Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Bagaimana seandainya jodohmu memang dia?” tanyanya suatu ketika, tersenyum menggodaku.
Pagi itu cerah seperti biasa. Kami duduk di emperan toko paling ujung. Aku tidak tahu apakah toko itu milik penjual bubur ayam tempat kami makan atau tidak. Tapi melihat mamang penjual bubur mengambil tikar dari dalam toko dan menggelarnya di depan toko, sepertinya toko itu milik mereka atau setidaknya mereka menyewanya. Disebelahnya berderet klinik kecantikan, apotik dan tempat bimbel. Jika tidak banyak pembeli, (aku tidak bilang sepi karena, yah, tidak pernah sepi juga saat sarapan) kami bisa duduk di salah satu kursi yang disediakan. Sebenarnya bubur ayam adalah opsi yang kami pilih jika kedai langganan kami di tepi danau buatan itu tutup. Kalau kalian bertanya-tanya apa yang kami lakukan disana, kami jogging sekali seminggu di jogging track yang mengelilingi danau buatan itu. Nah, sebenarnya kedai itu buka, tapi, entahlah, kami lebih memilih bubur ayam untuk sarapan pagi itu. Yah, mungkin penjelasannya sesederhana, ‘hari ini rezekinya penjual bubur’.
Mamang penjual bubur meletakkan pesanan kami di tikar plastik yang sudah disediakan. Dua mangkuk bubur ayam biasa, satu tanpa kacang. Awalnya, kupikir dia tidak suka kacang kedelai. Ternyata, menurutnya kacang kedelai dan bubur ayam bukan perpaduan yang pas. Berbeda denganku yang, sejak awal perkenalanku dengan bubur ayam, menganggap kacang kedelai adalah bagian tak terpisahkan dari bubur itu sendiri. Hmm, pengalaman benar-benar membentuk cara pandang orang, bukan?
Mamang itu kembali lagi untuk meletakkan pelengkap bubur dan teh tawar hangat di depan kami. Aku mengeluh dalam hati karena lupa membawa minum. Padahal aku sudah mengingat-ingat itu sebelum berangkat. Ayahku selalu bilang teh tidak baik diminum saat makan. Tak apalah, sesekali. Lagipula temanku sudah membeli air mineral di warung seberang jalan.
“Ya, baguslah kalau begitu. Tapi aku tidak yakin ayahku senang. Baru kemarin ibuku bilang, ayahku khawatir aku menikah bukan dengan orang minang. Ibuku bilang, kalau, nauzubillah, terjadi perpisahan, anak-anak biasanya akan diambil pihak laki-laki.” Jawabku datar sambil melepas sepatu, lantas duduk bersila di tikar, mengahadap ke arahnya. Aku tahu, perempuan minang tidak pantas duduk seperti itu. Kami harus duduk dengan anggun, seperti bersimpuh atau melipat kaki ke belakang, jika duduk lesehan. Tapi nyatanya, selama tidak ada laki-laki di depanku, aku mengabaikan itu. Kenapa? Karena itu melelahkan dan aku sering kesemutan dengan posisi duduk itu. Lagipula, ayolah, ini bukan Sumatera Barat.
Melihat mimiknya, sepertinya itu bukan jawaban yang dia prediksi. Yah, entah kenapa aku tidak tersipu. Mungkin karena tidak ada harapan? Pada dasarnya, ketika aku menyukai seseorang, aku tidak mempermasalahkan asalnya, selama dia baik. Walaupun aku lebih mengutamakan orang yang paling sedikit perbedaannya denganku karena itu lebih sekufu. Selain itu, aku butuh orang yang memahami, atau setidaknya, tidak asing dengan adat minangkabau karena aku juga tidak terlalu memahami seluk-beluk adat itu sendiri. Jadi, walaupun aku menyukainya, dia bukan orang yang kucari.
Hal lain yang aku suka sebenarnya dari orang minang, mereka elegan, berwibawa. Yah, bagi yang mengikuti aturan. Dalam hal tertawa, contohnya, orang minang tidak tertawa terbahak-bahak. Aku tahu, itu hal remeh. Tapi bagiku, dan aku yakin, bagi orang-orang yang menjunjung tinggi etika, itu mengurangi wibawa seseorang, apalagi laki-laki. Bahkan, nabi pun tidak tertawa terbahak-bahak bukan? Aku yakin inilah salah satu alasan dibalik norma tidak tertulis itu. Tunggu, kurasa aturan-aturan seperti itu sudah ditulis, walaupun aku tidak tahu apa sudah dikodifikasi atau belum.
“Jadi, orangtuamu ingin kau menikah dengan orang minang, tapi bukan orang dari ... mana?” tanyanya. Aku menyebutkan salah satu daerah di Sumatera Barat. Dia mengangguk samar, complicated memang. Dia akan lebih terkejut kalau ternyata syarat itu ada lanjutannya, ‘kalau bisa’ orang ‘ini’, bukan orang ‘itu’. Kalau ‘orang minang’ adalah syarat yang diinginkan ayahku, maka lanjutannya ini adalah syarat yang diinginkan ibuku. Jujur, aku tidak ada masalah dengan orang ‘itu’ (‘itu’ dan ‘ini’ bukan menunjuk pada personal, kalau kau penasaran. Dan, menurutku lebih bijak kalau aku menyensornya) dan aku tidak yakin aku ingin menikah dengan orang ‘ini’. Aku punya alasan, tentu saja, tapi aku tidak akan membeberkannya disini. Ayah sendiri memiliki pendapat yang sama denganku.
Jika orang bilang, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, kurasa itu benar. Sehingga secara naluri, mereka cenderung memilih pasangan yang mirip dengannya. Bukan secara fisik, tentu saja, tetapi kemiripan kepribadian. Bisa dibilang, aku sudah menemukan orang yang mengingatkanku pada ayahku. Bahkan, sepanjang yang aku lihat, dia lebih baik dari ayahku. Ibuku juga sepertinya tidak keberatan. (Yah, aku sudah memberitahu ibuku, itupun karena ditanya ‘apa ada orang yang kau sukai?’. Aku belum memberitahu ayah. Tapi biasanya ibuku melaporkan hal-hal seperti itu pada ayah) Tapi, satu kemiripan mereka yang tidak aku suka adalah merokok. Aku tahu ayah tidak merokok di dekat kami, sebagaimana aku tahu beliau merokok di belakang kami. Dan aku tahu dia tidak merokok di kelas atau di dekat guru, (tidak, bukan di sekolah) sebagai penghormatan, mungkin, atau rasa malu? Tapi aku bisa berasumsi dia merokok di luar itu.
Baiklah, aku tahu, tidak ada orang yang sempurna. Bahkan, aku sendiri pun punya hal-hal yang mungkin juga tidak bisa dia terima. Tapi untuk satu hal itu, aku sangat tidak setuju. Sebenarnya, temanku pernah membujukku untuk sedikit berdamai dengan itu. Berdamai bukan berarti membolehkan. Berdamai mungkin seperti ibuku, yang (mungkin) lelah mengingatkan dan berakhir ‘membiarkan’ ayah merokok di belakang kami. Tapi, tetap saja itu berat. Bagaimana mungkin aku membiarkan orang yang kusayangi menghirup sesuatu yang menggerogoti kesehatannya? (Ah, sayang sekali aku tidak bisa mengatakan ini secara langsung) Belum lagi dampaknya, berapa banyak anak yang sakit karena orang tuanya merokok? Berapa banyak istri yang sakit karena pasangannya merokok? Berapa banyak pasangan yang tidak bisa punya keturunan karena merokok?
Jadi, sementara ini aku memutuskan untuk tidak melangkah lebih jauh. Aku tidak membencinya dan aku berharap dia tidak membenciku karena aku sering melakukan kampanye anti rokok di sosial media. Aku hanya tidak ingin, di masa depan, keluargaku harus mengalami hal-hal buruk karena rokok. Temanku bilang, yah, jujur, aku tidak ingat apa tepatnya, tapi intinya, setiap orang hanya butuh satu momen, satu peristiwa yang menjadi titik balik di hidupnya, termasuk soal rokok. Ada orang yang berhenti karena dia menjadi seorang ayah, ada yang berhenti karena melihat kisah orang lain. Temanku sendiri berhenti, (belum berhenti total, tapi kuharap sudah berhenti ketika dia membaca ini) ketika dia menemani anak didiknya yang remedial, kalau aku tidak salah ingat. Anak itu mengidap penyakit yang bahkan belum diketahui apa namanya (atau aku yang lupa?). Tapi dia selalu batuk-batuk dan memukul pelan dadanya berkali-kali. Ketika ditanya kenapa, ternyata ayahnya, yang notabene jarang ditemuinya, selalu merokok ketika mereka bertemu. Dan anak itu, walaupun tahu asap rokok berbahaya, selalu berada di sekitar sang ayah. Kau tahu kenapa?
“Saya kan, mau ngobrol dengan ayah, ustaz.” Jawabnya pelan sambil terus mengerjakan tugasnya. Temanku tertegun, hal yang sederhana, tapi bagi anak itu sangat berarti, bahkan jika harus mengorbankan kesehatannya. Temanku masih tergolong beruntung, sadar karena melihat pengalaman orang lain. Karena, menurutku, orang yang paling merugi adalah orang yang tidak mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain dan berakhir mengalami nasib buruk yang sama atau bahkan lebih buruk dari orang itu. Ah, kuharap suatu saat dia tidak terlambat menemukan titik balik itu.
Baiklah, kembali ke bahasan awal. Jadi, aku memutuskan untuk tidak melangkah lebih jauh. Seandainya diapun memutuskan begitu, lebih memilih orang lain misalnya, (sebentar, memangnya dia pernah memilihku?) maka tidak ada yang perlu disesali. Toh, kita hanya dua orang yang pernah bersekolah di tempat yang sama, lalu dipertemukan lagi di kampus yang sama. Nothing special. Tapi, kurasa ceritanya akan berbeda kalau dia yang memutuskan untuk melangkah, ralat, mendekat. Karena, ketika dia tahu aku tidak suka rokok, lalu dia memutuskan mendekat, aku akan menganggap dia siap dengan konsekuensinya dan aku akan sangat mengapresiasi itu.
Jujur, aku tidak ingat lagi sisa percakapan pagi itu. Yah, ingatanku memang menyedihkan. Aku hanya berharap, aku tidak menderita demensia di hari tua, seperti nenekku. Yang kuingat hanya, kami menghabiskan bubur itu, membayarnya, kemudian, seperti biasa, temanku mengantarku ke kosan dan kembali ke asramanya. The end.