Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Chat Kosong dan Doa Tanpa Balasan
Pukul dua pagi.
Langit di luar jendela kamar kos Aksa tampak kelabu, meski tidak hujan. Lampu jalan menerobos tirai tipis seperti cahaya yang lelah, dan dari sudut ruangan kecil berukuran 3x3 meter itu, Aksa menatap layar ponselnya yang redup. Jemarinya masih menggenggam ponsel, meski tidak ada pesan baru. Tidak dari grup kelas. Tidak dari Rara. Dan tentu saja—tidak dari Tuhan.
Ia menggeser layar, membuka kembali chat yang sudah lama ia beri nama “Tuhan”.
Bukan karena iseng. Tapi karena Aksa butuh satu ruang, satu kontak, di mana ia bisa menuliskan segala yang tidak bisa ia ucapkan.
Tuhan, kalau Kau dengar... bisakah Kau balas kali ini?
Centang satu. Tak pernah berubah.
Ia tahu itu hanya nomor fiktif. Nomor kosong. Tapi bagi Aksa, menulis di sana terasa lebih jujur daripada berdoa dengan kata-kata lantang yang terdengar dibuat-buat. Ia merasa lebih dekat dengan sesuatu yang sunyi. Ia merasa… didengar, meski tak pernah dibalas.
Hening menyelimuti kamar. Hanya suara kipas angin yang berdetak pelan, seperti detak waktu yang berjalan lambat.
Aksa membenamkan wajahnya di bantal, tapi mata tetap terbuka. Bayangan-bayangan gelap berkelebat dalam benaknya: skripsi yang mande...