Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Nyai Ronggeng Pulungsari
2
Suka
47
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dahulu sekali. Pada abad 17 di Tatar Galuh, di suatu daerah bernama Pasir Nagara, saat malam sudah lingsir. Angin dingin dan kering bersilir-silir menerpa daun-daun bambu. Menimbulkan suara gemeresik yang lirih dalam hening malam. Dari dalam unggun kremasi, lidah merah menjilat-jilat kayu bakar. Melumatnya sampai habis. Serpihan bara terbang ke udara. Kemudian padam menjelma abu kecil yang melayang-layang terbawa hawa panas untuk kemudian jatuh di sembarang tempat.

Api itu telah tuntas menelan mayat rombongan ronggeng keliling. Kemudian abu jasad mereka dikuburkan bersama seperangkat gamelan dalam satu lubang. Sungguh tragis. Tidak ada yang tahu penyebab kematian rombongan itu. Para warga menjatuhkan dugaan kepada Kyai Basir. Tidak. Mereka tidak menuduh Kyai Basir membunuh rombongan itu secara langsung, tetapi, atas penolakan dan juga sumpahnya kepada rombongan itu lah mereka mendapatkan bala yang menjadikan malapetaka ini terjadi.

“Saya tidak ridho ada pentas ronggeng di sini. Jika kalian memaksa kemaksiatan merajalela. Tunggu saja azab Gusti Allah itu nyata!”

Dan, terjadilah. Saat sang ronggeng meliak-liukan pinggulnya, memancing birahi warga, mengikuti ketukan penabuh kendang dan sinden yang bernyanyi nyaring, mereka serentak terkulai lemas. Para warga berhamburan. Beberapa pemuda berlari ke arah mereka. Menekan urat nadi.Tidak ada detak. Tubuh mereka kaku dan membiru seketika. Mulut berbusa-busa.

"Cilaka! Ieu mah pataka. Ieu mah kawalat!"[1] teriak salah seorang warga.

"Ampuni kami, Kyai Basir, kami tidak mendengarkan ucapanmu!" seorang lagi berteriak sambil menengadah ke langit.

"Bagaimana ini, rombongan ronggeng semuanya mati?"

"Cilaka! Kawalat! Pataka! Ampuun! Murid Kanjeng Sunan mah sakti pisan! Saciduh metu saucap nyata! Ulah lalawora deui ka hareupna!"[2]

Di tengah kepanikan seorang menengahi, “wargaku sekalian, harap tenang. Mari kita urus jenasah ini terlebih dahulu!”

“Tapi bagaimana caranya Pak Kuwu? kita tidak tahu dari mana rombongan ronggeng keliling ini berasal, kita tidak bisa memulangkan jenzah ke keluarganya!”

“Ya, betul.”

Mayat sudah berjajar di depan api unggun tadi ikut yang menghangatkan suasana pertunjukan. Cahaya jingga menyapu wajah mereka. Mata terpejam. Mereka tak acuh dengan keriuhan di sekitarnya. Mayat rombongan itu terbujur kaku dengan tenang. Setelah selesai berdebat. Akhirnya, warga sepakat untuk mengkremasi dan mengubur abu jasadnya di tempat itu bersama seperangkat gamelan mereka. Api unggun tadi beralih fungsi. Kayu-kayu bakar ditambahkan. Dan, mayat mereka dilemparkan ke dalamnya. Agar tidak menjadi petaka berkepanjangan warga sepakat untuk tidak menerima lagi ronggeng di tempat itu.

*

 Burung merpati dengan daun lontar tergulung dan terkalung di lehernya baru saja melesat menuju ke arah timur yang jauh. Terbang tinggi mengepakan sayapnya di atas belantara hutan. Seorang wanita berparas cantik terlihat cemas melepas kepergian merpati itu dari atas lembah. Kemudian ia berjalan diantara belukar ke tempat teman-temannya berada.

“Bagaimana? Apakah ada yang melihat Saya mengirim pesan?” tanya wanita itu.

“Tidak Lung, sepertinya pihak keraton tidak menyadari niat kita.”

“Sukurlah, Mas Suhar, Sang Hyang Widi masih menyertai kita.”

“Tapi, kita harus bergegas, setelah ini, kita harus pentas kembali. Agar tidak ada yang mencurigai kita.”

“Ya, Saya setuju.”

“Akan tetapi, apakah kamu tidak kelelahan setelah semalaman melayani Adipati?”

“Tidak, semua demi Raden Trunajaya dan juga keamanan kita semua.”

Percakapan selesai dengan suasana yang menjadi canggung. Tak ada percakapan serius setelah itu, hanya sebuah anggukan untuk saling mengerti harus melanjutkan perjalanan. Jumlah mereka sepuluh orang. Seperangkat gamelan diangkut bersama menggunakan tandu oleh laki-laki, sedangkan, tiga orang wanita sisanya membawa bundelan baju pentas ronggeng di punggungnya. Tibalah mereka di sebuah sungai yang membentang, beraliran deras dan berwarna coklat. Terlihat seorang pria bertelanjang dada di seberang sana berdiri di atas rakit. Seakan mengerti, pria itu menghampiri, dan sejurus kemudian, pria itu sampai di rombongan yang hendak menyebrang.

“Perlu tumpangan, Ki Sanak?” tanya pria itu kepada seseorang yang berjalan paling depan dari rombongan.

“Ya, bawa kami ke seberang! Berapa upahnya?”

“Berapa pun akan saya terima, Ki Sanak.”

“Oh, ya. Apakah di depan sana ada pemukiman?”

“Ada Ki Sanak, tidak jauh. Setelah mendaki bukit itu Ki Sanak akan bertemu pemukiman,” ucap pria itu sambil menunjuk ke arah bukit.

Air beriak terbelah batu. Rakit bambu itu meniti sungai dengan perlahan. Wanita dengan paras cantik tadi mengusap-usap lengannya. Wajahnya terlihat semakin cemas dan gugup. Pikirannya melayang kepada orang yang dia cintai tetapi tidak bisa dimiliki: Raden Trunajaya. Kini dia telah berhasil menduduki Mataram, yang artinya hampir menguasai seluruh pulau jawa.

Wanita itu menyadari bahwa cintanya sudah tidak mungkin berbalas. Meski begitu, setiap langkah yang ditempuh atau saat dia menari dengan penuh gairah dan memancing birahi, bahkan saat dia terpaksa tidur dengan pria lain pun wajah Raden Trunajaya lah yang terbayang di benaknya. Walau dia sadar sepenuhnya, setelah semua berlalu, hanya rasa perih yang dia dapat.

Wanita itu menghela nafas panjang. Dia kembali menguatkan hatinya: semua ini demi Raden Trunajaya. Terlebih, malam tadi dia berhasil mendapatkan informasi berharga bagi kekasihnya itu. Akan tetapi, tetap saja hatinya gundah. Ada kecemasan lain di benaknya yang terus berdebat tentang masa depan yang tidak pasti, “Bagaimana jika merpati pengirim surat itu tidak sampai kepada Raden Trunajaya. Ah, jika pun demikian, Saya yakin Raden Trunajaya bisa mengatasi masalah ini. Saya ... Tapi ....”

Wanita itu semakin larut dalam pikirannya, dia mengingat kembali masa-masa perjumpaan dengan Raden Trunajaya. Saat itu senja merekah dari balik gunung yang tinggi. Menyepuh warna tembaga ke seluruh penjuru cakrawala. Dia berjalan meniti setapak yang dipenuhi gulma. Hanya dibalut oleh kain batik. Seorang bandit mencegatnya. Menariknya dengan paksa menuju semak belukar. Dia meronta dan berteriak meminta tolong. Bandit itu menyumpal mulutnya dengan kain.

“Diam dasar jalang! Ini akibatnya kalau kamu menolak ajakanku semalam saat tayub! Dasar murahan!” damprat bandit itu dari atas badan sang wanita sambil tertawa dengan memasang muka mesum.

Air mata menetes perlahan dari pelupuk mata si wanita. Dia sudah pasrah dengan keadaan. “Toh, memang aku ini bukan seorang perawan lagi,” batinnya. Tatapannya mulai kosong. Si bandit semakin tertawa setelah berhasil melucuti kain yang dipakai si wanita. Matanya tertuju pada segumpal daging dengan puting coklat yang terlihat sangat lezat. Saat mulut bandit itu hendak melumatnya, sekonyong-konyong seorang pria datang menjerjang kepala si bandit sambil berteriak. Suaranya menggelegar. Bandit itu terpental. Terguling-guling ke tanah.

“Kurang ajar!” damprat bandit itu sambil menyeka darah segar dari mulutnya.

Pria itu memasang kuda-kuda rata air. Tangannya melambai ke arah dadanya seolah menantang si bandit untuk bertarung lagi. Si bandit geram. Kedua tangannya mengepalkan tinju. Berlari sambil berteriak ke arah pria itu. Kemudian, tangannya melayang ke arah leher. Ke kepala. Dada. Namun, tidak ada satupun tinju yang berhasil mengenai pria itu. Sebaliknya, saat nafas si bandit sudah habis, si Pria menerjang balik dengan satu tarikan nafas. Satu pukulan keras mengenai tengkuk si bandit. Membuatnya tidak sadarkan diri.

Kenangan itulah yang membuat hati si wanita yakin, Raden Trunajaya bisa mengalahkan musuh-musuhnya. Akan tetapi, hati kecilnya kembali menyangkal. Seolah mendapat firasat yang akan menjadi kenyataan. Bahwa malapetaka sebentar lagi akan datang.

*

Burung merpati terbang di atas hutan belantara. Di lehernya terdapat segulung surat dari daun lontar. Pada suatu tebing yang sudah diperkirakan. Seseorang menunggu merpati itu. Dia menarik busur panah sekuat tenaga. Anak panah dengan mata tajam mengkilat terkena sinar matahari. Dia menarik nafasnya dalam-dalam. Matanya menatap tajam. Tangannya melepaskan tarikan pada busur. Anak panah melesat. Membelah ruang udara. Lalu menancap tepat di dada si merpati.

Seperti daun yang gugur. Merpati itu jatuh perlahan ke tanah. Seekor anjing hitam memburunya sambil menggong-gong. Kemudian, anjing itu menyerahkan burung merpati tadi kepada tuannya. Dia meletakan merpati yang bersimbah darah itu di tanah. Segulung surat masih terkalung di lehernya. Si Pemanah mengambil surat itu. Anjingnya menjulurkan lidah sambil mengibaskan ekor. Dengan sikap tak acuh, si pemanah melemparkan bangkai merpati itu untuk dimakan si anjing.

Lalu dia membuka surat dan membacanya:

Untuk Raden Trunajaya,

Sembah bakti untuk penguasa Mataram saat ini, Raden Trunajaya yang berhasil merebutnya dari Amangkurat 1. Sahaya ingin melaporkan, Amangkurat 2 sudah melakukan perjanjian dengan Walanda. Dia menyerahkan seluruh daerah priangan sebagai imbalan untuk mendapatkan bala bantuan merebut kembali Mataram. Harap Raden Mempersiapkan diri dan berhati-hati.

Pulungsari

Si pemanah terkekeh. Lalu bergumam, “dasar bodoh, cinta memang membuat seseorang buta. Karena cinta, ada yang rela menjadi telik sandi[3] . Karena cemburu, ada yang rela mati bersama dan membunuh teman-temannya. Oh Pulungsari, kasihan dirimu. Raden Trunajayamu akan tumpas, dan kamu akan direnggut maut karena buah tangan si Suhar yang telah berkhianat kepada kami. Oh Pulungsari, saat dirimu sedang merayu Raden Mas Adipati, dia menukar informasi kalian ini dengan sebotol racun!”

[1] Celaka! Ini sebuah bencana. Ini sebuah kuwalat!

[2] Celaka! Kuwalat! Bencana! Ampun! Murid Kanjeng Sunan memang sangat sakti! Sekali berucap akan menjadi kenyataan.

[3] Mata-mata

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@darmalooooo : Iya, pas ngajuin kurasi jadi otomatis premium :(
Terkunci kk.
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Nyai Ronggeng Pulungsari
Galang Gelar Taqwa
Novel
Bronze
Dialektika Mei
Lukita Lova
Novel
Gold
Fields of Blood
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Sang Kiai
Khairul Azzam El Maliky
Novel
Gold
Dunia Sophie
Mizan Publishing
Novel
Sang Operator
Maya Suci Ramadhani
Novel
Bronze
Lost In Escape
rdsinta
Novel
Bronze
ISYARAT YANG TERJAWAB
Rizal Azmi
Cerpen
Bronze
Di Balik 1998
Khairul Azzam El Maliky
Novel
Akar Randu, Debu dan Kisah-Kisah Pilu
Ferry Herlambang
Novel
Gold
Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto
Mizan Publishing
Cerpen
ENCHANTED TO MEET YOU : NORMANDIA
Safinatun naja
Novel
Bronze
Kutukan Koin Sang Raja
Kreta Amura
Novel
Bronze
Perempuan Sehabis Gelombang
Panji Pratama
Novel
Si Penghutang Cinta dan Sang Pemilik Cinta
Moonitew
Rekomendasi
Cerpen
Nyai Ronggeng Pulungsari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Simulasi Mati
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tempat Kerja Papa
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Balada Tiga Hyang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Oh, Nani, Mastrubasi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa