Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bagian I – Jalan Raya Tanpa Suara
Begitu aku membuka mata, aku sudah berada di tengah jalan raya. Aku tidak ingat tempat seperti ini pernah ada dalam ingatanku, tapi tempat ini terasa akrab. Atau karena sesuatu mengatakan: "Kamu mengenal tempat ini."
Malam itu dunia seperti kehilangan suaranya. Jalan raya terbentang sunyi, seperti taman pemakaman. Tak ada satupun mobil melintas, tak ada suara jangkrik, bahkan hembusan angin pun lenyap. Dedaunan di pinggir jalan seolah takut bergerak.
Langit di atasku begitu pekat, tanpa bintang, tanpa bulan. Hanya kosong.
Lampu jalan padam, namun anehnya... entah bagaimana mataku bisa melihat dengan jelas.
Di jalan yang sunyi itu, aku berjalan sendirian.
Setiap langkah kakiku terdengar terlalu keras, menggema di jalanan yang kosong. Anehnya, kegelapan dan kesunyian itu tidak membuatku takut. Meskipun logikaku mengatakan hal sebaliknya, tapi kakiku melangkah dengan mantap—seolah ada sesuatu yang memanggilku dari kejauhan. Panggilan itu lembut tapi memaksa, seperti bisikan yang menyusup ke tulang.
Aku tidak tahu siapa atau apa yang memanggilku. Tapi kakiku terus melangkah seolah tahu arah.
Seakan ada tali tak terlihat yang mengikat pergelangan kakiku, menarikku untuk terus berjalan maju.
Semakin dekat aku dengan sebuah rumah tua di pinggir jalan, semakin keras sesuatu dalam hatiku berteriak: "Lari. Jangan masuk. Putar balik. Sekarang juga!"
Tapi, tubuhku tak mendengarkan. Nafasku teratur, langkahku mantap.
Rumah itu dibangun memanjang ke samping. Sangat panjang, seolah rumah itu berdiri sendirian, asing, dan diam.
Tidak ada daun pintu. Lubang hitam menganga di tempat seharusnya pintu berada, mengundang siapa pun untuk masuk.
Aku berhenti di ambangnya.
Sekali lagi hatiku menjerit—"jangan lakukan ini.".
Namun kakiku mengabaikan, melangkah masuk dengan tenang, seakan rumah itu sudah lama menunggu kedatanganku.
Aku melangkah masuk—sebuah lorong panjang dan lebar menyambutku. Lorong itu sunyi. Gelap. Namun mataku melihat dengan jelas. Aku berjalan tanpa tersandung. Seakan kegelapan itu sendiri menginginkanku maju.
Dan entah mengapa, di balik kesunyiannya, aku merasakan sesuatu menatapku. Dari jauh. Dari dekat. Dari dinding. Atau mungkin tatapan itu... datang dari dalam diriku?
“Di mana ujung lorong ini?” pikirku.
Saat itu juga, seolah mendengar pikiranku... sebuah pintu tiba-tiba muncul di ujung lorong. Begitu nyata, begitu tiba-tiba, seakan ruangan ini bernapas dan menciptakan pintu itu untukku.
Aku tahu, seharusnya aku berhenti. Tapi tanganku bergerak sendiri, meraih gagang pintu yang dingin bagai es.
Kesadaranku menjerit untuk kabur, tapi tanganku bergerak sendiri, memutar gagang pintu.
Aku masuk.
__
Bagian II – Kursi dan Cermin
Pintu itu berderit lirih saat terbuka, seakan sendinya belum pernah digerakkan selama puluhan tahun. Bau lembab dan dingin langsung menyergap hidungku.
Ruangan itu berbentuk persegi, luasnya sekitar enam kali enam meter. Tidak ada perabotan lain selain satu kursi di tengah. Dinding-dindingnya kelam, seolah dicat tipis dengan warna abu-abu kusam. Mirip seperti warna semen.
Lantainya dingin di bawah kakiku, meski aku tidak ingat memakai alas kaki atau tidak. Di ruangan itu, setiap detail terasa begitu nyata, begitu jelas… tapi juga terasa salah.
Kursi antik yang terletak tepat di tengah ruangan. Kayu tuanya dipoles gelap, dan bingkainya berwarna emas dan berkilau, terlihat begitu asing di tengah kesuraman. Kursi itu menghadap ke sebuah cermin besar berbentuk persegi panjang yang menempel hampir memenuhi dinding.
Hatiku berteriak—jangan duduk. Jangan dekati.
Namun dorongan untuk mendekat terasa seperti tarikan magnet, menyeret tubuhku perlahan.
Aku berdiri hanya beberapa langkah dari kursi. Jari-jariku bergetar, bukan karena dingin, tapi karena aku tahu… bila aku menyerah, bila aku duduk di kursi itu, sesuatu akan terjadi padaku. Sesuatu yang buruk.
Aku menahan napas. Mencoba mengalihkan perhatianku dari kursi antik itu ke arah cermin.
Cermin itu begitu besar, begitu mulus, hingga nyaris tampak seperti jendela ke dunia lain. Dan entah kenapa, semakin lama aku menatapnya, semakin keras detak jantungku.
Ruangan itu memang terasa asing, tapi tidak dengan cermin itu. Ada rasa akrab yang aneh.
Seolah ada yang menggerakkan, aku berjalan mendekati cermin besar itu dan berdiri tepat di depannya.
Awalnya, bayangan yang kulihat adalah diriku sendiri. Wajahku yang biasanya, mataku yang biasa kulihat disetiap pantulanku.
Tapi lalu—pantulan itu, perlahan-lahan berubah.
__
Bagian III – Perempuan dalam Cermin
Pantulan itu menatap balik padaku.
Masih wajahku… tapi bukan aku. Dia tampak lebih cantik. Tampak anggun. Tajam.
Semua yang ada pada pantulan itu berlawanan dengan diriku.
Rambutnya hitam legam, panjang menjuntai, berkilau indah seolah setiap helainya dipoles oleh gelapnya malam. Matanya hitam pekat—dalam, tajam, menyala dengan aura yang menusuk jantungku. Dia mengenakan gaun hitam yang indah, kainnya berkilau samar dalam ruangan gelap, dan di leher serta telinganya menggantung perhiasan yang memantulkan cahaya tak ada sumbernya.
Bibirnya merah, sangat merah, dengan senyum yang lembut sekaligus mengancam. Senyum yang bukan milikku. Senyum yang tak akan pernah bisa aku buat dalam hidupku.
Aku terpaku. Nafasku tercekat. Aku takut, sangat takut. Tapi, ada rasa rindu yang aneh. Seolah-olah sebagian dari diriku sudah menunggu pertemuan ini.
Pantulan itu mengangkat sebuah sisir emas berhias permata merah. Dengan gerakan tenang, dia menyisir rambut hitamnya.
Tanganku tiba-tiba terasa berat.
Aku menunduk—sisir yang sama kini ada di genggamanku. Bingkainya dingin, permatanya berkilau merah seperti darah. Jari-jariku bergerak sendiri, menyisir rambutku, meniru setiap gerakan perempuan dalam cermin. Aku ingin melepaskannya, tapi tanganku tak mau patuh.
“Aku… bukan bayanganmu…” gumamku, hampir tak terdengar.
Namun saat aku mengangkat pandangan, matanya menatapku dengan begitu tajam hingga tubuhku rasanya dingin oleh rasa takut.
Untuk sesaat, aku merasa… akulah yang ada di balik cermin. Dan dialah yang nyata.
Aku panik. Dengan putus asa, kucoba menyentuh permukaan cermin. Dingin. Keras. Nyata.
Namun bayangan itu tidak mengikuti gerakanku. Dia hanya berhenti menyisir dan menatapku dengan wajah dingin. Lalu perlahan bibir cantiknya menyunggingkan senyum.
Dia tersenyum semakin lebar. Senyum yang menandakan kemenangan. Aku tak mengerti kenapa dia tersenyum seperti itu.
Dan saat itulah suara itu terdengar. Bisikan lembut, bukan di telingaku. Tapi di dalam kepalaku: "Sudah waktunya kita pulang."
Sejenak tubuhku kaku. Aku tidak tahu suara siapa itu. Tapi, suara itu terasa hangat. Kontras dengan aura ruangan ini ataupun perempuan di dalam cermin.
Aku menatap pantulan itu sambil tersenyum tipis, mencoba berlagak tenang, bermaksud berpamitan padanya. Tapi tiba-tiba, tangannya menembus permukaan kaca—menyergap pergelangan tanganku.
Genggamannya begitu dingin, sedingin es yang menusuk tulang. Aku berusaha menarik diri, tapi ia mencengkeram semakin kuat. Perlahan tubuhnya keluar, separuh badannya kini berada di ruangan yang sama denganku.
Bibir merahnya bergerak, melafalkan kata-kata asing. Lidahnya mengucapkan bahasa yang tak kupahami, tapi setiap suku katanya membuat ruangan bergetar, membuat udara semakin berat, semakin dingin.
Aku tersengal. Dinding ruangan mulai berembun, napasku membeku. Aku merasa jika dia berhasil keluar sepenuhnya, aku tidak akan bisa pulang. Selamanya.
Otakku tiba-tiba memutar ulang hal yang aku lakukan sebelum tidur. Di dalam mimpiku, aku tersadar... semua ini tidak nyata.
“Aku… harus bangun… ini hanya mimpi…”
Tepat saat kuucapkan kalimat itu, ruangan itu tampak memudar. Dunia itu retak.
Disaat yang sama, perempuan itu menatapku tajam. Genggamannya makin kuat, kuku-kukunya menembus kulit tanganku. Dia kembali berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti.
Dia menarikku sangat kuat, sehingga tubuh kami sangat dekat. Aku bisa mencium wangi dari tubuhnya... wangi dingin yang bukan berasal dari duniaku.
Dia membisikkan sesuatu ke telingaku. Bahasa yang tidak kumengerti. Lalu melepaskan tanganku.
Tubuh perempuan itu menyelinap kembali ke permukaan kaca, dan berdiri dengan tenang. Dia... lagi-lagi tersenyum. Senyum kemenangan yang sama.
Aku terbangun.
Keringat dingin membasahi wajahku. Dadaku naik turun cepat. Tapi kulit pergelangan tanganku masih menyimpan dingin dari genggamannya—bekas yang tak hilang meski aku sudah kembali ke dunia nyata.
__
Jejak yang Tertinggal
Sudah lama berlalu sejak malam itu, namun aku masih mengingatnya sejelas detak jantungku sendiri.
Bahkan sekarang, bertahun-tahun kemudian, bila aku menutup mata… aku masih bisa mengingat wajahnya dan kengerian yang dibawa senyumnya.
Pagi setelah mimpi itu, aku menatap pergelangan tanganku. Tidak ada luka. Tidak ada lebam. Tapi bekas itu dingin, seolah darah enggan mengalir di sana. Sensasi itu bertahan berhari-hari.
Aku berusaha melupakan. Meyakinkan diriku bahwa itu hanya mimpi buruk. Bunga tidur yang tidak indah.
Namun tiap malam aku berjalan melewati cermin di rumahku, aku teringat padanya. Aku takut ada mata lain menatap dari cermin. Yang tersenyum samar, menunggu.
Lama waktu berlalu, musim berganti. Hidupku terus berjalan… tetapi mimpi itu tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tidur, berdiam di sudut gelap pikiranku.
Dan kadang, saat aku sendirian, aku teringat padanya. Bisikan bahasa asing yang dia lafalkan bagai sebuah mantra. Dan... senyumannya.
Senyumannya yang seolah berkata… suatu hari, aku akan kembali berdiri di hadapan cermin itu.
Entah dalam tidurku.
Atau ketika aku sudah berhenti bermimpi sama sekali.