Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
NYXBANE: a Story of an Assassin
2
Suka
91
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Nyxbane.

Bagi Iskra, nama itu lebih dari sekadar julukan. Nyxbane telah merasuk ke dalam jiwanya, mengalir dalam aliran darahnya, dan tertanam dalam setiap bagian tulangnya.

Julukan itu ia dapatkan pada tahun ketiganya setelah bekerja sebagai taring bagi para raja-raja kecil. Bagi siapa saja yang mampu memenuhi kantongnya dengan pundi-pundi emas. Baginya, tak ada yang salah ataupun benar. Dalam dunianya, uanglah yang berbicara—yang berhak menentukan mulut siapa yang patut dibungkam atau mata mana yang harus dilenyapkan.

Orang boleh menyebutnya tak bermoral. Ia sendiri tak pernah mengaku punya kompas nurani. Ia bertahan hidup semata-mata dari menginjak nilai-nilai kehormatan—dan tak pernah meminta maaf untuk itu.

Semuanya bermula ketika ia berusia tujuh tahun. Seorang pria datang ke panti asuhan tempatnya tinggal sejak bayi—mencari beberapa anak untuk diasuh, katanya. Tiga anak terpilih, termasuk dirinya. Tapi, alih-alih dibawa ke tempat aman yang bisa disebut rumah, mereka malah dibawa ke tengah hutan. Dimasukkan ke dalam sebuah lubang dalam yang mustahil dipanjat.

“Aku hanya akan membawa salah satu dari kalian." Pria itu berjongkok di mulut lubang, suaranya dingin seperti sebilah belati yang juga ikut ia lemparkan ke sana. "Waktu kalian tiga hari."

Iskra memahami maksud pria itu. Itu adalah sebuah ujian. Pada hari ketiga, ketika pria itu datang lagi, ia berhasil keluar seorang diri—meninggalkan kedua teman sepantinya tak bernyawa, berkubang darah di dalam lubang. Ia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya saat itu. Namun, penyesalan tak kunjung datang. Ia hanya ingin bertahan hidup.

Hari-hari selanjutnya ia jalani lebih keras lagi, bersama anak-anak lain yang juga dikumpulkan dari sudut-sudut paling gelap di kerajaan. Mereka dididik sebagai pembunuh bayaran. Tidak banyak yang bertahan hidup sampai usia mereka beranjak remaja, ketika akhirnya mereka resmi disebut sebagai Taring Dewa.

Kini, ia merupakan salah satu orang paling ditakuti di kerajaan. Namanya mendahului reputasinya. Sekalipun tak ada yang mengenal wajahnya, korban-korbannya sangat mudah dikenali. Ia mengukir bulan sabit di telapak tangan kiri mereka. Ritual itu merupakan hal paling menyenangkan ketika tengah melakukan pekerjaan.

Raja-raja kecil yang membayarnya selalu puas dengan hasil pekerjaannya. Bahkan seringkali melipatgandakan bayaran untuknya. Malam ini, Iskra pun tidak akan mengecewakan si pembeli darah.

Tubuh ramping Iskra menyelinap di antara bayang-bayang kastil megah itu. Dengan gerakan akrobatik sehalus kucing, ia melompat dari balkon ke balkon. Ketika tidak ada lagi balkon di hadapannya, ia berpegang pada birai jendela, mengayunkan tubuh kecilnya untuk mencapai birai lainnya.

Kastil itu adalah milik seorang Lord, katanya. Tapi, targetnya bukanlah sang Lord pemilik kastil. Targetnya lebih sederhana, jauh dari kata berbahaya. Kali ini, tugasnya adalah menghabisi nyawa seorang wanita. Kamar keenam dari kanan, lantai tiga. Tidak ada nama, tidak ada wajah. Hanya satu koordinat kematian.

Jendela kamar itu besar, dihiasi ukiran rumit, terbuat dari moonpine—kayu langka yang hanya dipakai oleh mereka yang beruang. Di balik kaca, seseorang tertidur pulas di atas ranjang besar bertiang tinggi. Tirainya dibiarkan terbuka, memperlihatkan lekuk tubuh seorang wanita muda.

Iskra merendahkan tubuh. Matanya sejajar dengan kusen bawah jendela. Ia menarik sebilah pisau tipis dari dalam sepatu botnya. Napasnya tertahan sementara tangannya bergerak cepat, menyelipkan bilah pisau diantara sambungan kusen untuk mengangkat selot kunci dari tempatnya. Gerakannya halus dan hati-hati. Satu suara, satu kesalahan—dan misi ini menjadi kuburannya.

Selesai dengan selot, ia mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik ikat pinggangnya. Cairan hitam di dalamnya berkilau—minyak buatan sendiri, dari campuran akar-akar pohon. Aromanya pahit, namun sesamar jejak kabut yang tak terjamah angin. Ia menuangkan cairan tersebut pada setiap engsel jendela, lalu menyelipkan kain peredam di celah engsel bawah. Saat akhirnya ia mendorong jendela, hanya desir angin malam yang terdengar.

Iskra masuk ke dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya bulan tersebut. Ia mengerutkan hidung saat jejak afrodisiak menyentuh indera penciumannya—aroma manis yang menyusup seperti racun lembut, membuat bulu kuduknya meremang. Calon korbannya barangkali habis melakukan transaksi tanpa koin dengan Lord pemilik kastil. Tapi, justru hal itulah yang mengingatkannya untuk menaikkan penutup wajahnya.

Ia merunduk serendah mungkin lalu melangkah perlahan mendekati ranjang. Tubuhnya seringan bulu di udara. Sepatunya menggesek karpet. Namun, segalanya tetap hening. Ia meraih Whisperfang—belatinya yang berbilah tipis dan panjang. Dirancang khusus untuk menjangkau organ vital korbannya secara presisi dan efektif tanpa banyak cipratan darah.

Seperti kebiasannya sebelum menikam korban, ia bangkit perlahan di sisi ranjang, lantas menatap wajah wanita itu lekat-lekat. Seharusnya, ia menatapnya dingin—seperti yang biasa ia lakukan pada korbannya yang lain. Namun kali ini, matanya melebar ketika memandang wajah wanita itu. Satu helaan napas kasar lolos dari mulutnya.

Wanita ini—sekalipun bertubuh sintal dan berkulit semulus pualam—memiliki wajah yang sama persis dengannya, dengan garis rahang yang jauh lebih halus. Rambut hitamnya panjang dan selembut sutra. Jemarinya lentik dan tangannya halus, tanda bahwa ia tak pernah merasakan kerja keras dan kerja kasar.

Berbanding terbalik dengan Iskra. Tubuhnya sekurus kucing liar dengan banyak goresan dan bekas luka. Rambut hitam kusamnya sengaja ia pangkas pendek dengan dalih efisien. Tangannya penuh kapalan, sekasar batu asah. Dan wajahnya… ia percaya wajahnya tampak lebih tua beberapa tahun dari wanita itu. Namun, dalam sekali lihat, Iskra tahu mereka sebaya.

Tangannya gemetar, dadanya naik turun. Seakan, sesuatu yang dulu hilang di dalam lubang ujian telah kembali. Untuk pertama kalinya—setelah melalui tahun-tahun sebagai pembunuh bayaran tanpa emosi—berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dadanya. Marah, bingung, kecewa, dan—terutama—dengki.

Tanpa sadar, genggamannya mengendur. Kesalahan fatal. Whisperfang jatuh meluncur di dekat kakinya, membentur lantai kayu. Waktu seakan terhenti ketika dentang pelan menggema di tengah kesunyian.

Seketika wajahnya memerah. Belati tak pernah lepas dari genggamannya, apalagi karena persoalan kecil seperti emosi. Tapi sekarang… tidak seharusnya ia membiarkan hal sepele mengambil alih. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal. “Bangsat!" umpatnya pelan. Ia buru-buru meraih kembali Whisperfang, seakan mencoba mengembalikan kontrol dirinya.

Tetapi—

“Siapa kau?" suara itu dingin, nyaris datar. Mirip suara Iskra, namun dalam versi yang lebih halus.

Iskra menengadah.

Wanita yang mirip dirinya itu terbangun, mungkin karena mendengar suara dentang belatinya. Ia sudah terduduk di atas ranjang. Matanya menyipit penuh curiga, mengabaikan gaun tipisnya yang nyaris transparan merosot ke sisi bahunya.

Iskra bangkit perlahan. Whisperfang ia genggam di balik lengannya.

Seharusnya wanita itu ketakutan. Seharusnya ia berteriak panik. Tapi tatapannya tenang, nyaris penuh selidik. Seolah ialah yang memegang kendali.

Iskra menarik turun penutup wajahnya perlahan. Ia tahu ini keputusan besar. Dan ia merasa… menelanjangi dirinya sendiri di hadapan orang asing yang mestinya tak asing. Namun ia ingin tahu apakah wanita itu akan mengenalinya. Ia ingin meruntuhkan jarak diantara mereka, mungkin juga menarik sedikit simpati. Ia ingin menunjukkan bahwa mereka… sama.

Namun, alih-alih terkesiap, wanita itu justru menaikkan alis lalu tertawa hambar. “Ah… wajah yang sama di tubuh berbeda… akhirnya kita bertemu.”

“Kau tahu tentangku…” ujar Iskra, suaranya kasar sekalipun diucapkan dengan tenang. Itu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Tapi, perkataan wanita itu telah menegaskan apa yang ia pikirkan sejak melihat wajah itu.

Wanita itu turun dari ranjang. Ia menopangkan tangannya di pinggang. Mereka berseberangan, terhalang ranjang yang seakan menjadi pembatas bagi dunia keduanya. Iskra dapat melihat lekuk dan detail wanita itu lebih jelas. Perbedaan mereka sangat jauh—bagaikan siang dan malam—sekalipun berwajah serupa. Wanita itu dengan gaun tipis elegannya, sedangkan Iskra dengan pakaian serba hitam kusamnya.

“Tentu saja aku tahu. Ibu memberitahuku segalanya.” Sebelah bibirnya tersungging sinis, seakan mengejek perbedaan mereka. Tak ada sedikitpun nada simpati yang Iskra harapkan di sana. "Ibu memberitahuku agar tidak melahirkan anak kembar seperti dirinya.”

Kepalan tangannya mengencang. “Kenapa?" Iskra menahan suara tercekat, suaranya lebih pelan dari yang ia inginkan.

“Kau benar-benar ingin tahu?”

Iskra tidak menjawab. Tapi kedut di bibirnya sudah cukup untuk membuat kembarannya tahu bahwa ia menginginkan jawaban.

Kembarannya menghela napas bosan. “Baiklah…” ujarnya dengan suara dramatis. “Bukankah tidak adil, jika aku tahu tapi kau tidak?”

Ia menaikkan lengan kanannya di sisi tubuhnya, memutar tangannya di udara. Lalu bayangan yang berkobar seperti api hitam itu muncul menyelubungi tangannya—sihir.

Iskra terkesiap. Ia mundur selangkah, kakinya nyaris goyah.

"Karena ini… hanya dapat diwariskan pada satu anak."

Ia menatap Iskra tajam. “Dan ibu kita… tidak membutuhkan dua anak,” katanya perlahan, seakan menginginkan Iskra mencerna setiap ucapannya.

“Jadi… itu alasan kenapa aku dibuang…” lagi-lagi bukan pertanyaan. “Bagaimana dengan ibu? Di mana dia?"

Kembarannya memutari ranjang, memangkas sedikit jarak di antara mereka. Sambil berdecak, ia menggeleng perlahan. Senyumnya manis, tapi nada suaranya penuh cibiran. “Bukan itu yang seharusnya kau tanyakan, adikku sayang. Tapi yang seharusnya kau tanyakan… apa yang akan kulakukan padamu.”

Iskra sedikit menelengkan kepalanya. Alisnya berkerut halus.

Kembarannya memutar kembali tangan kanannya. Kali ini di depan dadanya, lalu telapaknya mengepal. Seketika itu juga, api hitam berkobar di sekeliling ruangan.

Pembatas sihir, pikir Iskra. Takkan ada yang dapat mendengar suara mereka dari dalam pembatas ini.

Matanya menyapu cepat. Bahunya naik sedikit. Refleknya sebagai petarung bertindak lebih cepat ketika merasakan sinyal bahaya. Ia merendahkan tubuh. Jarak di antara kakinya melebar, dan Whisperfang ia genggam kembali di depan dadanya.

“Aku tadinya tak mau kau melawan. Tapi seperti ini boleh juga.” Ia merapal mantra, jemarinya dibentangkan menyapu ke depan. “Kau pikir sepotong belati tumpul bisa melawan sihir?”

Kobaran kelam meluncur cepat ke arah Iskra. Dengan cepat, ia merunduk lebih rendah dan berguling ke samping. Sementara tawa hambar bergema di ruangan.

“Kau ingin pertarungan?"

“Kau salah, sayangku. Yang kuinginkan adalah menjadi lebih kuat." Senyum itu sudah hilang dari wajah kembarannya. "Sihirku tidak sempurna… tidak, sebelum aku menghabisimu.”

Ia membentangkan kedua tangan. Kobaran api hitam besar muncul di kedua tangannya. Percikannya seakan hidup dan mengejar Iskra.

Iskra berlari memutari separuh ruangan. Ia meringis saat beberapa percikannya berhasil mengenai tubuhnya. Api hitam itu—daripada panas membara, lebih terasa seperti irisan dalam. Tetesan darah mengalir di paha belakang, lengan, punggung, dan pipinya.

Ia sadar, lawannya tengah mempermainkannya. Kilatan-kilatan itu tidak mungkin membuatnya mati, hanya menyakitinya dengan cara yang berbeda. Diam-diam, ia mengeluarkan tiga bilah belati kecil. Sambil menerjang ke depan, ia melemparkan ketiganya sekaligus. Bukan lemparan yang presisi, karena ia masih harus berkonsentrasi untuk menghindari bara-bara yang masih mengejarnya. Keinginannya sederhana—mengikis jarak di antara mereka.

Iskra bukanlah petarung jarak jauh. Jika yang dilakukannya hanya berlari, berguling, dan menghindar, maka ia takkan punya kesempatan untuk melukai wanita itu.

Samar, sesaat sekali, kembarannya tampak terkejut. Namun, tatapannya menajam. Ia menyatukan kedua tangannya ke depan dan melesat ke dalam api buatannya. Salah satu belati berhasil menggores bahunya. Ia muncul di sudut lain ruangan, tepat di belakang Iskra. Ia menyabetkan kobaran api besar ke punggungnya.

Iskra tak sempat menghindar. Ia terhempas ke depan. Luka menganga melintang di punggungnya. Rahangnya mengeras. Nyeri itu bukan semata karena luka. Ada bagian dalam dirinya—yang tak pernah bersentuhan dengan masa lalu—yang kini terasa robek, menganga seperti luka di punggungnya. Ia menyeret tubuhnya menjauh sebelum berbalik kembali ke hadapan kembarannya.

Kembarannya mendecak. “Tahu tidak… Lord tidak akan menyukai ini." Ia menepuk goresan tipis di bahu kirinya dengan punggung jemari lentiknya. Ia menjentikkan jemari. Api hitam seketika berkobar menyelubungi tubuhnya. Perlahan, ia melangkah.

"Kau tahu… ibu memberiku nama yang indah.” Ia mendesis lambat dengan tempo yang sesuai dengan langkahnya. “Thalia…”

Iskra menyeret mundur tubuhnya perlahan. Ia menatap wajahnya, tanpa sadar ikut menyesuaikan tempo wanita yang mirip dengannya itu. Seharusnya tidak begini, pikirnya. Tatapan itu… senyum itu… seharusnya tidak begini. Wajah itu… seharusnya tak menyerang selemah ini.

"Tapi kau…" Thalia mengerutkan alisnya dalam, sudut bibirnya turun sedikit. Ia mendesah halus. Tapi kesenduan tidak terpancar dari matanya. “Ibu bahkan tidak sempat memberimu nama saat menyingkirkanmu. Tapi tenang saja… aku akan menuntaskan pekerjaan yang seharusnya dilakukan ibu malam ini.”

Ia merentangkan tangan kanannya ke depan, jemarinya ditekukkan seperti hewan yang tengah menancapkan kuku-kukunya ke dalam daging mangsa. Seketika, kobaran yang menyelubungi tubuhnya mengalir ke sana dan membentuk cakar besar.

Celaka!

Iskra mundur secepat mungkin. Ia bersalto ke belakang, posisi tubuhnya rendah. Cakar itu memanjang cepat, mengejarnya. Jika Iskra adalah kucing liar, maka Thalia adalah serigala haus darah.

“Kau tahu apa yang lucu, saudari?” desis Iskra. Suaranya serak. Mata dan refleknya terfokus pada cakar dari api hitam ciptaan Thalia. “Kau putri pilihan ibu… kau punya segala yang tak pernah kurasakan… tapi kau masih menginginkan aku yang menyedihkan ini mati… Lihat betapa serakahnya dirimu.”

Thalia tak menjawab. Tapi, hanya sekilas, matanya menyipit dan rahangnya mengencang. Sesaat saja, Iskra dapat melihat sosoknya dalam diri Thalia. Ia dapat melihat luka di sana. Luka yang berubah menjadi amarah…

Thalia mengeraskan cakarnya. Kobaran cakar tumbuh lebih besar lagi, lalu menghentak lantai di mana Iskra sebelumnya berada. Kuku-kuku sihirnya diseret, merusak lantai bagai goresan tangan raksasa.

“Serakah?” desisnya, bibirnya disunggingkan tanpa tawa. "Ibu memberiku segalanya, kau bilang? Asal tahu saja, yang dia berikan hanya beban…” Ia menyapukan cakarnya, mengejar Iskra yang melompat ke atas lemari.

“Harapan…” Thalia menghantamkan cengkraman raksasanya, menghancurkan lemari berkeping-keping. Cabikan kain dari gaun-gaun indah berterbangan di udara.

Iskra meluncur turun. Namun, cakar Thalia menghentak cepat. Kali ini berhasil menangkap sebelah kaki saudarinya.

“Dan… bayang-bayangmu,” katanya perlahan. “Selalu.” Thalia mengeratkan cengkramannya di kaki Iskra, menyeret dan membalik tubuhnya.

Iskra tergantung dengan kepala di bawah. Darah mengalir ke kepalanya, membuat napasnya tercekat. Jari-jari raksasa itu melengkung tajam bak belati. Kuku-kuku api terbenam ke dalam dagingnya. Jika cengkraman itu dieratkan sedikit lagi saja, tulang-tulang di kakinya niscaya sudah remuk. Ia berusaha mengabaikan darah yang mengucur dari sana.

“Jadi… kau mau bilang…” Suaranya serak, tapi tak gemetar. Setetes darah jatuh dari dagunya. “Ia menyesal membuangku?"

Thalia membeku sejenak. Matanya menatap Iskra dalam-dalam, tak lagi membara. Hanya mengeras.

“Seandainya ia peduli, mungkin itu lebih baik…” suaranya rendah, nyaris berbisik. “Jadi diamlah… sebelum aku mengubah pertanyaanmu menjadi ratapan kematian.”

Ia mengangkat cakarnya. Tapi sebelum ayunan itu meluncur, napasnya tersendat.

Cengkramannya mengendur. “Apa ini…?” desisnya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menelan ludah, kakinya goyah, langkahnya terseret sedikit.

Thalia menggosok lehernya perlahan. Cakar apinya bergetar dan mulai memudar. Tak mampu mempertahankan cengkramannya, kuku-kuku berkobar itu menjatuhkan Iskra ke lantai. Bara gelap lenyap saat itu juga.

Iskra berguling lalu menopang tubuhnya dengan satu lengan. Seringai tipis terkembang di bibirnya.

Thalia memicing, lalu mendadak matanya melebar seolah menyadari ada sesuatu yang salah. Wajahnya mulai memerah, dadanya naik turun tak teratur. “Kau…” ia menelan ludah lagi, suaranya tercekat, “melakukan sesuatu… padaku.”

Iskra mengembuskan napas lega, meskipun dadanya masih naik turun. “Aku khawatir… racunnya tak bekerja pada penyihir.” Kekeh pelan lolos dari sela giginya.

Thalia mundur, goyah di kakinya terlihat lebih jelas, alisnya berkerut dalam. Bibirnya bergetar menyadari bilur-bilur kebiruan mulai muncul dari goresan tipis di bahunya. Segaris luka yang diakibatkan salah satu pisau kecil yang dilemparkan saudarinya. Bilur itu menjalar pada setiap urat nadinya. Perlahan tapi pasti.

Iskra bangkit perlahan. Ia setengah menyeret kakinya yang terluka parah. Sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya, ia maju selangkah. “Kau sudah selesai bicara kan? Kalau begitu, sekarang giliranku…”

Ia mencengkram paha bawahnya. Ringis pelan keluar dari mulutnya. “Itu… hahh… racun yang kumodifikasi sendiri… campuran ekstrak akar ashvire… dan darah lintah vireling…” langkahnya kecil, namun berhasil membuat lawannya mundur dua langkah. “Apa yang kau rasakan sekarang, saudari? Panas di bahu mulusmu itu? Tidak nyaman di tenggorokan? Tenang saja, itu baru permulaan…”

Iskra maju selangkah lagi.

Thalia mundur mengikuti ritme kembarannya. Tetapi tubuhnya limbung dan menginjak gaun tipisnya yang menyapu lantai, membuatnya jatuh ke belakang dengan kedua lengan menahan beban tubuh yang terasa semakin berat. Ia menggertakkan rahang. Iskra mendengar giginya bergemeletuk.

“Sekarang kau pasti merasa mual dan… paru-parumu seperti terbakar…” Iskra menarik napas dalam. "Kau sudah tak bisa mengontrol kekuatanmu, kan? Tidak lama lagi, penglihatanmu akan kabur… dan irama jantungmu akan kacau…”

Bilur kebiruan semakin meluas ke dada, lengan, dan leher kiri Thalia. Ia mengerjap beberapa kali. Keringat mulai membasahi tubuhnya. “Dasar…” ia menarik napas dengan sia-sia, "tikus licik…"

Iskra lagi-lagi terkekeh. Ia semakin memperpendek jarak di antara mereka, lalu berlutut di dekat kembarannya. Menatapnya lekat-lekat dengan alis diturunkan. “Kasihan… anak pilihan ibu akan segera mati…” ledeknya. “Mati dengan cara… yang sangat menyakitkan. Mau kubantu mempercepat prosesnya?”

Iskra mengeluarkan belati-belati lain yang tersembunyi di tubuhnya. “Tadi kau sudah berkenalan… dengan Triscythe.” ia mengedikkan kepalanya pada tiga pisau kecil yang tergeletak sembarang di lantai sembari menjajarkan pisaunya yang lain di samping Thalia. Matanya jatuh pada Whisperfang. “Whisperfang… tidak, dia untuk pekerjaan…” gumamnya pada diri sendiri, namun cukup keras untuk didengar Thalia.

Ia mengangkat sebilah belati berukir indah bertatahkan rubi. “Bloodgild…” bisiknya sambil melirik Thalia yang mulai terbatuk kering, matanya tampak memerah. "Ia terlalu indah… lagipula merah tak cocok denganmu!” Serunya sembari mengibaskan tangan.

Lengan Thalia tergelincir, ia sudah tak mampu menumpu tubuhnya. Rambut hitam panjangnya yang sehalus sutra tercecer di sekitarnya, seperti jaring laba-laba malam yang berbaur dengan kegelapan.

Di dekatnya, tangan Iskra berhenti pada sebuah belati berbilah hitam legam. Gagangnya berwarna usang. Ia mengangkatnya dengan gemetar ringan, kenangan lama di dalam lubang ujian kembali menyergapnya. “Ah, lihat ini, saudari… ini Tenebris, belati pertamaku.” Ia menunjukkannya pada Thalia seolah sedang memperkenalkan seorang teman. “Ia cocok dengan warna rambut dan bilur-bilurmu, kan?"

Ia mendekatkan wajahnya pada Thalia. "Tapi, asal tahu saja… aku tak begitu suka Tenebris," bisiknya seolah tak ingin belati itu mendengar kata-katanya. "Dia agak… berantakan."

Thalia terbatuk lagi. Ia mengangkat tangannya yang bergetar. Berusaha menepis Tenebris dari hadapannya dengan sia-sia. Tarikan napasnya pendek. Mulutnya megap-megap.

Iskra naik ke tubuh saudarinya. Kini, ia dapat melihat sorot mata Thalia yang begitu ingin hidup. Begitu ingin menang. Ingin memiliki segalanya. Tapi ia takkan pernah bisa meraihnya. Seperti ikan kecil yang ditinggalkan hidup-hidup di tepi kolam.

Iskra mengangkat Tenebris dengan kedua tangannya ke udara. Bilah tajamnya yang berkilau menghadap ke bawah. Ia memandang belatinya sejenak, membiarkannya mencuri kilau terakhir dari cahaya bulan yang menyorot mereka.

“Selamat tinggal, saudari…” ujarnya dingin. "Aku mengucapkan ini untuk pertama dan terakhir kalinya… aku mencintaimu.”

Mata Thalia membelalak diikuti satu tarikan napas terakhir ketika Iskra menghujamkan belati itu ke dadanya lalu mencabutnya dengan kasar. Darah terciprat ke mana-mana. Segera saja, noda merah tua mekar di gaun biru elegan itu. Seperti yang Iskra bisikkan padanya. Berantakan.

Seandainya, pikir Iskra setiap kali ia menghujamkan belati itu lagi dan lagi, kau bersimpati padaku sedikit saja, aku mungkin akan membiarkanmu hidup. Aku mungkin hanya akan melarikan diri.

Iskra mengatup rahang. Wajahnya tetap datar, tapi dadanya terasa berat, seperti menanggung beban yang bukan miliknya. Ia seakan membunuh dirinya sendiri. Melihat dirinya sendiri berdeguk dan sekarat di bawahnya. Ia tak tahu apakah ini duka karena kehilangan, atau amarah karena mereka begitu mirip... tapi dunia hanya memilih satu untuk dicintai.

Ia mencabut belatinya. Tubuh si gadis penyihir bergetar. Mulutnya memuntahkan darah. Tetapi pikiran Iskra melayang ke masa lalu. Beberapa pertanyaan muncul di benaknya. Seandainya ia tak pernah dibuang, apakah mereka akan menjadi kakak-adik yang akur? Apakah ibu akan menyayanginya sebesar ia menyayangi saudarinya? Apakah ia akan sama cantik dan indahnya dengan kembarannya itu? Iskra menggeleng. Ia memutuskan bahwa ia tak menyukai wajahnya berada di tempat yang salah—baik itu di dalam kastil mewah, ataupun di dalam liang kubur.

Ia memutar Tenebris, mengubah caranya menggenggam belati, lalu mencengkram rambut tepat di atas kepala kembarannya. “Diamlah, saudari…” bisiknya, "aku perlu memperbaiki sesuatu.”

Iskra menggoreskan ujung lancip belatinya ke wajah Thalia yang tengah meregang nyawa. Merusak parasnya hingga sulit dikenali. Saat ia selesai merombak wajah saudarinya, tubuh Thalia telah sepenuhnya diam.

Namun, Iskra belum berhenti. Seperti kebiasaannya, ia ingin meninggalkan tanda. Tanda yang berbeda daripada sekadar ukiran bulan sabit di telapak tangan. Ia ingin ibu tahu bahwa ia ada.

Ia melumuri tangannya dengan darah Thalia, lalu terseok menuju tembok tempat lemari pernah berdiri. Ia menggesekkan tangannya, menulis setiap huruf yang diinginkannya dengan darah.

“KAU MEMILIH ANAK YANG SALAH, IBU!”

Hari ini, ia membunuh sebagai Iskra—sebagai dirinya sendiri. Bukan sebagai Nyxbane.

Begitulah pesan yang ia tinggalkan sebelum meninggalkan kastil itu. Ia membunuh dengan amarah dan melampiaskannya dengan brutal. Tidak ada satupun bukti Nyxbane pernah berada di tempat itu.

Keesokan harinya, bisik-bisik terdengar di kota. Berita pembunuhan istri muda seorang Lord. Pembunuh itu meninggalkan pesan yang ditulis menggunakan darah korban di dinding. Pembunuh itu dijuluki Veinwriter.


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
NYXBANE: a Story of an Assassin
Sadille N. Mouren
Skrip Film
Twin Flame
Renita Sylvia
Novel
Bronze
Kiwi Berlumuran Cokelat Beku
Gia Oro
Flash
Bronze
JUSTICE
Shabrina Farha Nisa
Novel
TITIK BUTA
Shireishou
Cerpen
Bronze
Perjuangan Menuju Sukses
Mochammad Ikhsan Maulana
Skrip Film
Jakarta Baik-Baik Saja
Dimas Wahyu Setyawan
Flash
Bronze
The Amazing Sock Squad
Viona fiantika
Cerpen
Bronze
Bayangan Akuntan Publik
Ega Pratama
Cerpen
Maling
Athoillah
Skrip Film
RESIGN (Script)
Hesti Ary Windiastuti
Cerpen
PROJECT V ~Epilogue~
Permadi Adi Bakhtiar
Flash
SATU MALAM UNTUK BERTINDAK
Penulis N
Flash
Bronze
Tokoh Asing dalam Cerita
Afri Meldam
Flash
Pinggiran Pulau (Yard)
karyasmpitinsankamil
Rekomendasi
Cerpen
NYXBANE: a Story of an Assassin
Sadille N. Mouren
Novel
The Ballad of Wandering Souls
Sadille N. Mouren