Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Butuh berapa pil supaya berhasil?
Indi nyalang memandang botol transparan yang ada di atas meja nakas. Berbutir-butir pil berwarna biru putih terkandung di dalamnya. Indi tidak sempat memeriksa ada berapa jumlahnya.
Dari posisinya yang berbaring, Indi menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur. Kepalanya menoleh ke kiri, ke tempat botol obat itu bertengger. Ukuran pil itu lebih besar dari obat yang biasanya ia lihat. Tangan kirinya dapat dengan gampang meraih botol itu. Tapi, ia melakukan itu justru dengan tangan kanan.
Secara logika, tidak ada alasan yang masuk akal mengapa Indi tidak langsung saja menggenggamnya dengan tangan kiri. Ya, bisa jadi karena kanan adalah bagian tangannya yang paling dominan. Namun, adakah yang berpikir kalau langkah kecil itu adalah usahanya memperlambat sesuatu?
Indi menekukkan lutut dan mengangkat botol. Wadah transparan berisi pil biru putih itu sekarang hanya berjarak lima sentimeter dari wajahnya. Ada penulis yang mengatakan untuk menggantungkan cita-cita sejauh lima sentimeter di depan kening kita. Tujuannya, supaya mimpi itu tidak pernah lepas dari mata.
Indi jadi bertanya-tanya. Berapa banyak manusia yang gagal meraih mimpinya hanya gara-gara tidak berani merenggangkan tangan sepanjang lima sentimeter. Berapa banyak mereka yang menunda-nunda aksi meraih cita-cita karena menganggap jarak lima sentimeter dianggap dekat dan bisa dilakukan nanti-nanti saja.
Indi mendesah. Tangannya tergolek di atas kasur. Hari ini ia bertekad tidak akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Apa yang ia mau sudah ada dalam jangkauan matanya. Jangan salah. Indi melakukan ini bukan karena ia putus asa.
Ia sudah tidak sanggup lagi melakukan rutinitasnya sehari-hari. Pagi-pagi sebelum matahari terbit menyeret tubuhnya ke kantor. Kemudian, seharian Indi memelototi komputer di tengah perintah dari pelanggan serta teriakan dari atasannya. Pulang ke kosan pun ketika matahari sudah tidak terlihat.
Selalunya, gang menuju kosannya diramaikan oleh pria-pria nongkrong. Sambil berjongkok, mereka memainkan judi slot lewat telepon genggam masing-masing. Indi teringat sesuatu sehingga menelengkan kepalanya.
Tadi, sebelum ia sampai ke kosan, tidak ada keramaian abang-abang di sepanjang gang. Lalu, sebaik ia masuk, tiba-tiba Ibu Kos yang tinggal di kampung sebelah mengirimkan pesan. Perempuan tua itu mengingatkan untuk mengunci rapat-rapat pintu dan jendela. Barang berharganya disarankan untuk disimpan di tempat aman.
Mengingat itu, Indi terkikik geli. Ia melontarkan tatapan ke sekeliling. Kamar kosnya hanya berisi satu tempat tidur dan lemari kecil. Gaji bulanannya hanya sekadar numpang lewat. Tidak cukup untuk menimbun barang-barang mewah bahkan untuk menabung.
Meskipun hidupnya susah, nyatanya bukan itu pula alasan ia hendak menuntaskan niatnya dari tiga tahun lalu itu malam ini. Bukan itu, dijamin. Sekali lagi, Indi menegaskan.
Ia hanya tidak melihat masa depannya akan berbeda. Indi sudah tidak tahan lagi. Ia harus menghentikan semuanya. Ini adalah solusi yang tepat. Tidak akan ada yang merasa kehilangannya. Kantornya akan mencantumkan pengumuman lowongan pekerjaan baru untuk menggantikannya. Ibu dan ayahnya sudah tidak lagi peduli sejak keduanya bercerai dan memiliki keluarga masing-masing.
Teman? Indi mengedikkan bahu. Berteman di kota metropolitan seperti Jakarta sungguh boros. Sekali bertemu, menghabiskan minimal seratus ribu. Janji bertemu di sebuah kafe. Satu lembaran lima puluh ribu sudah melayang. Lalu, dilanjutkan dengan makan malam. Bagi mereka yang tidak punya uang, dapat berpura-pura sedang diet. Intermittent fasting. Jadi, tidak boleh makan berat di atas jam enam. Padahal, alasan sesungguhnya adalah kekurangan uang.
Namun, agenda selanjutnya yang susah ditepis. Karaoke atau pergi ke kelab malam. Boleh saja, sih, beralasan harus cepat pulang karena besok ada jadwal rapat pagi-pagi sekali. Tapi, akibatnya siap-siap tidak lagi diajak pada pertemuan selanjutnya. Sudah dapat dipastikan, pada akhirnya kehilangan teman.
Sekali lagi bukan itu yang membuat Indi memilih jalan ini. Perjalanan hidupnya selama dua puluh tujuh tahun mengajarkannya bahwa sejatinya tidak semua orang membutuhkan teman. Hidup Indi baik-baik saja tanpa mereka.
Indi dapat memenuhi kebutuhannya berkomunikasi sebagai makhluk sosial dengan menjawab keluhan pelanggan. Memang, sebagian besar yang ia dapatkan adalah sumpah-serapah jika keinginan mereka tidak dapat dikabulkan. Bahkan, ketika Indi mampu menyelesaikan keluhan, tidak ada pujian yang dilontarkan.
Di tempat kosnya yang sekarang, ada dua penghuni lain dari lima kamar yang tersedia. Pandemi mengubah hidup semua orang. Dua teman kosnya yang lain sudah diberhentikan dari pekerjaan dan balik ke kota asal mereka dari awal pandemi berlangsung. Dua yang lainnya memilih pulang kampung untuk sementara karena diperbolehkan untuk bekerja dari rumah.
Jadi, hanya Indi yang bertahan di kosan itu. Ia tidak lagi punya kampung yang bisa ia tuju. Tapi, sekali lagi Indi menegaskan kalau ia tidak apa-apa. Ia tidak kesepian. Sejatinya, semua orang lahir sendiri-sendiri ke dunia ini. Jadi, bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan kalau menjalani hidup juga dengan sendirian.
Indi menoleh ke kanan. Botol transparan yang terisi pil-pil berwarna biru dan putih masih tertempel di telapak tangannya. Sekali lagi, ia tidak tahu berapa jumlahnya. Indi menggelengkan kepalanya.
Bukan berapa banyak pil yang ada di dalam botol itu yang seharusnya ia pikirkan. Pil biru putih itu berdosis tinggi. Indi mendapatkannya setelah beberapa kali mengunjungi Puskesmas dengan keluhan susah tidur. Liciknya ia, Indi tidak pernah menggunakannya. Ia menumpuknya terus-terusan. Jadi, ia tahu kalau berapapun tepatnya jumlah pil itu, seharusnya itu sudah cukup untuk menuntaskan niatnya dari tiga tahun yang lalu itu, malam ini juga.
Indi tersadar akan sesuatu. Ia butuh air. Ia memerlukan minuman. Ia meneliti seluruh penjuru kamarnya. Tidak ada gelas ataupun botol yang berisi air minum di manapun. Aaah, Indi menggerutu.
Posisinya sudah di atas tempat tidur. Tekadnya pun sudah bulat. Tapi, gara-gara kecerobohannya, mimpi Indi harus tertunda. Ia tidak mungkin sanggup menelan semua pil itu tanpa bantuan minuman.
Indi melepaskan genggamannya secara asal. Ia harus keluar dari kamar demi mengambil air minum di dapur. Botol transparan berisi pil-pil biru putih tergolek di atas kasur.
Indi membuka pintu kamarnya. Tapi, langkahnya terhenti. Ia diam seribu bahasa. Di hadapannya, ada seseorang asing menutupi wajahnya dengan sarung laksana ninja. Perampok, batin Indi dalam hati.
Di luar dugaan, perampok itu pun membeku seperti dirinya. Namun, sosok asing itu lebih cepat menguasai diri ketimbang Indi. Sang Perampok menodongkan celurit ke arahnya.
Dari penerangan yang temaram, celurit itu berkilau menegaskan ketajamannya. Indi membuka mulutnya. Bukan untuk bersuara, apalagi menjerit. Hanya saja, Sang Perampok tampaknya tidak berpikiran sama.
“Diam!” perintah Sang Perampok seolah-olah menggeram.
Indi buru-buru mengatupkan bibir. Ekspresi tadi adalah refleks Indi saat melihat tas yang tercangklong di bahu perampok itu. Ia hapal kalau tas ransel itu adalah milik teman kosnya. Diam-diam, ia melirik kamar kos di depannya yang pintunya sudah terbuka. Ia penasaran barang berharga apa yang sempat diambil oleh Sang Perampok dari kamar temannya?
Tidak, seharusnya ia lebih ingin tahu bagaimana pencuri itu bisa masuk ke dalam rumah kos itu tanpa ketahuan. Bagaimana bisa telinganya tidak menangkap bunyi apapun ketika perampok itu beraksi?
Berjalan mundur sambil mengacungkan celurit, Sang Perampok tiba tepat di depan kamar anak kos kedua. Dalam saat itu, Indi tidak tahu harus melakukan apa. Akalnya pun buntu. Instingnya pada saat itu tidak pernah menunjukkan usaha untuk melawan. Buat apa? Begitu sudut hatinya menjawab. Jawaban yang sama atas segala pertanyaan yang mengusiknya selama tiga tahun belakangan.
Rupanya, Sang Perampok sadar kalau Indi tidak boleh dibiarkan sendirian. Perampok itu mendekatinya dan menariknya dengan kasar. Dengusan kasar terdengar di telinga Indi sewaktu sosok itu mengunci kedua tangannya di belakang punggungnya.
Pria itu bertenaga besar. Ia mendorong Indi ke depan kamar kos teman keduanya sampai ia tersungkur di lantai. Sang Perampok melemparkan satu kunci, Sambil menodongkan celurit, ia menyuruh Indi membuka pintu itu.
Indi tidak punya pilihan selain menuruti perintah Sang Perampok. Ia terkesiap sewaktu pintu kamar kos terbuka. Ada banyak pertanyaan mampir di benaknya. Tapi, semuanya harus tertunda karena Sang Perampok sudah menyuruhnya menggeledah seluruh isi kamar.
“Itu!” kata Sang Perampok dengan suara rendah yang menakutkan.
Indi memeriksa lemari yang ditunjuk oleh pencuri itu. Beberapa keping emas tersimpan di bagian lacinya. Indi mendengus. Orang gila mana yang menyimpan emas secara sembarangan begini? Indi tidak tahu karena ia tidak mengenal teman kosnya itu dengan baik. Bahkan, ia tidak mengingat nama pemilik kamar ini. Shinta? Linda?
“Hei, sini!”
Sang Perampok mengambil emas-emas di tangan Indi dengan kasar. Setelahnya, laki-laki itu berkeliling sendiri melanjutkan pencariannya akan barang-barang berharga di kamar kos itu.
Tidak ada yang bisa ia lakukan, Indi duduk di pinggiran tempat tidur kamar itu. Luas kamar tersebut tidak jauh berbeda dengan kamarnya. Tapi, isinya sangat jauh bertolak belakang. Ada berbagai foto yang dipajang di meja belajar. Dindingnya pun dipenuhi berbagai poster idola K-Pop masa kini.
Indi tersenyum tipis karena membayangkan pasti hidup pemilik kamar itu sangat menyenangkan. Gajinya dijamin jauh lebih besar dari Indi karena mampu membeli beberapa keping emas. Tidak hanya itu, berbagai barang terkait idola kesukaannya juga berserakan di mana-mana. Indi tahu harganya sungguh mahal. Dan, pemilik kamar itu mampu mengoleksinya. Foto-foto bersama teman dan keluarga terpajang di meja menandakan kalau teman kosnya itu memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang di sekelilingnya.
Lamunan Indi buyar sewaktu Sang Perampok memerintahkan, “Kamarmu!” kepadanya. Sekarang, tas ransel yang dicangklong oleh pria itu bertambah satu.
Indi berjalan di depan seolah-olah mengarahkan perampok menuju kamarnya. Ia tidak takut. Tidak ada barang berharga apapun yang dapat diambil Sang Perampok dari kamarnya. Bahkan, jikapun ada, Indi tidak peduli. Jika tujuannya tercapai, ia tidak akan memerlukan barang berharga itu lagi.
Dari daun pintu, ia memperhatikan saja Sang Perampok mengobrak-abrik seluruh penjuru kamarnya. Isi lemarinya sudah terlempar sana-sini. Tapi, pria itu tidak menemukan yang ia cari. Sasaran selanjutnya adalah tas yang biasa Indi gunakan sehari-hari. Tidak ada laptop di sana. Hanya ada sebuah dompet.
Sang Perampok meneliti isi dompetnya; kartu ATM, kartu uang elektronik, dan uang dua ribuan satu lembar. Pria itu menoleh ke arahnya seolah-olah mengasihaninya. Indi hanya mampu mengangkat bahu secara samar. Ya, hidupnya memang menyedihkan.
Tahu-tahu, pandangan mata Sang Perampok tertumbuk pada sesuatu. Sebuah benda yang tergeletak di atas tempat tidur. Sebuah botol transparan dengan berbutir-butir pil biru putih di dalamnya. Indi tidak tahu berapa tepatnya jumlah obat yang ada di dalam botol itu.
Ia yakin Sang Perampok juga tidak tahu. Ia juga yakin sosok itu tidak akan tertarik dengan barang itu dan segera meninggalkannya. Setelah laki-laki itu pergi, Indi bisa melaksanakan niatnya dengan sempurna.
Indi sudah membayangkan kehebohan yang terjadi besok pagi. Tidak hanya menjadi pergunjingan antartetangga, bisa-bisa namanya akan masuk ke dalam berita nasional.
Ayah dan ibunya akan dicari dan diwawancara. Keduanya akan dengan kompak mengatakan memori mereka terhadap dirinya yang kebanyakan hanya seputar betapa baiknya dirinya. Bisa jadi, mereka mengarang-ngarang cerita agar pemirsa simpati dan bercucuran air mata. Padahal, kenyataannya mereka tidak pernah punya memori yang pantas dikenang bersamanya.
Di luar dugaan Indi, Sang Perampok meraih botol transparan dan mengangkatnya. Botol tersebut berada sejauh lima sentimeter dari kening Sang Perampok. Pria itu menggoyang-goyangkan botol berisi pil-pil biru putih tersebut, lalu terkekeh.
“Barang bagus, nih,” ucapnya seraya berusaha memindahkan botol ke dalam salah satu tas ransel.
Indi terkesiap. Ia tidak boleh membiarkan botol transparan itu berpindah tangan. Ia memerlukan pil-pil yang ada di dalam botol itu untuk mewujudkan keinginannya. Itu adalah satu-satunya miliknya yang berharga.
Tanpa pikir panjang, Indi menerkam Sang Perampok dan mencoba merebut botol miliknya itu kembali. Ia lupa kalau tenaganya jauh lebih lemah dibandingkan sosok itu. Ia alpa dengan kenyataan kalau Sang Perampok sudah terlatih dalam aksi kriminalnya.
Indi abai dengan celurit tajam yang menyertai aksi Sang Perampok malam itu. Tidak sampai sepuluh detik kemudian, cairan kental kemerahan sudah menetes-netes dari lehernya yang hampir putus. Tanpa lagi dikomando oleh otak, tubuhnya jatuh berdebum.
Sang Perampok yang panik buru-buru melarikan diri. Tanpa disadari pria itu, satu botol transparan yang berisi pil-pil berwarna putih biru jatuh dari genggamannya. Botol itu jatuh dan berakhir di depan sepasang mata. Hanya berjarak lima sentimeter dari kening seorang perempuan bernama Indi.
Butuh berapa pil supaya berhasil?
Jawabannya: Tidak satu butir sekalipun.
***