Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kreeekkk .... Kek
Kek, kek.... Kreeeekkk.....
Kek
Pandanganku mengitari ruangan ebei.[1] Angin mengiris tubuhku. Suara itu lagi, gumamku sembari memulihkan ingatan. Entah malam jumat keberapa, lagi-lagi aku harus terjaga dalam gelap, di tengah udara Baliem yang menggigilkan rusuk.
Keresak langkah kaki setapak demi setapak sayup kudengar dari balik bilik ebei. Langkah itu seolah tidak memijak bumi. Tapi aku sama sekali tidak takut. Aku hanya penasaran. Aku sudah tahu arah tuju wanita itu. Ya, wanita itu. Wanita yang tengah melangkah pelan itu tak lain adalah, Mama.
Dalam gelap, Mama menjalankan ritual paling aneh bagi wanita Baliem: Mengendap tanpa ada yang tahu, bertelanjang dada, hanya mengenakan yokal[2] dan membawa noken[3] kosong tergantung di kepala. Melangkah menuju ujung lembah, Mama lalu melanjutkan tuju ke arah Wamena[4] yang lampunya berkelip berkilometer jauh di bawah sana.
Tapi tidak bisa kubiarkan penasaran ini menyiksaku. Tabu bagi wanita Baliem membawa noken di malam hari. Mereka bisa dikutuk oleh hun[5] lembah ini. Tapi jika seberani itu Mama melakukannya, bertahun lamanya, pasti ada sesuatu yang terjadi padanya, pada isi lemari itu, dan pada ritual aneh itu. Malam ini, aku tidak akan menunda lagi untuk mencari tahu. Tanpa siapapun tahu.
Praaakkk!
Sekonyong-konyong kepalaku berasa dikitari kunang-kanang. Tamparan itu seperti hendak melenyapkanku dari dunia. Namun aku tetap berusaha untuk sadar. Dalam keremangan malam, lagi-lagi aku harus terkejut melihat apa yang kini tampak di hadapanku.
Itu bukan hun. Itu Bapa!
“Sepertinya Mama sudah bilang agar kita menjaga rahasia,” kata Bapa tegas.
“Maaf, Pa, Rinus penasaran dengan isi lemari itu,” jawabku memelas.
“Sudah, cepat ko kembali tidur!” perintahnya. Aku hanya bisa patuh.
Jelas, Bapa tahu betul rahasia Mama. Tentu wajar, mengingat sebagai kepala osili, [6] Bapa pasti mengetahui segala seluk beluk penghuninya, termasuk rahasianya. Apalagi Mama adalah istrinya. Mungkin tersebab itu, tidak ada satupun orang yang berminat mengetahui rahasia lemari itu, kecuali hendak berhadapan dengan Bapa selaku pemangku adat.
Tapi tidak denganku.
###
“Mama, sa pigi sakolah dulu,”[7] pamitku pada Mama pagi itu. Gelap belum sepenuhnya lenyap, karena aku dan teman-teman memang harus berangkat lebih dini lalu berjalan sejauh tujuh kilometer demi sampai ke sekolahku di timur Baliem.
Tidak perlu pergi lebih jauh ke Wamena, karena di Baliem telah berdiri sekolah terpadu yang menjadi pusat belajar anak-anak kaki lembah ini. Aku pun senang karena dapat bertemu dan berteman dengan anak-anak dari seluruh pelosok Baliem. Termasuk anak-anak dari pedalaman sana.
Siapapun tahu, di selatan lembah, terkungkung di pedalaman Jayawijaya, masih banyak kelompok suku Dani yang sangat tertutup. Mereka pergi keluar dari wilayah suku hanya jika benar-benar dibutuhkan, seperti untuk menjual hasil tani, pergi sekolah bagi sebagian anak, atau membeli kebutuhan yang tidak bisa mereka penuhi sendiri. Bagi mereka, adalah sangat berbahaya jika seenaknya keluar dari wilayah sukunya. Jika dilanggar, bebauan dunia luar akan membawa kutukan dan kerusakan bagi suku, atau setidaknya bagi dirinya sendiri.
Aku tidak menyangka jika nanti akan memercayainya.
Memang kampungku agak berbeda. Walaupun masih berkepala suku, tidur di bawah atap honai dan ebei, serta mengandalkan hasil tani sebagai sumber kehidupan, masyarakat sukuku mengerti bahwa kami memang tidak bisa lepas dari dunia luar. Seperti yang dilakukan Mama siang ini.
“Mama mau pergi ke Wamena lagi?” tanyaku sepulang sekolah.
“Ya, Rinus. Korang bantu Bapa di ladang, ya. Mama pulang sore,” jawabnya.
“Beli apa pulang nanti?”
“Mungkin ikan. Elme dan Tien sudah lama tak makan ikan, to?” sambut Mama. Elme dan Tien adalah dua anak perempuan yang tinggal di ebei yang sama dengan kami. Tempat bernaung kami itu memang cukup sesak. Ditinggali empat orang wanita dan anak-anaknya, hunian beratap jerami itu adalah satu dari dua ebei dalam osili kami. Selain itu ada satu honai besar dan dua lese untuk para pria dewasa.
Mama dan perempuan lainnya kemudian berangkat menuju Wamena dengan noken bergelayut di kepala mereka. Ubi, singkong, sayuran dan berbagai hasil ladang lainnya, bahkan daging babi juga mereka bawa untuk dijual di Pasar Potikelek, Wamena. Mereka harus berjalan beberapa kilometer naik-turun bukit. Jika beruntung, ada mobil bak yang bersedia memberi tumpangan.
Semua hasil ladang yang Mama bawa adalah hasil kerja Bapa. Dia adalah pemimpin di osili kami. Selain memiliki sebidang tanah yang selalu gembur, Bapa juga punya peternakan yang “anehnya” selalu menghasilkan babi yang gemuk-gemuk.
Sejujurnya, ini benar-benar aneh.
Di antara wanita yang pergi ke Wamena, Mama adalah satu-satunya yang noken-nya selalu terisi penuh. Bagi para wanita, noken adalah simbol keagungan: Rezeki melimpah, keturunan dan kesuburan yang baik, juga sebuah lambang kehormatan. Tidak heran, semakin banyak isi noken yang mereka bawa di balik punggung mereka, justru semakin ringan terasa.
Tak ayal apa yang terjadi di dalam noken Mama adalah simbol dari betapa keluarga kami mencapai kesejahteraan yang sempurna. Hal ini sangat berbeda dengan ladang dan ternak kepala keluarga lain. Buatku, rasa syukur memang harus diucapkan, tapi rasa heran juga muncul tanpa terbendung. Aku takut, Mama atau Bapa melakukan hal yang tidak-tidak, apalagi sampai melanggar tabu.
Semuanya semakin membuatku terhenyak ketika Mama pulang dari Wamena sesaat selepas gelap, karena bukan hanya ikan yang dibawanya. Mama membawa benda yang sangat asing bagi kami: Televisi. Bagiku, jengah penasaran ini sudah sampai pada puncaknya.
###
“Korang memang belum perlu tahu, Rinus,” jawab Mama saat kutanya apa isi lemari itu. “Suatu saat, ko akan tahu sendiri.”
“Kenapa harus dirahasiakan, Mama?” aku tidak mau menyerah.
“Rinus, waktu Mama kerja di Jawa, Mama belajar banyak hal yang baru. Kamu harus belajar yang banyak dulu untuk paham.” Mama menyelesaikan jawabannya.
Saat aku berumur enam tahun, Mama memang merantau ke tanah seberang untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Entah bekerja sebagai apa, Mama tidak pernah bercerita. Yang jelas, kehidupan keluargaku semakin makmur semenjak kepulangan Mama selepas tiga tahun merantau itu.
Tapi yang membuatku tidak tenang, justru keberadaan lemari yang teronggok di sudut bilik ebei kami, yang dibeli Mama sepulang dari Jawa. Tidak ada satupun orang yang berani membukanya. Mama hanya berpesan bahwa untuk menjaga kemakmuran, kami juga harus teguh menjaga rahasia masing-masing.
“Bisa jadi kopu mace ada simpan kaneke di dalam sana,”[8] sebut Timo, kawanku, “korang tahu, siapapun akan dikutuk jika mengganggu pemilik kaneke itu.”
“Pemiliknya? Mamaku maksudmu?”
“Hun!” jawabnya sambil berbisik yang membuatku bulu romaku bergidik. Roh leluhur adalah hal yang paling sakral di Baliem ini. Segala kesejahteraan kami bisa tercerabut karenanya. Hun membuatku takut. Tapi rasa penasaranku mengalahkan ketakutan itu. Aku harus segera membuka lemari itu.
Tuhan pun seperti melegitimasi keinginanku. Seminggu berlalu, kampungku dikejutkan oleh berita dari televisi di ebei-ku. Berita itu menyebutkan bahwa suatu kampung di kota Wamena telah kedatangan pencuri pada malam jumat yang lalu. Yang menghebohkan, orang yang melihat bersaksi bahwa pencuri itu adalah sosok pendek dan gaib yang mampu berlari menembus tembok. Bercerita tentang hal gaib, roh halus atau sejenisnya, lembah Baliem adalah kambing hitam yang tepat.
Tapi bukan berita itu yang membuatku senang. Entah mengapa, kepala suku memerintahkan segenap kepala osili untuk berkumpul di honai kampung pada malam ini. Malam jumat. Prasangka burukku mengatakan kalau itu adalah usulan Bapa agar Mama tetap bisa menjalankan ritualnya dengan leluasa. Dengan seluruh penghuni kampung yang wajib tidur, dan seluruh kepala osili yang berkumpul di honai kampung, serta Mama yang pergi dengan noken-nya, aku tak akan melewatkan kesempatan ini lagi.
Dan kini lemari itu sudah kembali di hadapanku.
Aku menghadapinya demi menyelesaikan segudang penasaran. Seperti saat sebelum Bapa menamparku, aku mendekati pintunya yang masih terasa begitu angker. Lemari kayu itu tidak lebih tinggi dari tubuh Mama. Coraknya aneh. Mungkin pembuatnya memang sengaja menyediakan lemari ini untuk menyemayamkan kaneke di dalamnya. Saat gagang pintunya kutarik perlahan, aku pun menyaksikan yang selama ini tidak pernah kubayangkan.
Benda-benda apa ini?
Lemari itu hanya dibagi menjadi dua bagian. Atas dan bawah. Bagian atas menjadi alas bagi sebuah topeng kulit menyeramkan, taburan kembang warna-warni, wadah berisi serpihan hitam seperti arang, serta sebuah lilin yang terang menyala. Bagian bawahnya membuatku semakin terhenyak. Di sana tergeletak beberapa tumpuk uang dengan pecahan yang bermacam-macam. Sebagian lagi terlihat kotak yang mirip peti perhiasan. Namun saat aku diam tak mampu bergerak, keterkejutanku digenapkan dengan hal yang paling mistis.
“Wuuussshhh ...” Angin malam Baliem berhembus meniup tempatku berdiri, seketika memadamkan lilin itu seiring suara “Huummhhh ...” yang entah berasal dari mana.
Aku pun segera menutup kembali lemari itu tanpa merubah apapun. Masih dengan keringat dingin yang membanjiri ketakutanku, aku berlari menuju alas tidurku. Sejurus kemudian, terdengar derap seseorang yang berlari masuk ke dalam ebei. Itu Bapa. Entah apa yang membuatnya terburu, dia segera menuju ke bilik tempat lemari itu tersimpan. Selang beberapa saat, kudengar sebuah gedoran di lemari itu, diiringi rintih tangisan getir. Seperti penyesalan yang begitu dalam.
###
Aku benar-benar menyesal.
Dua hari semenjak kejadian malam itu, Mama tak pernah pulang. Entah apa yang terjadi padanya di Wamena sejak kepergiannya. Yang jelas, mata Bapa yang tidak berhenti sendu seperti menjelaskan sesuatu yang tidak termaafkan. Seluruh penghuni kampung juga bertanya-tanya tentang kepergian Mama. Nahasnya, tanpa perlu penjelasan, sore ini mereka benar-benar menemukan jawabannya. Aku pun akhirnya percaya dengan apa yang dikatakan Timo.
Tayangan di televisi yang dibeli Mama menayangkan berita tentang tertangkapnya “pencuri gaib” yang sudah meresahkan warga Wamena. Semua tercekat kejut ketika melihat bahwa pelakunya adalah seekor babi betina, yang kini tampak teronggok mati di tengah kerumunan manusia. Tidak ada yang lebih mengejutkan lagi selain yokal yang dikenakan oleh babi itu, serta tumpukan berlembar uang yang terhambur dari sebuah noken di sampingnya. Semua penghuni ebei saling berpandangan, seolah hendak membahasakan sesuatu yang terhenti di kerongkongan. Seperti aku, mereka mengenal baik pemilik noken berwarna merah putih yang pudar itu.
[1] Rumah adat wanita suku Dani di lembah Baliem. Pasangan dari honai dan lese, rumah adat khusus pria.
[2] Pakaian adat suku Dani, dipakai oleh kaum wanita yang sudah menikah. Dibuat dari kulit pohon, bentuknya seperti anyaman yang dililitkan melingkari pinggang, memanjang menutup bagian pinggang hingga lutut.
[3] Tas adat suku Dani, terbuat dari rotan atau akar-akaran. Dikenakan oleh wanita untuk membawa berbagai macam barang, khususnya hasil tani.
[4] Ibu kota kabupaten Jayawijaya, provinsi Papua. Berasal dari bahasa Dani, Wa berarti babi dan Mena berarti jinak. Wamena: Babi yang jinak.
[5] Roh leluhur yang dipercaya masyarakat Baliem dapat membawa berkah maupun tulah.
[6] Komplek rumah adat masyarakat suku Dani di lembah Baliem berisi sejumlah honai, ebei, dapur, dan kandang babi.
[7] “Mama, aku pergi sekolah dulu.”
[8] “Bisa jadi mama kamu menyimpan kaneke di dalam sana.” Kaneke: Benda adat suku Dani. Sejenis kapak Lonjong yang dipercaya dihuni oleh hun, arwah leluhur yang dipuja. Adalah tabu jika kaneke disimpan oleh kaum wanita suku Dani.