Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Buku Tanpa Judul
Andra mengusap debu dari punggung buku itu, napasnya terasa berat, bercampur dengan aroma apek dan memori yang menyesakkan. Rumah mendiang pamannya, sebuah labirin kenangan dan tumpukan barang yang tak terhitung, kini menjadi miliknya—atau lebih tepatnya, beban yang harus ia bereskan. Sebagai seorang guru sastra SMA, Andra memiliki kecintaan pada buku, tapi tumpukan di hadapannya ini terasa lebih seperti kuburan daripada perpustakaan. Debu tebal menyelimuti setiap sudut, menghadirkan aroma masa lalu yang lembap dan terperangkap. Setiap kali ia menyentuh sebuah kotak atau tumpukan majalah, jejak laba-laba dan serangga kecil akan berhamburan, seolah-olah Andra mengganggu kedamaian yang sudah lama terjalin.
Di antara tumpukan arsip lama dan majalah usang, tersembunyi sebuah objek yang aneh. Itu bukan buku dalam arti konvensional, melainkan sebuah naskah yang dijilid rapi, seolah-olah siap untuk dicetak namun tidak pernah jadi. Tanpa judul, tanpa nama penulis. Sampulnya polos, berwarna cokelat kusam, dengan sedikit noda yang Andra tak bisa pastikan asalnya—apakah itu noda air, atau sesuatu yang lebih gelap, seperti bercak darah kering yang sudah memudar? Ia mengangkatnya, merasakan bobot yang tak biasa untuk buku setebal itu, seolah-olah ada sesuatu yang padat di dalamnya.
Ia membalik halaman pertama dengan hati-hati. Kertasnya menguning, rapuh di bagian tepinya, namun teks di dalamnya diketik dengan rapi, menggunakan mesin tik kuno. Font-nya klasik, serif, namun ada sesuatu yang tidak biasa pada spasi dan margin, seolah-olah penulisnya ingin memastikan setiap kata menempati tempatnya dengan presisi yang aneh. Di bagian paling atas, dengan huruf kapital yang terasa seperti desisan angin dingin, seperti napas yang berembus di telinganya, tertulis:
“JANGAN BACA SAMPAI HABIS.”
Alis Andra terangkat. Sebuah peringatan? Atau sekadar gaya penulisan yang unik untuk menarik perhatian? Rasa ingin tahunya tergelitik. Sebagai seorang pengajar sastra, ia terbiasa dengan novel-novel yang bermain dengan pembacanya, yang mencoba memecahkan "dinding keempat", tapi ini terasa berbeda. Ada nuansa yang lebih suram, lebih personal, seperti bisikan ancaman yang samar. Ia mengabaikan peringatan itu, menganggapnya sebagai bagian dari narasi yang akan ia nikmati. Mungkin ini semacam horor metafiksi, pikirnya, sebuah metafora untuk obsesi pembaca. Ia memutuskan untuk membawanya pulang, jauh dari tumpukan barang-barang peninggalan yang memuakkan itu dan bayang-bayang pamannya yang masih terasa.
Malam itu, di apartemennya yang sunyi, di bawah temaram lampu baca, secangkir kopi hangat di sisinya, Andra membuka Bab Pertama dari novel tanpa judul itu. Udara t...