Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku sering kali berpikiran untuk pindah ke tengah hutan belantara. Hidup bersama pohon-pohon rindang yang tinggi menjulang dan memiliki tetangga seekor beruang madu atau kawanan macan. Aku kira itu lebih menyenangkan dibandingkan harus bertenggang rasa dengan Bu Julitawati yang hobi mencari cela pada setiap manusia, seolah dirinya paling sempurna tanpa dosa.
Bukan hanya bergibah di belakang, Bu Julitawati tidak akan ragu menggunjing terang-terangan. Dalihnya adalah mengungkapkan pendapat, tanpa peduli ada perasaan yang tersayat.
Sayangnya, niatku untuk mengasingkan diri ke tengah hutan terganjal oleh restu orang tua. Mama mengatakan kalau diriku bukan seekor kera, jadi tidak perlu terpuruk dalam keheningan bersama pohon-pohon menjulang tinggi. Apalagi sampai harus berkelana mencari kitab suci. Aku hanya manusia biasa yang salah satu fungsinya adalah sebagai makhluk sosial dan berperan menjalin interaksi dengan orang lain.
Akan tetapi, eksistensi Bu Julitawati membuatku merasa ingin menjadi pohon beringin saja meskipun kami tidak selalu berinteraksi setiap waktu. Perempuan yang telah berusia lebih dari 40 tahun itu selalu memiliki bahan untuk menohok orang lain. Nyinyirnya bukan main. Sambal bubuk level 50 saja kalah pedas dari ucapan Bu Julitawati.
"Saya cuma bercanda, lho, jangan diambil hati, ya." Bu Julitawati selalu mengandalkan kalimat tersebut sebagai tameng dan diakhiri dengan tawa seolah menegaskan dirinya sedang bercanda, padahal tidak lucu sama sekali.
Salah satu alasanku enggan berinteraksi dan lebih senang mengurung diri di kamar adalah Bu Julitawati. Mendengar suara perempuan itu dari kejauhan saja sudah membuat pusing kepala, apalagi berhadapan secara langsung dengannya. Tensi darah otomatis lebih tinggi tanpa perlu mengonsumsi banyak daging kambing.
Getar ponsel di tangan membuyarkan angan tentang sosok tetangga luar biasa yang tidak ingin aku temui selamanya. Wajah glowing Mama terpampang pada layar muka ponselku sebagai pemanggil. Aku segera menerima panggilan masuk itu dan menempelkan ponsel pada telinga kiri.
"Halo, Ma," sapaku dengan segera.
"Udah di mana, Rin?" Suara Mama terdengar nyaring di telingaku.
"Bentar lagi sampai, Ma. Ini udah lewatin lapangan, kok," timpalku setelah celingukan memastikan lokasi.
Aku sedang dalam perjalanan pulang setelah menjalankan tugas di luar kota selama empat hari. Bosku sebenarnya memberikan fasilitas liburan untuk tiga hari ke depan sebagai hadiah atas kerja keras para karyawan. Rinun, aku memutuskan pulang lebih dulu menggunakan jasa travel karena merindukan Mama. Ditambah lagi, berlibur bersama bos sama sekali tidak menyenangkan. Dia sesekali akan merecoki dengan membahas pekerjaan di setiap kesempatan.
Lagi pula, tempat merehatkan diri paling nyaman bagiku adalah pelukan Mama. Meski anak pertama dan bukan bocah kecil, aku senang bermanja-manja pada malaikat tanpa sayap yang Tuhan anugerahkan padaku itu.
"Ya, udah. Mama tunggu. Mama masakin makanan kesukaan kamu." Suara Mama semakin antusias.
Garis bibirku melengkung ke atas. Membayangkan nasi putih hangat dengan guyuran kuah sop ayam membuat liurku nyaris menetes. Apalagi setelah menempuh perjalanan darat selama lebih dari enam jam tanpa sempat sarapan. Cacing-cacing dalam perut pun seketika membuat aksi demo hingga menimbulkan bunyi keroncongan.
"Karpet merahnya jangan lupa, Ma. Anak kesayangan Mama pulang ini, lho," ujarku bergurau.
"Iya. Mama udah siapin kembang tujuh rupa sama kemenyan juga." Mama balas bergurau dan itu membuatku merinding.
"Mama kira aku jelangkung?" Aku memanyunkan bibir seolah Mama bisa melihat reaksiku saat ini meskipun kami tidak sedang bertatap muka.
Mama tertawa renyah di seberang sambungan. Rinduku semakin membuncah. Rasanya sudah tidak sabar ingin segera memeluk perempuan tersayang.
"Bukan. Kamu tuyul. Kan kamu yang cari uang buat Mama." Tawa renyah Mama semakin kencang sebelum akhirnya mengakhiri panggilan.
Hanya sembilan menit dari panggilan itu diputus, aku sudah sampai di halaman rumah. Mama segera menyambutku. Meski tanpa karpet merah dan bunga tujuh rupa seperti yang tadi diucapkan via telepon, pelukan hangat Mama adalah sambutan terbaik.
"Anak Mama akhirnya pulang juga." Mama mengecup kedua pipi, serta keningku.
Belum juga kakiku melewati pintu masuk, suara melengking seorang perempuan terdengar mengusik ketenangan.
"Afrin udah pulang, toh?" Suara familier itu membuat kedua telingaku langsung terasa terbakar.
Mama mengelus punggung tangan kananku ketika debas kasar terhela dari hidung yang mengiringi langkah Bu Julitawati mendekat. Mama tahu aku sering kali harus menebalkan telinga setiap mendengar celotehan tetangga sebelah kiri rumah kami itu.
"Iya, Bu Wati. Ini Afrin baru pulang." Mama yang menimpali pertanyaan Bu Julitawati dengan lembut.
Kesabaran Mama menghadapi Bu Julitawati patut diacungi lima jempol. Mama bisa tahan berjam-jam mendengar cerita dari perempuan itu yang tidak ada ujungnya. Apa saja dibahas oleh Bu Julitawati. Tentang sinetron, berita terkini, sampai gosip seputar tetangga yang tidak pernah ketinggalan.
Aku mengetahui semua itu meskipun tidak ikut serta dalam pergibahannya karena Mama selalu memberi tahu padaku. Bahkan selama empat hari kemarin aku selalu bertukar kabar dengan Mama. Meskipun jauh di mata, aku tidak ingin hati kami menjadi jauh juga.
"Kok jam segini udah pulang, Rin? Kamu enggak dipecat, 'kan? Apa kamu sakit? Tapi, kelihatannya sehat-sehat aja. Masa sakit, ya?" Bu Julitawati selalu berinisiatif menyiapkan jawaban atas pertanyaannya sendiri.
Aku memaksakan senyuman, lalu menjawab, "Enggak, kok, Bu. Suka-suka saya mau pulang jam berapa aja."
Bu Julitawati mengangguk-angguk, tetapi gelagatnya seolah sedang menggali sesuatu untuk dijadikan bahan perbincangan.
"Masuk dulu, ya, Bu," pamit Mama, lalu menggandengku memasuki rumah.
Bukannya pulang, Bu Julitawati malah melepas sandal dan ikut kami masuk. Mama tentu sungkan mengusir, sedangkan aku menahan diri agar tidak mengerucutkan bibir.
Bu Julitawati langsung duduk pada kursi kayu di ruang tamu tanpa perlu kami persilakan. Kedua tangannya saling bertumpu di atas pangkuan. Mau tidak mau, Mama ikut duduk dan menarikku juga, padahal aku sangat ingin makan.
Kenapa, sih, ini orang enggak peka banget? Ini aku baru sampai, butuh istirahat. Dia malah duduk di sini. Aku menggerutu dalam hati.
Bu Julitawati memandangiku dari ujung kepala hingga ke mata kaki. Dia pasti sedang mencari celah supaya bisa menguliti karakterku habis-habisan. Aku ingin membalas pandangan perempuan itu dengan tatapan galak, tetapi Mama pasti tidak suka.
Mama mengajariku untuk menjaga sopan santun kepada siapa saja dan di mana pun. Jadi, aku harus mematuhi supaya orang-orang tidak mencemooh cara Mama mendidikku.
"Kamu kapan nikah, Rin? Teman-teman sepantaran kamu udah pada punya anak, lho. Jangan ngejar duit terus lah. Kasihan mamamu ini juga pengin gendong cucu." Bu Julitawati mulai sok tahu.
Mama selama ini tidak pernah menagih soal menantu maupun cucu. Meskipun usiaku hampir kepala tiga, Mama tahu kalau perkara jodoh tidak bisa sim salabim abrakadabra. Jadi, Mama tidak pernah memaksaku untuk segera menghadap ke KUA.
Mulutku sudah terbuka untuk menjawab pertanyaan itu. Untung saja Mama segera menyela. Kalau tidak, mungkin aku bisa melontarkan kalimat yang menohok juga. Apalagi sekarang aku sedang menahan lapar.
"Jodoh bukan lomba lari. Itu sudah diatur sama yang di atas." Mamaku menimpali dengan jawaban waras.
Bu Julitawati sempat melirik ke arah plafon asbes berwarna putih tulang, lalu kembali menatapku.
"Iya, memang sudah diatur. Tapi, kalau anaknya kerja mulu, enggak ada usaha buat cari jodoh. Gimana mau punya suami? Kamu juga udah pengin bikin hajatan kan, Mar? Masa kamu enggak iri sama adikmu yang udah punya mantu." Bu Julitawati berlagak seolah paling mengerti isi hati Mama.
Adik Mama memang baru menggelar acara pernikahan anaknya dua bulan yang lalu. Sepupu laki-lakiku itu memang lebih muda, tetapi sudah bertemu jodohnya.
"Buruan nikah, Rin. Nanti keburu susah buat punya anak," imbuh Bu Julitawati.
Aku mendengkus, lalu undur diri dari ruang tamu. Terlalu lama berbincang dengan Bu Julitawati bisa berpotensi membuatku naik pitam. Lebih baik aku memberi makan cacing-cacing di perutku yang sejak tadi meronta meminta jatah.
***
Sama seperti karyawan lain yang sedang menikmati liburan di luar kota, aku juga mendapat waktu bersantai selama tiga hari ke depan. Kalau biasanya harus bangun pagi karena dikejar presensi, kali ini aku tidak perlu terburu-buru.
Aroma tumis kangkung yang terhidu oleh indra penciuman membuat langkahku terayun menuju dapur. Mama terlihat sedang mencicipi masakan agar bumbunya pas di lidah semua penghuni rumah yang hanya terdiri dari dua orang. Ayah dan adikku berada di luar kota.
Kami berpisah tempat tinggal bukan karena tidak akur. Ayahku bekerja sebagai buruh, sedangkan si bungsu baru masuk kuliah. Jadi, keadaan yang membuat kami tidak tinggal serumah dan hanya berkumpul saat lebaran atau musim libur lainnya.
"Perabot. Perabot." Suara berisik dari pengeras suara terdengar sumbang menarik atensi kami berdua.
"Rin, kamu sarapan duluan aja kalau udah lapar. Mama mau beli ember dulu." Mama mematikan nyala kompor dan bergegas menuju ke sumber suara penjual perabotan rumah tangga.
Karena belum begitu lapar, aku menyusul langkah Mama. Lagi pula, rasanya kurang nikmat kalau harus makan sendirian. Aku lebih senang makan berdua dengan Mama meskipun tidak ada lauk sama sekali.
Sebuah mobil bak terbuka dengan aneka barang perlengkapan rumah tangga terparkir tepat di depan rumahku. Beberapa perempuan sebaya Mama langsung berkerumun di sana termasuk Bu Julitawati. Aku hanya menyaksikan dari ruang tamu yang kebetulan jendelanya menghadap langsung ke jalanan. Ikut menimbrung ke kerumunan itu hanya akan membakar telinga dan menambah dosa.
Aku mengangkat kaki, lalu duduk menekuk kedua lutut pada kursi kayu di dekat jendela. Dari sini aku bisa mendengar celotehan mereka dengan jelas. Apalagi Bu Julitawati memiliki suara super lantang yang saat berbisik saja bisa membuat orang lain terusik.
Kehadiran seorang perempuan muda dengan langkah payah karena perutnya membuncit di balik daster, menarik perhatianku. Perempuan itu bernama Etika. Usianya tiga tahun lebih muda dariku dan baru menikah awal tahun ini.
"Duh, bumil mau ke mana?" Bu Julitawati menjadi orang pertama yang menyapa Etika.
"Ke warung, Bu. Beli garam," timpak Etika sopan.
"Hati-hati, Tika." Mamaku ikut bersuara.
Etika menimpali dengan senyuman, lalu melanjutkan langkah yang terayun perlahan.
Aku kembali memusatkan atensi pada Julitawati yang kini menyikut lengan Mama dengan pelan. Itu adalah gerakan provokasi sebelum mulai bergibah sana sini.
"Tuh, lihat. Dia aja udah mau punya anak. Si Afrin kapan kawin?"
Aku mendelik. Tidak ikut bergabung saja dijadikan bahan pembicaraan oleh Bu Julitawati. Habis sudah kalau aku ada di sana.
"Iya, nih. Bu Marisa kapan hajatan? Saya sudah siap ikut bantu-bantu masak, lho," timpal tetanggaku yang lain.
Aku tidak bisa melihat bagaimana reaksi wajah Mama karena posisinya membelakangiku. Namun, aku bisa menebak kalau saat ini Mama pasti merasa canggung. Ditodong pertanyaan seperti itu tentu bukan hal yang menyenangkan. Andai saja sopan santun tidak perlu diindahkan di dunia ini, aku ingin menikah bibir Bu Julitawati dengan dua karet gelang karena terlalu usil menanyakan sesuatu yang bukan urusannya.
"Namanya jodoh kita enggak pernah tau kapan datang, Bu. Saya enggak mau terlalu memaksakan." Mama menimpali kedua tetangga.
Senyum tipisku terbit pada kedua sudut bibir. Jawaban Mama membuatku lega. Selama ini Mama memang tidak pernah mendesakku untuk segera menikah. Bebanku justru datang dari para tetangga yang hobi sekali menanyakan hal itu secara berkala.
"Tapi, kamu udah tua, lho, Mar. Si Afrin juga nanti keburu susah punya anak. Kalau anak cowok sih bebas, mau nikah kapan aja. Enggak ada masalah," tandas Bu Julitawati.
Aku mendecak sebal. Alasan yang digaungkan Bu Julitawati tidak pernah berubah. Selalu saja menyoal perkara anak. Seolah tujuan menikah hanya untuk memperoleh keturunan tanpa memedulikan faktor-faktor lainnya.
"Iya, Bu. Doakan aja Afrin bisa segera ketemu jodohnya, ya. Terima kasih udah peduli sama anak saya." Mama mengulurkan sejumlah uang kepada penjual perabotan setelah mengucapkan kalimat itu. "Saya ke dalam dulu, ya. Mari."
Mama kembali dengan membawa ember hitam di tangan kanan. Aku memperhatikan raut wajah perempuan kesayanganku itu. Auranya sedikit berbeda dari saat sebelum menghampiri penjual perabotan. Aku rasa ucapan Bu Julitawati tadi membuat Mama tidak nyaman.
"Rin, sarapan, yuk," ajak Mama yang kusetujui dengan anggukan.
Saat kami sedang menikmati nasi hangat beserta tumis kangkung, tiba-tiba Bu Julitawati menyelonong masuk. Aku nyaris tersedak karena terkejut. Untung saja tidak ada makanan yang menyangkut di tenggorokan.
"Sarapan, Bu." Mama menawari dengan ramah.
"Udah tadi di rumah," timpal Bu Julitawati.
Tanpa dipersilakan, perempuan yang rambutnya digelung rapi itu duduk di sebelah Mama, berseberangan denganku. Kalau tidak ingat tata krama, aku mungkin sudah membalik meja dan meminta Bu Julitawati untuk segera angkat kaki dari tempat ini.
"Ada apa, Bu? Mau nyuruh saya nikah lagi? Emang mau kondangan berapa duit, sih?" Pertahanan emosiku jebol juga.
Mama mendelik sebagai teguran atas perlakuanku yang tidak sopan, padahal itu reaksi karena aksi Bu Julitawati lebih dulu tidak mau menjaga perasaan orang lain.
Bu Julitawati sempat melirik Mama dan kembali menatapku. "Kamu itu Rin, harusnya seneng ada yang ingetin buat nikah. Bukan malah marah-marah," ujarnya tanpa rasa bersalah.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk meredam emosi yang sudah membumbung tinggi dan siap meledak. Kalau saja tidak ada Mama, mungkin aku sudah mengajak Bu Julitawati baku hantam.
Seolah ucapannya tadi adalah petuah paling bermanfaat di dunia dan aku yang bebal karena tidak mau diberi nasihat.
"Coba belajar dandan, biar cowok naksir sama kamu, Rin. Kamu ke kantor aja mukanya kelihatan kucel." Bu Julitawati masih melanjutkan wejangan yang diberikan.
Aku memang tidak pandai merias diri. Setiap berangkat bekerja pun aku hanya mengoles krim tabir surya serta pelembab bibir. Tidak pernah ada sapuan perona pipi atau lukisan pada kedua alis. Lagi pula, kantorku tidak mengutamakan penampilan para karyawan.
"Bu Juli ada perlu apa ke sini?" Mama mengalihkan pembicaraan sebelum aku semakin gondok.
"Telur ayam saya ilang satu. Tadi saya lihat Ningsih lagi nyuapin anaknya pakai telur dadar. Bisa jadi itu telur punya ayam saya, 'kan?" Raut wajah Bu Julitawati terlihat serius sekali.
Selain hobi menghakimi, Bu Julitawati juga mudah mencurigai. Hanya mengandalkan dugaan, perempuan itu menuduh Bu Ningsih yang bukan-bukan.
"Udah netes kali, Bu. Suudzon aja," timpalku sedikit kesal.
"Enggak ada. Kalau netes pasti ada anak ayamnya. Enggak mungkin ilang gitu aja." Bu Julitawati bersikukuh pada pendiriannya.
Kalau Bu Julitawati sudah meyakini seperti itu, aku dan Mama bisa apa?
***
Beberapa orang tetangga tengah asyik duduk saling berhadapan di teras rumahku meskipun tanpa keikutsertaan Mama. Dua orang sebaya dengan Mama dan satu lagi lebih muda. Masing-masing dari mereka memasang tampang serius.
Hampir setiap sore teras rumahku memang dijadikan basecamp para tetangga bergosip. Andai saja dinding dan tiang penyangga bisa bicara, mungkin mereka akan berteriak karena muak dijejali bermacam gibahan.
Aku iseng mencuri dengar obrolan mereka dari ruang tamu karena terlalu malas kalau harus ikut bergabung. Topik pembicaraan mereka tentu akan berbeda dengan minatku karena generasi kami tidak sama.
"Bu Juli katanya lagi sakit." Si paling muda terdengar memulai obrolan.
Benar bukan. Topik yang mereka pilih tidak menarik sama sekali. Aku sudah mendengar dari Mama kalau Bu Julitawati sedang kurang enak badan sejak tadi malam. Entah karena memikirkan telur ayamnya yang hilang, entah ada alasan lain.
"Iya. Kasihan, ya, kalau lagi sakit begitu," timpal yang lain.
Ada saat di mana seseorang yang hobi bercerita tentang orang lain, akan dijadikan bahan cerita pada kesempatan berikutnya.
"Bu Juli kan enggak punya anak. Suaminya juga udah meninggal, jadi enggak ada yang urusin."
Tiba-tiba saja perasaanku terusik. Suami Bu Julitawati memang sudah berpulang sejak tiga tahun lalu. Setiap kali perempuan itu membutuhkan sesuatu, mamaku yang selalu dimintai pertolongan lebih dulu karena jarak rumah kami berdekatan. Meskipun bukan saudara, Bu Julitawati juga sepertinya lebih luwes terhadap Mama.
"Bu Juli itu aslinya baik, sih, cuma kalau ngomong tuh suka pedes. Kayak enggak ada filter."
Aku mengangguk-angguk pelan, setuju dengan pendapat tersebut. Mungkin bagi Bu Julitawati pendapatnya adalah sebuah kejujuran. Namun, ketika disampaikan dengan blak-blakan, belum tentu yang mendengar itu bisa menerimanya dengan lapang hati. Justru berpotensi membebaskan luka di hati.
"Iya, bener. Apa aja dikomentarin. Demen banget gibah Bu Juli tuh." Si paling muda berkomentar sambil menggeleng-geleng kecil.
Bibirku sontak mencebik. Bukankah yang sedang mereka lakukan juga sama saja? Apa bedanya ketiga orang itu dengan Bu Julitawati?
Ingin sekali menyuarakan hal itu, tetapi aku malas berdebat dengan mereka. Apalagi ketiga orang tersebut jauh lebih tua dibandingkan diriku. Bisa-bisa aku dianggap tidak diajari sopan santun karena menyela orang tua. Aku tidak mau Mama yang terkena imbas dari tindakanku dan dijadikan bahan pergi bahan oleh para tetangga.
Aku merasa tidak ada gunanya lagi mendengarkan obrolan ketiga orang itu. Lebih baik aku menonton televisi di ruang tengah atau berselancar di dunia maya dan mengintip unggahan media sosial teman-temanku yang sedang berlibur.
Tepat saat aku menyandarkan punggung dan bersiap menyalakan televisi, Mama muncul dari pintu belakang dengan membawa dua bungkus roti sisir serta satu saset susu kental manis rasa cokelat.
Aku memperhatikan gerak-gerik Mama yang menuang air dari termos ke dalam gelas beling, lalu mengaduk-aduk cairan susu kental manis agar tercampur rata. Setelahnya, Mama menata gelas berisi susu dan dua bungkus roti sisir tadi ke atas nampan.
"Rin, anterin ini ke Bu Juli, ya," ucap Mama sambil menoleh ke arahku.
Aku tidak menyahut dan bergeming di tempat. Bukan bermaksud membantah perintah Mama, tetapi aku malas bertatap muka dengan Bu Julitawati. Sudah terbayang akan bagaimana interaksi kami nanti. Meskipun sedang sakit, itu tidak menghentikan hobi Bu Julitawati untuk mengomentari berbagai hal.
"Mama minta tolong, Rin." Mama kembali berucap.
Aku berdengkus. Bibirku mengerucut ke depan sebagai bentuk keberatan atas permintaan Mama barusan. Namun, aku tetap melangkahkan kaki mendekati Mama dan mengambil nampan di meja.
"Mukanya jangan cemberut gitu. Enggak baik," tutur Mama mengingatkan.
Decak kecil sontak terlontar dari bibirku. Mama tahu betul aku malas berhadapan dengan Bu Julitawati. Namun, tetap saja memintaku menemuinya.
"Bu Juli lagi sakit, Rin. Kalau bukan kita yang urusin, siapa lagi? Ajak ngobrol sebentar aja. Kalau ada yang menyinggung, jangan dimasukin ke hati, ya." Mama berpesan panjang lebar, pasti sudah bisa menebak bagaimana suasana hatiku saat ini.
Aku hanya menyahut dengan gumaman, lantas keluar melalui pintu belakang untuk ke rumah Bu Julitawati. Aku hanya mengetuk dua kali dan langsung mendorong pintu rumah Bu Julitawati yang tidak terkunci.
Perempuan itu sedang berbaring di tilam dengan selimut bermotif batik menutupi bagian dada hingga ke tungkai kaki. Bu Julitawati tampak tertidur. Namun, begitu aku meletakkan nampan di meja sebelah ranjang, dia membuka mata perlahan.
"Terima kasih, Rin," ucap Bu Julitawati dengan suara lemah.
Aku mengangguk sebagai tanggapan. Niatku untuk segera beranjak dari sana urung terlaksana karena Bu Julitawati memberi isyarat untuk duduk. Sepertinya dia butuh teman untuk berbincang.
"Kamu pasti sebel sama saya, ya, Rin?" Bu Julitawati bertanya setelah aku duduk di tepian ranjang.
Ingin sekali aku menjawab iya dengan lantang, tetapi ingat pesan Mama untuk menjaga sikap.
"Maafin saya, ya, Rin." Bu Julitawati meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
Aku kesal pada sikap dan ucapan Bu Julitawati selama ini. Namun, semua perasaan itu tiba-tiba menguap entah ke mana saat melihat tatapan sayu tanpa harapan.
"Saya cuma enggak mau kamu nanti sendirian di masa-masa tua, Rin. Jadinya kayak saya. Bikin repot tetangga." Raut wajah Bu Julitawati tampak mendung.
Rasanya aneh melihat perempuan itu tidak cerewet seperti hari-hari biasa. Bu Julitawati seperti kehilangan pendar cahayanya. Aku merasa sedang berhadapan dengan orang asing.
Debat terembus lirih dari hidung Bu Julitawati tertangkap indra pendengaranku. Entah apa yang membuat perempuan itu tampak nestapa, padahal aku mengenalnya sebagai sosok berwatak keras.
"Mama kamu mungkin enggak pernah nagih mantu, tapi setiap ibu pasti pengin lihat anaknya berdiri di pelaminan jadi pengantin, terus hidup bahagia."
Biasanya aku tidak setuju dengan pendapat Bu Julitawati. Namun, kali ini aku merasa ada benarnya juga apa yang dia katakan.
"Maafin saya ya, Rin, selama ini udah banyak menyinggung kamu. Saya enggak ada maksud buat ngatur atau ikut campur hidup kamu." Ucapan Bu Julitawati yang dipenuhi ketulusan itu membuatku terdiam.
Sejujurnya aku bukan orang yang peka, tetapi kali ini Bu Julitawati seperti sedang memendam sesuatu. Entah perasaan menyesal karena sering kali menyuruhku menikah, entah kehampaan akibat terlalu lama hidup sendirian.
Pada detik ini aku mengerti bahwa niat Bu Julitawati memang baik. Penerimaanku saja yang berbeda, sehingga menganggap itu sebagai hal menyebalkan. Bu Julitawati justru dengan tulus mengharapkan aku hidup bahagia dan tidak kesepian di masa tua seperti dirinya.
TAMAT
LOVAERINA