Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
## Noda Darah dan Senyum Kecil: Jalan Panjang Sang Raja Pasar
Hembusan asap rokok kretek menyatu dengan kabut pagi yang lembap di Pasar Kembang. Bau amis ikan, sayur layu, dan keringat yang mengering menyengat. Tapi aroma yang paling dominan adalah **ketakutan**. Dan ketakutan itu bernama **Jalil Mulyono**, atau lebih dikenal sebagai **Bang Jali**. Dia bukan sekadar preman; dia adalah **Raja**. Ketua Aliansi Preman Pasar Selatan, julukannya bergema lebih keras daripada dentuman truk pengangkut barang atau teriakan lelang. Tubuhnya kekar bagai batu kali, dipenuhi tato naga menyala yang meliuk dari leher hingga pergelangan tangan—seakan hidup dan mengintai. Matanya, hitam pekat dan dingin seperti mata pisau belati yang baru diasah, selalu menyapu kerumunan, mencari kelemahan, mencari mangsa. Suaranya, serak oleh bertahun-tahun rokok murah dan minuman keras oplosan, adalah hukum yang tak terbantahkan. Uang "iuran keamanan" harus masuk tepat waktu ke kantongnya. Jika terlambat, konsekuensinya bukan sekadar ancaman. Warung akan berantakan bagai diterjang badai, pedagang akan babak belur, dan harga diri mereka diinjak-injak lumpur pasar.
Pagi itu, gerimis tipis membasahi atap seng. Tapi suasana di depan lapak kacang tua Pak Soleh justru mendidih. Bang Jali berdiri membusung, wajahnya merah padam, urat lehernya menegang. Di kakinya, gerobak kayu Pak Soleh sudah terbalik, kacang tanah dan kedelai goreng berhamburan, tercampur lumpur dan kotoran lantai pasar.
"Jali... demi Allah, mohon ampun," suara Pak Soleh gemetar, tubuhnya yang ringkih nyaris menyentuh tanah. Air mata bercampur air hujan di pipinya yang keriput. "Istriku... demam tinggi semalam... habis uang buat beli obat... Minggu depan, ak...