Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Priyo melamun di pinggir jalan sambil menghisap sebatang rokok di atas motor koplingnya. Ia bingung, sangat bingung. Ke mana lagi ia akan mencari. Sudah hampir setahun ia mengarungi jalanan panjang dari desa hingga ke kota. Sedari bujang ia sudah hafal daerah kampung halamannya. Tidak satu pun tempat yang luput dari kunjungannya. Kota kecil itu sudah khatam ia jelajahi berhari – hari. Dengan uang sisa dari warisan ibunya ditambah hasil tabungannya jauh hari juga pemberian rutin dari bibinya, ia bisa berkeliling nyaris tanpa henti.
Priyo membuka galeri foto di handphonenya. Ia mengusap wajah manis yang terpampang di sana. Dahi Priyo mengernyit sedih. Ia merindukan wanita di foto itu. Sangat rindu hingga matanya berkaca – kaca. Nafasnya terasa berat dan terdengar hembusan angin berisi lendir dari hidungnya. Lalu tiba – tiba handphonenya berdering dengan tulisan nama seseorang yang “memanggil” di sana. Priyo mendadak berubah menjadi kesal dan mengangkat panggilan itu dengan kasar.
“Halo!”, bentak Priyo pada si pemanggil di seberang sana.
“Abang di mana? Masih lama pulangnya?”, terdengar kegelisahan dari suara seorang wanita.
“Tidak perlu menunggu aku. Kerjakan apa yang mau kau kerjakan”, bentak Priyo lagi.
“Aku sudah masak makanan kesukaanmu. Abang pulanglah cepat. Kita makan bersama”, bujuk si wanita.
“Aku bilang jangan tunggu aku. Aku masih lama pulang!”.
Priyo menutup telepon itu dengan kasar. Ia bahkan membanting handphonenya ke dalam saku celana. Priyo melampiaskan kesalnya dengan menghisap rokok dalam – dalam. Rambutnya ia jambak pelan sambil kepalanya digoyang - goyangkan. Lagi - lagi pusingnya menyerang. Stres yang tak kunjung hilang.
Di rumahnya, wanita itu pasti sedang mengomel sendiri. Atau bahkan sedang menangis karena dibentak. Belum lagi juga ditolak, dan penolakan yang wanita itu alami pasti membuatnya membenci diri sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, Priyo sudah muak dengannya. Wanita yang sudah habis masa berlakunya. Priyo jujur pada dirinya sendiri kalau ia sudah tidak butuh wanita itu lagi. Namun, sebelum Nuraini berhasil ia temukan, wanita yang kini merasa aman karena menetap di rumah peninggalan ibu Priyo itu masih ia izinkan untuk berdekatan dengannya demi menjaga kewarasan.
“Kamu masih mencari Nuraini? Mau sampai kapan!”, pekik wanita itu suatu kali.
“Itu urusanku Desira. Jangan kau berani ikut campur!”, suara Priyo menggelegar di seisi rumah.
Lalu Desira pun mulai menangis, memainkan drama sebagai wanita yang tersakiti karena kekasihnya masih mencintai wanita lain dari masa lalu.
“Aku sudah berusaha, Bang. Aku selalu mencoba menjadi istri yang baik. Aku lakukan semua yang kamu suka, semua yang kamu perintahkan. Tapi mengapa kamu masih teringat pada perempuan itu?”, rengekan Desira terdengar sangat pilu.
Namun, Priyo justru mual mendengar rengekan wanita itu. Betapa menjijikkannya seonggok tubuh di hadapannya. Percaya diri sekali wanita itu menganggap dirinya sudah melakukan semua yang pernah Nuraini persembahkan untuknya. Tidak ada wanita sebaik dan sesuci Nuraini. Priyo tahu itu dengan pasti. Desira hanyalah setangkai bunga berbau busuk yang melekat padanya seperti parasit.
“Apa memangnya yang sudah kau lakukan?”, tantang Priyo. “Kau yang merawat ibuku sewaktu sakit? Kaukah yang membantuku saat keuanganku menurun? Atau kau pernah membantu melunasi hutang – hutangku? Kau bahkan tidak bisa membaca situasi hingga selalu memantik amarahku. Kau itu cuma parasit yang menghabiskan uangku!”
Bentakan Priyo membuat wanita itu tersentak. Desira tentu tidak terima disebut sebagai parasit yang telah menghabiskan uang lelaki di hadapannya. Lelaki yang telah ditemaninya selama hampir dua tahun lamanya.
“Tega sekali kamu mengatai aku seperti itu! Sadar kamu, Bang. Aku ini wanita yang sangat kau cintai!”.
“Cih!”, ludah Priyo ke lantai. Matanya terlihat sangat jijik pada wanita itu. Berani – beraninya dia memproklamirkan diri sebagai wanita tercintanya. Priyo geleng – geleng kepala dengan gusar menyesali perbuatannya. Dosa masa lalunya masih terus menghinggapi. Parahnya lagi, dosa itu berupa wanita yang sangat ia benci.
Priyo kembali menghisap rokok dalam - dalam dan menghembuskan asapnya hingga terbatuk – batuk. Lelaki itu menyemburkan ludah dengan kasar. Ia menyeka sisa liurnya dengan tangan kosong. Lalu lalang kendaraan membuat matanya fokus ke arah seberang. Dalam hati dan pikirannya, ia terus berdoa agar bisa melihat sosok Nuraini yang sangat ia cintai. Meski pun kecil kemungkinannya Nuraini akan muncul tiba – tiba dan menyapanya. Namun, Priyo tidak pernah berhenti berharap. Ia sudah rindu pelukan kekasihnya. Belaian lembut jemari Nuraini di rambutnya. Dan tentunya masakan enak yang selalu Nuraini buat untuk menyambut Priyo selepas pulang bekerja.
Namun kini, Priyo hanya bisa gigit jari. Wanita yang berdiam di rumah peninggalan ibunya sama sekali tidak berguna. Masak tidak bisa, bahkan mengatur uang belanja pun selalu kurang teliti. Sedangkan Nuraini, bukan hanya memasak dan mengatur uang belanja. Mencari uang hingga memenuhi kebutuhan rumah pun Nuraini sanggupi tanpa mengeluh. Ibunya benar, Priyo sudah melakukan hal bodoh dengan menyia-nyiakan Nuraini. Tidak ada wanita tulus sepertinya dan tidak ada satu pun wanita lain yang bisa menggantikan Nuraini. Bayangkan, karena Desira tidak bisa memasak makanan enak, Priyo akhirnya lebih sering numpang makan di rumah bibinya. Untung saja sang bibi sangat menyayangi keponakannya yang banyak masalah itu.
“Sudahlah, Priyo. Lupakanlah Nuraini. Menikahlah lagi. Kali ini secara resmi. Wanitamu pun sudah tersedia di depan mata. Kasihan dia hanya dijadikan istri siri.”
Priyo mengunyah nasi bercampur tempe goreng dan sayur lodeh dengan lahap. Ia tidak setuju dengan bibinya namun enggan membantah.
“Nuraini masih yang terbaik, Bi. Sayang kalau dilepaskan.”
“Tapi kamu mau cari ke mana? Kalian kan sudah bercerai. Dia mungkin sudah menikah lagi di tempat lain.”
“Perceraiannya tidak sah, Bi. Aku tidak pernah menyetujui perceraian itu. Nuraini masih istriku.”
Bibinya hanya bisa mencibir tanda tidak setuju dengan keponakannya itu. Sedangkan Priyo melanjutkan kunyahan sambil terus berpikir ke mana ia akan mencari Nuraini. Perkataan bibinya tadi, tentang Nuraini yang mungkin saja telah menikah lagi tidaklah mungkin terjadi. Priyo sangat mengenal Nuraini. Tidak mungkin istrinya itu berani menjalin hubungan dengan lelaki lain. Seumur hidupnya, Nuraini hanya mencintai Priyo dan sabar menunggu Priyo kembali. Jadi, mana mungkin Nuraini mencari pelukan lelaki selain dirinya.
“Aku tahu Abang sedang bosan. Tapi jangan tinggalkan aku, Bang. Aku selalu menunggumu di sini. Sampai waktunya Abang siap membangun cinta kita kembali.”
Sungguh ucapan yang sangat memilukan dari seorang Nuraini. Saat itu, tidak ada yang bisa ia lakukan selain memasrahkan diri sembari berdoa agar suaminya cepat kembali kepada dirinya demi membangun kembali keutuhan rumah tangga. Namun, Priyo diam – diam mencibir dalam hati. Sesuatu yang ia sangat sesali di masa kini. Karena Nuraini akhirnya pergi akibat ketulusannya diremehkan selama berbulan - bulan.
Padahal, Nuraini dengan ikhlas dan sepenuh hati merawat mertuanya yang menderita stroke. Mulai dari memandikan, memasakan makanan, hingga membantu membersihkan kotoran. Sedangkan Priyo pergi berhari – hari untuk berpacaran dengan Desira yang dulu dianggapnya bagaikan dewi. Nuraini yang tahu sepak terjang suaminya hanya mampu diam dan enggan protes. Ia berusaha menenangkan diri dengan mencari pahala lewat jalan ikhlas merawat sang mertua tunggal. Selain itu, Nuraini berusaha memahami keadaan dirinya yang tak kunjung mengandung membuat Priyo gusar hingga mencari pelampiasan pada wanita lain. Priyo bahkan terang - terangan ingin menghamili wanita lain itu karena baginya Nuraini yang sudah dinikahinya selama sepuluh tahun hanyalah wanita mandul.
Ingatan Priyo tentang perlakuan buruknya terhadap Nuraini semakin menyiksanya setiap hari. Penyesalan memanglah selalu datang belakangan. Setelah berbulan – bulan ia menikmati masa – masa indah dan legit bersama Desira, kemudian setahun lamanya Priyo harus menanggung kepedihan kehilangan Nuraini. Istrinya itu pergi tanpa pamit dan peringatan. Padahal, Priyo baru saja hendak memperbaiki diri. Ia terima karma buruk yang harus dialaminya. Dan baginya sudah impas kesedihan Nuraini dengan balasan kemalangan yang menimpa dirinya saat ini.
Tujuan akhir untuk menutup hari telah ditentukan Priyo. Lelaki itu mengambil hisapan kecil dari rokoknya yang hampir habis, lalu mencampakkan benda favoritnya itu ke aspal. Lelaki itu mengenakan jaket andalannya lalu bergegas memacu motornya ke kediaman Uwa Malik. Meski berkali – kali diusir, Priyo tidak akan menyerah. Selama apa pun Uwa Malik dan keluarga besar Nuraini berusaha menyembunyikan istrinya itu, Priyo yakin ia akan menemukan Nuraini. Bahkan istrinya itulah yang nanti akan kembali menemuinya. Saat ini, Priyo yakin Nuraini hanya sedang menenangkan diri.
Priyo mengerti sakit hati Nuraini. Dan karma buruk dari perilaku biadab Priyo memang harus mendapat balasan setimpal. Nanti Nuraini akan gembira ketika mengetahui Priyo akan membuang Desira. Toh, wanita itu tidak ada gunanya. Berbulan – bulan Priyo memanjat tubuhnya tanpa pengaman, tetap saja Desira tidak kunjung hamil. Bahkan saat Nuraini menghilang, Priyo setiap malam menjadikan Desira sebagai pelampiasan. Namun, Desira tidak juga menunjukkan gejala telah terjadi pembuahan. Malang nasib Priyo berada di pelukan dua wanita mandul. Namun, setidaknya Nuraini bisa dicintai karena ketulusan hatinya yang bukan main. Sedangkan Desira, benar – benar tidak ada gunanya. Kepuasan batin yang didapat Priyo di masa lalu tidak ada rasanya sama sekali setahun terakhir.
“Bang, jangan merendahkan wanita. Hamil dan tidak hamil itu urusan Allah, bukan kita”, nasehat Nuraini pada Priyo memasuki sepuluh tahun pernikahan.
“Abang tahu, Nur. Tapi kenapa harus kita yang tidak bisa punya keturunan? Terus terang Abang sulit menerima. Mungkin rahimmu memang bermasalah berat. Entah apa gunanya rahim itu.”
Nuraini termenung, jujur ia tersinggung. Namun, ia mencoba memahami kemarahan suaminya yang tidak mau menerima takdir.
“Bang, rahim itu sama seperti anggota tubuh yang lain. Semua orang punya mata, namun banyak yang tidak bisa melihat. Semua orang punya telinga, namun banyak yang tidak bisa mendengar. Semua orang punya mulut, tapi banyak yang tidak bisa bicara. Begitu juga rahim. Hampir semua wanita punya rahim, namun banyak yang tidak bisa mengandung. Itu semua ketetapan Allah, Bang. Di luar kuasa kita.”
“Tapi ibu pasti ingin cucu. Aku ini anak tunggal, Nur. Kalau tidak ada anak, sial sekali hidupku dan ibu tidak ada penerus keturunan.”
Nuraini menghela napas dalam - dalam dengan sangat pelan. Sewajarnya, Nuraini semakin sakit hati karena perkataan Priyo yang sangat menyinggung. Seolah – olah kesalahan dirinya jika tidak bisa mengandung. Padahal sangat mungkin Priyo yang bermasalah. Namun, Nuraini mengunci mulutnya rapat – rapat dari menyentil andil penting suaminya dalam proses terjadinya kehamilan.
“Yang tidak punya keturunan lanjutan bukan hanya kita, Bang. Sangat banyak yang mengalami apa yang kita rasakan. Tapi, itulah bentuk ikhlas dengan ketetapan Tuhan. Coba Abang pikirkan, kalau semua wanita diberikan izin mengandung, siapa yang akan peduli merawat anak – anak terlantar? Belum lagi bumi kita ini pasti sudah penuh sesak dengan manusia yang lahir tidak terkendali. Ujung – ujungnya malah merusak alam dan tatanan kehidupan. Sumber daya semakin cepat habis. Bencana malah bisa makin banyak nanti, Bang.”
Nuraini berusaha membuat sejuk suasana. Namun, Priyo malah terlihat tidak suka. Gelengan kepalanya menandakan ketidaksetujuan yang pekat.
“Aku tahu itu takdir. Tapi aku tidak bisa terima, Nur. Aku yakin aku mampu menghamili wanita lain.”
Sambil menahan tangis, Nuraini menjawab Priyo tegas. “Pikirkan siapa yang merawat ibu kalau kita punya anak cepat, Bang. Nanti aku pasti kewalahan. Coba Abang sediakan perawat dan pembantu, supaya aku bisa cepat hamil.”
Dengan mengejek Priyo membalas, “Tidak perlu, Nur. Kamu merawat ibu saja. Biarkan wanita lain yang mengandung. Tugasmu sudah ringan bukan?”.
Ucapan Priyo yang sangat kurang ajar itu adalah awal penderitaan berat Nuraini. Ia berlaku sangat baik sebagai istri dan sebagai menantu. Ia bahkan berjasa merawat mertuanya yang sakit lama. Duka Nuraini ia simpan sendiri. Berhari – hari Nuraini memergoki pesan mesra antara sang suami dan wanita lain yang berniat Priyo hamili. Remuk redam rasanya tulang – tulang penopang tubuh Nuraini. Sakit sekali hatinya. Namun, Nuraini terus bertahan karena mertuanya yang membutuhkan bantuannya. Selain itu, masih terus ada harapan yang digenggamnya, bahwa suaminya cepat atau lambat akan kembali memperbaiki hubungan suci mereka. Karena tali pernikahan tidak boleh putus. Nuraini tidak mau merusak ibadah terlama yang telah dijalaninya selama bertahun – tahun. Nuraini pasti mampu bertahan.
Di awal pernikahan, Priyo juga pernah terpeleset menjalin kasih dengan wanita janda yang usianya lebih tua. Lalu menjelang dua tahun pernikahan, Priyo juga pernah ketahuan berpacaran dengan gadis pemilik warung nasi yang tidak jauh dari tempat Priyo bekerja. Semua itu sudah terlewati, lalu mengapa ujian kali ini membuat Nuraini menyerah? Priyo sangat yakin Nuraini akan mengampuninya kembali. Itulah yang selalu wanita itu lakukan.
“Mau berapa anak, Sayang? Aku pasti berikan apapun untukmu.”
Begitulah kata – kata manis wanita itu pada Priyo. Senyum ceria tersungging indah di wajah wanita itu. Make - upnya yang tipis menambah kecantikan si wanita kedua. Priyo tergila – gila dengan serunya perselingkuhan mereka. Tidak sabar rasanya lelaki itu menghamili Desira yang sangat menggoda. Berbulan – bulan sudah mereka menjalin hubungan. Uang belanja Nuraini dipotong setengahnya oleh lelaki itu untuk diberikan pada Desira. Lagi – lagi Nuraini diam. Tidak ada gunanya protes pada suaminya yang sedang mabuk wanita lain. Uang hasil dropshipping masih bisa menutupi kebutuhan Nuraini bersama mertuanya. Nuraini pasrah menjalani ujian perkawinan untuk kesekian kali.
“Pulanglah, Priyo. Nuraini tidak akan kembali. Keponakanku itu sudah bahagia sekarang. Ia bekerja di tempat lain dan tidak akan kembali ke sini.”
Suara berat Uwa Malik menghantam ingatan Priyo yang suatu kali datang ke rumah lelaki tua itu dan memaksa Uwa Malik memberitahu di mana keberadaan Nuraini.
“Lebih baik kau nikahi secara resmi istri barumu daripada kau sibuk mencari Nuraini yang sudah bukan istrimu lagi”, tegas Uwa Malik dengan wajah dingin.
“Nuraini masih istri saya, Wa. Saya tidak setuju dengan perceraian ini. Saya ditipu dengan muslihat jahat yang memisahkan saya dan istri saya.”
Uwa Malik memancarkan aura kebencian yang kuat terhadap Priyo, yang kemudian ditenangkan sang istri dengan menggenggam jemari lelaki tua itu lembut.
“Perceraian sudah terjadi Priyo. Pengadilan memutuskan dengan adil karena adanya bukti – bukti perselingkuhanmu berikut dengan uang nafkah yang tidak layak. Kau beruntung keponakanku pergi dengan damai dan tidak menuntut pembagian harta apapun.”
“Saya berjanji mengubah diri, Wa. Saya akan membuang Desira segera. Tidak ada yang penting bagi saya selain Nuraini. Saya menyesal telah menyia-nyiakannya.”
Penyesalan tiada guna. Uwa Malik tidak tergugah sama sekali dengan rengekan Priyo. Berkali-kali kunjungan paksa Priyo yang mencari Nuraini ditolak halus oleh istri Uwa Malik. Namun, niat dan tekad Priyo tidak juga surut. Ia terus memupuk harapan bahwa Nuraini akan kembali.
“Cari media sosial Nuraini. Harus dapat!”, bentak Priyo pada Desira.
Wanita itu merengut dengan mata penuh kebencian. Namun, lidahnya harus ia tahan agar tidak membuat Priyo murka seperti sebelum-sebelumnya. Perintah mencari Nuraini membuatnya seperti tidak punya harga diri. Dulu, Priyo tidak pernah berani membentaknya. Selalu pelukan, ciuman, dan pujian mesra yang lelaki itu berikan. Namun, semenjak Nuraini menghilang, entah mengapa hubungan cintanya dengan Priyo yang harusnya lancar jaya malah menjadi bencana. Nuraini seperti pembawa sial yang dampaknya masih terasa meski fisiknya sudah menghilang lama.
Desira berusaha menyembunyikan senyumnya setelah hampir satu jam berselancar di dunia maya dan tidak menemukan profil berfoto Nuraini sama sekali. Dengan berpura – pura prihatin, wanita itu memberitahu Priyo tentang kenihilan Nuraini di jagat maya.
“Tidak ada akun yang cocok dengan profil Nuraini, Bang. Mugkin dia tidak main sosial media.”
“Ckk.”
Priyo sangat gusar dengan kenyataan itu. Nuraini sedang berusaha menyembunyikan diri. Kerabatnya juga ikut membantu. Teman – teman istrinya juga turut mengunci pintu informasi. Semua orang memihak pada Nuraini, karena memang banyak yang tahu tentang perselingkuhan Priyo dan Desira. Namun, dulu Priyo tidak peduli apa anggapan orang – orang. Sejoli yang sedang kasmaran tentu tidak bisa dinasehati bukan? Bagi Priyo, dunia mendukungnya kecuali orang – orang terdekat Nuraini.
Kualat benar laki – laki itu. Kepada Tuhan ia berani melanggar ketentuan. Kepada Nuraini ia menancapkan pisau pengkhianatan hingga menjadi luka yang sangat dalam. Nuraini hanyalah yatim piatu yang harusnya ia lindungi dan bahagiakan. Namun, sebaliknya Priyo malah menduakan hingga melakukan penghinaan yang membuat Nuraini mati rasa. Bayangkan saja, Nuraini yang tadinya memilih diam ternyata bisa mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhan dan kezaliman suaminya yang selama ini merasa aman dengan maaf yang selalu Nuraini berikan.
Priyo mengerti dengan langkah yang diambil Nuraini. Satu – satunya penghalang sang istri tidak jua menuntut cerai adalah rasa ibanya pada sang ibunda. Hingga ketika ibunda Priyo menghadap sang pencipta, kesabaran Nuraini pun mulai menguap. Priyo menyadari itu. Dan penyesalan terdalamnya dimulai saat hari pemakaman ibundanya.
Priyo sibuk meratapi kepergian sang ibu. Nuraini juga menangis, ia bahkan memandikan jenazah sang mertua bersama suaminya. Lalu, Desira yang tak tahu malu juga ikut hadir dengan tangisan kerasnya. Selama prosesi pemakaman hingga acara doa bersama, Nuraini dengan lembut tanpa sepatah kata berusaha menenangkan Priyo melalui usapan jemarinya di lengan, bahu, dan pipi lelaki itu. Namun, Priyo merasa risih. Terlebih Desira terus mengawasi pergerakan Nuraini yang memepet lelakinya itu.
Hingga malam hari setelah acara pembacaan doa, Priyo dan Nuraini masuk kamar diiringi tatapan Desira dari ruang keluarga yang dipersilakan menginap bersama kerabat Priyo. Lelaki itu mendorong Nuraini dengan kesal sambil menahan tinjunya yang telah mengepal.
“Ibuku meninggal tapi kau hanya diam tidak mengatakan apa – apa. Tidak punyakah kau hati nurani untuk memberikan semangat padaku? Mana bentuk keprihatinanmu? Mana ucapan dukamu? Aku tidak menyangka kau ternyata wanita tidak punya hati. Padahal selama ini kaulah yang menjaga ibu. Tapi kau bahkan tidak terlihat bersedih. Menjauhlah dariku. Aku jijik didekati wanita sepertimu.”
Nuraini lagi – lagi hanya diam. Matanya yang sayu dan letih menatap kosong pada sang suami. Napasnya lembut dan tidak ada emosi negatif sama sekali. Priyo sampai heran dibuatnya. Nuraini bersikap tenang sekali. Seolah sedang tidak terjadi serangan apapun dari sang suami.
“Aku minta maaf kalau sikapku membuatmu tidak berkenan”, ucap Nuraini pada akhirnya. “Tapi percayalah, aku sangat sedih, Bang. Aku pikir ucapan agar kamu bersabar tidaklah penting, karena Abang pasti telah bersabar dengan kepergian ibu.”
Priyo memandang remeh pada Nuraini sejenak lalu berbalik menuju tempat tidur sambil menanggalkan pakaian. Nuraini mengawasi suaminya yang dengan cepat terlelap dan mendengkur. Karena kasur penuh dengan tubuh suaminya yang tidur dengan posisi tidak teratur, Nuraini lalu mengambil tikar dan tidur di lantai. Tanpa mengeluh ia berdoa lalu melepas kerudungnya dan tidur dengan tenang meski pipinya dialiri air mata kedukaan. Nuraini senantiasa menyerahkan diri dalam penjagaan Tuhan.
Lalu hari – hari berikutnya, Desira tanpa ada empati sering berkunjung ke kediaman Nuraini. Wanita itu terang – terangan menjumpai Priyo yang menyambutnya dengan hangat. Nuraini pun tetap diam, bahkan setelah Priyo dengan pongahnya memberitahu kalau ia akan menikah siri. Selama proses pernikahan dan bulan madu suaminya itulah, Nuraini tanpa pamit undur diri dari penikahannya bersama Priyo. Ia dibantu kerabatnya memasukkan berkas perceraian agar terbebas dari kezaliman. Dan bum, Priyo terkejut bukan main dengan menghilangnya Nuraini serta hantaran surat resmi perceraian mereka.
Hingga setahun kemudian, Priyo tidak pernah sama sekali bisa menemui Nuraini. Mengamuk pun ia tidak ada yang peduli. Kerabat Nuraini bersatu melawannya. Masih untung ia tidak dilaporkan ke pihak berwenang hingga dipenjara. Karena Nuraini yang selama ini terlihat pasrah, punya banyak bukti perzinahan si mantan suami dengan wanita tidak tahu diri.
Hampir saja Priyo melupakan tujuan akhirnya. Ia berhenti tepat di depan pagar rumah Uwa Malik. Dengan menguatkan diri, lelaki itu membuka pagar dan masuk sambil mengucapkan salam. Anak bungsu Uwa Malik yang lahir dari kehamilan tidak direncanakan sedang duduk membaca buku pelajaran di kursi teras, bergegas masuk memanggil ayahnya. Tidak lama kemudian, Uwa Malik dan istrinya muncul dari dalam rumah dan menemui Priyo yang berdiri tenang di teras.
“Nak, aku sudah lelah menyampaikan padamu untuk melupakan Nuraini. Mengertilah kali ini.”
Uwa Malik terlihat lebih lembut menyambut Priyo meski lelaki itu tetap tidak diizinkan masuk. Priyo dengan tegas menyampaikan niatnya dan pertaubatan yang telah dijalaninya selama ini.
“Saya benar – benar sudah bertaubat, Uwa. Saya berjanji atas nama Tuhan akan menjaga Nuraini. Pulang dari sini Desira akan saya ceraikan dan pulangkan. Hanya Nuraini yang saya cintai dan sekuat tenaga akan saya bahagiakan. Tolonglah, Uwa, satukan kembali saya dan Nuraini. Pertemukan saya dengan istri saya.”
Uwa Malik dan istrinya saling berpandangan. Istri Uwa Malik melepaskan tangannya yang sejak tadi menggandeng mesra suaminya lalu berbalik masuk ke dalam rumah. Priyo dengan senyum pasrah mencoba bersikap tenang meski hatinya bertanya – tanya mengapa istri Uwa Malik meninggalkan mereka berdua saja. Tidak biasanya wanita tua itu membiarkan suaminya berbincang berdua saja dengan Priyo, karena ketegangan diantara kedua lelaki itu bisa meledak tiba – tiba.
“Priyo, tolonglah dengarkan Uwa dengan seksama. Move on lah. Hidupmu terus berjalan. Kau dan Nuraini sudah punya jalan sendiri – sendiri.”
Priyo hendak membantah Uwa Malik dengan gelengan kepala dan kata – kata yang sangat hati – hati sedang ia pikirkan. Namun, pikirannya buyar saat istri Uwa Malik muncul dengan segepok album foto yang diberikannya pada Priyo. Sejenak membuka lembaran demi lembaran album foto itu menarik Priyo sedikit demi sedikit pada kehilangan kesadaran.
“Nak, Nuraini sudah menikah dengan orang seberang. Dia sudah bahagia. Saat ini, Nuraini sedang mengandung anak pertama.”