Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tokyo adalah sebuah rumah bagi para pengejar mimpi. Banyak yang datang ke sana dengan ribuan harapan. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkannya, tapi tak semua berhasil. Kebanyakan malah berakhir terlunta-lunta.
Aku adalah salah satunya. Datang ke Tokyo dengan membawa segenggam mimpi, sayangnya tak ada satupun yang bisa terwujud. Pada akhirnya, aku bergabung dengan mereka: manusia-manusia putus asa yang terjebak di kota ini.
Gadis itu juga adalah pendatang. Ia pun membawa mimpi yang sama denganku. Pertemuan kami mungkin adalah takdir, karena melalui dirinya aku bisa keluar dari jerat keputusasaan ini.
Konbini tempatku bekerja berada di area stasiun Shinjuku. Stasiun inilah yang menjadi perhentian bagi kereta dari luar kota, sehingga pemandangan manusia membawa koper besar terlihat biasa.
Yang membuatku tertarik adalah sosoknya. Bukan hanya koper, sebuah gitar juga tersampir di bahunya. Kedatangan gadis itu ke Konbini juga hanya untuk membeli sebotol teh hijau hangat.
Aku yang bertugas di meja kasir pun menghadapinya. Kami bertransaksi dalam diam. Tak sampai lima menit, ia sudah meninggalkan konbini. Bawaan yang banyak itu sepertinya membuat ia kesulitan. Tapi, untukku yang sudah tinggal bertahun-tahun di kota ini, sudah menjadi budaya kalau aku tak harus membantunya. Hanya mataku saja yang mengawasi setiap pergerakannya sampai ia benar-benar menghilang di antara keramaian stasiun.
Kalau saja aku tak mampir dulu ke toko alat musik, aku pasti tak akan bertemu dengannya. Lagipula, ingatan akan gadis itu terkikis oleh kesibukanku sebagai pekerja paruh waktu. Hampir saja aku tak mengenalnya, kalau saja tas ransel merah itu tak tersampir di pundaknya.
Secara bersamaan, kami mencapai meja kasir lalu menyodorkan sebuah senar gitar. Tersadar, aku dan dia berpandangan dengan kikuk lalu saling mempersilahkan untuk membayar duluan.
"Maaf, seharusnya aku mengantri di belakang, kau tiba lebih dulu," tukasnya.
"Tidak masalah. Kau bisa membayar lebih dulu," responku gugup.
"Tak apa silakan."
"Tidak. Kau saja dulu."
Kami saling berdebat sampai tak menyadari kalau kasir toko langsung mengambil senar gitar kami berdua lalu menghitungnya.
"Dua senar gitar total empat ribu enam ratus yen."
"Hah?" Seruanku yang terdengar lebih keras karena posisiku berada dekat Tomo-san. Karena aku adalah pelanggan setia toko itu, kami pun saling kenal.
"Gou-kun. Bayar! Empat ribu enam ratus yen." Tomo-san menadahkan tangannya. Aku langsung gelagapan. Tomo-san menyeringai usil.
"Daripada berdebat siapa yang duluan, aku gabungkan saja lalu salah satu membayar. Urusan selesai kan?" Aturan dari mana itu!?
"Eh, Tapi…" Gadis itu menanggapi dengan sungkan. "Aku saja, gak apa-apa." Ia hendak mengeluarkan dompet, tapi kalah cepat dariku. Apalagi, Tomo-san sepertinya lebih menerima pembayaran dari pelanggan lamanya.
Tanpa basa-basi, kuserahkan senar gitar miliknya lalu melangkah keluar. Sebenarnya aku sangat gugup dan kikuk, ditambah dengan pandangan meledek dari Tomo-san. Ia pasti senang sudah berhasil mengerjaiku.
Saat aku tengah menarik sepeda dari parkiran, gadis itu mendatangiku. Raut wajahnya tampak amat bersalah. Pasti ia menyangka kalau tindakanku tadi tidak tulus.
"Maaf, aku tak bisa menerimanya." Ia menyerahkan senar gitar itu padaku. Terpaku sejenak, aku memperhatikan mukanya yang menunduk dalam.
"Tak apa. Tomo-san memang begitu. Lagipula itu barang milikmu kan?"
"Tapi… Kau yang…"
"Tak apa, anggap saja…" Aku menggantung ucapanku karena tak menemukan istilah yang tepat. Kegugupan kembali merayapi hatiku. "... hadiah."
"Eh!?"
"Selamat datang di Tokyo." Aku kelepasan bicara sehingga kubekap mulutku. Gadis itu menganga sambil memandangku heran. Pasti ia bertanya-tanya dari mana aku tahu kalau ia pendatang.
Ah, semua sudah semakin rumit. Secepat kilat, aku menunggangi sepeda lalu meluncur meninggalkannya. Kudengar seruan 'Hei!' nya, tapi kuabaikan.
***
Yui. Aku mengetahui namanya setelah bertemu lagi di persimpangan jalan. Cukup mengejutkan ketika menemukan ia tengah mengamen. Dalam posisi bersila, Yui bermain gitar sambil bernyanyi. Di hadapannya, terpampang sederet CD album. Kalau diperhatikan lebih jelas, ternyata itu adalah album karyanya.
Luar biasa.
Setelah melihat itu semua, pandanganku kini beralih pada gadis berkuncir kuda itu. Ia sepertinya mengenaliku sehingga menyunggingkan senyum sapaan sambil bernyanyi. Aku hanya mengangguk singkat dengan senyum lebih tipis. Aku pun menjadi penonton sampai ia selesai dengan lagu-lagunya.
"Terima kasih atas hadiahnya. Ini kupakai." Ia memetik senar gitarnya. Aku hanya tertawa singkat sambil manggut-manggut. Setelah itu, pandanganku beralih pada album karyanya. Belum ada penonton yang membelinya sehingga aku berniat membelinya.
"Ini karyamu?"
Wajahnya tersipu. Entah kenapa, sosok yang tadinya penuh percaya diri tampil di keramaian, kini tampak malu-malu merespon pertanyaanku. Butuh waktu lama sampai ia mengangguk singkat.
"Hmmm… Boleh aku membelinya?"
"Boleh." Jawabannya kali ini cepat karena antusias. "Eh tapi kau ambil saja. Anggap saja ditukar dengan senar ini."
"Tidak! Tidak!" Aku hendak mengeluarkan dompet, tapi dengan agresif ia menahanku. Tangan yang satunya lagi menempelkan album di dadaku.
"Tak masalah. Terima kasih ya sudah tertarik pada karyaku." Ia tersenyum dengan mata berbinar.
"Kau orang pertama loh, sejak aku tiba di Tokyo."
***
Lagu-lagu ciptaan Yui amat berkesan sampai-sampai aku terus mendengarkannya. Tanpa terasa, aku pun selalu menyaksikan penampilan gadis itu. Ada kalanya, banyak orang yang ikut menyaksikan tapi ada kalanya juga hanya aku yang menjadi penonton.
Tapi, bukan cuma itu. Yui telah berhasil membangkitkan mimpi lama yang sempat ku kubur. Menjadi musisi. Setelah beberapa tahun, akhirnya aku memberanikan diri untuk berkarya lagi. Aku tak ingin menyaingi Yui. Aku malah berharap kami sama-sama bisa menggapai mimpi.
Aku memutuskan untuk bergabung dengannya. Saat aku menyatakan diri untuk bergabung, Yui langsung setuju. Malah ia antusias. Karena aku tak pandai bernyanyi, aku hanya bekerja di belakang layar, menciptakan lagu untuk Yui. Sementara Yui-lah yang menjadi bintang utamanya. Sejak saat itulah aku mendampingi Yui mengamen.
Yui memanggilku senpai, entah apa alasannya. Padahal aku merasa kemampuan bermusikku tak lebih baik darinya. Karyanya pun jauh lebih banyak. Tapi, Yui tak peduli. Ia tetap menganggap aku adalah senior yang ia hormati. Dalam berbagai hal, ia mendengarkan saran dariku. Saat mengaransemen lagu, saat membuat lirik, bahkan saat aku menyarankannya untuk mengirimkan karyanya ke salah satu label musik.
"Mimpiku adalah tampil di sana." Ia menunjuk ke arah Tokyo Dome saat kami melakukan pertunjukan di dekat area itu.
Tentu saja, keinginannya sangat muluk-muluk bagiku yang sudah mengecap pengalaman hidup di Tokyo selama hampir sepuluh tahun. Tapi, aku tak meremehkannya. Sambil memandang bangunan megah itu, aku pun mengangguk pelan. Tak ada salahnya menaruh harapan yang tinggi.
Suatu hari, aku juga ingin tampil di sana, denganmu.
***
Isak tangis sejak tadi mengisi ruangan. Aku hanya mengunci rapat bibir sambil menunduk. Aku tak punya pengalaman menghadapi seorang wanita yang menangis, sehingga satu-satunya yang dapat kulakukan hanyalah diam.
"Ma-af." Bibir Yui yang gemetar merapal. Seharusnya ia tak perlu mengungkapkan permohonan maaf, karena semua ini bukan semata-mata kesalahannya.
"Aku akan meninggalkan Tokyo." Keputusannya sudah kuprediksi, tetapi aku masih saja terkejut. Kami saling berpandangan, meski Yui terus menerus memalingkan muka.
"Aku akan melanjutkan usaha ayah. Sebagai anak satu-satunya, hanya aku yang bisa melakukannya."
Aku hanya mengangguk-angguk cepat. Meski hatiku hancur dan pedih, aku berusaha bersikap tenang. Kugoreskan senyum lirih padanya, sekedar untuk memberinya dukungan. Tapi, Yui malah semakin terisak.
Kubiarkan Yui menumpahkan kesedihannya. Aku hanya menunduk dalam dengan raut muram. Rasanya aku ingin merutuki diri sendiri yang terlalu bersikap pasif. Padahal, di hadapanku ada sosok yang mimpinya kandas. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa, sekedar untuk menghiburnya.
Sebelum kembali ke Hakodate, Yui memberikan gitarnya padaku. Ia tak memberitahu alasannya. Mungkinkah sebagai kenang-kenangan? Atau sebagai simbol kalau ia sudah mantap mengubur mimpinya. Saat aku tak langsung menerimanya, Yui malah semakin memaksa.
Aku mengantarnya sampai ke stasiun. Selama perjalanan, kami tak saling bicara. Bahkan saat melewati Tokyo Dome, kami hanya mampu menatap nanar tempat itu. Kini semua hanya tinggal mimpi yang tak akan bisa terwujud. Tanpa Yui, aku kembali menjadi sosok yang terkukung dalam keputusasaan.
Sebelum berpisah, kami saling berhadapan. Yui hanya membungkuk sedikit. Wajahnya masih nampak lesu. Aku mulai tak bisa menahan diri. Saat Yui berpaling, tanganku mencengkram lengannya. Ia terkejut lalu menghadapiku.
"Aku…akan terus berada di sini… " Ujarku terbata-bata dengan deru napas yang tak beraturan. "... karena aku masih belum menyerah…"
Yui tertegun dengan sepasang mata yang mengerjap. Mungkin pertama kalinya ia melihatku begitu emosional sampai menangis. Kedudukan kini berbalik.
"Datanglah lagi ke Tokyo. Aku akan menunggumu."
Kalimat itu kuucapkan dengan sungguh-sungguh, tapi Yui malah terkikih mendengarnya. Ia mengusap setitik cairan bening yang membasahi pelupuk matanya. Senyumnya pun terkulum. Sepasang mata Yui menatapku berkaca-kaca.
Ia tak merespon apapun. Beberapa saat kemudian, kami pun berpisah. Yui memasuki area pintu stasiun Tokyo tanpa sedikitpun berpaling. Ia pasti sudah mantap pada keputusannya untuk meninggalkan Tokyo dan tak akan kembali lagi.
***
Ritme gitar mengiringi suaraku. Di tengah lalu lintas manusia, aku bernyanyi. Bermodal gitar peninggalan Yui, kulantunkan karya-karya ciptaan kami. Tak lupa, ada CD album karya kami berdua terpajang di dekat kakiku. Meski tak banyak yang menaruh perhatian, aku berusaha menampilkan yang terbaik.
Baterai semangatku kini sudah terisi penuh. Meski diterpa berbagai kegagalan, aku tak akan berhenti berkarya. Aku percaya, usahaku akan membuahkan hasil. Aku juga masih percaya kalau Yui akan kembali ke sini.
Ketika hari semakin senja, kuputuskan untuk menyudahi pertunjukan kecil-kecilan ini. Kurapikan semua album yang sama sekali belum terjual.
Saat aku hendak menggapai CD di posisi terjauh. Sebuah tangan keburu meraihnya. Sepasang mataku perlahan merayapi sang pemilik jari-jari lentik itu.
"Kerja bagus, senpai." Suara itu terdengar familiar. Tentu saja, suara itu milik sosok yang sudah lama kunantikan. Tapi, aku masih belum percaya kalau Yui muncul di hadapanku sehingga aku hanya bisa mematung dengan mulut menganga.
"Yu-i?"
"Tadaima. (Aku kembali)" Senyum tak lepas terkulum di bibirnya. Tak lama kemudian, aku membalasnya sambil tersenyum.
"Okaeri. (Selamat datang)"