Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu. Jarum jam dinding menunjuk ke angka delapan lewat lima belas menit.
Rumah sederhana itu di huni oleh kakak beradik. Yunia, sang kakak tengah rebahan di kasurnya sembari membaca majalah. Sementara, Romi, sang adik tengah duduk santai di ruang tamu sembari bermain game online di gawainya.
Entah mengapa malam ini terasa berbeda sekali dari malam-malam biasanya. Hening dan tenang.
"Ayo ! Ayo ! Ayo !" Romi sangat bersemangat memainkan game tersebut.
Tok !!
Tok !!
Tok !!
Lagi asyik nge-game tiba-tiba ada yang ketuk pintu utama rumahnya.
"Siapa, ya ?" pikir Romi, menoleh sekilas ke arah pintu.
Pintu masih terus diketuk. Meski, dengan tempo santai.
"Iya. Sebentar," seru Romi dari dalam. Kemudian mematikan gawainya dan dia letakan di meja ruang tamu.
Cepat-cepat Romi menuju pintu utama. Lantas dia membuka pintu tersebut.
"Assalamu'alaikum, Mas Romi," ucap seorang wanita tua dengan suara lembut.
Wanita tua itu mengenakan gamis dan jilbab serba putih.
"Wa'alaikumsalam," balas Romi seraya melempar senyum.
"Apa kabar, Mas Romi ?" Wanita tua itu menanyakan kabar.
"Baik, Bu."
"Saya baru liat Mas Romi sekarang ?"
"Iya, Bu. Saya baru nyampe rumah tadi siang."
"Owalah. Pantes."
"Iya. Capek. Dari siang sampe malem di rumah aja. Istirahat. Belum keluar-keluar rumah.
"Oh. Iya. Iya," wanita tua itu manggut-manggut.
"Masih inget saya ndak, Mas Romi ?" tanyanya, beberapa detik kemudian.
Romi terdiam. Mencoba mengingat-ingat. Tetapi, sayangnya dia gagal mengingat.
"Maaf, ibu siapa, ya ?" tanya Romi, tak mau bertele-tele.
"Saya Bu Lela. Sahabat almarhum bapak dan almarhumah ibu kamu. Rumah saya ndak jauh dari sini, dekat warung Bu Nining," jawabnya sembari menjelaskan.
Romi memerhatikan baik-baik wajah si ibu.
"Masa dah lupa sama saya, Mas," ucap Bu Lela tertawa kecil sambil menepuk bahu Romi.
"Saya beneran lupa loh, Bu. Hehe."
"Mas nya kelamaan di Kalimantan, sih. Jarang sekali pulang. Kasihan tuh Mbak Yunia sendirian di rumah. Kesepian. Ndak ada temennya. Ndak ada yang bantuin. Kalo mau ke pasar mesti sendiri naik sepeda," papar Bu Lela, seolah tahu semua tentang keluarga itu.
"Saya, kan ke Kalimantan untuk kerja, Bu. Terus ndak bisa pulang sesuka hati. Lagian Mbak Yunia ndak pernah protes kalo adiknya ini jarang pulang ke kampung halamannya. Justru Mbak Yunia mendukung saya merantau ke luar pulau." Romi mencoba memberikan pemahaman pada Bu Lela.
"Aslinya ndak gitu, Mas. Mbak mu itu sebenarnya rindu sekali sama kamu. Tapi, ndak mau ungkapin." Bu Lela menyanggah.
Romi terdiam lagi. "Mbak Yunia pasti sering curhat nih sama ibu ini," benaknya menerka demikian.
"Saya tahu bagaimana perasaan Mbak Yunia, Mas. Soalnya saya ngalamin juga. Anak-anak saya pada kerja kantoran di Jakarta. Lalu mereka menikah dan memutuskan menetap di kota. Saya amat sangat kesepian. Dan menahan rindu kepada mereka setiap hari," cerita Bu Lela. Wajah pucatnya semakin pucat.
"Iya, Bu," jawab Romi. Bingung mau berkata-kata.
"Sayangi mbakmu. Kasih perhatian juga padanya. Jangan sampai bernasib sama seperti saya." Bu Lela meluncurkan petuah singkat. Namun, ngena di hati.
Tatapan dan senyuman Bu Lela membuat Romi merinding.
Hening beberapa detik.
"Oh, ya, Mas, saya mau numpang buang air kecil," kata Bu Lela, setelahnya.
"Boleh. Boleh. Silakan, Bu," tanpa pikir panjang Romi memberi izin si ibu.
"Kamar mandi saya abis di keramik lantainya. Jadi, masih basah. Besok baru bisa di pakai, Mas." Bu Lela memberitahukan alasannya.
"Oh, begitu. Ya udah ibu ke kamar mandi aja. Ndak papa."
"Maaf, ya, mas ngerepotin."
"Ndak, kok, Bu."
"Permisi, Mas." Bu Lela berjalan santun menuju kamar mandi yang letaknya paling belakang.
"Kayak ndak asing sama ibu itu. Tapi, kok mendadak lupa gini, ya." Romi masih dengan kebingungannya.
"Ah, bodo lah," katanya, kemudian.
Romi lalu duduk lagi di sofa. Mengecek gawainya. Ada chat masuk dari rekan kerjanya.
Dua menit kemudian.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat.
Kriet…
Yunia keluar dari kamarnya yang berada di dekat ruang tengah. Demikian kamar sang adik.
Wanita berambut panjang itu melaju menghampiri adiknya di ruang tamu.
"Rom, pintu kenapa di buka lebar gitu ?" tanyanya.
"Udah jam segini. Mana di luar sepi banget. Tutup, gih," sambungnya, sekaligus menyuruh sang adik agar di tutup saja pintu utama rumah mereka.
"Nanti, Mbak. Orangnya belum selesai," jawab Romi sembari membalas chat rekan kerjanya.
"Hah ? Ada siapa ?" Yunia sedikit kaget.
"Tadi ada orang ke sini. Mau numpang pipis. Katanya lantai kamar mandinya belum boleh kena basah air." Romi memperjelas.
"Yaaahh. Padahal mbak mau ke kamar mandi loh. Mau pipis juga."
"Gantian."
"Masih lama ndak, sih ? Udah ndak tahan." Yunia mondar-mandir untuk menahan pipisnya.
"Pipis doang harusnya udah selesai, sih. Tunggu bentaran lagi aja."
Lima menit berlalu.
Namun, Bu Lela tak kunjung terlihat batang hidungnya.
"Udah lima menit, Rom. Masa pipis doang selama ini." Yunia mengeluhkannya.
"Iya juga ya, Mbak. Masa lama bener." Romi turut mengeluhkan hal yang sama.
"Udah keluar kali orangnya ?" pikir Yunia, ngawur.
"Ngaco kamu, Mbak. Kita dari tadi di ruang depan. Kalopun dia keluar pasti kita lihat. Akses keluar, kan lewat depan sini aja." Romi mencoba meluruskan.
Rumah mereka memang tidak ada pintu belakangnya.
"Lah, terus kenapa belum muncul-muncul orangnya ?" Yunia sedikit kesal. Di samping itu, dia masih berusaha menahan agar tidak pipis di celana. Kandung kemihnya sudah penuh.
"Mbak, perasaanku ndak enak, ya." Firasat tak enak Romi mendadak timbul.
"Kita cek. Ayo !" perintah Yunia pada sang adik.
Mereka berdua bersegera menyambangi kamar mandi.
Letak kamar mandi ada di paling belakang. Setelah dapur. Penerangan hanya mengandalkan lampu kuning.
Yunia sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. Sedangkan, Romi berdiri di belakang kakaknya.
Tampak hening. Tak ada suara guyuran air.
"Nuwun sewu, sudah selesai belum ya ? Saya juga mau ke kamar mandi. Sudah kebelet," ucap Yunia dengan nada sopan.
Tak ada sahutan.
"Buka aja pintunya," ide Romi.
Yunia mengangguk.
Ceklek !
Ternyata pintu kamar mandi tidak di kunci.
Perlahan tapi pasti Yunia mendorong pintu kamar mandi.
KOSONG.
"Ndak ada orang," kata Yunia usai memeriksa dalam bilik.
"Ah, masa, sih, Mbak ?" Romi ragu-ragu.
"Nih, liat aja sendiri." Yunia menyampingkan badannya.
Romi mulai melaju dan menengok langsung ke dalam bilik untuk memastikan.
Lelaki itu melongo dengan apa yang di saksikannya.
Selain kosong melompong, lantai kamar mandi terlihat kering sekering-keringnya. Menunjukkan bahwa kamar mandi kosong sedaritadi.
"Minggir ! Mbak mau pipis." Yunia menarik kuat kaos sang adik. Hingga, hampir terjungkal.
"Haish !" Romi memasang muka sebal.
Yunia bergegas masuk ke kamar mandi.
****
"Kamu halu atau gimana, sih ?" tanya Yunia, usai menuntaskan hajatnya.
Mereka berdua masih berdiri di depan kamar mandi.
"Sumpah, Mbak." Romi bersiteguh.
" Tadi tuh ada orang nyamperin rumah kita. Sempet ngobrol sebentar, sih aku sama si ibu. Terus si ibu numpang pengen buang air kecil," jelasnya lagi tanpa keraguan di hati.
"Tapi, mbak ndak denger suara ngobrol kalian." Yunia terheran-heran.
"Tamunya ibu-ibu ?" tanya Yunia, tak berapa lama.
"Iya. Beliau pake gamis sama kerudung serba putih," ujar Romi sesuai yang di lihatnya pertama kali berjumpa.
"Terus apa lagi ?"
"Beliau mengaku sahabat baik orang tua kita. Rumah beliau ndak jauh dari sini, dekat warung…siapa, ya ?" Romi berusaha mengingat.
Yunia dengan sabar menunggu. Adiknya dari dulu memang pelupa orangnya.
"Warung Bu Nining," sebutnya cepat.
Mendengar warung Bu Nining di sebut, tepat pada saat itu jua Yunia menganga sekaget-kagetnya.
"Bu Lela," ucap Yunia pelan, masih dengan keterkejutannya.
"Iya, Mbak. Bu Lela," balas Romi.
Yunia langsung berlari menuju ruang depan.
"Mbak, tunggu ? Ada apa, sih ?" Romi berlari mengejar sang kakak.
Yunia menutup dan mengunci pintu utama dengan tangan gemetaran. Tak lupa menutup kaca jendela dengan gorden.
"Ada apa, Mbak ?" Romi bertanya kembali.
"Kamu beneran lupa sama Bu Lela ?" Yunia balik bertanya.
Romi terdiam. Di tatapnya wajah sang kakak yang mendadak pucat.
"Memang ada apa dengan Bu Lela ? Kasih tau aku, Mbak ?" desak Romi. Rasa penasarannya membumbung tinggi.
Yunia mendekatkan wajahnya tepat ke salah satu telinga sang adik.
"Bu Lela udah meninggal tiga tahun lalu," ungkapnya dengan suara pelan dan gemetar.
"Hah !" Mengetahui kenyataan itu, Romi tentu saja syok bukan main.
"Bu Lela meninggal di rumahnya karena sesak napas. Anak-anaknya pada menetap di Jakarta. Jadi, beliau sendirian di rumahnya. Para tetangga baru mengevakuasi jasadnya ke rumah sakit di hari ketiga. Kita sebagai tetangganya curiga, selama tiga hari berturut-turut Bu Lela ndak pernah kelihatan. Makanya kita cek. Kita dobrak pintunya. Dan… Jasadnya udah terbujur kaku di tempat tidurnya," cerita Yunia. Dia masih ingat betul kronologinya.
Yunia tak kuasa menahan air mata. Karena waktu itu, dia ikut memandikan jenazah Bu Lela.
Kini, rasa takut itu berganti menjadi rasa iba. Sungguh memilukan akhir hayat Bu Lela.
Merasakan kesakitan seorang diri. Punya anak seperti tidak punya anak.
Mengetahui Bu Lela meninggal dunia, anak-anaknya Bu Lela tampak terpukul. Mereka berempat memancarkan kesedihan yang mendalam.
Keempat pria itu telah menyia-nyiakan ibu yang sudah susah payah membesarkan mereka. Serta berkorban banyak demi kesuksesan anak-anaknya.
"Astaghfirullah. Aku ingat sekarang, Mbak," kata Romi setelah merenung agak lama.
"Waktu meninggalnya Bu Lela, aku masih di Kalimantan. Mbak yang ngabarin ke aku lewat telpon. Tapi, aku ndak pulang. Ndak ngelayat. Ndak ikut tahlilan beliau juga. Padahal beliau baik banget sama keluarga kita ya, Mbak." Ada rasa sesal di diri Romi. Karena tak pernah menyempatkan waktu untuk pulang ke kampung halamannya.
Romi lebih memprioritaskan pekerjaan. Tujuannya untuk mengubah nasib. Menuju masa depan yang lebih baik.
Yunia mengusap air mata di pipi.
"Mbak, kayaknya Bu Lela datengin aku buat nasehatin aku."
"Maksudnya ?" Yunia bingung.
"Selama tiga tahun ini aku lebih mentingin karir aku. Aku ndak sedikitpun ingat mbak di kampung. Betapa kesepiannya mbak. Bu Lela negur aku supaya aku lebih peduli lagi ke mbak."
Pikir Romi, kakaknya tidak akan kelaparan dan kekurangan uang.
Mengingat, Romi tiap bulan menyisihkan sebagian gajinya untuk dia transfer ke rekening kakaknya.
"Udah ndak papa," respon Yunia. Tak mau jadi beban pikiran.
Tiba-tiba Romi menangis seperti bocah. Dia tidak bisa menahan kesedihan yang sudah memenuhi hatinya.
"Maafin aku, ya, Mbak."
"Wes. Rapopo, Rom." Yunia mendekap sang adik dan mengusap punggungnya.
"Setelah masa kontrakku habis di Kalimantan. Aku janji ndak akan merantau jauh-jauh lagi. Aku janji akan jagain mbak. Temenin mbak. Aku bisa cari kerjaan baru di Semarang. Yang bisa pulang pergi," ungkapnya di iringi isak tangis.
Romi menyadari betapa dia terlalu egois. Sejatinya uang belum tentu bisa mendatangkan kebahagiaan.
Teguran jin qorin Bu Lela merupakan tamparan keras bagi Romi.
****
Esoknya, Yunia dan Romi menuju TPU. Ziarah ke makam orang tua mereka sekaligus ke makam Bu Lela.
"Anak-anaknya Bu Lela mbak rasa cuma sedih di awal aja. Udahannya ya udah. Mereka balik lagi ke Jakarta. Beraktifitas kayak biasanya," ungkap Yunia sembari menaburkan kembang di atas makam Bu Lela.
"Apalagi setelah pembagian warisan selesai. Udah ndak pernah mereka pulang ke Semarang. Kasihan makam Bu Lela ndak pernah di tengokin," lanjutnya.
"Aku ndak mau Mbak Yunia berakhir seperti Bu Lela," kata Romi seraya membersihkan nisan Bu Lela dengan air.
"Ngomong opo koe ?! Mbak mu masih hidup. Masih sehat gini. Lagian mbak belum mau mati," kesal Yunia. Wajahnya merengut.
"Bercanda, Mbak. Hehe." Romi malah terkekeh.
"Mbak adalah mbak terbaik yang aku punya. Aku sayang mbak," ungkapnya tulus.
"Mbak juga sayang adik mbak." Yunia tersenyum. Berhenti merengut.
****