Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Ombak Anak Lautan
0
Suka
191
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kalian berlari memburu pantai, menabrak karang, memecah cangkang-cangkang. Apa yang kalian inginkan? Berada di pelukan Ibunda laut harusnya cukup meredam segala kehampaan, segala kerinduan. Duh, ombak anak lautan, istirahatlah dari segala deburan.

Atau mungkin kalian sedang mengejek? Aku si anak malang. Meringkuk sendiri di atas tebing. Menggenggam angin, memeluk udara. Aku si anak bangkang. Tiap detik merindukan Mama.

“Apa yang paling Lisa rindukan dari Mama?”

Tak seperti kalian, mimik wajahnya nampak mengejek, memberi rupa yang dusta. Sungguhkah ia peduli dengan diriku? Dengan Mama?

“Aku rindu saja.”

Meskipun begitu, aku tetap menjawab tiap pertanyaanya. Sebab hanya ia yang mau kuajak bicara soal Mama. Selain kalian tentunya.

“Kau boleh mengatakan pada semua orang bahwa kau rindu Mamamu.”

“Untuk apa?”

“Supaya lega.”

“Setelah lega? Apa Mama bisa kembali?”

Dusta. Wanita itu tak berkedip menatapku. Selalu begitu. Selalu berakhir seperti itu tiap kita bertemu. Dia seolah kehabisan kata, kehabisan tenaga.

“Buka begitu, Lisa. Kau tau maksudku.”

“Tidak.”

Sudah lebih dari satu tahun aku mengenalnya. Tiap dua kali dalam seminggu, kami selalu bertemu. Ia menganggapnya perbincangan. Tapi aku tidak. Pertemuan ini hanya sekedar kerja baginya.

“Kau sudah tidak pernah pingsan. Itu kemajuan. Jika berusaha sedikit lagi-“

“Kalian semua menyalahkan Mama dan Aku percaya. Mama menukar nyawanya dengan kesembuhanku.”

Wanita itu menggeleng. Matanya putus asa. Pun denganku.

“Baiklah. Maafkan aku. Aku akan meresepkan obat baru.”

“Obat yang sama seperti yang Mama minum?”

Dia tidak menjawab. Sebab ia telah yakin bahwa aku sudah tau jawaban dari pertanyaanku.

“Oh ya, kapan kau akan camping lagi?”

“Tidak tahu.”

“Ayahmu bercerita bahwa kau lebih suka camping seorang diri akhir-akhir ini. Lebih baik membawa teman, Ayahmu pun sangat suka jika kau mau pergi dengannya.”

Aku tidak merespon. Urusan ini terlalu pribadi untuk aku bagikan dengan seorang psikiater. Ah. Betapa munafiknya diriku. Aku sudah telanjang di depannya selama satu tahun ini. Bagaimana mungkin aku masih memiliki pertimbangan antara yang pribadi dan yang tidak di hadapannya?

Jangankan soal aku. Psikiater ini jelas lebih tahu apa yang terjadi pada Mama daripada diriku sendiri, daripada Ayah. Aku baru tahu belakangan bahwa Mama juga meminum obat darinya. Bahkan jauh sebelum aku dilahirkan, mereka telah saling mengenal, meskipun bukan sebagai teman. Dan sekarang aku memikirkan soal privasi di hadapannya? Lisa, pikiranmu sungguh sia-sia.

Lisa. Mama memberiku nama Lisa. Kata Ayah, Lisa adalah nama Mama yang tak jadi disematkan kepada diri Mama sendiri. Sebab, Mama bayi sakit-sakitan selama seminggu setelah menggunakan nama tersebut. Tapi mengapa Mama kemudian menyematkan nama itu kepadaku?

Memang tidak terjadi apa-apa pada tubuhku.Tapi hal itu hanya bertahan hingga aku berumur tujuh tahun. Pada hari pertama masuk sekolah dasar, aku pingsan berkali-kali dalam sehari. Aku dibawa ke klinik. Kata dokter, tidak ada yang salah dengan tubuhku. Aku tidak sakit. Hanya saja, detak jantungku bergerak dengan sangat cepat.

“Sudah kubilang, seharusnya kita menungguinya sampai pulang sekolah. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Lisa, aku tidak akan memaafkanmu.”

Mama dan Ayah bertengkar. Aku kesal. Sebab pertengkaran itu disebabkan oleh diriku. Apa yang salah? Aku sendiri tidak paham mengapa bisa berkali-kali tak sadarkan diri. Dokter dan guru bilang bahwa aku terlalu grogi, terlalu cemas, terlalu takut menghadapi teman dan suasana baru.

Tidak. Aku sama sekali tidak cemas, tidak takut, bahkkan cenderung impulsif. Hari pertama sekolah adalah hari yang paling aku tunggu saat itu. Tapi Mama tidak percaya padaku. Ia memilih patuh pada keyakinannya. Bahwa aku adalah anak yang penakut dan lemah. Maka dari itu, Mama kemudian menungguiku tanpa absen sehari pun selama enam tahun aku duduk di bangku Sekolah Dasar.

 “Aku bisa sekolah sendiri, Ma.”

“Tidak. Kau tidak mengerti, Lisa. Di luar sangat berbahaya. Dunia remaja lebih menakutkan daripada saat kau masih kanak-kanak. Mama tidak mau kau terluka. Kau belum siap.”

Memasuki masa sekolah menengah pertama, aku mulai jengah dengan Mama. Aku tidak bisa bergerak bebas seperti anak-anak lain. Aku merasa sehat. Tapi mengapa Mama memperlakukanku seperti anak yang sedang sekarat?

Sementara Ayah tidak bisa berbuat banyak. Padahal, awalnya Ayah sangat menentang Mama prihal caranya dalam mengatur kehidupanku. Tapi lambat laun, Ayah pun angkat tangan dalam perkara ini. Hingga pada suatu hari, terjadi insiden yang membuat mereka semua berbalik menyerang dan menyalahkan Mama.

“Hematophobia?”

Samar-samar, aku mendengar percakapan mereka. Sementara mataku masih terasa berat untuk dibuka secara sempurna. Aku merasakan jantungku seperti siap meledak kapanpun. Keringat dingin mengalir membasahi tubuh bagian belakang.

“Mama?”

Aku berusaha menggapai tangan Mama yang terasa dekat. Tapi nyatanya jauh. Jauh sekali.

“Kanker darah?”

“Tidak tidak. Bukan penyakit semacam itu. Hemophobia berarti anak anda memiliki ketakutan berlebih saat melihat darah.”

Oh ya? Siapa dia hingga menyimpulkan hal semacam itu? Aku sendiri tidak merasakan demikian.

“Mama?” kucoba lagi untuk meraih tangan Mama. Kali ini, Mama menyadari bahwa aku telah hadir kembali bersamanya.

“Lisa!”  Teriak Mama. Namun aku kembali pingsan begitu Mama mendekat.

Aku merasakan ketakutan yang aneh. Baju mama yang berwarna merah membuat kepalaku pusing dan pandanganku memudar. Aku mendengar suara detak jantungku sendiri. Dadaku terasa ditindih sesuatu yang sangat berat.

Hari itu aku baru saja memasuki sekolah menengah pertama. Hari itu juga, aku mengalami menstruasi pertama. Aku ingat, dunia tiba-tiba menggelap saat aku melihat segumpal darah melekat di celana dalamku.

Masalahnya, Apa yang aku alami bukan berada di tingkat yang biasa. Meskipun ribuan kali aku menyangkal bahwa aku tidak takut dengan darah, tetapi sayangnya, tubuh dan alam bawah sadarkulah yang terus merawat ketakutan tersebut.

Memasuki masa puber, dalam seminggu tiap bulan, aku selalu pingsan setiap hari. Bahkan tiap menit. Mengapa aku bisa menjadi manusia yang takut dengan darah padahal tubuh manusia menyimpan begitu banyak darah? Aku bahkan bisa medengar aliran darah di dalam tubuhku sendiri. Pada titik tertentu, aku bisa tak sadarkan diri hanya karena membayangkan memakan apel berwarna merah! Gila!

Saat keadaan makin menggila. Orang-orang tidak terkecuali Ayah kemudian menyalahkan Mama. Ia dianggap memiliki andil paling besar terhadap trauma yang menggerogoti tubuh dan mentalku. Proteksinya terhadapku ternyata menjadi boomerang. Mama selalu melihat hidup dengan kaca mata bahaya. Semua benda, semua orang, semua kemungkinan dipercayainya akan membawa celaka bagiku.

Alam bawah sadarku kemudian ikut terseret dan menangkap sikap proteksi berlebihan dari Mama. Alam bawah sadarku mendeteksi sinyal bahaya. Dalam hal ini, Darah merupakan wujud interpretasi atas segala bahaya yang bisa membuatku celaka. Bahkan mati.

“Kau harus hidup terpisah selama paling tidak satu bulan dari Mama.” Ayah menatapku dengan rasa iba.

“Harus?”

“Kamu harus mulai diterapi sesuai anjuran psikiater. Keadaan akan semakin buruk jika kita membiarkannya. Kau tidak bisa terus-terusan pingsan. Hidupmu bisa kacau. Satu-satunya cara adalah memisahkan kalian untuk sementara. Percayalah, harimu bersama Ayah akan sangat menyenangkan.”

Aku diam. Aku sudah remaja, aku punya logika. Apa yang disampaikan Ayah dan psikiater bisa diterima olehku. Hanya saja, aku yang tiap detik berada di jangkauan Mama, tiba-tiba harus terpisah dan tidak bertemu sama sekali dalam satu bulan? Aku bisa. Tapi bagaimana dengan Mama?

“Mama harus melakukannya jika Ia sungguh menyayangimu.”

Tapi beribu-ribu sayang. Mamaku. Satu bulan saja tidak bisa dia lewati tanpa melihat aku, anaknya. Satu bulan berpisah denganku, pada akhirnya Mama memilih menghilangkan nyawanya sendiri.

Mama. Aku tidak menyadari bahwa sikapnya padaku selama ini adalah merupakan bentuk manifestasi keadaan mentalnya yang rapuh.

Mama depresi sejak awal. Mamalah yang seharusnya disembuhkan sejak awal. Kini, satu tahun setelah Mama meninggal. Aku tak lagi pingsan sesering dulu. Tapi ada perasaan lain yang terus hinggap dan menghantuiku.

Akulah penyebab Mama depresi dan bunuh diri. Seharusnya aku tidak dilahirkan ke dunia ini jika hanya menyusahkan Mama. Mengapa Mama harus menukar nyawanya dengan kesembuhanku?

“Apa jadwalmu setelah ini? Les?”

“Aku mau camping.”

Sesiku sudah selesai. Satu jam bersama psikiater ini terasa sangat singkat. Aku benci, tapi menikmatinya. Bertemu dengannya sama seperti meminum obat penghilang rasa sakit.

“Sudah ajak Ayahmu?”

“Ayah bekerja. Ini hari senin.”

Dia bersandar di kursinya dan menghela napas. “Berbahaya, Lisa.”

“Anda sama seperti Mama.”

Dia kemudian tersenyum. “Sudah izin? Paling tidak kau harus meminta izinnya.”

Aku mengangguk saja. Tapi tak kulakukan perintahnya. Sebab aku tahu bahwa Ayah ingin aku menjadi lebih berani.

Ayah adalah orang yang mengajariku tidur di atas tanah tanpa mempedulikan ada tai atau tidak di atasnya. Ayah mengajariku menatap sungai tanpa memikirkan apa-apa. Dan Ayah pula lah yang mengajariku pergi ke suatu tempat yang tinggi untuk mencari kesadaran diri bahwa manusia bukanlah makhluk yang paling penting di dunia.

Ayah dimataku nampak seperti gunung. Ia kokoh dan selalu terlihat kemanapun aku pergi. Sifat dan cara hidupnya sungguh berbanding terbalik dengan Mama. Tapi mengapa mereka bisa menjadi sebuah kesatuan pada akhirnya?

“Ayah mencintai Mamamu karena dia sangat berbeda dari Ayah. Kami saling melengkapi.”

“Pada akhirnya Mama Pergi, karena diriku.”

“Justru kehadiranmu membuat hidupnya lebih baik. Ayah yakin itu.”

Jika memang demikian, Mengapa Mama memilih mengakhiri hidupnya padahal ada aku di dunia ini? Ayah dusta, sama seperti psikiater dan Nenek.

“Kau tau? Lautan lah yang mempertemukan Ayah dengan Mamamu.”

Ya. Aku sering mendengar cerita ini. Baik dari Ayah, maupun Mama. Tapi cerita kali ini sungguh berbeda. Sembari menatap deburan ombak yang menghantam karang lalu pecah menjadi buih-buih, Ayah seolah terpaksa menceritakan bagian yang selama ini tak pernah keluar.

“Ayah bertemu dengannya bukan saat ia sedang berenang dan bersenang-senang. Saat itu mamamu ingin tenggelam.”

Aneh. Cerita ini seharusnya mengejutkan. Tapi aku seperti telah menduganya sejak awal. Ayah kemudian memeluk tubuhku. Kehangatan pelukannya serta suara deburan ombak yang makin menderu pada saat itu telah mampu meredam segala bentuk pikiran buruk yang selalu berlarian di benakku.

“Lalu Ayah memeluk Mama seperti ini?”

Pelukan Ayah semakin erat. Ia tidak menjawab. Tapi aku tahu bahwa Ayah telah memeluk Mama sejak pertemuan pertama mereka. Aku tahu bahwa Ayah telah menyelamatkan Mama. Dan mungkin perkataanya memang benar. Bahwa kehadiranku di dunia juga telah memberi warna bagi batin Mama yang telah lama tenggelam di lautan.

Hari saat Ayah memelukku dan menceritakan kebenaran soal kisah pertemuan mereka adalah hari pertama ia mengajakku camping di atas tebing ini. Tebing tempat Mama menjatuhkan dirinya sendiri. Tidak takutkah ia bahwa suatu hari nanti aku mungkin akan terjun bebas untuk menyusul Mama?

Tapi aneh. Kian sering aku datang, justru kian sedikit keinginanku untuk melakukannya. Mendengar deburan kalian yang terus berulang terhadap karang nyatanya mampu menyapu ingatan burukku tentang Mama. Ingatan yang memang sudah selayaknya untuk tenggelam.

Duh, ombak anak lautan, sampaikanlah pada Mama bahwa aku memang merindukannya, tapi bukan berarti aku harus cepat-cepat membersamainya. Duh, ombak anak lautan, kumohon sapulah kepedihannya yang telah mengerak di tepian kenangan. Duh, ombak anak lautan, bawalah Mama ke dalam pelukan Ibundamu yang penuh dengan kedamaian.


Yogyakarta. Januari, 2024

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Ombak Anak Lautan
Magnific Studio
Novel
Gold
Arah Musim
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Steviana
Kiki Misgiarti
Novel
MERANGKAI HARI
chewtrbl
Novel
Tepian Zaman
Nur Cholish Majid
Novel
PTSD
diana rahmatika
Flash
Bronze
Masih Banyak Ikan di Laut
Reyan Bewinda
Novel
Gold
Ice Cream for Share
Mizan Publishing
Cerpen
MAWAR-MAWAR
Ani Hamida
Novel
Bronze
Jodoh Pilihan Allah ~Novel~
Herman Sim
Novel
Jejak Kelabu Jakarta
Ula
Novel
The Half Blood
Faty Fathiya
Novel
Menggapai Surga Cintamu
Hanachan
Novel
Bronze
Bara
Dwiyan Sebastian
Novel
Bronze
Peluit Angin Sang Adiwira
Nuha Azizah
Rekomendasi
Cerpen
Ombak Anak Lautan
Magnific Studio
Novel
Bronze
SURAT DARI BENGAWAN
Magnific Studio
Novel
Bronze
CIK MELATI BERJALAN MUNDUR
Magnific Studio
Komik
HAPPY BIRTHDAY
Magnific Studio
Cerpen
Bronze
Rumah Cemara
Magnific Studio
Cerpen
LADEN
Magnific Studio
Komik
EVANESCENCE
Magnific Studio
Komik
BLOODY LOVE STORY
Magnific Studio