Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Yuuki Nee-san, apakah sudah siap?"
Gadis kecil yang sudah memakai yukata merah berukir benang emas itu menyembul dari balik pintu. Aku mengulas bibir dengan pewarna merah sebelum menoleh ke arahnya dan tersenyum manis.
"Haii’, sekarang sudah selesai."
"Waah! Yuuki Nee-san cantik sekali!"
Ia berdecak kagum melihatku, wajahnya berseri-seri.
"Aku beruntung di rumah bordil ini bisa melihat Oiran secantik dan sebaik Yuuki Nee-san," ujarnya sambil membantuku memasangkan Obi.
"Saat ini aku masih sepuluh tahun dan masih menjadi Kamuro, tapi aku akan terus berusaha keras untuk menjadi Oiran yang dihormati dan disenangi pelanggan seperti Yuuki Nee-san!"
Melihat matanya yang berbinar-binar penuh harap, aku jadi teringat kejadian masa lalu sebelum aku mendapatkan semua kehormatan ini. Ketika aku masih seumuran dengannya dan masih menjadi kamuro di rumah bordil ini, aku kerap kali mendapatkan siksaan dari Oiran terdahulu. Pekerjaanku selalu membuatnya marah, bukan hanya Oiran, bahkan pemilik rumah bordil yang mengelola semua ini pun ikut memarahiku. Aku tidak pernah tahu mengapa ia begitu membenciku hingga yang lain pun ikut menjauhiku.
"Maaf Yuuki-chan, aku takut dimarahi Riuuna-sama jika terus main dan dekat denganmu."
Itu yang dikatakan teman kamuroku.
Barangkali karena status sosial Oiran lebih tinggi dari siapapun di area pekerja seks yang bernama Yoshiwara yuukaku ini membuatnya berhak semena-mena.
Bagaimana tidak? Oiran memiliki hak istimewa untuk memilih sendiri pelanggannya. Pelanggan yang memesan Oiran bukanlah pelanggan mata keranjang biasa yang hanya mementingkan hasrat dengan upah mereka yang seadanya. Pelanggan Oiran adalah orang-orang terkemuka, berkuasa dan memiliki kekayaan berlimpah. Mereka rela menghamburkan ratusan bahkan ribuan Yen untuk memesan Oiran, meskipun mereka tahu kalau mereka belum tentu terpilih. Namun orang yang seperti itu, pastilah memiliki kepercayaan diri luar biasa hingga tidak takut untuk ditolak.
Saat itu aku hanya menangis diam-diam di belakang rumah bordil sambil menikmati pemandangan hutan bambu dan kerlap-kerlip rumah warga sekitar. Sempat ada pemikiran untuk kabur dari Yoshiwara Yuukaku ini tapi aku tidak tahu hendak kemana. Memikirkan di perjalanan nanti aku akan kelaparan atau diterkam binatang buas, membuatku mengurungkan niat, toh di luar sana aku tidak memiliki siapa-siapa. Aku hanya bisa bekerja keras selama bimbingan menjadi Oiran.
"Wajahmu sangat cantik, pembawaanmu yang tenang dan penurut pasti akan disukai oleh para pelanggan. Kamu pantas menjadi Oiran."
Itu yang dikatakan oleh pemilik rumah bordil saat usiaku menginjak 14 tahun.
Lalu aku pun diangkat menjadi Furisode Shinzou, yaitu pelacur atau yuujyo yang akan dibimbing menjadi Oiran di masa depan dan tidak menerima pelanggan. Aku diharuskan untuk menjadi wanita yang bertalenta. Oiran bukan hanya pelacur paling cantik, akan tetapi juga paling berbakat.
Selama di pelatihan, aku diajari menulis kaligrafi dan membaca puisi, tatakrama minum teh dan mahir memainkan alat musik tradisional—shamisen contohnya. Itu mengapa Oiran memiliki status sosial yang paling tinggi. Ia adalah satu-satunya yang paling berpendidikan dan memiliki segudang bakat. Ketika kamu memiliki wajah yang cantik, otak yang cerdas dan perilaku yang menawan, kamu bisa dengan mudah menggenggam dunia. Oiran bagaikan pusat dari rumah bordil itu sendiri. Reputasi rumah bordil bergantung pada Oiran yang mereka punya.
Di zaman Edo seperti sekarang, pekerja seks cukup diminati, bahkan banyak pria dari kalangan pemerintahan yang memesan yuujyo, di samping itu, selayaknya rakyat yang senantiasa mengimpersonet rajanya, mereka juga berbondong-bondong memesan yuujyo yang harganya paling murah.
Dalam batas ini, yuujyo yang berharga paling murah tidak dapat protes dengan apa yang dilakukan oleh pelanggan yang memesannya selama pelanggan tersebut tidak melakukan kekerasan hingga berbekas. Jika mereka melanggar, akan ada denda dan yuujyo tidak diperbolehkan bekerja hingga bekas luka itu hilang. Untunglah aku tidak mengalami semua itu karena sedari awal aku dididik untuk menjadi Oiran.
"Yuuki Nee-san! Apa anda melamun?" Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku.
"Ah! Maaf," ujarku.
Tidak pantas jika aku melamun saat akan melakukan oiran-dochu, yaitu sebuah parade di mana Oiran berjalan bersama Kamuro dan Shinzou dengan kimono mewah dan sandal setinggi 18 cm untuk menjemput pelanggan yang sudah dipilih.
Perlahan-lahan aku mulai berjalan membentuk pola angka delapan, hal itu bertujuan untuk terlihat lebih anggun dan elegan, dengan sandal ini, aku dapat melihat dengan jelas tatapan orang-orang di kanan kiri ku yang menatap dengan binar kagum di matanya. Aku selalu menyukai tatapan seperti itu. Siapapun yang melihatku akan menatap dengan binar mata yang sama kecuali ... orang itu.
Ketika aku sudah melangkah lebih dekat dengan rumah teh, aku bisa melihat pria yang kupilih dari sela-sela jendela. Pria dengan yukata abu-abu itu sedang duduk menungguku sambil menyilangkan tangannya. Sepanjang seleksi hingga saat ini, tatapan darinya terkesan dingin, senyumnya sangat tipis hingga terkesan memaksa. Berbeda dengan pelanggan lain yang terlihat jelas sekali memamerkan kekayaannya lewat banyaknya yuujyo yang mereka pesan dan bicara banyak tentang kehebatannya, dia adalah pria yang begitu pendiam, ia hanya memesan satu yuujyo, makan dan minum seperti biasa tanpa merasa tersinggung sedikitpun saat pelanggan yang lain meremehkannya. Mereka tidak tahu saja, berapa upah yang ia keluarkan untuk menyewa satu yuujyo itu.
"Dia orang aneh, dia hanya memesan satu yuujyo dengan harga setara dengan sepuluh yuujyo. Bisa dibilang dia lebih kaya dari pelanggan lain, tapi tetap saja perilakunya aneh. Aku ingin menolaknya, tapi dia bahkan bisa membeli para yuujyo itu jika dia mau. Maafkan aku, pastikan kau tidak memilihnya, Yuuki."
Itu yang dikatakan oleh pemilik rumah bordil kepadaku sesaat sebelum pertemuan pertamaku pada para pelanggan dimulai.
Namun karena itulah aku memilihnya. Ketika aku memasuki ruangan dan melihat para pelangganku, mataku hanya tertuju padanya. Di saat pelanggan lain menatapku dengan binar harap, dia sendiri yang melengos dan memalingkan pandangannya.
Apa aku kurang memuaskan baginya? Bahkan hanya dengan parasku, lelaki manapun akan orgasme tanpa susah payah aku yang menyentuhnya. Melihatnya, aku jadi teringat pada perlakuan Oiran terdahulu yang memandangku sebelah mata. Namun tampaknya pria itu lupa bahwa di sini jabatan yang tertinggi adalah Oiran, bukan pelanggan. Maka dengan perasaan kalut aku memilihnya. Akan aku tunjukkan bahwa aku bisa memuaskannya dengan talenta yang sudah kuasah bertahun-tahun.
Kini aku sudah memasuki rumah teh dan hanya berduaan dengannya. Aku tersenyum dan bersimpuh untuk menuangkan air panas ke dalam bubuk teh hijau yang ada di hadapannya.
"Silahkan dinikmati, Tuan," ujarku.
Ia menyeruput teh hijau itu tanpa membalas perkataanku. Setelah upacara minum teh telah selesai, ia memintaku untuk memainkan shamisen. Kami sudah berada di bilik khusus yang telah disiapkan.
"Kau ... benar-benar tidak mengingatku, ya?" tanyanya tiba-tiba.
Aku berhenti memainkan shamisen, dengan tetap tersenyum aku menjawab, "saya tidak mengerti apa yang Tuan maksud, tapi saya sangat mengingat wajah Tuan yang tidak tertarik pada saya saat pertama kita bertemu."
"Tidak, jauh sebelum itu, jauh sebelum kau menjadi Oiran, kita pernah bertemu sesekali." Ia tetap mengotot.
"Maafkan saya Tuan, saya–
"Kalau begitu bagaimana dengan ini?"
Ia memotong pembicaraanku dan tiba-tiba saja berdiri melepas tali yukata yang mengikat tubuhnya. Saat yukata itu benar-benar terlepas dari tubuhnya, aku dapat melihat sepasang sayap hitam yang menyembul dari balik punggung pria itu.
"Kau lupa? Kau lupa pada gagak yang pernah kau selamatkan dulu? Kau lupa pada janji kita di masa lalu?" tanyanya bertubi-tubi.
Aku terbelalak kaget. Mataku berkaca-kaca. Aku menghambur ke pelukannya dan menangis di sana. Aku berteriak memanggil namanya dan meracau tidak jelas, sedangkan pria itu hanya tertawa, membalas pelukanku dengan erat dan membisikkan kata-kata yang selama ini ingin aku dengar.
"Aku merindukanmu."
"Bodoh! Selama ini kau kemana saja? Kenapa baru datang?! Aku hampir mati menunggumu! Kau sangat bodoh!" racauku. Sementara ia tertawa geli, mengelus puncak kepalaku dan menenangkanku.
Bagaimana aku bisa melupakannya? Bagaimana aku bisa melupakan anak manusia setengah gagak ini? Padahal ia yang selalu menghiburku saat aku dikucilkan oleh semua orang di rumah bordil ini. Aku selalu mengingatnya, aku selalu berharap di dalam hati bahwa ia akan datang lagi.
Dulu, di satu waktu, aku menemukan burung gagak yang terluka di belakang rumah bordil pada malam hari dan merawat lukanya, tapi saat pagi menjelang, burung gagak itu menghilang begitu saja. Malam selanjutnya aku menangis lagi karena Oiran terdahulu secara terang-terangan melarang kamuro yang lain membantuku.
Namun ia datang, burung gagak yang sempat kutolong itu perlahan mendekatiku. Aku yang terlalu senang memeluknya erat tanpa sadar membuatnya kesakitan. Burung gagak itu mematuk tanganku dan terbang menjauh, membuatku menangis lagi.
"Duh, kau ini cengeng sekali," celetuk seseorang dari balik pepohonan bambu.
Perlahan ia keluar, menampakkan wujudnya yang sangat aneh. Seorang bocah lelaki berpakaian yukata abu-abu dan memiliki sayap di punggungnya. Saking kagetnya, aku sampai tidak mengatakan apa pun.
"Terima kasih telah menolongku dan kenapa kau selalu menangis di sini?" tanyanya.
Di bawah sinar rembulan, aku bisa melihatnya dengan jelas. Hal pertama yang kulihat adalah sayap hitamnya yang berkilau. Itu sangat indah.
"Siapa kau?!" pekikku saat ia mulai mendekat.
"Aku gagak yang kemarin kau tolong, terima kasih."
Singkat cerita, aku memercayainya saja. Ia membuktikan bahwa ia bisa berubah wujud menjadi gagak yang kukenal meskipun tidak dapat terbang jauh karena luka di sayapnya belum sepenuhnya sembuh. Malam itu aku menceritakan semua yang aku alami padanya.
Ia menjadi pendengar yang baik lalu saat aku selesai menceritakan keadaanku, ia menatapku dalam dan berujar, "Yuuki, jadilah Oiran. Jadilah Oiran yang sangat pintar dan juga baik. Saat kau telah menjadi Oiran nanti, aku akan menjemputmu di penghujung malam musim panas."
Aku tidak begitu memahaminya, mengapa aku harus menjadi Oiran? Aku tidak berniat menjadi Oiran dan hanya ingin menjadi Taiko Shinzou, yang kerjanya hanya menghibur pelanggan dengan bakat mereka saat perjamuan makan tanpa harus melakukan seks pada pelanggan. Namun pikiranku pecah melihat sayapnya di bawah sinar rembulan, saking kagum dengan sayapnya, tanganku terjulur untuk menyentuh sayap itu, tapi langsung ditepis olehnya.
"Dengarkan aku, Yuuki. Aku berjanji untuk menjemputmu suatu hari nanti."
"Iya iya, aku mendengarnya. Bolehkah aku menyentuh sayapmu?"
"Tidak! Tanganmu usil sekali."
Malam itu dihabiskan olehku untuk tertawa dan bersenang-senang, aku terus saja menjahilinya hingga ia kesal. Tanpa pernah tahu, itu adalah pertama dan terakhir kali aku melihatnya. Saat bangun, aku tertidur di belakang rumah bordil, menganggap bahwa semua itu hanyalah mimpi. Namun hasrat untuk menjadi Oiran nyata adanya. Aku bekerja keras untuk mewujudkan itu hingga sekarang.
"Bagaimana? Ayo, kabur denganku!" ujarnya.
"Tapi ...."
"Tidak apa-apa. Kau sudah mematahkan stigma tentang Oiran yang kejam. Kau benar-benar tumbuh menjadi Oiran yang pintar dan juga baik, siapa saja akan berusaha keras menjadi Oiran sepertimu. Akan lahir lebih banyak Oiran yang berbakat dan bertanggungjawab di rumah bordil ini. Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan dengan sepenuh hati bekerja sebagai Oiran dan kau akan
Kubawa ke tempat yang lebih baik, di mana kita bisa bersama tanpa harus mempertaruhkan semuanya. Tempat di mana kau bisa sepenuhnya bahagia tanpa memikul beban seberat ini. Tempat di mana kita akan bebas melakukan apa saja. Tempat yang seperti itu, tempat yang selama ini kau inginkan, bukan?"
Membayangkan tempat yang ia katakan itu sepenuhnya adalah kemustahilan. Aku tidak bisa memikirkan tempat yang seindah itu ada di dunia ini, sebab yang kutahu sedari awal adalah aku dijual ke rumah bordil karena terlahir dengan paras yang paling cantik jika dibandingkan dengan semua saudariku.
"Yang kau lakukan hanyalah percaya. Percayalah padaku."
Aku memeluknya semakin erat dan menangis lagi.
"Iya, aku percaya."
Begitulah pada akhirnya aku berlari dengannya menyusuri hutan bambu ini, untuk menghindari kejaran dari warga dan pemilik rumah bordil yang mengira aku diculik. Padahal aku sudah menjelaskan pada mereka bahwa ini semua keinginanku. Namun mereka tidak mempercayainya bahkan mengira kalau aku dihipnotis oleh siluman gagak ini. Yah, dia tidak sempat menyembunyikan sayapnya saat kami kepergok oleh warga.
Yang bisa kami lakukan hanyalah berlari semakin cepat.
"Sial! Awas!!"
Sebelum aku dapat melakukan apa-apa, bahkan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi, ia sudah menghalangiku dengan dekapannya, juga memastikan kepalaku tenggelam dalam tubuhnya. Aku ingin melepas rangkulan tangannya yang menahan kepalaku agar tidak menoleh, tapi aroma tubuh dan suara detak jantungnya lebih memabukkan. Aku menghela napas, menyerah atas rasa penasaranku demi mendengar melodi indah dari jantungnya.
Aku mendongak, tapi tetap tidak bisa melihat wajahnya dari bawah sini. Seketika aku mengumpat. Mengapa aku terlahir dengan tubuh pendek? Namun aku baru menyadari bahwa bukan hanya tangannya yang mendekapku akan tetapi juga ada sesuatu yang begitu lembut dan hangat mengelilingiku. Aku seakan terkurung tapi di sisi lain, di sini sangat nyaman, rasanya seperti telur ayam yang dierami induknya atau bayi pinguin yang berlindung di sela kedua kaki ayahnya saat badai salju. Aku menyentuh sesuatu yang mendekapku itu.
Apa ini? Mungkinkah ini ... sayapnya?
Ada apa sebenarnya? Padahal waktu itu dia selalu ketus saat aku mencoba menyentuh kehormatannya itu. Setiap aku berjalan di belakangnya, sayap itu terlihat begitu gagah dan kuat. Warnanya yang hitam berkilau terlihat sangat indah di bawah pantulan sinar rembulan.
Aku mengelusnya berkali-kali. Jadi begini rasanya. Sangat halus dan hangat. Aku merengkuhnya erat. Mencium aromanya dalam-dalam. Mendengarkan gemerisik daun dan sayap-sayap belalang, juga suara dari pohon bambu yang saling berbenturan, serta degup jantungnya yang perlahan semakin lambat. Semua itu, menjadi melodi malam musim panas sekaligus musik pengantar tidurku. Aku terlelap dalam dekapannya. Aku terlelap dengan perasaan nyaman tiada-tara. Seolah-olah memang saat ini adalah waktu yang tepat untuk tidur. Samar-samar aku mendengarnya berucap lirih.
"Selamat tidur ... sampai jumpa lagi di musim panas selanjutnya."
Aku dapat merasakan kecupannya di keningku sebelum aku benar-benar terlelap.
***
"Maaf, permisi ...."
Tepukan di bahunya dan suara pelan yang ia dengar membuat gadis itu terbangun. Gadis itu merenggangkan tubuhnya dan menguap lebar. Apa ini? Seperti sudah melalui tidur yang panjang sajaiki, pikirnya
"Maaf, kamu sudah tertidur lebih dari dua jam di sini. Bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu," ujar pria di hadapan gadis itu.
Ia mengerutkan alis tak mengerti. Bel pulang apa? Bukankah ia sedang berlari dengan ... tunggu!
Pria ini tampak familiar baginya. Siapa? Semakin mengingat, kepala gadis itu semakin pening.
"Ah, ini, cuaca hari ini sangat panas, kau pasti kepanasan mungkin juga karena posisi tidurmu yang seperti itu membuat kepalamu sedikit pening atau bahkan tubuhmu kesemutan."
Pria itu menyerahkan minuman kaleng dingin di atas meja. Gadis itu yang masih mencerna semuanya menatap buku sejarah yang menampilkan materi tentang Zaman Edo, beberapa bagian sudah basah oleh air liur. Ia menatap pria itu sekali lagi dan teringat bahwa ia ada di perpustakaan sekolah. Benar! Gadis itu ada di sekolah. Bagaimana bisa dia lupa bahwa akan ada ulangan harian Sejarah dan malah tertidur di perpustakaan!
"Aargh!! Ulanganku bagaimana?!" racaunya pada diri sendiri. Lalu apa kata pria itu tadi? Sudah bel pulang? Ia segera mengelap sisa air liurnya dan buru-buru pergi dari sana membawa minuman dari pria itu.
"Terima kasih minumannya! Oh iya, siapa namamu? Lain kali aku yang traktir."
Sial! Ini sangat memalukan baginya.
"Yamazaki Kento! Kita sekelas padahal," ujar pria itu sambil terkekeh geli.
Pria yang bernama Yamazaki itu memperhatikan buku sejarah yang tertinggal di meja. Ia membaca kalimat terakhir dari buku itu yang sudah basah oleh air liur sang gadis.
Oiran pada masa sekarang hanya sebagai simbol keindahan dan estetika budaya Jepang yang dilestarikan saja tanpa mempertahankan prostitusinya.