyunjin sungguh menuruti bisikan pohon sakura hari itu. Akan terdengar gila jika dia bertanya, “Apa kau mendengar sakura bicara?” pada tiap gadis yang ditemui. Mau tak mau harus menyusun strategi.
Hyunjin mencoba akrab dengan para gadis. Bila sampai beberapa waktu tak ada tanda-tanda mereka mereka mendengar bisikan pohon sakura, dia akan melepaskan, lantas mencari yang lain.
Tak jarang gadis merasa kesal akan sikap Hyunjin yang seperti itu. Namun, dia tak peduli dan tetap pada tujuan pertama. Ambisi itu membuatnya terlihat seperti lelaki buruk, sampai ramai dibicarakan dengan sebutan berengsek.
Kau seharusnya lebih cepat.
Hyunjin tersenyum sambil menunduk. “Menyedihkan, kau menuntunku pada gadis terbaik yang bisa mencuri hati. Namun, aku baru menyadari saat waktu telah habis.”