Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di jantung Aethelgard, sebuah kerajaan yang diselimuti tirai kabut abadi dan diterangi oleh cahaya rembulan biru, hiduplah seorang ksatria muda bernama Lysander. Ia adalah seorang Lumina, pemuja Dewi Astraea, dewi bintang dan takdir, yang diyakini menenun benang kehidupan di atas langit-langit kristal. Bagi rakyat Aethelgard, dunia mereka adalah satu-satunya realitas, dan alam-alam lain hanyalah bisikan dongeng lama. Lysander, dengan rambut seputih salju dan mata sebirat langit fajar, adalah seorang idealis. Ia percaya pada keseimbangan kosmos, pada takdir yang telah digariskan, dan pada kebenaran tunggal yang dipegang teguh oleh kaumnya.
Ribuan mil di seberang samudra eterik, di sebuah dimensi yang tersembunyi di balik tabir aurora yang berdenyut, terbentanglah Xylos, kota yang dibangun di atas punggung naga-naga batu raksasa. Di sana, mentari merah menyala sepanjang hari, memancarkan kehangatan yang membakar. Di Xylos, Aurora hidup. Ia adalah seorang Solara, penganut Roh Api Abadi, kekuatan purba yang diyakini menciptakan dan menghancurkan. Aurora, dengan kulit sawo matang dan mata sehijau lumut hutan, adalah seorang pemberani, skeptis, dan berjiwa bebas. Ia percaya pada kehendak bebas, pada kekuatan individu, dan pada kebenuran yang bisa dipahat sendiri.
Takdir, yang acapkali berbisik dalam hening dan menari dalam kekacauan, mempertemukan mereka. Bukan di medan perang, bukan pula di perjamuan agung, melainkan di Celos, sebuah titik temu dimensi yang hanya terbuka setiap seratus tahun sekali. Celos adalah sebuah dimensi hampa, diwarnai oleh spektrum cahaya yang tak terdefinisi, tempat di mana ruang dan waktu menjadi cair. Lysander, dalam pencarian artefak kuno untuk upacara Dewi Astraea, tersesat ke sana. Aurora, seorang petualang yang tak kenal takut, juga menemukan jalan menuju Celos saat melacak jejak energi aneh.
Pertemuan mereka diawali dengan ketegangan. Lysander, melihat siluet Aurora yang disinari cahaya merah Xylos, mengira ia adalah entitas asing. Aurora, melihat Lysander yang berpakaian zirah perak Aethelgard, mengira ia adalah salah satu penjaga gerbang yang sering diceritakan.
"Siapa kau?" suara Lysander memecah keheningan Celos, bergema di antara pilar-pilar cahaya yang tak berbentuk. Tangannya sigap meraih gagang pedang kristalnya.
Aurora menyeringai, "Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan di tempat ini, Ksatria Dingin?" Ia tak gentar, justru penasaran. Aurora dan Lysander terasa begitu asing, begitu kontras dengan nyala api yang ia kenal.
"Aku mencari jalan pulang ke Aethelgard. Tempat ini… bukan tempat yang seharusnya kau jelajahi." Lysander menjawab, matanya memicing, menilai Aurora.
"Oh, benarkah? Dan kau pikir aku akan percaya begitu saja?" Aurora melangkah maju, tangannya memancarkan percikan api kecil. "Aku Aurora dari Xylos. Dan kau?"
Lysander sedikit terkejut dengan keberanian Aurora. "Aku Lysander dari Aethelgard. Dan aku yakin kau tak akan mengerti."
Perdebatan mereka berlanjut selama berjam-jam, namun perlahan, nada permusuhan mereda, berganti dengan rasa ingin tahu. Mereka berbicara tentang dunia mereka, tentang langit, bintang, matahari, dan keyakinan mereka.
"Kau menyembah dewi yang menenun takdir? Bukankah itu berarti kalian menyerah pada nasib?" Aurora bertanya, alisnya bertaut. "Kami percaya pada Roh Api, yang memberi kami kekuatan untuk membentuk takdir kami sendiri."
Lysander menggeleng pelan. Kami percaya bahwa dalam takdir ada keindahan, Aurora. Bahwa setiap benang yang ditenun Dewi Astraea memiliki maknanya sendiri. Itu bukan penyerahan, itu penerimaan.
"Penerimaan yang pasif, bagiku. Bagaimana jika takdirmu adalah penderitaan? Kau hanya akan menerimanya?" tukas Aurora, suaranya sedikit meninggi.
"Jika itu adalah jalan yang dipilihkan untukku, maka aku akan menjalaninya dengan kepala tegak, demi kehormatan Dewi Astraea," jawab Lysander, ada keyakinan yang kokoh dalam suaranya.
Aurora menatap Lysander lama, ada kekaguman samar yang mulai tumbuh di hatinya, bercampur dengan kebingungan. Bagaimana bisa seseorang begitu teguh pada sesuatu yang baginya tampak membatasi? Lysander juga merasakan hal serupa. Keberanian Aurora, semangatnya yang membara, adalah sesuatu yang belum pernah ia lihat dalam ketenangan Aethelgard.
Berhari-hari mereka terperangkap di Celos. Mereka berbagi makanan yang berbeda, mendengarkan cerita-cerita yang asing, dan menyaksikan fenomena Celos yang menakjubkan bersama. Cinta tumbuh, perlahan, tak terduga, seperti tunas di tanah yang tandus. Itu adalah cinta yang lahir dari perbedaan, dari rasa ingin tahu yang dalam, dan dari kekaguman pada jiwa yang berlawanan.
"Apa yang akan terjadi jika kita tidak bisa kembali ke alam kita masing-masing, Lysander?" tanya Aurora suatu malam, suaranya lirih. Mereka duduk di atas batu kristal yang memancarkan cahaya lembut.
Lysander menatapnya, matanya memancarkan kesedihan. "Mungkin kita akan selamanya di sini, Aurora. Antara dua dunia."
"Aku tidak keberatan," Aurora berbisik, bersandar di bahu Lysander. "Selama ada kau."
Lysander memejamkan mata, membiarkan kehangatan Aurora meresap. Namun, ia tahu, takdir tak akan semudah itu.
Suatu hari, Celos mulai bergejolak. Pilar-pilar cahaya berkedip tak beraturan, dan dengungan aneh memenuhi dimensi hampa itu. Mereka tahu, ini adalah tanda bahwa Celos akan menutup, dan salah satu dari mereka harus kembali.
"Kita harus memilih, Aurora," kata Lysander, suaranya tercekat. "Aethelgard membutuhkanku. Dan Xylos membutuhkanmu."
Aurora menarik diri, menatap Lysander dengan mata berkaca-kaca. "Bagaimana dengan kita, Lysander? Apakah takdir kita hanya sampai di sini?"
"Aku tidak tahu, Aurora. Tapi keyakinanku mengatakan, jika ini adalah takdir, maka kita harus menerimanya. Dewi Astraea akan membimbing kita."
Aurora mendengus. "Roh Api tidak akan membiarkan kita menyerah begitu saja! Kita bisa melawan takdir ini, Lysander! Kita bisa mencari cara lain!"
"Tidak ada cara lain," Lysander memegang tangan Aurora yang gemetar. "Kekuatan Celos semakin tak terkendali. Jika kita berdua mencoba menembus, kita bisa hancur."
"Tapi… tapi aku tidak bisa tanpamu," Aurora terisak. "Bagaimana aku bisa kembali ke Xylos yang membakar jika hatiku telah beku tanpamu?"
"Dan bagaimana aku bisa kembali ke Aethelgard yang dingin tanpa kehangatanmu, Aurora?" Lysander membalas, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia, ksatria yang teguh, tak mampu menahan gelombang kesedihan yang menerjangnya.
"Kita bisa… kita bisa melarikan diri, Lysander," Aurora mencoba mencari celah, apa pun itu. "Kita bisa menemukan dimensi lain, tempat di mana kita bisa bersama."
Lysander menggeleng, "Kita bukan hanya milik diri kita sendiri, Aurora. Ada kewajiban. Ada keyakinan."
"Keyakinanmu itu… itu yang memisahkan kita!" seru Aurora, frustrasi bercampur amarah. "Keyakinanmu pada takdir buta itu yang membuatmu pasrah!"
"Dan keyakinanmu pada kehendak bebasmu yang tak terbatas itu yang membuatmu tak bisa menerima batasan!" Lysander membalas, tak kalah pedih.
Mereka berdua terdiam, terengah-engah dalam kemelut emosi. Kenyataan pahit itu menghantam mereka, perbedaan yang dulu menarik, kini menjadi jurang pemisah. Bukan hanya alam, tetapi juga inti dari jiwa mereka.
"Aku tidak bisa melepaskanmu," bisik Aurora, mendekap Lysander erat.
"Aku juga tidak bisa melepaskanmu, Solaraku," Lysander membalas, memeluknya seolah itu adalah pelukan terakhir mereka.
Gejolak di Celos semakin dahsyat. Sebuah portal ke Aethelgard mulai terbentuk di sisi Lysander, memancarkan cahaya biru dingin. Di sisi Aurora, sebuah pusaran api merah dari Xylos mulai menariknya.
"Pergilah, Aurora," Lysander berbisik di telinga Aurora, suaranya serak. "Hidupkan apimu. Bentuk takdirmu."
"Tidak! Kau yang pergi, Lysander!" Aurora berteriak, menolak. "Kembalilah pada dewi bintangmu! Aku akan menunggumu di sini!"
"Kita tidak bisa melawannya, Aurora," Lysander memegangi pipi Aurora, menatap matanya yang memerah. "Ini… ini mungkin takdir kita. Untuk mencintai dari jauh."
Tiba-tiba, kekuatan pusaran api Aurora menariknya dengan kuat. Ia menjerit, mencoba bertahan, namun tubuhnya mulai tertarik tak tertahankan.
"Lysander!" teriaknya, mengulurkan tangan.
Lysander juga ditarik oleh portal biru. Ia balas mengulurkan tangan, namun jarak semakin membesar. "Aurora! Kenanglah aku!"
Dan di detik terakhir, ketika tangan mereka nyaris bersentuhan, kedua portal itu menutup dengan dentuman dahsyat. Celos kembali hampa, menyisakan kekosongan yang menyesakkan.
Lysander terhempas ke tanah beku Aethelgard. Langitnya tetap diselimuti kabut, rembulan biru tetap memancarkan cahaya. Namun, baginya, semua keindahan itu terasa hampa. Hatinya beku, jiwanya meratap. Ia kembali pada keyakinannya, pada Dewi Astraea, namun kini ia tahu, takdir bisa begitu kejam.
Di sisi lain dimensi, Aurora jatuh terhuyung di tanah Xylos yang panas membara. Matahari merah menyala di atas kepalanya, namun jiwanya terasa gelap. Roh Api yang ia sembah terasa mengejeknya, karena bahkan dengan segala kekuatan yang ia miliki, ia tak mampu melawan perpisahan ini.
Mereka berdua hidup, terpisah oleh dimensi dan keyakinan, namun terikat oleh cinta yang tak terucapkan. Setiap malam, Lysander menatap rembulan biru, berharap menemukan bayangan Aurora di antara bintang-bintang. Setiap hari, Aurora menatap mentari merah, berharap merasakan kehangatan sentuhan Lysander.
Dan di antara pilar-pilar langit yang memisahkan dua alam, nyanyian sunyi cinta mereka terus bergema, abadi dalam kepedihan. Mereka adalah bukti bahwa kadang, cinta yang paling murni sekalipun, tak mampu mengubah takdir yang telah digariskan, dan bahwa perbedaan, seindah apa pun, bisa menjadi batas yang tak terlampaui.
~selesai~