Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit hari ini kelabu lagi.
Bukan hanya karena mendung menggantung di ujung atap sekolah, tapi juga karena rasanya warna telah menghilang dari mataku sejak lama. Awan-awan menggumpal seperti benjolan ingatan yang tak bisa kutelan atau kulepaskan. Aku berdiri di depan gerbang sekolah seperti biasa, menunggu bel berbunyi, berharap waktu bisa mempercepat segalanya agar aku bisa cepat pulang meski pulang pun tak pernah terasa sebagai jawaban.
Namaku Rania Zahra. Tapi di sekolah, tak ada yang menyapaku begitu. Mereka lebih sering memanggilku “si diam”, atau kadang “hantu koridor”. Julukan-julukan itu dilemparkan bukan dengan suara, tapi dengan lirikan mata, bisikan tajam di lorong, dan tawa kecil yang membungkam. Aku belajar sejak lama: luka paling dalam bukan ditoreh pisau, tapi diiris dengan keheningan.
Aku berjalan masuk, menapaki ubin koridor yang mulai retak. Di dinding tergantung poster-poster bertuliskan motivasi “Jadilah Generasi Hebat!”, “Speak Up, Be Brave!” semuanya terasa sarkastik di mataku. Kata-kata itu mengambang di ruang yang tak benar-benar mendengar.
Kelas 10-B terletak di ujung lorong. Meja belajarku di pojok kiri belakang, dekat jendela yang menghadap pohon asam tua di halaman belakang. Aku memilih tempat itu bukan karena suka pemandangan. Tapi karena itu tempat yang paling jauh dari mereka. Dari Alya dan gengnya. Dari tatapan yang membuatku ingin menciut jadi titik kecil.
Alya duduk di depan, dengan rambut lurus sebahu dan kacamata modis yang membuatnya terlihat pintar meski tak pernah benar-benar mengerjakan tugas. Dia tak pernah menyentuhku. Tapi dia tahu cara menyakiti tanpa menyentuh. Caranya menertawakan puisi yang tanpa sengaja tertinggal di bang...