Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Biji-bijian itu disebar acak di batuan paving. burung-burung yang awalnya terbang tanpa tahu tujuan, berbelok semua ke tempat pria itu melemparkan makanan. Sebagian besar, burung dara yang berkumpul berebut makanan gratis. Ada juga burung lain seperti burung gereja atau burung camar yang ikut berdesak-desakan.
Bagi para burung, kehadiran pria bersweater rajut itu adalah sebuah karunia. Meskipun taman itu luas, hanya dia yang mau berbagi makanan dengan para burung. Tidak semua burung, ada juga burung yang tidak ikut berebut seperti yang lain.
Dia adalah burung biru. Dia hanya bertengger diam di atas menara batu yang datar atapnya.
“Aku tidak mau berebut seperti burung rendahan. Nanti orang itu juga akan mendatangiku dan memberiku jatah khusus untuk aku makan sendiri,” gumam burung itu melihat burung dara yang lebih besar ukuran tubuhnya daripada dia bersenggolan satu sama lain.
“Lihatlah mereka semua. Makanannya pastilah kotor karena sudah jatuh ke tanah. Lihatlah paruhnya, bercampur dengan debu bekas kaki burung lain,” ucap burung itu lagi meskipun tidak ada yang dia ajak bicara.
“Terserah kalian mau memanggilku apa, tapi aku akan mendapatkan jatahku sendiri,” jawabnya yang tidak menjawab siapapun. Burung dara sibuk mencari serpihan-serpihan yang tidak habis dimakan temannya.
Tiba-tiba seekor burung biru lain hinggap di sebelah burung biru pertama. “Apa benar dia akan memberikan makanan jika kita berdiri di sini?” tanya burung biru kedua itu yang ternyata mendengarkan obrolan kosong dari burung itu.
“Ya, tentu saja. Tunggu saja, nanti setelah dia selesai dengan urusannya di sana, nanti dia akan memberikan jatah untukku.”
“Bagaimana kamu bisa percaya diri seperti itu. Apakah kamu memiliki bukti?”
“Pergi saja jika kamu tidak percaya.”
“Oke oke. Aku percaya. Aku mau ikut menunggu di sini,” ucap burung biru kedua itu dengan pasrah.
Namun pria berubah perak yang kasar itu tidak juga memberikan makanan kepada burung biru. Justru dia terus menyebarkan biji yang ada di kantongnya ke burung dara. Semakin banyak burung dara yang berdatangan hingga pria itu kewalahan. Biji itu akhirnya di sebar ke tempat lain yang kosong agar burung dara itu menyebar dan tidak mengerubungi kaki pria tua.
“Mana, nggak datang?” tanya burung biru kedua.
Sebelum burung biru pertama dapat menjawab, datang burung biru ketiga memotong obrolan mereka.
“Dia tidak akan melakukannya. Aku dengar pria rabun itu tidak bisa melihat lebih tinggi dari tinggi badannya. Jadi jika ada benda yang lebih tinggi seperti menara ini, dia tidak akan melihatnya. Dia orang gila yang rabun,” ucap burung biru ketiga.
“Jadi kalau kita berdiri di sini, dia tidak akan memberi makan kita dong,” sesal burung biru kedua. “Tapi kalau mengetahui itu, kamu tidak ikutan berebutan makanan dengan para burung dara?” lanjutnya.
“Tidak akan. Aku tahu apa yang direncanakan pria itu. Aku dulu penasaran di mana rumah orang itu, jadi aku mengikutinya. Dia ternyata memiliki warung fried chicken dan itu membuatku terkejut. Aku yakin dia pasti merencanakan sesuatu. Tidak mungkin dia membagikan makanan sebanyak itu dengan gratis. Dia pasti akan menangkap kita dan menjadikan menu baru di warungnya itu,” kata burung biru ketiga dengan yakin.
“Tidak mungkin. Aku tidak menyangkanya. Dia tampak seperti orang baik,” kata burung biru kedua kaget.
“Kau pasti tidak percaya ini. Kau tahu burung dara yang bulu ekornya patah sebelah?” tanya Burung biru ketiga kepada kedua burung biru.
“Ya, aku mengenalnya.”
“Sekarang lihat dan cari. Apakah kamu menemukannya di antara gerombolan burung dara itu?”
Kedua burung biru itu melihat dengan seksama tiap ekor dari burung dara yang menungging karena kepalanya sedang mematuk serpihan biji-bijian yang tersisa di tanah.
“Benar. Aku tidak melihatnya di manapun,” jawab burung biru kedua.
“Nah, sebenarnya dia sudah ditangkap dan sekarang berada di warung pria itu menunggu untuk dipenggal,” kata burung ketiga menakuti.
“Wah, jahat sekali. Untung aku mengetahui itu lebih dulu. Aku kasihan dengan mereka yang masuk jebakan pria itu,” kata burung biru kedua mengasihani.
“Hei, apa yang kalian lakukan di sini. Cepat pergi tau kalian akan terkena hipnotis,” tiba-tiba datang suara dari burung biru keempat yang terbang mengelilingi merek.
“Siapa yang menghipnotis?” tanya burung biru kedua.
“Siapa lagi kalau bukan pria itu. Ayo cepat pergi!” ucapnya dengan buru-buru.
“Kenapa dia menghipnotis burung?” tanya Burung biru kedua penasaran.
“Kebanyakan tanya ah kamu. Ikuti saja perkataanku atau kamu menyesal. Dia akan menghipnotismu jika kamu terlalu lama di sekitarnya. Setelah terkena hipnotis, kamu akan dipaksa jadi bawahannya,” jelas burung biru keempat dengan masih terbang berputar.
“Hei, jangan asal sembarangan menuduh. Dia itu sebenarnya akan menangkap kita dan menjadikan kita sebagai makanan goreng. Kau tidak punya bukti. Aku memiliki bukti dan melihatnya secara langsung,” bantah burung biru ketiga dengan lantang.
Merasa akan membutuhkan waktu lama untuk meyakinkan ketiga burung itu, burung biru keempat akhirnya hinggap di atas menara bersama mereka. “Aku mengatakan ini karena aku peduli dengan kalian. Kok kalian malah sewot, mau ngajak berantem,” bentak burung biru keempat.
“Aku hanya meminta bukti kok kamu malah mengajak berantem. Nggak punya buktinya, jadinya cuman main otot. Dasar otak otot,” kata burung biru ketiga mengejek.
“Aku gak main otot. Aku hanya memperingati kalian tapi kalian tidak mau mendengarkan. Sebaiknya aku tidak perlu memperingatkan kalian bahaya pria itu. Percuma aku berhenti di sini,” kata burung biru keempat sambil membalikkan badan bersiap untuk terbang kembali.
“Ya, pergi sana. Kalau memang kalah emang bisanya cuman kabur. Gak bisa menerima kekalahan,” ejek burung biru ketiga.
Burung biru yang hendak terbang itu tidak kuat lagi, dia berbalik badan dan menyerang burung biru ketiga dengan paruh dan cakarnya. Kedua burung lain yang dari tadi mendengarkan adu argumen kedua burung itu diam saja. Pun tidak mencoba melerai. Hanya melihat mereka berdua saling balas cakar.
“Hei hei hei. Ada apa ini. Berhenti bertengkar,” tiba-tiba datang burung biru lain mencoba melerai. Keempat burung itu terdiam melihat burung yang baru datang itu. Mata mereka langsung tertuju pada cincin yang terpasang di kakinya itu.
Di dunia burung biru, burung yang memiliki cincin di kakinya adalah burung yang istimewa. Entah karena kecerdasannya atau kecantikannya. Setiap dari mereka terkenal dan semua burung biru mengenal mereka.
“Coba jelaskan, apa yang membuat kalian bertengkar,” tanya burung bercincin itu meminta penjelasan.
“Jadi ini sebenarnya salahnya. Dia tidak mau mendengarkan peringatanku dan malah nyolot balik,” jelas burung biru keempat.
“Apa yang kamu peringatkan?”
“Aku memperingati mereka untuk hati-hati karena pria itu akan menghipnotis mereka semua”
“Tidak. Dia menambah-nambahi. Dia tidak hanya memperingati, tapi menyuruh-nyuruh. Aku bilang untuk memberikan bukti tapi dia tidak memilikinya dan ngotot untuk kami pergi. Padahal sebenarnya pria itu tidak menghipnotis,” bantah burung biru ketiga.
“Jadi kamu membela pria itu?”
“Aku tidak membelanya. Tapi aku memiliki bukti bahwa pria itu juga akan melakukan hal buruk kepada kita. Dia akan menjadikan kita makanan di tokonya.”
“Hmm, jadi seperti itu. Sepertinya itu berhubungan. Kalian tidak perlu bertengkar karena kalian berdua tidak ada yang salah. Pria itu membawa kita dengan cara menghipnotis, kemudian dibawa ke tokonya untuk dijadikan makanan,” kata burung biru bercincin itu menyimpulkan.
“Oh, jadi begitu rupanya,” kata burung yang bertengkar itu bersamaan.
“Kalau masalahnya selesai, aku pergi dulu ya. Jangan bertengkar lagi,” ucap burung biru bercincin sambil pergi terbang.
“Lihat, pria itu kemari,” ucap burung biru pertama yang sejak tadi hanya menunggu makanan.
“Wah, hati-hati. Ayo kita kabur atau kita dijadikan makanan,” ucap burung biru keempat sambil terbang dan diikuti ketiga burung biru lainnya.