Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
One Meal, One Story, One Movie Before Bed
Cléa Rivenhart
15.49, Rabu 23 Juli 2025
Di dalam usiaku yang memasuki kuarter ini, hal-hal bodoh sudah tidak lagi menarik untukku. Aku bukan lagi seekor serangga yang ketika malam tiba mencari spotlight untuk membakar diri. Memenuhi kamar dengan gambar setengah telanjang dari seorang laki-laki yang katanya baik luar dalam padahal karakternya dibuat oleh manajemen. Menonton drama yang tidak berkesudahan, film yang mematikan dengan kesedihannya, tulisan-tulisan buruk yang hanya mengekspose sisi gelap penulisnya dan ikut bernapas di dalamnya. Semua itu sudah aku tinggalkan.
Aku tidak menjadi orang munafik yang mengatakan bahwa "Aku menyukai karyanya, bukan orangnya." Jujur, aku terganggu saat menyanyikan dan mengagumi sebuah karya seorang Gay. Memang suaranya bagus, lagunya enak, liriknya lumayan, tapi tidak dengan visual orangnya saat konser dan mengenalkan lagunya dengan foto yang luar biasa menjijikkan menurutku. Itu membuatku mencari tahu dulu siapa yang aku kagumi, karena ini bukan hanya soal pandangan. Aku tidak ingin cermin itu terpantul juga untukku dan membuatku mulai memaklumi banyak hal menyimpang dalam hidupku. Orang-orang bilang berikan mereka kesempatan kedua, atau mereka memang manusia dengan segala keunikan dan haknya. Ya, memang, dan ini juga hak diriku untuk tidak lagi memasukkan mereka ke dalam list kunjungan hiburan lagi.
Malam itu, malam yang membuatku sadar ketika menonton drama yang sebenarnya tidak aku suka, hanya karena dia sedang trending. Aku menontonnya tanpa pikir panjang karena takut ketinggalan informasi dan tidak mendapatkan posisi saat teman-teman membahasnya di jam-jam istirahat. Ya, aku tahu ini sangat klise dan sepele, tapi kau tidak berhak menghakimiku. Kau mungkin sudah lebih dulu melewati fase ini. Dan jangan lupa satu hal: sebelum dirimu, ada orang yang melewati hidupmu dengan mudah dan dia sudah menjadi sukses, bahkan sampai sekarang. Meski hidupnya di zaman dulu. Seharusnya kau malu dengan mereka saat menyombongkan diri. Sungguh, itu sangat memalukan. Sebab aku hari ini hanya ingin menceritakan sedikit pemikiran yang terus membuatku merasa harus menuliskannya.
Penilaian dan sudut pandang tentang orang-orang yang bermasalah dengan karya dan pengagumnya yang munafik—mereka yang masih menyukai dan mendukung meskipun idolanya membunuh seseorang, secara fisik maupun psikologis. Mereka yang menyimpang dan kriminal tetap mendapatkan hati dan pengampunan berupa pemujaan. Sungguh menggambarkan sebuah kemunduran, meski mereka menyatakan diri sebagai seorang yang modern dan maju. Mereka yang hidup berdampingan antara kebaikan dan keburukan, bahkan sudah tidak lagi malu membuka aib. Oh ya, untuk hal terakhir itu juga, aku sudah tidak peduli lagi dengan podcast-podcast problematika yang dibuat secara industri ataupun digoreng untuk mendapatkan eksposur yang bisa dijual. Dulu, hampir setiap hari dengan berbagai tema podcast aku lahap sebelum tidur dan setelah bermimpi. Itu membuat kepala ini berat, bukannya mendapatkan kelegaan dari sebuah hiburan waktu senggang.
Mie di meja baru saja matang, dan drama itu tidak benar-benar aku tonton. Aku tersadar tentang makna hidup, pikiran itu tiba-tiba menyerang. Kenapa aku harus seperti semua orang, seperti orang lain yang bahkan tidak akan peduli jika aku mati, tidak peduli jika aku sakit, bahkan tidak mengenalku sama sekali? Kenapa aku harus berdebat atas kebenaran yang aku anut—sebuah pengetahuan yang membuatku berbeda dari yang lainnya, sekali pun dari ruang dan waktu yang sama, bahkan dari ibu yang sama? Dan kenapa aku harus membuat diriku, orang yang berdebat denganku, serta mereka yang hanya mendengarkan terluka karena ucapanku yang memaksa? Beberapa orang bilang aku psikopat, tapi jujur aku masih takut melihat darah, sekali pun aku seorang wanita. Dan mungkin jika memang itu aku, diri ini adalah psikopat yang bermutasi menjadi perempuan yang terlihat baik-baik saja dari luar, tapi menyimpan banyak skenario rencana pembunuhan berencana yang keji di belakang sana.
Memang iya—tidak, jangan dulu menilai. Aku tidak berniat menakuti dengan hal ini, atau membuatmu berpikir "oh, aku keren dengan ini". Tidak. Aku terkadang mengalami frustrasi karena terkadang mengalami halusinasi suara dan rasa yang menyakitkan saat emosi tidak terkontrol. Sekarang aku mengerti kenapa Naruto punya Kyubi, sebab saat dia sedang berperang, sisi sentimentilnya tersentuh, maka semua ingatan masa lalu akan muncul menampilkan kepedihan berulang-ulang dan membuat tumpukan emosi yang tadinya sudah ditelan atau ditekan jauh kembali muncul meminta pertanggungjawaban dan juga datang sebagai pelindung diri untuk tidak lagi terluka. Dan itu membuatnya lebih kuat atau menjadi rapuh karena gegabah. Ya, saat aku mengenal diri sendiri dan aku tahu ada pintu gelap yang dalamnya luar biasa, aku selalu memastikan untuk membawa cahaya setiap kali memasukinya, karena tidak ingin tersesat di dalam diri sendiri.
Aku tidak ingin seperti dulu saat sekolah, berkumpul dengan teman-teman yang bahkan tidak searah, menyukai lagu dangdut, rege, band Melayu, dan juga K-Pop. Aku lebih suka instrumental biola, akustik gitar, dan permainan piano tanpa lirik, serta lagu-lagu ballad yang liriknya penuh makna. Namun, tidak ada satu pun dari temanku yang menyukai ketenangan dan kelambatan dari kelembutan melodi. Mereka lebih suka lagu rusuh yang membuat badan terganggu dengan getaran goyangan. Sejak SMP aku suka menenangkan diri dengan brain wave, meski efek sampingnya adalah sakit kepala hebat. Tapi itu cukup membuatku tetap jadi diri sendiri dan, ya, kegilaan itu tidak membuatku gila. Karena aku tahu, setiap orang punya rahasia. Dan mungkin saja mereka yang terlihat akur dalam komunitas sebenarnya tidak saling suka, tapi karena sifat manipulatif mereka, mereka membuat batasan itu lebih dekat bahkan tipis dengan menyatakan diri sebagai teman, padahal musuh yang sedang memantau dan mencoba untuk mengarahkan kita ke jurang.
Setelah drama itu selesai dan mie hilang entah ke mana, mengisi kewarasan kembali. Kartun menjadi satu-satunya tempat kembali. Menonton semua film kartun dan serial kartun, berupa animasi atau gambar tangan klasik. Ini adalah balas dendam karena dulu sering dibatasi oleh jam les dan waktu tidur siang. Juga membuatku bosan dan hanya membuat layar TV menyala dan memberikannya arti, memutarnya di handphone agar eksistensi terasa hidup meski tidak berselancar di sosial media. Entah kenapa ada ketenangan jiwa saat data seluler menyala dan layar HP hidup, tapi tidak dengan penggunanya, yakni diriku.
Keesokan harinya setelah semua berubah, dan berikut dengan hari-hari setelahnya, aku memutuskan untuk mundur dari sosial media, dari hingar bingar trend, dan juga segala aktivitas yang tidak mendukung hidup secara langsung selain menambah mumet. Kali ini, saat mencari hiburan, aku benar-benar mencari yang ingin aku tonton, sesuatu yang membuatku penasaran, sesuatu yang ingin aku pelajari. Dari lagu-lagu berlian yang perlu ditambang dulu sebelum didengarkan, dari film-film yang katanya terbaik sepanjang masa yang terkubur zaman yang aku cari dari tumpukan nama novel populer yang sudah berdebu, karya-karya sinematografi yang hanya populer di kalangan orang-orang pemikir hebat—mereka yang mendapatkan penghargaan tapi tidak dengan perhatian. Kisah-kisah luar biasa yang tidak memberikan hiburan melainkan pandangan, pedoman, dan terkadang tujuan hidup.
Malam ini, mi di meja benar-benar ku habiskan dengan khidmat. Tidak ada lagi drama trending yang bersaing dengan suapanku. Aku membiarkan denting piano Norah Jones mengisi udara, meluruhkan sisa-sisa kegelisahan yang mungkin masih menempel. Setelahnya, tanganku meraih sebuah novel lawas, yang sampulnya lusuh dan halamannya menguning. Kisah-kisah di dalamnya adalah cermin yang jernih, bukan cermin distorsi dari dunia maya. Dan sebelum mataku menyerah pada kantuk, sebuah film animasi bisu dari era 1920-an, yang kutemukan setelah pencarian panjang di forum-forum diskusi, menjadi penutup. Dalam kesederhanaannya, ia berbicara tentang kebaikan dan kejahatan tanpa perlu gembar-gembor. Aku bukan lagi serangga yang haus cahaya. Aku adalah diriku, yang akhirnya menemukan penerangan dari dalam, dari hal-hal yang sungguh bermakna. One meal, one story, one movie. Cukuplah itu untukku, untuk malam ini, dan malam-malam selanjutnya. Sebab, kita tetap membutuhkan rasa sakit, suara sumbang, dan gertakan untuk merasakan hidup itu nyata. Ini tentang usaha mencari, menemukan, dan hidup di dalamnya dengan orisinalitas yang terjaga.