Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Nostalgia 5 Langkah
1
Suka
1,318
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Purnama Kedua Belas. Begitu aku menyebutnya, tetangga sekaligus cinta pertamaku. Dia adalah teman satu sekolahku selama duduk di bangku SMP. Aneh memang. Aku telah berpindah dari satu provinsi ke provinsi lainnya, dari Pekanbaru ke Bekasi sampai ke Yogyakarta lalu ke Jakarta, namun hanya dia yang bisa membuatku jatuh hati sejatuh-jatuhnya. Banyak orang yang kutemui di tempat baru, namun di hatiku masih ada dia. 

Rasanya masa SMP menjadi masa yang paling menyenangkan. Saat itu, dia sering main ke rumah hanya sekadar untuk bertukar cerita tentang sekolah dan mengerjakan tugas bersama-sama. Sesulit dan sebanyak apapun tugas sekolah, semua terasa mudah dan menyenangkan karena sama dia.

Desember 2021, seperti bulan Desember tahun-tahun sebelumnya, aku pulang ke rumah. Ini Desember ke-4 aku pulang sendiri, tanpa dia. Sungguh, aku sudah tidak mau lagi berharap kalau dia akan pulang ke rumah meskipun sebenarnya aku rindu.

Sore tadi, tanpa kutanya, cece, kakak kandungnya memberitahuku bahwa ia sedang ada di Pekanbaru tepatnya di pastoran karena masih ada tugas pelayanan, belum tahu apakah ia bisa mampir ke rumah atau tidak.

Aku melangkahkan kaki ke tanah sebelah timur, perbatasan rumahku dan rumahnya. Dulu di tanah itu ada pohon durian besar, yang di tengah rantingnya diberi lampu lalu dibawahnya ada meja panjang dan dua kursi, tempat aku dan dia belajar bersama sore sampai malam hari. 

Sekarang pohon itu tinggal bongkahan batang besar. Kursi, meja dan lampunya pun sudah tidak tahu di mana lagi. Kata mama, sudah tidak ada lagi yang belajar di bawah pohon durian besar itu, jadi benda-benda yang ada disitu, termasuk pohon duriannya disingkirkan. Tanah itu tampak kosong. Hanya ada rerumputan liar yang mengisi sebagian tanah dan pencahayaan remang-remang yang didapat dari sisa-sisa cahaya lampu rumahku dan rumahnya. 

Aku melihat ke atas. Cahaya bulan purnama malam ini cantik sekali. Aku menghela nafas panjang sambil menutup mata, menikmati tiap hembusan angin dan nafasku. Suasana malam itu membuatku teringat akan peristiwa semasa SMP dulu.

****

“Dor!” 

Sontak tanganku bergerak tanpa aba-aba dan menciptakan coretan tak kuinginkan pada lukisan yang aku kerjakan sedari tadi.    

“Iss, kau ini, loh! Bikin kaget aja,” gerutuku sambil memindahkan kuas yang kupegang ke dalam aqua gelas berisi air. “Kan jadi mencong!!” Gerutuku lagi.     

“Kau pun, ngerjain tugas prakarya gak ngajak aku!” Balasnya tidak mau disalahkan.

“Siapa kau harus kuajak-ajak? Sibuk kali aku harus ngajak-ngajak kau!” 

Ia membuka buku gambarnya. “Eh gak bisa aku gambar, loh. Bikin kan dulu sketsanya lah, nanti aku pun yang mewarnai.”

“Buat sendiri punyamu,” jawabku cuek sembari fokus pada lukisanku.

“Pelit kali, loh! Cepatlah Joy! Bantu dulu temanmu yang paling ganteng ini.”

Aku berusaha fokus pada lukisanku.

“Joyyy! Joyaaa cantik,” rayunya memohon sembari mengedipkan matanya, genit.

“Gak!” Jawabku cuek. 

Dia memandangku lama. Dua detik, mata kami sempat bertemu pandang. Takut salah tingkah aku langsung memalingkan pandanganku.

“Eh, itu di rambutmu ada cat,” ucapnya menunjuk rambutku.

“Ha?!” 

Dia menyentuh rambutku. Membersihkan sisa-sisa pewarna yang menempel di rambutku dengan tangannya besar dan kekarnya.

Melihat tangannya menari di atas rambutku, ingin rasanya aku teriak. Aaaa! Kenapa harus membersihkan rambutku dengan tatapan sedalam itu? Jarak wajahku dan wajahnya dekat sekali. Aku harus apa biar gak keliatan salah tingkah?

“Udah,” katanya masih dengan tatapan ajaibnya 

“Makasih,” ucapku malu tidak berani menatap matanya. 

Aku kembali fokus pada lukisanku. Dia memalingkan pandanganya ke arah lain. Diam beberapa detik.

“Nanti kalo punyaku selesai, aku buatkan punyamu. Tapi yang warnai kau, ya?” Aku menawarkan bantuan, berusaha untuk bersikap tenang meskipun hatiku melonjak kegirangan.

Dia tersenyum. “Makasih Joya baik.”

Ya, memang selalu begitu, kan? Aku sulit untuk mengatakan tidak pada orang yang aku cintai? Bahkan sejak SMP pun aku selalu mengiyakan permintaannya. 

Pernah juga, saat aku sedang menjemur pakaian yang sudah dicuci mama. Jemuran keluargaku dan jemuran keluarganya menyatu, tepat di perbatasan rumahku dan rumahnya. Pun, karena dekatnya keluargaku dan keluarganya, kami sudah tidak punya batas jemuran yang jelas lagi. 

“Eh Joy, cucian mamaku lebih banyak daripada cucian mamamu. Nanti sisain jemurannya 3 baris, ya?”

Kala itu, jemurannya terdiri dari 5 baris yang mana tiap tiang terbuat dari kayu pohon jati.   

“Mana cukup buat kami 2 baris. Siapa cepat dia dapat, lah! Mana asih disisain kayak gitu!” Protesku tidak terima. 

“Kau lebih sayang mamamu atau mamaku?”

“Ya mamaku lah. Aneh-aneh aja kau!” Aku terkekeh dengan pertanyaannya.

“Eh, salah. Maksudku lebih galak mamaku atau mamamu?”

“Ya, mamamu..,” jawabku ragu.

“Yaudah kalo gitu. Mau kau di marahi mamaku?”

“Iss... tapi kan belum ada kain kalian sekarang?”

“Daripada nanti kau kupanggil lagi buat mindahin jemuranmu, kekmana? Capek dua kali kau, kan?”

Aku terdiam. 

“Mending sekarang kukasih tau, daripada kau capek dua kali.”

“Ya,” jawabku pasrah.

Entah apa yang kupikirkan saat itu sampai aku mau mengiyakan perkataannya. Aku menjemur pakaian kami di dua baris pertama. Aku menimpa-nimpa pakaian yang sekiranya tidak tebal agar pakaian bisa terjemur semua. 

Tidak hanya membuatku mengiyakan perkataannya, aku pernah menangis dibuatnya. Sebenarnya, setelah kupikir-pikir sekarang, bukan dia yang membuat aku menangis. Tetapi, perasaanku dan ekspektasiku.

Dulu kami dekat sekali. Seperti orang pacaran tapi tidak pacaran. Seperti kakak beradik yang kemana-mana selalu bersama. Tidak di sekolah, gereja bahkan di kompleks rumah, kami selalu bersama. Sekali seminggu dia mentraktirku cheeseburger lima belas ribu. Dia belikan aku cheeseburger sementara dia beli kebab turki seharga sepuluh ribu rupiah. Katanya, uwak memberinya jajan berlebih. Padahal aku tahu, uwak tidak pernah memberinya jajan lebih dari lima ribu rupiah sekali sehari.

Kupikir perlakuannya itu menunjukkan kalau aku adalah cewek spesial baginya. Namun ternyata aku salah. Aku dengar dari temanku, dia menembak teman sekelasnya. 

Mendengar kabar itu, rasanya jantungku seperti ditusuk belati, sesak di dada padahal aku tidak punya riwayat sakit paru-paru. Sepulang sekolah, aku langsung menangis dan mengurung diri di kamar. Aku benar-benar hancur. Aku mengabaikan pesannnya selama dua hari, tidak keluar rumah, bahkan sampai bolos gereja.

“Joya kemana?” kudengar suaranya di ruang tamu.

“Di kamar, bang. Kak Joya lagi sakit,” balas adiku.

“Oh, okay.”

Setelah itu, tidak lagi kudengar suaranya. 

****

“Woy!” Katanya mengagetkanku. 

Kali ini aku tidak begitu kaget seperti biasanya. Tidak menoleh ke arahnya sama sekali, aku fokus membaca buku cetakku.

“Tumben gak belajar di pohon durian.”

“Lagi capek.”

“Oh capek kenapa?”

“Ya capek. Capek banyak peer!” Jawabku ketus.

“Kemarin kau sakit?”

“Cuma panas doang. Paling kecapean,” jawabku masih tidak menatapnya.

“Kau marah samaku?”

Ingin rasanya aku menjawab, ‘iya. Aku marah, aku cemburu sama Fanny, teman sekelasmu. Aku gak suka kau pacaran sama cewek lain. Kita emang gak pacaran, tapi kau gak usah pacaran sama orang lain lah. Kau tiap hari ketemu aku, belajar samaku, apa-apa samaku tapi kenapa harus pacaran sama cewek lain?’. Ya, ingin sekali aku menjawab seperti itu. Tapi kalimat-kalimat tidak penting tadi tertahan di tenggorokanku.

Aku menatapnya sinis. “Apasih? Aneh kau, ni! Orang lagi capek dikatain marah.”

“Ya kau sombong samaku. Kupikir aku ada salah samamu.”

“Bukan sombong! Aku emang kayak gini kalo capek. Kaunya aja yang negatif thinking.”

“Yaudah, maaf maaf.”

Sampai sekarang, aku masih tertawa jika ingat kejadian itu. Benar-benar menggambarkan wanita sesungguhnya. Di mulut bilang 'gak marah', padahal dalam hati 'marah besar'. Di luar terlihat biasa saja, padahal dalam hati melonjak kegirangan.

Aku jadi teringat dengan pertemuan terakhir kami empat tahun lalu, di tempat ini. Hari itu pertama kalinya aku menunjukkan kalau aku memiliki perasaan lebih dari sekadar sahabat kepadanya.

“Ulang tahunku keknya masih bulan April, deh. Ada apa ini?” Tanyanya membolak-balik kotak berukuran 15 cmx 15 cm itu.

“Kenang-kenangan. Habis ini kan kita bakal pergi jauh dan gak tau kapan bisa ketemu lagi.”

Dia menatapku dalam. “Kenang-kenangan dari aku nyusul, ya,” katanya.

Aku hanya mengangguk. Ya, hanya anggukan tanpa ekspresi namun dalam hati sebenarnya aku senang sekaligus dag dig dug ser.

Di menggaruk kepalanya, lalu melihat ke sebelah kanan dan kiri. Salah tingkah.

“Aku pamit.”

Belum sempat aku mengangguk, ia berbalik arah dan melangkah menuju rumahnya. 

“Aem!” Panggilku. 

Ia berbalik badan.

Sebenarnya aku memiliki satu permintaan khusus -yang bisa jadi permintaan terakhir- sebelum kami asyik dengan dunia kami masing-masing. Entah apa yang mendorongku saat itu, aku pun memberanikan diri memintanya.

“Aku boleh meluk kamu gak?” Tanpa terbata-bata kalimat itu mengalir begitu saja.

Dia terdiam sejenak lalu mengangguk. Kami saling menghampiri.

Pelukan itu. Itu pertama kali aku memeluk laki-laki, di usia 18 tahun. Entah ini pelukan sebagai teman dekat atau yang lain, intinya aku lega. Jantungku berdebar kencang. Entah dia mendengarkan debaran jantungku atau tidak, rasanya ingin sekali aku menghentikan waktu. Aku ingin hidup dalam pelukannya terus. Aku menitikkan air mata. Isakan tangisku mulai terdengar.

Saat itu, tiga bulan setelah kepergian bapak. Aku masih sangat membutuhkannya untuk menemani masa sulitku namun apa daya ia harus pergi jauh dan hilang dari media sosial dalam waktu yang cukup lama. 

Setelah ini, kepada siapa lagi aku mengadu? Kepada siapa lagi aku bercerita tentang sepinya hidup di Yogyakarta? Siapa lagi yang akan mendengarkan ceritaku tentang kerinduanku pada bapak? Setelah ini, beban rinduku semakin banyak. Rindu sama bapak, rindu sama purnama kedua belasku juga.

Dia mengusap-usap pundakku. “Kau itu perempuan kuat, Joy. Kau lebih kuat dari yang kau bayangkan. Jangan sedih karena aku pergi. Tapi, kau harus bersyukur karna kita pernah sama. Lagian nanti kita pasti jumpa lagi, kok.”

Aku melepaskan pelukannya. 

“Tapi kamu janji jangan lupain aku, ya. Jangan sombong,” pintaku masih dengan isak tangis. 

“Iyaa,” balasnya sembari mengusap air mataku di pipi.

****

Aku tersenyum melihat ke bawah. 

Andai saja dia tahu bahwa wanita yang ia bilang kuat itu sekarang hobi nangis. Apalagi kalau ada bulan purnama, dia pasti langsung menuju balkon kosan lalu menulis jurnal dan menangis di sana, di bawah cahaya bulan purnama.

“Ngapain malam-malam di sini?” Terdengar suara berat dari belakangku.

Sontak, aku membuka mataku dan terdorong ke samping. Suara ngebass yang tidak asing lagi bagiku. Suara yang tidak pernah kudengar sejak empat tahun lalu, namun aku masih mengenalinya. Pria berbadan tinggi tegap dengan jubah panjang berwarna coklat dan tudung kepala di punggungnya serta kalung salib thau melingkar gagah di lehernya.

“Loh? Kata cece kamu bakal nginep di pastoran terus.”  

“Iya, betul. Ini aku cuma singgah ke rumah mau ambil barang.”

Aku mengangguk. Canggung. Aku enggan menatapnya lama. 

“Gimana kabarmu?”

“Baik.”

“Siapa pacarmu?”

Aku mengernyitkan dahiku. Memangku kedua tanganku, berusaha untuk bersikap biasa saja namun aku tetap terlihat canggung.

“Emm, gak ada pertanyaan lain yang lebih penting dari itu?”

“Ya, kau sih, gak nanya kabarku balik.”

Aku terkekeh. “Gimana kabarmu?”

“Baik. Cuma kurang istirahat aja karna lagi banyak kunjungan pelayanan ke stasi.”

Aku mengangguk-angguk.

Dia melangkah tiga langkah ke arah utara, menuju bongkahan batang pohon durian besar.

“Wah ini tempat bersejarah kita, ya.”

Aku mengikutinya dari belakang.

“Dulu itu ya, ada anak laki-laki bilang ke bapaknya mau belajar sama tetangganya di bawah pohon durian padahal sebenarnya dia gak suka belajar, dia suka tetangganya. Kalo mau ke pohon durian, dia pake kaos yang baru disetrika biar wangi kispray. Gak lupa pake minyak rambut biar ganteng.” Ia menjelaskan sambil menatap ke arah bulan purnama.

Aku tertawa malu. Untung saja pencahayaan di tempat itu redup, jadi wajah merahku tidak terlihat jelas olehnya.

“Ya, anak laki-laki itu belajar sama tetangganya. Tapi ya belajarnya cuma 15 menit, sisanya markombur. Tapi, aku heran juga. Itu tetangganya kok mau-mau aja meladeni komburan anak laki-laki itu, ya. Menurutmu kenapa Joy?”

Aku tertawa. “Aduh, bentar ngakak dulu.”

Setelah menyudahi tawaku, aku menatapnya. “Mereka berdua masih polos waktu itu. Apalagi yang perempuan. Dia masih terlalu muda untuk mengakui kalau tetangganya yang suka nyamperin dia di pohon durian itu ternyata cinta pertamanya.” 

“Tapi kenapa ya anak perempuan itu bisa jatuh cinta sebegitu dalamnya padahal kan dia tahu kalau mereka gak bakal bisa bareng.”

Aku menunduk.

Situasi berubah canggung lagi, bahkan lebih canggung dari sebelumnya.

“Mungkin karena dia belum tahu caranya mengontrol perasaan.”

“Kira-kira sekarang dia udah bisa mengontrol perasaannya gak, Joy?”

Aku mematung, lalu merapikan rambutku yang tidak berantakan hanya untuk mencari-cari kegiatan baru di tengah ketidakbisaanku menjawab pertanyaannya.

Hampir, jawabku dalam hati.  

Pertemuanku dengan tetanggaku itu masih begitu, selalu meninggalkan tanya. Pun aku enggan untuk meneruskan obrolan itu. Takut salah. Takut kalau ucapanku terkesan memintanya untuk keluar dari biara. 

“Tahbisanmu berapa tahun lagi, ya?” 

“Kayaknya kalau kau selalu mengalihkan obrolan kita, aku gak bakal bisa sampai tahbisan, sih,” katanya menatapku penuh makna.

Aku benci tatapan itu, tapi aku rindu. Tatapan yang sudah lama tidak kulihat, yang hanya ada pada kedua bola matanya. Tatapan yang jika aku terus menatapnya dalam waktu yang lama, bisa mengancam kesehatan perasaanku. 

Aku mengalihkan pandanganku lagi. Berusaha tetap tenang.

“Menurutmu? Jelas udah dong. Kan sekarang tetangganya anak laki-laki itu udah 23 tahun,” alibiku. 

Dia mengangguk, pasrah.

Dia adalah orang yang paling memahami kapan aku berkata jujur, kapan aku berbohong. Dan, ya, dia tahu kalau saat itu aku sedang berbohong, tapi sengaja dihiraukannya karena ia tahu kalau diteruskannya, akan terjadi perdebatan yang tidak menemukan ujung.

Dia memandangi jam tangannya.

“Sudah mau jam sembilan. Aku ke rumah dulu, ya. Abis ini mau langsung ke pastoran lagi.” 

Aku mengangguk dan membiarkannya pergi. 

Setelah dia pergi, aku pun meninggalkan tempat bersejarah kami itu. Sebenarnya aku masih ingin lama-lama di sana namun daripada nanti aku ketemu dengan dia lagi, canggung lagi, lebih baik aku menikmati cahaya bulan purnama dari atas balkon rumahku. 

Purnama di bulan desember memang paling istimewa. Empat tahun lalu dan tahun-tahun sebelum empat tahun lalu, purnama di bulan desember selalu menjadi saksi bisu dialogku dengan tetanggaku itu. Aku senang sekali, setelah empat tahun akhirnya aku bisa melihat purnama dengannya lagi, meskipun dengan obrolan yang tidak juga menemukan kata selesai yang sebenarnya. 

Di bawah, dia lewat dengan tas ransel hitam. Tanpa kusangka, ia berbalik badan ke arah balkon rumahku lalu melambaikan tangannya dengan senyum. 

Kuharap lambaian tangan itu bukan menjadi tanda perpisahan yang sebenarnya karena dia masih ada hutang denganku. Hutang duduk bercerita dan hutang kenangan-kenangan yang sempat ia janjikan empat tahun lalu.  

****

Hari itu aku memutuskan pergi ke salah satu coffe shop yang terkenal di Pekanbaru, tanpanama cafe. Kata teman-temanku, tempatnya enak untuk bekerja dan me time, jauh dari jalan raya, banyak pepohonan sehingga tempatnya terasa tenang dan sepi. Di sana, aku menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang harus kuselesaikan sebelum cuti natal bersama.

Awalnya aku merasa bersemangat dan fokus pada pekerjaanku. Setengah hari sudah aku duduk di cafe yang paling adem sekota Pekanbaru, aku sudah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan penting, sisa pekerjaan-pekerjaan yang penting, sih, tapi tidak sepenting pekerjaan pertama tadi.

Kira-kira pukul tiga sore, karyawan cafe memasang lagu yang tidak asing di telingaku. Aku diam sejenak, mendengarkan lagu dengan saksama. Itu intro lagu Aditya Sofyan yang berjudul 8 tahun. 

Ketika angin bicara, tunjukkan arah tiitk bertemu. Maukah kau simpan waktu lupakan dunia temui aku di sana? - sepenggal lirik dari lagu itu.

Ah, shit! Aku teringat dengan dia lagi. Ini sudah tahun ke delapan sejak aku mengenal dia. Suaranya, harum tubuhnya, caranya berbicara, tatapannya. Semuanya masih menjadi hal yang spesial bagiku. 

Banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan padanya. Mulai dari hari-hari tanpa notifikasi darinya, kegiatan kampus dan pekerjaanku serta tentang laki-laki yang sempat aku terima keberadaannya namun mengecewakanku. Pun, kalau boleh aku ingin menagih janjinya empat tahun lalu. 

****

Minggu sore di bulan April 2022. Seperti hari Minggu yang sudah lalu, aku menghabiskan waktuku di gereja. Kosanku di daerah kemayoran lama, namun kali ini aku memilih paroki yang ada di Tebet. Tidak ada alasan khusus mengapa hari itu aku memilih paroki Tebet.

Selesai misa dan quality time bersama Dia, aku akan singgah ke cafe dekat gereja untuk mengisi perut. Ya, pergi gereja sendiri, pulang gereja sendiri juga. Gereja sudah mulai sepi karena misa sudah selesai 30 menit yang lalu.

“Joy!! Joyaa.”

Kudengar panggilan dari belakangku. Aku mengenali suara itu, tapi aku tidak yakin. Mana mungkin dia di sini, batinku. Aku pun berbalik arah.

Aku mematung sejenak, tidak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku.

“Loh?! Kamu kok di sini?”

Dia hanya tersenyum menaikkan bahunya.

Aku dan dia sepakat untuk berbincang-bincang di cafe yang hendak aku tuju tadi. Kebetulan dia masih punya waktu luang selama 2 jam.

Dia menghela napas panjang. “Akhirnya kita bisa duduk berdua kayak gini lagi ya,” ujarnya memulai percakapan di cafe.

Aku hanya menaikkan alisku dan tersenyum tipis. 'Ya, akhirnya keinginanku tahun lalu terwujud' batinku.

Wait, ini kenapa kamu tiba-tiba ada di Jakarta ya?”

“Ya karena ada tugas negara, lah. Aku dapat tugas TOP di sini selama setahun."

Bigung, aku tidak tahu harus senang atau sedih.

“Ya, itu kabar baik sekaligus kabar buruk, sih buatku," lanjutnya lagi.

Aku menatapnya sedikit lebih lama dari sebelumnya. Kabar baik sekaligus kabar buruk katanya.

“Oh, okey,” balasku masih dengan keadaan bingung.

Ya, dia benar. Dia ada di sini adalah berita baik sekaligus berita buruk. Tetapi, beruntungnya aku tidak bertetanggaan dengannya. Dia di pastoran Tebet, aku di Kemayoran Lama. Perihal gereja, mungkin mulai minggu depan aku tidak akan misa di gereja paroki Tebet lagi.

“Gak usah khawatir. Aku bukan umat paroki Tebet, kok,” lanjutku lagi.

“Laki-laki yang pernah ada di instagram storymu kok gak kau ajak gereja?”

Aku mengernyitkan dahiku. Setahuku, tetanggaku ini bukanlah orang yang punya semua sosial media. Sosial media yang ia miliki hanya facebook. Pun, alasan dia memiliki akun facebook dulu karena tugas sekolah.

“Sejak kapan kamu main instagram?”

“Bukan aku. Temanku yang punya instagram.”

“Kamu kepoin aku pake instagram temanmu?”

“Gak sengaja aja pas aku buka instagrammu ada story itu.”

Aku hanya meliriknya agak sinis.

“Tapi masa udah empat tahun kau gak punya pacar?”

“Kok tadi gereja sendiri?”

“Penting banget buatmu aku punya pacar ya?”

Dia memundurkan badannya lalu menggaruk kepalanya.

“Aku cuma pengen kau ada yang jagain, Joy. Biar kau ada teman cerita, teman ke-mana-mana. Itu aja, kok. Gak lebih. Kau itu orang baik, jadi kau harus ketemu jodoh orang baik juga, ya.”

Aku menatapnya dalam, memastikan kalau kalimat yang barusan ia katakan adalah benar.

“Oh iya,” ucapnya lalu mencondongkan badannya ke kanan untuk membuka tas ranselnya.

Ia menyodorkan kotak hadiah berwarna biru padaku. “Ini kenang-kenangan yang sempat kujanjikan empat tahun lalu.”

Kehadirannya tiba-tiba di Jakarta saja membuatku kaget, ditambah lagi ia memberiku kado. Kenang-kenangan. Mataku mulai berkaca-kaca.

“Maaf telat. Maaf gak bisa jadi teman seperti yang kau harapkan. Tapi percayalah, Joy. Kemanapun kau pergi, aku selalu mendoakanmu supaya dilindungi dan cepat ketemu sam laki-laki yang bisa jagain kau dan jadi teman ceritamu sampai tua.”

Aku menengadah ke atas, berusaha mencegah air mataku. Ini di tempat ramai, tidak lucu jika aku menangis di sini.

“Makasih, frater Aem.”

Untuk pertama kali, aku memanggilnya dengan sebutan frater.

Andai ia tahu, salah satu alasanku belum pacaran ya karena aku belum menemukan seseorang yang bisa dipercaya seperti aku percaya dia, karena belum ada sosok yang memahami aku seperti dia memahamiku, karena belum ada orang yang janjinya bisa dipegang seperti janjinya.

Setelah kami makan dan menceritakan banyak hal, aku paham. Dia sudah benar-benar serius dengan panggilannya sebagai romo. Ia ingin melepaskan aku sepenuhnya. Ia ingin aku hidup bahagia entah dengan siapapun nantinya.

****

Aku tidak pernah menyangka kalau tetanggaku sejak 2011 dulu adalah cinta pertamaku. Dia tetanggaku, purnama kedua belasku. Dia akan selalu menjadi purnama, sendiri, menerangi langit malam, dan menghibur mereka yang patah hati. Dia akan berkelana dan menjadi milik semua umat Katolik. Rumahku kehilangan purnamaku karena purnamaku lebih memilih Tuhan dan banyak orang dibandingkan memilih aku seorang.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
SUNDAL
Utep Sutiana
Flash
MENOLAK RASA
Senna Simbolon
Cerpen
Nostalgia 5 Langkah
Puan Purnama
Novel
Bronze
Ada Cinta di Rinjani (Buku Pertama)
Khairul Azzam El Maliky
Cerpen
Bianglala Langit Abu-abu
Almira
Novel
Bronze
PELANGI TANPA WARNA
Mahfrizha Kifani
Skrip Film
Skrip pertama dari hati untuk mimpi
UBI Master
Cerpen
Bronze
AKU YANG KAMU LEPASKAN
Neng Neng
Novel
Bronze
Apakah Aku Waras?
Maria Ulfa
Novel
Aku Cinta Kamu
Viola khasturi
Novel
Sacred Promised
Dudun Parwanto
Novel
Gold
KKPK Me and My Cute Cat
Mizan Publishing
Novel
Topeng: Macam-macam Kepalsuan
Tira Riani
Novel
Best Friend
William Oktavius
Novel
Gold
Dear Prudence
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Nostalgia 5 Langkah
Puan Purnama
Novel
Bronze
Sulung
Puan Purnama
Skrip Film
Purnama Kedua Belas
Puan Purnama
Novel
Elegi Bulan
Puan Purnama