Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan berteduh dan saling sapa, namun sekarang hujan berteduh dan saling curiga.
Sebagai remaja di kampung, pada bulan Syawal aku akan begitu disibukkan dengan pelbagai kegiatan di masyarakat. Pada akhir pekan selalu saja ada orang yang menikah, entah seperti tidak ada bulan lain bagi mereka.
Setahuku bulan Syawal merupakan bulan yang dianggap sial pada masa Arab jahiliyah, pernikahan tidak akan berjalan lama menurut mitos. Karena dianggap menyimpang, Rasullullh SAW sampai menolak hal tersebut. Beliau bahkan sampai menikah di bulan Syawal dan sampai memberikan anjuran kepada para pengikutnya.
Jika benar orang-orang yang menikah di bulan Syawal dikarenakan anjuran dari Rasullullah, seharusnya kita mencontoh apa yang telah dilakukan: menganggap semua bulan itu baik, jangan justru menghindari bulan yang dianggap sial karena mempercayai mitos-mitos yang beredar.
Pada bulan Suro semisal, temanku yang berprofesi sebagai MC pernikahan sering mengeluh karena sepinya job. Penghasilan melimpah di bulan sebelumnya hanya berfungsi untuk menutupi kekosongan jadwal pada bulan setelahnya.
Jika semua orang menikah di bulan yang sama bukankah justru akan memberatkan tamu undangan?
Ibuku semisal, dalam satu bulan, undangan pernikahan bisa delapan sampai sepuluh buah diterima, dalam sehari terkadang empat acara yang harus dihadiri bersamaan.
Jika mempunyai kesamaan waktu, amplop sumbangan terpaksa dititipkan kepada orang lain. Pengantin yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih dekat akan lebih diutamakan, mau bagaimana lagi? Tidak mungkin beliau mempunyai jurus membelah diri.
Setelahnya pengeluaran rumah tangga dapat dipastikan menjadi membengkak, tidak mungkin juga acara dihadiri dengan membawa sebuah amplop kosong, merupakan aib apabila sampai diketahui berasal dari siapa.
Dampaknya ibu akan memarahi apabila aku meminta uang jajan diluar uang saku sekolah, aku akan dikatakan sebagai anak yang boros. Bukannya diberi, seharian penuh aku justru akan mendapatkan omelan.
Jika yang melangsungkan acara pernikahan merupakan tetangga satu desa, waktu libur pada akhir pekan terpaksa juga harus kukorbankan. Akan sangat fatal apabila sampai tidak ikut membantu, saksi sosial begitu menakutkan.
Entah sejak kapan ada aturan tidak tertulis, “apabila ada orang yang tidak ikut sinoman, kelak ketika dia menikah tidak akan ada orang yang hadir untuk membantu balik.”
Hidup bermasyarakat menjadi tidak lagi didasari rasa sukarela, keterpaksaan tidak dipungkiri adanya. Namun yang jelas aku tidak mau sanksi sosial menimpa, aku tidak tega membayangkan kedua orang tuaku menjadi lebih direpotkan karena harus menyewa jasa sinoman profesional kelak. Tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan, lain hal jika para anggota Karang taruna yang dilibatkan.
Sebenarnya tidak hanya bersifat kerja bakti, setelah melayani para tamu undangan, kami para sinoman biasanya akan diberikan jatah satu bungkus rokok untuk masing-masing orang. Ketika pulang, perut kami juga dijamin tidak akan kelaparan. Dengan bebas sisa hidangan bagi para tamu dapat kami nikmati sepuasnya setelah acara selesai.
Apabila yang melaksanakan acara pernikahan merupakan orang berada, tuan rumah tidak jarang mengundang sebuah grub dangdut Pantura sebagai bintang tamu. Biduan berparas cantik berbodi aduhai tentu dapat memanjakan hasrat.
Dari lantunan lagu yang dimainkan, badan kami akan ikut bergoyang. Apabila temanku sedang mempunyai uang berlebih, mereka tidak ragu untuk memberikan saweran kepada para biduan. Kapan lagi coba dengan modal yang sedikit dapat berinteraksi dengan wanita layaknya seorang artis.
Asalkan tidak melampaui batas dalam memberikan saweran, para biduan tidak mungkin marah. Perasaan senang justru dialami karena mendapatkan tambahan penghasilan ketika manggung, tidak bisa dipungkiri kebutuhan hidup dapat tercukupi dari uang pemberian para lelaki hidung belang.
Pernah ada sebuah kejadian lucu didesaku, ketika penyanyi mulai membawakan lagu, salah seorang bapak-bapak mendekat untuk ikut bergoyang. Dia bahkan sudah menyiapkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan, dengan berlagak seperti seorang juragan tanah, dalam menyawer dia begitu totalitas dalam menghamburkan uang.
Mungkin karena memang watak dasarnya lelaki cabul, uang diselipkan diantara celah-celah dada si biduan. Bapak-bapak tersebut begitu genit.
“Dan kalian tahu apa yang terjadi?”
Tidak membutuhkan waktu lama bagi sang istri untuk memergoki, diatas panggung dia menyeret suaminya untuk segera turun. Didepan keramaian bapak-bapak tersebut diperlakukan layaknya seorang anak kecil, telinganya mungkin akan memerah karena terlalu keras mendapatkan jeweran. Kami yang menyaksikan tentu saja tertawa terbahak-bahak.
Aku sendiri hanya senang mengikuti lantunan musik, sebagai pelajar uang sakuku terbatas. Daripada kuhamburkan untuk nyawer, akan lebih bermanfaat jika kubelikan rokok di warung dekat sekolah.
Walaupun sekarang aku sudah mendapatkan jatah satu bungkus dari tuan rumah, berhemat tetap harus kulakukan.
Setelah merasa cukup bergoyang, aku dan beberapa teman memutuskan untuk berpindah tempat. Badan perlu diistirahatkan sejenak agar tenaga kembali pulih. Nyinom merupakan pekerjaan yang melelahkan.
Para tamu sebenarnya sudah banyak yang pulang, mempelai juga tidak lagi berada di kursi pengantin. Mereka berdua mungkin sedang berganti pakaian.
Tapi bagaimanapun kewaspadan harus tetap terjaga, jika sedikit saja lengah, para orang tua kami dapat memergoki. Selain rokok, tuan rumah juga sudah berbaik hati mempersiapkan satu krak botol bir bintang untuk kami nikmati. Jika tidak meminum sama saja tidak menghargai pemberian, mubazir!
Hal ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, namun tidak wajib. Tergantung tingkat keimanan siapa orang yang sedang melangsungkan acara pernikahan. Tapi jika disediakan, kami tentunya lebih bersemangat ketika melakukan sinoman.
Seusai tugas mengambil piring dan gelas dari para tamu undangan, dengan lepas hiburan dangdut dapat lebih kami nikmati. Sebagai bahan bakar, sebotol bir merupakan pilihan tepat. Alunan lagu dangdut mampu semakin membius jiwa.
Salah satu temanku yang bernama Budi sampai terlihat mulai kehilangan nalar, kesadarannya menurun seiring banyaknya minuman yang telah dihabiskan. Dia kembali lagi mendekat kearah panggung pertunjukan, ketika berjoget baju batik berwarna cokelat yang dipakainya dilepaskan untuk kemudian disampirkannya ke pundak.
Suana riuh terbangun saat itu, kami begitu bersuka cita. Ternyata tidak selamanya acara pernikahan hanya memberikan kebahagian bagi para pengantin.
Semakin siang, suara dari sound system mulai dinaikkan. Dentuman gendang yang dipukul memanggil orang-orang dikejauhan untuk mendekat.
Para pemuda dari desa lain berbaur menjadi satu dengan kami, beberapa dari mereka tidak kukenal. Ketika penonton mulai banyak, para biduan semakin meliuk-liukkan badan.
Tarian yang ditampilkan sangat mengundang birahi, salah seorang teman yang sedang duduk di sampingku bahkan sampai berkata mendadak ingin bercinta. Nampaknya dia juga sudah mulai mabuk, perkataan tidak disaringnya sama sekali.
Terlalu lama berdiam diri kepalaku mulai terasa berat, kami saling ejek kemudian. Aku sempat mengajak mereka untuk mengikuti Budi ke kerumunan penonton, tapi mereka sudah terlalu nyaman ditempat kami sekarang.
Kalau dipikir sebenarnya kesadaranku juga mulai tidak mendukung, perkataan dari mereka ada benarnya. Dari sini, goyangan dari sang biduan juga masih bisa kami nikmati.
Yang aku heran, sedari tadi Budi berjoget tenaga sama sekali terlihat tidak berkurang. Ditengah keramaian baju batik yang sudah dilepasnya bahkan diputar-putarkan keudara, dia begitu bersemangat. Kami yang duduk memberikan tepuk tangan.
Tapi kebahagian tidak berlangsung lama, karena terlalu antusias berjoget ria, tanpa sengaja baju Budi mengenai salah satu penonton. Dia merupakan pemuda dari desa sebelah.
Karena tidak terima, Budi dicekiknya saat itu. Aku rasa dia juga sedang dalam pengaruh alkohol, entah siapa yang memukul duluan, keributan tidak terhindarkan.
Pemain kendang sampai menghentikan permainannya, menggunakan Mic dari sang biduan dia mencoba melerai, tapi tetap sia-sia. Aku dan temanku yang sedang berada di lokasi berbeda ikut terpancing, karena merasa sebagai akamsi, para pemuda dari luar desa kami anggap begitu lancang. Mereka terlalu berani untuk membuat keributan di daerah orang lain.
Tanpa membutuhkan waktu lama, kami secara reflek berlari kearah kerumunan untuk berpihak kepada Budi. Aku menarik kerah baju salah seorang pemuda yang tidak kuketahui namanya, bogem mentah kuarahkan kewajah.
Pukulan demi pukulan saling diberikan antara kedua belah pihak, para orang tua yang masih di lokasi sampai kesulitan untuk menghentikan.
Kursi plastik untuk para tamu undangan berterbangan kesagala arah, apa yang bisa diraih, maka itulah yang dilempar.
Yang aku tidak sadar, saat menerjang kearah pemuda desa lain, salah satu temanku membawa botol kosong bekas bir minum kami. Karena pengaruh juga terpengaruh alkohol dia menjadi tidak bisa berfikir dengan jernih, tanpa terfikirkan dampak kedepan, botol dipukulkannya kearah kepala orang yang memicu keributan dengan Budi.
Setelah tersungkur dan kepala berlumuran darah, orang-orang seketika berhenti dalam berkelahi. Kami semua terdiam mematung, situasi saat itu sulit kami cerna.
Untuk menghindari keributan berdampak lebih parah, ternyata tuan rumah sudah memanggil pihak kepolisian. Kami semua yang terlibat pada akhirnya dibawa ke kantor kepolisian.
Saat itu aku baru tersadarkan, kegiatan negatif yang dianggap wajar oleh masyarakat memang seharusnya ditiadakan. Hanya karena sudah menjadi tradisi dan kebiasaan, tidak perlu juga harus diikuti jiga lebih banyak memberikan dampak negatif.
Setelah insiden tersebut, di desaku sudah tidak ada lagi panggung hiburan saat acara pernikahan. Botol minuman keras dilarang menghiasi di setiap acara.
Jika kita hidup berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW: menghindari perbuatan yang dilarang dan mematuhi ajaran agama, kedamaian akan terbangun dengan sendirinya.