Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Obrolan di Malam Hari
1
Suka
2,760
Dibaca

Malam belum terlalu larut. Suasanya sangat cocok untuk berkumpul, bercengkrama, lengkap dengan hidangan ringan yang dinikmati bersama keluarga. Menonton berita terkini di televisi, makan rengginang dari toples bekas kue lebaran, ada juga segelas kopi hitam panas yang selalu menjadi minuman malam wajib bapak. Ada ibu yang masih sibuk berkutat dengan sedikit tumpukkan pakaian bersih dan kusut. Sautan suara jangkrik ikut turut mengiring suasana malam di Desa yang jauh dari kata ramai. 

Semua warga di Desa hidup dengan tenang dan damai, walaupun kisah kesulitan ekonomi sering kali terjadi dan terdengar. Sangat jarang, bahkan sepertinya tidak ada yang warganya sampai mengalami depresi akibat kesulitan yang dihadapinya. Warganya saling peduli antar sesama tetangga. Kesulitan sebesar apa pun yang dihadapi, keluarga lain ikut turut membantu sebisanya dengan tulus.

“Num, duduk di sini,” pinta Bapak tiba-tiba.

“Ini sudah duduk, pak,” jawabku sedikit tidak nyaman. Aneh melihat tingkah laku Bapak malam ini. Tidak biasanya Bapak memberikan permintaan seperti ini.

“Sini geser sedikit. Bapak mau ngomong sama kamu,” Aku pun menuruti permintaan langka Bapak.

“Num, kamu itu kan perempuan, satu-satunya anak perempuan dan anak yang Bapak miliki, kehormatan keluarga kita, bisa juga menjadi aib keluarga kita.”

“Maksud Bapak Hanum aib untuk keluarga ini?” potongku merasa tersinggung. Nada bicaraku sedikit meninggi akibat terkejut dengan ucapan ‘aib’ yang bapak lontarkan kepadaku.

“Bukan, bukan seperti itu, num. Dengarkan Bapak dulu sampai selesai. Masih panjang ini,” Bapak menenangkanku kembali.

“Piye to (gimana ya) ngomongnya?” Bapak berpikir sejenak, khawatir aku akan tersinggung kedua kalinya. Aku menunggu dan menatapnya antusias. Bahkan suara televisi terdengar gemirisik tidak jelas ditelingaku.

“Gini...gini..., Desa kita ini kan kecil, dan kabar-kabar apa pun itu mau buruk atau baik pasti akan cepat menyebarnya. Bapak hanya ingin melindungi kamu dari kabar-kabar yang buruk itu. Lagi pula ini itu kan memang sudah jadi kewajibannya seorang perempuan, jadi mau ndak mau kamu harus ikuti. Apalagi yang menganjurkan ini gusti Allah.”

“Opo to (apa), pak? Langsung ke intinya saja, pak,” potongku lagi tidak sabar dengan kalimat bertele-tele Bapak.

“Kamu itu jadi perempuan yang sabar. Jangan gampang marah. Nanti cowok-cowok kabur semua.”

“Hanum minta maaf, pak.”

“Tutup auratmu ya, num?”

“Kalau pergi kan sudah ditutup, pak.”

“Bukan hanya saat pergi saja, num. Saat ada tamu ke rumah, keluar rumah, nyapu teras rumah, pergi ke warung, tetap dipakai jilbabnya.”

Angin malam berhembus sejenak, menyelinap masuk melewati celah-celah jendela, membantu menggemakan kata-kata Bapak di kepala. Aku akui permintaan Bapak kali ini sangat sulit untuk aku jalani. Butuh kesiapan yang matang untuk aku bisa menjalaninya.

“Kemarin, anaknya pak Kuswanto, si Eka Bapak lihat dia keluar rumah pakai celana pendek. Disana posisinya banyak laki-laki. Langsung jadi objek saat itu juga. Bapak langsung berpikir, bagaimana kalau kamu ada di posisi itu? Bapak ndak mau itu terjadi sama kamu.”

“Itu salah laki-lakinya, pak, pikirannya mereka saja yang kotor,” imbuhku.

“Ya tapi, semisal si Eka itu ndak pakai celana pendek gitu orang-orang juga ndak akan merhatiin dia, terutama tubuhnya. Laki-laki akan tergoda melihat yang seperti itu. Bisa jadi fitnah kalau diumbar-diumbar tubuh seorang perempuan itu.”

“Hanum belum siap, pak. Lagi pula pakaian Hanum juga ndak seterbuka Eka. Hanum keluar masih pakai celana panjang kok, pak.”

“Num, perihal menutup aurat itu bukan perihal siap ndak siap. Sudah jadi kewajibannya seorang perempuan yang sudah baligh dan muslim untuk menutup auratnya. Rambutmu itu aurat, num.”

“Bapak ndak akan paham sebelum Bapak menjadi seorang perempuan. Bagi seorang perempuan menutup aurat bukan hanya sekadar menutup aurat, pak. Banyak ujiannya supaya benar-benar bisa istiqomah dalam berjilbab. Keputusan seorang perempuan untuk benar-benar bisa istiqomah berjilbab itu datang dari dalam hatinya, pak, bukan karna tren, melihat, atau disuruh orang lain. Hasilnya ndak akan baik kalau kita selalu meng-iya-kan omongan orang lain, pak. Percuma saja, pak, kalau di luar meng-iya-kan, tapi ternyata di dalam hatinya masih menolak. Ndak akan selesai, pak, kalau kita selalu menuruti keinginan orang lain.”

“Lagi pula kan kamu itu guru, num. Guru itu contoh, panutan untuk yang lain. Sudah sewajarnya terlihat positif di mata orang banyak.”

“Di Sekolah Hanum memang guru, pak. Selama di Rumah Hanum tetap menjadi anak satu-satunya Ibu dan Bapak.”

“Kalau anak Ibu dan Bapak ya berarti nurut, ikuti nasihat Bapak.”

“Salah ya, pak, kalau Hanum hanya ingin jadi diri sendiri? Salah ya, pak, kalau Hanum mengikuti pilihan Hanum sendiri? Dan apakah salah kalau Hanum memiliki pilihan dan keputusan yang berbeda dengan orang-orang di sekitar Hanum?”

“Capek Bapak, num, kalau sudah nasihati kamu. Susah sekali. Bapak hanya ingin menjaga dan memberikan pilihan yang terbaik untuk kamu. Kamu itu kan sudah dewasa, sudah seharusnya bisa berpikir lebih matang. Apalagi kamu guru, pintar, sekolah tinggi-tinggi hingga ke kota, ndak seperti Ibu dan Bapak yang hanya tamatan SMP, ndak pernah tinggal di luar desa ini, dan kerjanya cuma di Pasar jualan sayur.”

“Pelan-pelan to, pak. Ibu dulu juga begitu. Jangan di paksakan,” lerai Ibu yang mulai tidak sanggup melewati malam dengan perdebatan antara aku dan Bapak.

Pekerjaan menyetrika Ibu sudah selesai. Kami bertiga lanjut menikmati acara televisi malam itu. Acara televisi telah berganti menjadi sinetron kesukaan Ibu. Ibu terlihat begitu emosi melihat konflik yang sedang terjadi di sinetron yang ditontonnya. Menurutnya tokoh dalam sinetron itu terlalu bodoh dan bergerak lambat sehingga permasalahan yang dihadapi tidak kunjung selesai.

“Ibu, Ibu, nontonnya sinetron mulu,” keluh Bapak yang sama sekali tidak tertarik dengan sinetron.

“Kenapa to, pak? Lagi seru ini,” kata Ibu sambil mengeluh.

“Assalamualaiku,” samar-samar terdengar suara salam dari halaman rumah. Aku dan Bapak berbisik-bisik membicarakan suara itu apakah benar adanya. Sementara Ibu terlalu hanyut masuk ke dalam kisah sinetron di televisi.

“Num, tengok itu siapa yang datang,” pinta Bapak.

Di depan pintu rumah ada Anwar yang sedang berdiri menunggu dipersilahkan oleh tuan rumah. Anwar adalah anak kepala desa, keluarga terpandang bagi warga-warga di desa. Tubuhnya tinggi, parasnya bisa dikatakan cukup tampan, rambutnya pendek dan ikal. Ia bekerja di kantor desa. Anwar sangat rajin membantu warga desa. Sifatnya sangat sopan dan penurut.

“Kamu, war. Ada apa, war?” tanyaku kepada Anwar.

“Ibumu sehat, num?” Anwar bertanya balik kepadaku.

“Alhamdulillah sehat. Ada apa memang?”

Belum sempat Anwar menjawab pertanyaanku, Bapak datang dengan pengingatnya.

“Num, tutup auratmu. Malu dilihat sama Anwar,” kata Bapak memaksa.

“Kenapa to, pak? Hanum kan sudah kenal lama dengan Anwar. Kita sudah saling mengenal sejak kecil. Bahkan Hanum sudah menganggap Anwar seperti saudara sendiri.”

“Sekaran kalian sudah besar. Manusia dewasa. Sudah seharusnya paham mana yang muhrimnya dan mana yang bukan.”

“Sudahlah, pak. Bapak lanjutkan saja obrolan Hanum dengan Anwar tadi,” Aku pergi dengan perasaan kesal. Aku merasa sangat malu dengan Anwar. Sudah seharusnya seorang tamu diterima dengan baik kehadirannya, melihat keakraban keluarga yang dikunjunginya. Bukannya menyimak perdebatan antar keluarga.

“Ini, pak, ada titipan dari Ibu. Saya kira bu Tari sakit sampai ndak datang ke pengajan rutin. Mohon maaf kalau saya datang di waktu yang kurang tepat.”

“Owalah... terimakasih banyak, war. Lupa mungkin si Ibu.”

“Saya pamit ya, pak. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam hati-hati, war.”

Bapak masuk ke dalam rumah sambil membawa bungkusan plastik dari Anwar. Ibu sudah tidak hanyut ke dalam sinetronnya semenjak aku kembali dari menerima kedatangan Anwar. Bapak tidak melihat keberadaanku di dekat ibu.

“Siapa to, pak?” tanya Ibu.

“Anwar. Ibunya menitipkan ini untuk kita.”

“Ya ampun ibu lupa kalau tadi sore ada pengajian rutin di rumah bu Retno.”

“Sudah Bapak duga. Sudah kita makan sama-sama saja sekarang. Hanum mana to, bu?” tanya Bapak yang masih mencari-cari keberadaanku.

“Ada di kamarnya, pak. Num, sini kita makan sama-sama!” teriak Ibu memanggilku.

“Masih kenyang, bu!” jawabanku yang tentu saja itu bohong. Sejujurnya aku lapar setengah mati. Rasa kesalku membuat aku melupakan rasa lapar.

Ibu menatap tajam ke arah Bapak. Bapak merasa bingung tidak mengerti dengan isyarat yang diberikan Ibu. Ibu memberikan isyarat yang lebih jelas ke Bapak. Kepala dan sorot matanya bergerak-gerak ke arah pintu kamarku, seolah mengisyaratkan Bapak untuk datang dan mengajakku secara langsung.

“Num, ayo keluar. Kita makan sama-sama. Ibu dan Bapak ndak sanggup menghabiskan berdua. Ada banyak sekali itu makanannya,” rayuan Bapak menggoyahkan perasaan kesalku. Bapak berbicara dengan nada lembutnya sehingga aku tidak sanggup kesal dengannya terlalu lama.

“Rada keras ya nasinya,” kata Bapak.

“Kurang air ini masaknya. Num, kamu ambil nasi lagi di dapur. Kasihan bapakmu dia paling ndak suka makan nasi keras.”

Aku kembali dengan membawa gunungan nasi di atas piring. Cukup untuk tiga orang.

“Kertas apa ini, bu?” tanyaku setelah melihat selembar kertas yang berada di samping kantung plastik.

“Itu ucapan selamat untuk Mira karena dia sudah berhasil menjadi PNS,” jawab Ibu.

“Mira adiknya Anwar? Bukannya Mira masih kuliah, bu?”

“Dia sudah lulus dua tahun lalu, num. Katanya ndak sampai empat tahun dia kuliah. Sering-sering keluar makanya, num, supaya ndak ketinggalan info.”

“Hanum ndak tertarik kalau keluar Cuma sekadar gosipin orang-orang di desa, bu.”

“Itu bukan ngegosip, num, Cuma cerita-cerita saja.”

“Awalnya cerita, ujung-ujungnya jadi bahan gosip. Bahkan jadi bahan untuk menjatuhkan.”

“Piye to (gimana) mau makan atau ribut? Bapak jadi ndak bisa menikmati makan malam,” lerai Bapak yang merasa sangat terganggu dengan perdebatan antara aku dan Ibu.

Bukan hal yang biasa kalau ada salah satu warga desa yang berhasil menjadi PNS. Sebuah perayaan bukan hanya dilakukan dengan keluarga saja, melainkan satu desa pun rela meluangkan waktunya untuk ikut merayakan, dan beberapa orang juga rela memberikan beberapa hasil panennya sebagai hadiah. Bagi warga desa, orang yang berkuliah saja sudah mendapatkan pandangan berbeda, akan lebih berbeda lagi jika sampai berhasil menjadi PNS. Jika ada yang datang melamar, dan pekerjaannya adalah PNS sudah pasti akan langsung diterima oleh calon mertuanya.

“Bu, mau teh?” Makan malam kami sudah habis bersih. Aku ke dapur membuang kotak kardus nasi dan membuat dua gelas teh hangat untuk aku dan Ibu.

“Num, sekalian bawakan ibu getuk yang kamu beli tadi sore,” Itu adalah getuk yang baru aku beli sore sebelumnya ketika perjalanan pulang dari sekolah. Rasanya sangat enak sehingga menjadi getuk langganan keluargaku.

“Iya, bu,” jawabku.

Hidangan malam dilanjutkan dengan makanan manis berwarna cantik. Aku dan Ibu sudah menghabiskan 3 getuk sekaligus, sementara Bapak baru mampu menghabiskan setengah potong getuk. Bapak tidak terlalu menyukai manis. Bapak lebih memilih diminta untuk menghabiskan rengginang di bandingkan getuk. Tersisa satu potong getuk lagi di piring. Didiamkan menikmati waktu sendirinya.

“Num, kamu ndak coba-coba ikutan tes?” tanya Ibu.

“Tes apa?” tanyaku tidak mengerti arah pembicaraan Ibu.

“Itu yang seperti Mira.”

“CPNS?”

“Iya.”

“Belum tertarik, bu.” jawabku datar.

“Kenapa to? Kok belum tertarik? Kamu itu kan sudah lumayan lama jadi guru. Apa ndak mau jadi guru yang sukses?” sela Bapak yang tidak mau kalah ketinggalan.

“Guru yang sukses? Aku sekarang sudah merasa menjadi guru yang sukses, pak. Murid-muridku senang belajar denganku, mereka bisa mengerti dengan pembelajaranku, bahkan muridku yang bisa aku katakan kurang pun sekarang bisa mengejar teman-temannya. Menurutku itu adalah sebuah kesuksesan menjadi guru, pak,” kataku.

“Num, coba pola pikirmu itu diubah sedikit. Kamu ndak ingin punya hidup yang serba terjamin. Jadi PNS itu apalagi guru tunjangannya besar, num. Coba pikirkan matang-matang untuk masa depanmu, num. Kamu mau sampai kapan jadi guru honorer yang gajinya pas-pasan dan ndak rutin turunnya? Kamu lihat itu si Restu sudah beberapa tahun ini hidupnya jadi lebih baik semenjak menjadi PNS. Lagipula di desa kita ini cuma sedikit warganya yang berhasil jadi PNS. Kamu menjadi PNS itu sama juga dengan mengangkat derajat Ibu dan Bapak, num,” Ibu turut memberikan argumennya.

“Bu, pak. Restu, Mira, dan Hanum itu kan berbeda. Kami punya tujuan dan pilihannya masing-masing. Kami punya cita-cita yang berbeda juga. Mungkin, menjadi PNS adalah cita-cita Restu dan Mira. Sementara Hanum, ndak bercita-cita kesana, bu, pak. Hanum punya cita-cita besar lain yang harus Hanum capai. Tapi, itu ndak ada di PNS.”

“Terus cita-citamu apa, num?” tanya Bapak menyelidik.

“Hanum belum bisa cerita ke Ibu dan Bapak tentang cita-cita Hanum. Hanum akan mulai bisa cerita ke Ibu dan Bapak kalau Hanum sudah dekat dengan cita-cita Hanum.”

“Keras kepalamu itu, num, keras sekali. Batu saja kalah kerasnya sama kamu,” keluh Ibu.

“Ya sudah kalau maumu begitu Ibu dan Bapak ndak bisa memaksa lagi. Ibu dan Bapak cuma bisa mendoakan untuk kamu. Semoga tercapai cita-cita rahasiamu itu. Teh ibu sampai hampir dingin,” lanjut Ibu.

Sejenak pembicaraan mereka berhenti. Rasanya begitu lelah setelah berdebat. Kopi bapak sudah habis, hanya tersisa ampasnya saja. Teh panas aku dan Ibu sudah dingin sehingga membuat rasa manis begitu lebih terasa. Piring yang tadinya terisi getuk sudah kosong meninggalkan sisa serpihan kelapa parut. Kaleng bekas kue lebaran berisikan rengginang hampir kosong.

“Pak, besok Sabtu bisa datang ke hajat anaknya bu Indah?” tanya Ibu. Pembicaraan berlanjut ke topik yang lain.

“Sabtu ya, bu? Bapak ndak bisa. Besok sabtu bapak ada perlu sama Dede,” jawab Bapak.

“Perlu apa to, pak?” tanyaku yang juga tidak mau ketinggalan.

“Beberapa hari ini sayuran yang Bapak dapat kurang segar. Curiga Bapak ada kecurangan. Makanya besok Sabtu Bapak sama Dede mau kesana untuk komplen. Pembeli sayuran beberapa hari ini jadi berkurang. Orang-orang jadi ndak tertarik sama sayuran yang Bapak jual. Ndak bisa makan nanti kalau terus menerus seperti itu.”

“Semoga lancar ya, pak, urusannya.”

“Iya, num. Doakan Bapak ya.”

“Ya sudah kalau Bapak ndak bisa biar Ibu saja yang datang. Num, temani Ibu ya nanti.”

“Ndak mau, bu.”

“Loh kenapa, num?”

“Hanum bosan mendengar pertanyaan orang-orang, ‘Kapan Hanum nikah?’, ‘Jodohnya mana, num?’, ‘Ndak takut sama umur?’, ‘Kok usia dua puluh enam belum nikah?’ dan pertanyaan lainnya. Ditambah lagi ada yang menuduh kalau Hanum ini ndak laku. Panas telinga Hanum, bu.”

“Loh memangnya belum muncul juga jodohmu?”

“Ibu pasti tahu.”

“Num, wajar saja kalau mereka bertanya seperti itu. Itu tandanya mereka peduli sama kamu, num. Lagipula usiamu itu sudah memasuki usia siap menikah. Mereka sama dengan Ibu dan Bapak, khawatir karna belum menikah. Sementara teman-teman seusiamu sudah banyak yang menikah. Hanya sisa kamu, Laras, dan Mae.”

“Rasa peduli mereka terlalu berlebihan, bu, sampai membuat Hanum lelah. Kadang Hanum, Laras, dan Mae rasanya mau kabur saja, bu, dari desa ini karena kita terlalu lelah dengan pertanyaan dan permintaan orang-orang di desa. Kita merasa orang-orang di desa terlalu jauh ikut campur permasalahan setiap orang. Ndak baik juga loh, bu, kalau sudah seperti itu.”

“Kamu kan tahu sendiri warga disini menganggap tetangga-tetangganya sudah seperti keluarga sendiri. Jadi semisal ada yang ikut campur pun sudah dianggap wajar. Dan biasanya mereka juga ndak menolak sepenglihatan Ibu, num. Mau Ibu bantu carikan, num?”

“Carikan apa, bu?”

“Ya jodohmu apalagi selain itu. cara membuat orang-orang diam ya dengan menampilkan sosok jodohmu itu.”

“Ndak, bu. Hanum belum siap.”

“Belum siap gimana to, num? Dulu Ibu saja menikah dengan Bapakmu ini di usia dua puluh tahun. Masih sangat muda. Lah kamu ini sekarang sudah dua puluh enam tahun, num. Anaknya bu Indah saja itu baru dua puluh empat, num, tapi sudah mau menikah. Apa yang membuat kamu ndak siap, num?”

“Hanum belum siap menjadi seorang Istri dan Ibu, bu. Menurut Hanum, menikah adalah ujian terberat, bu. Hanum takut ndak bisa mendidik anak Hanum dengan baik. Hanum takut laki-laki yang menikah dengan Hanum nanti ndak sebaik Bapak. Lagipula Hanum masih ingin tinggal dengan Ibu dan Bapak.”

“Walah anak Bapak ini ternyata diam-diam manja juga,” ledek Bapak memotong percakapan aku dengan Ibu.

“Kan belum dicoba, num. Insya Allah semua yang ditakutkan Hanum ndak akan terjadi,” rayu Ibu meyakinkan aku bahwa itu hanyalah sebuah rasa takut yang tidak akan terjadi.

“Menikah ndak bisa di coba-coba, bu. Butuh komitmen dari kedua belah pihak.”

“Iya itu pasti. Komitmen selalu dibutuhkan saat mau menikah. Tanpa adanya komitmen hubungan baik ndak akan terjalin. Pondasi keluarga pun akan mudah runtuhnya. Kamu berdoa sama gusti Allah minta dipertemukan dengan yang baik, insya Allah gusti Allah akan kasih ke kamu.”

Pembicaraan kami terpotong karena suara teriakan dari depan rumah. Orang itu memanggil-manggil namaku dan membuat keadaan menjadi ramai dengan kentongannya. Aku, Ibu, dan Bapak pun terkejut mendengarnya. Suasana desa tiba-tiba menjadi ramai. Orang-orang keluar rumah karena merasa kenyamanannya diganggu.

“Ada apa ini?” tanya Bapak kesal mendengar keributan di malam hari.

“Si Mae, pak,”

“Ada apa dengan Mae?” Belum selesai laki-laki yang mendatangi rumahku berbicara segera ku potong. Mendengar ia menyebut nama teman baikku dengan suara bergetar membuatku khawatir dengan keadaan Mae.

“Mae hampir di perkosa sama orang yang tidak dikenal,” katanya dengan nafas yang tidak beraturan.

“Bagaimana bisa?” tanyaku yang tidak percaya.

Aku benar-benar tidak percaya dengan kabar Mae yang katanya hampir diperkosan. Mae adalah seorang perempuan yang sangat alim. Ia selalu menggunakan gamis panjang lebar lengkap dengan jilbab besarnya. Telapak kaki dan lekuk badannya pun tidak pernah kelihatan sedikit pun. Aku tidak percaya perihal pelecehan pun bisa sampai ke orang seperti Mae.

Aku akui Mae memang cantik. Laki-laki senang melihat wajah cantiknya. Selain cantik ia juga ramah dengan siapa pun yang ditemuinya. Ia tidak pernah sungkan untuk menegur lebih dulu. Senyumnya yang manis membuat laki-laki semakin senang melihatnya. Sikapnya juga sangat baik. Orang tua mana pun akan senang mendapatkan anak seperti Mae.

Aku bergegas keluar rumah berniat pergi bersama rombongan lainnya untuk ke rumah Mae. Langkahku terhenti mendengar suara Bapak yang mendadak berteriak memanggilku.

“Hanum! Ingat kata Bapak, tutup auratmu,” katanya kali ini benar-benar memaksa.

Aku menghebuskan nafas beratku. Kali ini aku turuti permintaan Bapak. Keadaan memaksaku untuk tidak berdebat panjang dengan Bapak. Dalam pikiranku saat ini hanyalah Mae. Bagaimana kondisinya? Mengapa bisa ia mendapatkan kejadian sepahit itu? Apa yang membuat orang itu tega melakukan hal sekeji itu kepada Mae? Apakah pakaian tertutup masih kurang ampuh untuk melindungi diri dari laki-laki jahat seperti itu?

Di luar rumah Mae, berkumpul warga-warga dari mulai yang benar-benar khawatir dengan kondisi Mae, datang hanya sekadar penasaran, datang hanya sekadar memberikan hinaan, ada pun yang datang hanya sekadar hadir ingin dilihat baik oleh orang lain. Keramaian berangsur mereda. Mae tidak bisa ditemui oleh siapa pun. Hanya ibunya yang menjaga dari dekat. Orang-orang yang tidak benar-benar khawatir pun merasa kecewa dan memutuskan untuk pulang. Sementara aku memutuskan untuk menunggu sampai bisa bertemu dengan Mae.

Semalaman aku menginap di rumah Mae. Aku tertidur di atas kursi kayu yang keras. Saat bangun tubuhku pegal-pegal dan kualitas tidurku cukup buruk. Namun, aku tidak peduli. Pikiranku mengenai keadaan Mae menghapus semua rasa sakit dan lelahku. Sampai pada akhirnya aku bisa bertemu Mae. Mae menangis semalaman di ranjangnya. Aku pun ikut menangis tidak kuat menahan air mataku. Kami berpelukan sangat erat. Segala pertanyaan yang telah kurancang mendadak hilang dari kepala usai berpelukan dengan Mae.

Di rumah lainnya, kesedihan datang. Mendadak keluarga calon menantu bu Diah membatalkan pernikahan anak mereka. Pembatalan itu terjadi secara sepihak, sehingga meninggalkan duka yang mendalam. Tidak ada penjelasan alasan pernikahan dibatalkan.

Pagi ini desa menangis. Dua tragedi telah menimpa dengan begitu hebat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Obrolan di Malam Hari
Hai Ra
Cerpen
Tiba Tiba Jodoh
Rizkia Khoirul Anwar
Cerpen
Bronze
Taman Kanak-Kanak
Achmad Afifuddin
Cerpen
Esok Masih Akan Terus Berjalan
Rein Senja
Cerpen
Bronze
"Puss. . . Meong. . . "
Izzatunnisa Galih
Cerpen
Bronze
Cucuku Aina
cyara afnan
Cerpen
Rindu Untuk Bapak
Aksara Senja
Cerpen
1/2 Nakal & 1/2 Polos (Tetangga Ku)
muhamad fahmi fadillah
Cerpen
Bronze
Pietist
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Ulang Lahir
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Manusia Dan Mesin
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Jalur Yang Lain
Skywall09
Cerpen
LOVE FROM BROKEN ROLLER COASTER
NUR C
Cerpen
CURHAT CUCU
Kiki Isbianto
Cerpen
Bronze
Pelukan Ibu
Lely Saidah Al Aslamiyah
Rekomendasi
Cerpen
Obrolan di Malam Hari
Hai Ra
Novel
Rara
Hai Ra
Cerpen
Bergegas Tumbuh
Hai Ra
Flash
Kukirimkan Surat Untukmu, Kekasihku
Hai Ra
Cerpen
Kompas
Hai Ra