Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Noda Darah Dan Senyum Kecil : Jalan Panjang Sang Raja Pasar
0
Suka
5
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

‎## Noda Darah dan Senyum Kecil: Jalan Panjang Sang Raja Pasar 

‎Hembusan asap rokok kretek menyatu dengan kabut pagi yang lembap di Pasar Kembang. Bau amis ikan, sayur layu, dan keringat yang mengering menyengat. Tapi aroma yang paling dominan adalah **ketakutan**. Dan ketakutan itu bernama **Jalil Mulyono**, atau lebih dikenal sebagai **Bang Jali**. Dia bukan sekadar preman; dia adalah **Raja**. Ketua Aliansi Preman Pasar Selatan, julukannya bergema lebih keras daripada dentuman truk pengangkut barang atau teriakan lelang. Tubuhnya kekar bagai batu kali, dipenuhi tato naga menyala yang meliuk dari leher hingga pergelangan tangan—seakan hidup dan mengintai. Matanya, hitam pekat dan dingin seperti mata pisau belati yang baru diasah, selalu menyapu kerumunan, mencari kelemahan, mencari mangsa. Suaranya, serak oleh bertahun-tahun rokok murah dan minuman keras oplosan, adalah hukum yang tak terbantahkan. Uang "iuran keamanan" harus masuk tepat waktu ke kantongnya. Jika terlambat, konsekuensinya bukan sekadar ancaman. Warung akan berantakan bagai diterjang badai, pedagang akan babak belur, dan harga diri mereka diinjak-injak lumpur pasar.

‎Pagi itu, gerimis tipis membasahi atap seng. Tapi suasana di depan lapak kacang tua Pak Soleh justru mendidih. Bang Jali berdiri membusung, wajahnya merah padam, urat lehernya menegang. Di kakinya, gerobak kayu Pak Soleh sudah terbalik, kacang tanah dan kedelai goreng berhamburan, tercampur lumpur dan kotoran lantai pasar.

‎"Jali... demi Allah, mohon ampun," suara Pak Soleh gemetar, tubuhnya yang ringkih nyaris menyentuh tanah. Air mata bercampur air hujan di pipinya yang keriput. "Istriku... demam tinggi semalam... habis uang buat beli obat... Minggu depan, aku sumpah, pasti lunas!" Tangannya yang kasar dan berbintik-bintik usia meremas uang recehan yang tak seberapa.

‎"Waktu adalah uang, Pak Tua!" raung Bang Jali, suaranya menggelegar memecah riuh pasar. Seketika, suasana sekitar menjadi sunyi senyap, hanya terdengar rintik hujan dan teriakan jauh. Para pedagang memalingkan muka, pura-pu sibuk. "Kau pikir aku ini yayasan sosial?! Kau pikir kerjaanku ngasihani orang melarat?!" Tinjunya terkepal, otot lengan ber-tato itu mengencang, siap menghunjam ke wajah renta di hadapannya. Nafasnya berat, mengeluarkan bau alkohol sisa semalam. Dalam pikirannya, ini soal prinsip. Jika satu orang telat, yang lain akan mengikuti. Kekuasaannya bisa goyah.

‎Tiba-tiba, dari kerumunan yang menjauh, terdengar teriakan panik, melengking, penuh keputusasaan: "Tolong! Jambret! Dompet Ibuuu!"

‎Seorang anak kecil, tak lebih tinggi dari pinggang Bang Jali, melesat seperti anak panah. Selembar baju merah pudar—mungkin pernah cerah seperti harapan—terkibas-kibas. Rambutnya dikepang dua, kucel karena hujan dan lari. Matanya, besar dan coklat bening, dipenuhi air mata dan ketakutan yang murni. Tapi ada juga tekad membara di dalamnya. Tangannya mungil terkepal erat, menunjuk ke arah seorang pemuda bertopi baseball yang menyelinap di antara gerobak. "Itu dia! Dia ambil dompet Ibu! Ada uang buat beli obat!"

‎Naluri. Itu yang pertama kali muncul di kepala Bang Jali. Naluri *preman*. Wilayahnya. Kekuasaannya. Ada yang berani beraksi tanpa izinnya? Tanpa setoran? Amarah yang tadinya tertuju ke Pak Soleh seketika beralih, menemukan sasaran baru yang lebih "layak". Dengan gerakan gesit yang mengejutkan untuk tubuh sebesar itu, Bang Jali melesat. Langkahnya berat namun cepat, bagai banteng mengamuk. Dia menyikut pedagang yang menghalangi, tak peduli jeritan protes. Dalam tiga langkah besar, dia sudah mengejar si pencuri. Satu tarikan kasar ke kerah jaket, tubuh pemuda bertopi itu terpelanting ke kubangan air kotor. Bang Jali menginjak perutnya, membuat si pencuri terbatuk-batuk. Dengan gerakan mahir, dia merampas dompet kain kecil yang tersembul dari saku sang pencuri.

‎"Goblok! Berani-beraninya jambret di wilayah gue!" tendangan keras Bang Jali mendarat di rusuk pencuri yang menjerit kesakitan. "Lapar ya?! Makan tanah ini!" Tendangan lain menyusul. Si pencuri merangkak, lalu kabur terbirit-birit meninggalkan topinya, ketakutan mematikan di matanya. Bang Jali memungut topi itu, meremasnya dengan jijik, lalu melemparkannya jauh-jauh.

‎Dia berpaling, dompet kecil itu masih di tangannya yang besar dan kasar. Di depannya, berdiri si gadis kecil dengan baju merah. Dia terengah-engah, kucuran air mata membasahi pipinya yang kotor, tapi matanya menatap Bang Jali dengan cahaya yang berbeda. Bukan ketakutan. Bukan keputusasaan. Tapi... harapan? Rasa syukur yang begitu besar?

‎"Bang!" serunya, suaranya lirih tapi jelas di tengah sunyinya pasar yang menyaksikan. "Terima kasih, Bang! Dompet Ibu..." Tangannya yang kecil dan dingin meraih dompet itu. Dia memeluknya erat-erat ke dada, seolah benda paling berharga di dunia. "Ada uang buat beli obat Ibu." Dia membuka dompet itu, memperlihatkan beberapa lembar uang kertas lusuh dan koin recehan. "Ibu sakit, Bang. Batuk darah."

‎Bang Jali berdiri kaku. Amarahnya tadi tiba-tiba menguap, digantikan rasa tidak nyaman yang aneh. Dia melihat air mata di pipi kecil itu, melihat kelegaan di mata beningnya. Dia melihat kehancuran di lapak Pak Soleh di belakangnya. Kontras yang mencolok. *Baik?* Apakah tindakannya tadi baik? Kata itu terasa asing dan pahit di lidahnya. Tak seorang pun, dalam tiga puluh tahun hidupnya yang penuh kekerasan dan kepedihan, pernah menyebutnya 'baik'. Matanya yang biasa dingin dan waspada, tanpa sengaja menatap wajah polos Tari—dia mendengar ibu pedagang sayur memanggilnya begitu. Ada kepolosan, kepercayaan, dan semacam kehangatan di sana. Sesuatu yang terlupakan, yang membuat dadanya sesak tanpa alasan yang jelas. Perasaan aneh itu membuatnya jengkel.

‎"Pulang sana, bocah!" hardiknya, tapi suaranya tak sekeras biasanya. Tak ada amarah yang mendidih. Malah, tangannya merogoh saku celana jeansnya yang kotor, mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan—uang hasil palakan dari pedagang daging tadi pagi. Dia sodorkan ke Tari. "Nih! Buat beli obat ibumu. Jangan lari-lari lagi di pasar! Bahaya! Bisa ketabrak gerobak atau diinjak orang!" Ucapannya masih kasar, tapi tindakannya berbicara lain.

‎Tari terkesiap. Matanya membulat, memandang uang itu, lalu memandang wajah sangar Bang Jali. Tak ada keraguan, hanya keheranan yang berubah menjadi sukacita. "Terima kasih banyak, Bang Jali!" serunya, menyebut namanya dengan jelas. Rupanya dia tahu siapa "Raja" Pasar Kembang itu. Tapi, sekali lagi, tak ada bayangan ketakutan di wajahnya. Hanya rasa terima kasih yang tulus dan polos. Sebelum Bang Jali bisa berkata apa-apa, Tari sudah membungkuk cepat, lalu berlari kecil menyusuri lorong pasar, sesekali menoleh dan melambaikan tangan kecilnya, senyum lebar mengembang di wajahnya yang masih basah oleh air mata.

‎Bang Jali berdiri diam di tengah hujan gerimis yang mulai deras. Dia menatap tangan kosongnya yang baru saja memberi. Dia menatap Pak Soleh yang masih terduduk di lumpur di samping gerobaknya yang hancur. Dia menatap arah lari Tari yang menghilang di balik tumpukan karung beras. Riak kecil telah tercipta di kolam stagnan kehidupannya. Riak bernama Tari.

‎**Bagian 2: Kue Lapis dan Bayang-Bayang Masa Lalu**

‎Pertemuan dengan Tari itu seperti batu kecil yang dilemparkan ke kolam air keruh, tetapi riaknya terus meluas, mengganggu kedalaman yang selama ini tenang. Hari-hari berikutnya, Bang Jali menemukan dirinya lebih sering melongok ke arah ujung lorong pasar, tempat sebuah warung kue lapis sederhana berdiri. Warung itu milik Siti, ibu Tari. Seorang wanita kurus dengan mata sayu dan batuk-batuk yang tak kunjung reda. Bang Jali mengamati dari jauh. Tari, dengan seragam merah putih yang sudah pudar, membantu ibunya sepulang sekolah. Dia mengatur kue, membersihkan meja kecil, melayani pembeli dengan sopan dan senyum yang tak pernah pudar, meski sering dibayar dengan uang receh. Mereka hidup miskin, jujur, dan penuh perjuangan. Bertahan dengan usaha kecil, tanpa mengeluh, apalagi memalak.

‎Suatu sore, saat Bang Jali duduk di warung kopi langganannya—sebuah bangku kayu reyot di depan warung mie—tiba-tiba ada bayangan kecil di sampingnya.

‎"Bang Jali?"

‎Bang Jali menoleh. Tari berdiri di sana, kedua tangan menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Matanya berbinar-binar.

‎"Apa kau mau?" tanya Bang Jali berusaha kasar, tapi nada suaranya tak mampu sekeras biasanya.

‎"Ini," kata Tari, mengulurkan sebuah bungkusan kecil daun pisang. "Kue lapis. Buatan Ibu. Ibu bilang, terima kasih sudah nolongin Tari dan kasih uang buat obat." Senyumnya cerah, mengalahkan cahaya lampu neon warung.

‎Bang Jali memandang bungkusan itu seperti melihat benda asing. Memberi? Orang memberinya sesuatu? Tanpa paksaan? Tanpa rasa takut? Dia menggerutu, "Ngapain? Gue nggak butuh. Bawa pulang sana!"

‎Tapi Tari tak bergeming. Dia hanya meletakkan bungkusan kecil itu di meja kayu yang lengket di sebelah Bang Jali. "Buatan Ibu enak, Bang. Dicoba ya!" Lalu, sebelum Bang Jali bisa protes lagi, dia sudah berlari kecil kembali ke warung ibunya, menoleh sekali dan melambai.

‎Bang Jali menatap bungkusan daun pisang itu lama. Akhirnya, dengan gerakan seakan tak sengaja, dia membukanya. Di dalamnya, potongan kue lapis berwarna-warni, rapi, harum. Bau pandan dan santan yang sederhana. Dia mencubit sedikit, ragu. Memasukkan ke mulut. Rasanya... manis. Legit. Hangat. Berbeda dari rasa rokok, alkohol, atau darah yang biasa memenuhi mulutnya. Dia menghabiskan potongan kecil itu dalam diam. Esoknya, Tari datang lagi. Dan lusa lagi. Menjadi ritual. Bang Jali mulai, diam-diam, menunggu kehadiran bocah kecil itu dan bungkusan kecilnya. Dia bahkan, tanpa disadarinya, mulai mengawasi warung kue lapis itu. Suatu kali, dia melihat anak buahnya yang paling beringas, **Gepeng**, si kurus tinggi dengan wajah seperti tikus dan mata licik, sedang mengganggu seorang pembeli di warung Siti, meminta "uang rokok" dengan paksa.

‎"Gepeng!" suara Bang Jali menderu, membuat Gepeng dan pembeli itu kaget. "Jauh-jauh dari warung itu! Jangan ganggu!"

‎Gepeng terbelalak, bingung. "Eh, Bang Jali? Warung kue lapis? Cuma mau minta jatah rokok kecil..."

‎"Sekarang juga, Gepeng!" Bang Jali mendekat, posturnya mengintimidasi. "Dan kau, dengarkan baik-baik. Warung itu, dan bocah kecil itu, **jangan diganggu**. Ngerti? Satu helai rambutnya kau sentuh, satu kata kasar kau ucap ke mereka, kau berurusan sama gue. Langsung." Matanya berapi-api, berbeda dari dinginnya yang biasa. Ini adalah perintah personal. Ini adalah proteksi.

‎Gepeng mengangguk cepat, wajahnya pucat, lalu minggir. Tapi mata kecilnya menyipit, menyimpan dendam dan kebingungan. Kabar itu menyebar di kalangan anak buah Bang Jali. Sang Raja melindungi seorang bocah perempuan dan ibunya penjual kue? Ada apa?

‎Perlindungan itu berlanjut. Bang Jali mulai memperhatikan lebih banyak hal. Dia melihat Pak Soleh, yang masih berjuang merawat istrinya yang sakit. Dia melihat Bu Aminah, penjual buah, yang harus membiayai anaknya kuliah di kota dengan laba kecil. Dia melihat keringat dan kerja keras, bukan sekadar target palakan. Suatu hari, dia bahkan mendatangi warung Siti saat Tari sedang di sekolah. Siti terkejut ketakutan saat melihat sosok besar dan sangar itu mendekat.

‎"Jangan takut," kata Bang Jali, suaranya serak, berusaha lembut tapi terdengar canggung. "Tari... dia baik. Rajin." Dia merogoh saku, mengeluarkan selembar uang. "Ini... buat tambah modal. Obat juga." Dia meletakkan uang di meja kecil, lalu pergi begitu saja, meninggalkan Siti yang terpana, memegang uang itu dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca.

‎**Bagian 3: Pemberontakan di Kerajaan Gelap**

‎Perubahan pada Bang Jali tak bisa disembunyikan. Dia mulai jarang memungut "iuran" secara rutin. Saat dikonfirmasi, jawabannya singkat: "Nanti." Dia lebih sering duduk diam di warung kopi, memandangi pasar dengan tatapan baru. Tatapan yang mulai melihat manusia, bukan sekadar sumber uang. Dia mulai ikut melerai pertengkaran kecil antar pedagang, bukan memanfaatkannya. Suatu sore yang panas, dia melihat Gepeng dan dua anak buah lainnya sedang memalak Bu Aminah, penjual buah, dengan sangat kasar. Gepeng bahkan mengancam akan membuang dagangannya ke selokan jika tak membayar lebih.

‎"Udah minggu ini nggak setor, Bu! Jualan buah kok pelit!" hardik Gepeng, mendorong keranjang apel hingga beberapa buah jatuh berguling.

‎Bu Aminah menangis, memunguti apel-apel itu. "Tolong, Gepeng... kemarin baru bayar sekolah anakku... minggu depan, aku janji..."

‎"Janji nggak makan, Bu!" Gepeng mengangkat tangan, hendak menampar.

‎"GEPENG!"

‎Suara itu seperti petir. Bang Jali berdiri beberapa meter di belakangnya, wajahnya gelap. Amarah lama berkobar, tapi kali ini bukan demi kekuasaan, demi uang, atau demi ego. Kali ini demi keadilan kecil yang baru saja dia pahami.

‎"Bang?" Gepeng menoleh, wajahnya berubah dari jumawa menjadi waspada.

‎"Lepasin dia!" geram Bang Jali, mendekat dengan langkah berat. "Uang yang kau ambil, kembalikan! Sekarang!"

‎Gepeng bingung, lalu wajahnya memerah. "Bang? Ini kan prosedur? Ini jatah kita! Kalau satu nggak bayar, yang lain niru!"

‎"Sekarang juga, Gepeng!" raung Bang Jali, berdiri hanya sejengkal di depan anak buahnya. Aura keganasannya yang legendaris memenuhi ruang. "Dan kau dengarkan! Mulai hari ini, pedagang kecil kayak Bu Aminah, Pak Soleh, atau warung kue lapis itu, **jangan kau ganggu lagi!** Ngerti?! Mereka nggak perlu bayar 'iuran' lagi! Kalau ada yang butuh bantuan, kita bantu, bukan palak! Itu perintah!"

‎Keheningan menyergap sudut pasar itu. Bu Aminah terisak. Pedagang lain menyaksikan dengan mulut ternganga. Gepeng memandang Bang Jali dengan tatapan tak percaya, lalu berubah menjadi geram. Dia mengembalikan uang recehan itu ke tangan Bu Aminah yang gemetar, lalu pergi dengan langkah cepat, diikuti kedua temannya. Mata Gepeng memancarkan api pemberontakan.

‎Kabar itu menyebar bagai api di sekam. Pasar Kembang bergemuruh dengan bisik-bisik penuh keheranan dan harapan, tapi juga ketakutan baru. Di kalangan anak buah Bang Jali, terutama yang dipimpin Gepeng, terjadi gejolak.

‎"Bang Jali udah gila!" gerutu Gepeng malam itu di markas mereka, sebuah gudang penyimpanan ikan asin yang bau dan lembap di belakang pasar. Sekitar sepuluh preman berkumpul, wajah-wajah keras penuh tato dan luka. "Dia lemah! Jadi orang suci! Lupa darimana dia makan? Lupa siapa yang bikin dia Raja?!"

‎"Betul, Gep! Kita nggak bisa hidup dari angin!" sahut yang lain.

‎"Dia lindungi orang-orang lemah itu? Kita nggak butuh Raja yang lemah!" tambah yang lain, memukul meja kayu lapuk.

‎Gepeng berdiri, matanya berbinar licik. "Kita ambil alih! Kalau Bang Jali nggak mau lagi memimpin kita cari makan, kita pimpin diri kita sendiri! Kita kerjain pasar ini sesuka kita! Ambil berapa yang kita mau! Bang Jali udah tua! Dia nggak sekuat dulu!" Dia melempar pandangan ke sekeliling. "Siapa setuju?"

‎Suara setuju bergemuruh, dipenuhi semangat keserakahan yang dipendam lama. Mereka merencanakan aksi. Mulai besok, mereka akan memalak pedagang dengan lebih ganas, terutama yang dilindungi Bang Jali. Mereka akan uji nyali sang Raja yang sudah "turun tahta".

‎**Bagian 4: Konflik Batin dan Bayang-Bayang Guru**

‎Perubahan Bang Jali bukan tanpa pergolakan batin. Malam-malam menjadi panjang. Dia sering terbangun oleh mimpi buruk. Bayangan korban-korbannya: pedagang yang dipukuli, warung yang dihancurkan, tangisan anak-anak yang melihat orang tuanya dipermalukan. Wajah Tari yang polos dan penuh kepercayaan sering muncul di mimpinya, terkadang tersenyum, terkadang menangis melihat kekejamannya di masa lalu. Dia mulai mengurangi minuman keras, tapi godaannya kuat. Suatu malam, dalam keadaan setengah sadar setelah menenggak setengah botol minuman oplosan, dia berjalan tanpa tujuan di lorong-lorong pasar yang sepi. Hingga dia berhenti di depan sebuah musholla kecil yang terletak di pojok pasar. Dari dalam, terdengar suara lirih mengaji. Tanpa sadar, dia terduduk di tangga mushola, kepalanya menunduk berat.

‎"Jalil?"

‎Suara itu membuatnya terkejut. Dia menoleh. Seorang lelaki tua renta berdiri di pintu mushola, mengenakan sarung dan peci putih. Wajahnya keriput, tapi matanya jernih dan bijak. **Pak Hadi**. Guru ngajinya dulu, ketika Bang Jali masih kecil dan tinggal di lingkungan pasar, sebelum hidupnya berbelok menjadi keras.

‎"Pak... Pak Hadi?" suara Bang Jali serak. Rasa malu yang dalam menyergapnya. Dia tak pernah berani bertemu gurunya sejak menjadi preman. Dia tahu Pak Hadi pasti mendengar semua perbuatannya.

‎Pak Hadi mendekat, duduk di sampingnya. Tidak ada penghakiman di matanya, hanya kesedihan dan... harapan? "Aku dengar kabar, Jalil," katanya lembut. "Aku dengar tentang anak kecil itu. Tari."

‎Bang Jali menunduk, tak kuasa menatap mata gurunya. "Gue... gue bukan orang baik, Pak. Gue iblis. Darah di tangan gue banyak."

‎"Tapi kau menolong Tari," kata Pak Hadi. "Dan kau melindungi ibunya. Kau mulai melindungi yang lemah. Itu langkah pertama, Nak. Langkah pertama kembali." Tangannya yang kurus dan berurat menepuk punggung Bang Jali yang tegang. "Allah Maha Melihat, Jalil. Dia melihat perjuanganmu sekarang. Dia melihat batinmu yang bergejolak. Pertobatan itu bukan tentang masa lalu yang terhapus, tapi tentang langkah ke depan yang dipilih dengan benar. Sekali langkah, sekali langkah."

‎Kata-kata Pak Hadi, sederhana namun penuh makna, menyentuh bagian terdalam yang selama ini beku. Bang Jali tidak menjawab. Air mata panas, yang sudah puluhan tahun tak pernah keluar, tiba-tiba mengalir deras di pipinya yang kasar. Dia menangis. Histeris. Seperti anak kecil yang hilang, di tangga mushola pasar yang bau, di hadapan gurunya yang tua. Pak Hadi hanya memeluknya, membiarkannya mencucurkan semua racun dosa dan penyesalan yang terpendam.

‎Pertemuan itu memberinya kekuatan baru. Keesokan harinya, dia melakukan hal yang menggemparkan Pasar Kembang. Dia mendatangi lapak Pak Soleh. Bukan untuk memalak, tapi membawa sekarung beras, seember minyak goreng, gula, dan sejumlah uang.

‎"Pak Soleh," ucapnya, suaranya berat tapi tulus. "Ini... buat istri dan keluarga. Buat obat dan makan. Maaf... maafin gue." Dia menunduk dalam-dalam, sebuah penghormatan yang belum pernah dilihat siapapun darinya.

‎Pak Soleh terpana, lalu tangisnya pecah. Dia memeluk karung beras itu, tak percaya. "Jali... Nak... Terima kasih... Allahuakbar..."

‎Bang Jali juga mendatangi Bu Aminah, membantu membereskan lapaknya yang berantakan, diam-diam menyelipkan uang di bawah timbangan. Dia mendatangi warung-warung kecil lainnya yang pernah menjadi korbannya, meminta maaf dengan caranya yang kaku, berantakan, namun tulus. Dia menggunakan sisa uang hasil palakan yang masih dia miliki—uang haram—untuk membantu mereka yang kesusahan. Dia menyebutnya "uang kebon" pada dirinya sendiri, uang untuk menanam kebaikan baru. Dia juga mulai rajin ke mushola Pak Hadi, meski hanya duduk di belakang, mendengarkan, mencoba memahami ayat-ayat yang dulu dia tinggalkan.

‎**Bagian 5: Pertarungan Terakhir Sang Naga**

‎Perubahan Bang Jali adalah pengkhianatan bagi Gepeng dan kroni-kroninya. Mereka tak bisa menerima "kerajaan" mereka runtuh. Ancaman tak langsung mulai berhembus. Warung kue lapis Siti suatu pagi ditemukan berantakan, kue-kue berserakan di tanah. Tulisan "JALI LEMAH" coretan cat semprot menghiasi dinding kayunya. Tari menangis ketakutan. Bang Jali marah, tapi dia tahu ini hanya permulaan.

‎Puncaknya datang suatu malam gelap. Bang Jali baru saja keluar dari mushola setelah berbincang dengan Pak Hadi, ketika dia dikepung di lorong sempit dekat gudang ikan asin. Gepeng memimpin, diikuti tujuh preman beringas lainnya. Mereka membawa kayu, besi, dan pisau.

‎"Bang Jali," sapa Gepeng, suaranya mengejek. "Malam masih muda, kok sudah pulang? Mau ngaji jadi ustadz ya?"

‎Bang Jali berdiri tenang, matanya menyapu wajah-wajah yang dulu takluk di bawah perintahnya. "Apa maumu, Gepeng?"

‎"Kami mau pasar ini kembali seperti dulu, Bang!" hardik Gepeng. "Kami mau uang! Kami mau kuasa! Kami nggak mau jadi penjaga parkir atau tukang damai! Kau udah jadi sampah lemah! Turun tahta, atau kami yang turunin kau!" Dia meludah ke tanah dekat kaki Bang Jali.

‎Ketegangan mematikan menyergap lorong sempit itu. Bang Jali menarik napas dalam. Dia melihat bayangan masa lalunya yang kejam dalam diri Gepeng. Tapi dia juga melihat wajah Tari yang polos, mendengar kata-kata Pak Hadi tentang langkah pertama. Dia tak bisa mundur. Tak untuk dirinya sendiri, tapi untuk secercah cahaya yang baru dia temukan.

‎"Pasar ini bukan lagi tempat kalian menjarah," suara Bang Jali rendah, namun bergetar penuh wibawa dan tekad baja. "Aku yang membangun kekuasaan gelap di sini, aku juga yang akan mengakhirinya. Kalian masih ingin jadi preman? Cari tempat lain! Tapi ingat," tatapannya seperti pisau menyapu wajah satu per satu, "selama aku masih berdiri, selama napas ini masih ada, Pasar Kembang bukan tempat kalian beraksi. Satu langkah kalian ganggu pedagang, satu pukulan kalian jatuhkan, kalian berurusan denganku. Langsung." Dia membuka kancing bajunya, memperlihatkan tubuh ber-tato naga yang masih perkasa. "Sekarang, kalau berani, maju!"

‎Gepeng meludah lagi, lalu menerjang dengan kayu besi. "Bunuh dia!"

‎Pertarungan sengit pecah. Delapan lawan satu. Bang Jali bergerak seperti naga marah yang legendaris. Pukulannya menghantam, tendangannya mematahkan. Dia menggunakan segala ilmu bertarung brutal yang dia kuasai. Tapi dia juga menerima pukulan. Kayu memecahkan kulit kepalanya, darah mengalir. Pisau menggores lengannya. Dia terhuyung, tapi tak jatuh. Dia berjuang bukan untuk mempertahankan tahta, tapi untuk mempertahankan secercah harapan baru. Untuk Tari. Untuk Pak Soleh. Untuk Bu Aminah. Untuk penebusan.

‎Satu per satu preman itu jatuh, mengerang kesakitan. Tapi Gepeng, dengan pisau di tangan, licik. Dia menyelinap di belakang Bang Jali yang sedang menghadapi dua orang di depan. Pisau itu dihunuskan, menuju punggung.

‎"Bang Jali! Awas!"

‎Teriakan kecil itu memecah malam. Tari! Dia berdiri di ujung lorong, wajahnya pucat ketakutan, mungkin mencari Bang Jali setelah mendengar keributan.

‎Teriakan itu membuat Bang Jali refleks menoleh. Pisau Gepeng, yang tadinya menuju ginjal, menyasar pundaknya. Tertancap dalam! Rasa sakit yang tajam menyambar. Tapi teriakan Tari juga memicu amarah terakhir yang membara. Dengan raungan seperti binatang terluka, Bang Jali berputar, tangannya yang masih bebas mendarat tepat di rahang Gepeng. Bunyi tulang patah. Gepeng terlempar ke dinding gudang, tak bergerak. Preman terakhir yang masih berdiri, melihat Gepeng KO dan Bang Jali yang berdiri berlumuran darah namun matanya masih menyala, memilih kabur ketakutan.

‎Bang Jali terhuyung, tangannya menekan luka di pundak yang mengucurkan darah deras. Matanya mencari Tari. Bocah kecil itu berlari mendekat, wajahnya basah oleh air mata, ketakutan.

‎"Bang Jali! Bang Jali! Darahnya banyak!" tangisnya.

‎Bang Jali tersenyum, senyum yang aneh dan kaku di wajahnya yang berdarah, tapi tulus. "Nggak... nggak apa-apa, Tar... Bang... Bang baik-baik saja." Dia terjatuh ke satu lutut. "Tadi... teriakannya kencang ya? Selamatkan Bang..."

‎Tari memeluk kaki Bang Jali yang besar, tak peduli bajunya terkena darah. "Takut, Bang! Takut Bang Jali mati!"

‎**Bagian 6: Fajar di Pasar Kembang**

‎Bang Jali selamat. Luka di pundaknya dalam, tapi tidak fatal. Dia dirawat di puskesmas, biayanya dikumpulkan oleh pedagang pasar yang selama ini dia lindungi. Pak Soleh, Bu Aminah, Siti, dan banyak lainnya datang menjenguk, membawa buah, makanan, dan doa. Bahkan Pak Hadi datang setiap hari, membacakan ayat-ayat Al-Qur'an di samping tempat tidurnya. Kehadiran mereka, kepedulian mereka, adalah obat yang lebih kuat dari apapun bagi Bang Jali.

‎Pertarungan itu adalah akhir dari era "Raja" Pasar Kembang sekaligus awal yang baru. Gepeng dan kroni-kroninya yang pulih dipindahkan oleh polisi atas laporan pedagang dan kesaksian Bang Jali. Kekuasaan Aliansi Preman Pasar Selatan bubar.

‎Ketika Bang Jali kembali ke pasar, dia bukan lagi Sang Raja yang ditakuti. Dia adalah **Bang Jali, Penjaga Pasar Kembang**. Dia membantu mengangkat karung beras yang berat, mengatur parkir yang semrawut, melerai pertengkaran dengan wibawa barunya, mengusir pencuri sungguhan. Dia menjadi mediator, penengah masalah. Uang "iuran" digantinya dengan kotak amal sukarela di mushola Pak Hadi, untuk membantu pedagang yang benar-benar kesusahan atau anak-anak mereka yang ingin sekolah. Dia sendiri yang sering mengisi kotak itu dengan uang hasil kerja serabutan yang halal—mengangkut barang, menjaga malam.

‎Transformasinya tidak instan. Sisa kekasaran masih ada. Caranya bicara masih keras. Terkadang amarah lama muncul, tapi dia belajar mengendalikannya. Dia sering duduk di bangku kayu dekat warung kue lapis Siti yang kini lebih ramai, ditemani Tari yang terus memberinya kue lapis dan cerita-cerita sekolah. Wajah Siti juga mulai bersemu sehat.

‎Suatu senja, mereka duduk bersama memandang matahari terbenam yang menyala di antara atap-atap seng pasar. Suasana pasar sudah tenang, damai.

‎"Bang Jali sekarang nggak galak-galak lagi ya?" tanya Tari polos, menggigit kue lapis. "Sekarang senyum terus. Ibu bilang, Bang sekarang malaikat penjaga pasar."

‎Bang Jali menoleh ke gadis kecil itu. Wajah polosnya, kepercayaan di matanya, telah menjadi kompasnya. Telah meruntuhkan tembok kebengisan setinggi gunung. Dia tersenyum, lebih lebar dan lebih natural dari sebelumnya, meski bekas luka di dahinya masih terlihat. "Iya, Tari," katanya, suaranya berat namun hangat. "Bang... lagi sekolah. Sekolah jadi orang baik. Susah sih, kadang pengen marah-marah lagi." Dia menepuk kepala Tari dengan lembut. "Tapi selama ada Tari yang ngasih kue dan ngajak senyum, Bang bakal terus belajar."

‎Dosa-dosanya di Pasar Kembang, noda darah di tangannya, tak akan pernah terhapus sepenuhnya. Ingatan akan kekejamannya akan selalu ada. Tapi di bangku kayu reyot itu, ditemani senyuman seorang anak kecil yang pernah dia tolong—seorang anak kecil yang telah menjadi bintang penuntunnya—Bang Jali menemukan arti sebenarnya dari penebusan. Penebusan bukan melupakan masa lalu, tapi menjadikannya pelajaran untuk membangun masa depan yang lebih terang. Untuk seorang Raja yang turun tahta dari kejahatan, jalan panjang menuju cahaya itu memang baru saja dimulai. Masih panjang, berliku, dan berat. Tapi dia tahu, setiap langkah jujur di atas aspal basah Pasar Kembang, ditemani senyum Tari dan dukungan orang-orang yang mulai mempercayainya lagi, adalah kemenangan kecil. Dan untuk Bang Jali, yang telah lama hidup dalam kegelapan, kemenangan-kemenangan kecil cahaya itu lebih berharga dari semua tahta dan harta duniawi. Dia telah menemukan kerajaannya yang baru: kerajaan hati nurani. Dan di sana, di Pasar Kembang yang mulai menumbuhkan tunas harapan, Jalil Mulyono akhirnya menemukan pulang.

‎**Selesai**

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Banjir yang Tidak Jadi Datang
Art Fadilah
Flash
Pewaris Hanya Menyenangkan Bila Para Pendahulu Masih Mengawasimu
Adinda Amalia
Cerpen
Bronze
Sembunyi dibalikata Baik-baik Saja
Lilis Alfina Suryaningsih
Cerpen
Noda Darah Dan Senyum Kecil : Jalan Panjang Sang Raja Pasar
muhamad jumari
Novel
HOW I AM
Ziierin25
Novel
Bronze
Dokter dan Chef
Maria Goreti
Novel
Bronze
Writing is My First Love
d Curly Author
Novel
Bronze
Serpihan Sembilan Puluh Delapan
ayurinp
Komik
Bronze
Salvation
Mery Shera
Skrip Film
Merayan Dibalik Jemari
Diah Pitaloka
Skrip Film
TITIP SALAM UNTUK BAPAK
Zenchan
Cerpen
Bronze
Ratu di Tengah Kota
Baiq Desi Rindrawati
Novel
Bronze
Si Cantik
Hermawan
Komik
Wendy
deevn
Flash
Mengapa Harus Ada Cinta dalam Pernikahan
Jasma Ryadi
Rekomendasi
Novel
Kembali Ke Masa Lalu : Misi 5 BITCOIN
muhamad jumari
Cerpen
Noda Darah Dan Senyum Kecil : Jalan Panjang Sang Raja Pasar
muhamad jumari
Cerpen
Dukun Cabul Dan Celana Dalam Warisan
muhamad jumari
Cerpen
Detektif Kaiden Shadow : Detektif Di Balik Uap Kopi
muhamad jumari
Cerpen
Aku Ingin Menjadi Pro Player
muhamad jumari
Cerpen
Detak Terbalik Tragedi Jam Antik
muhamad jumari
Cerpen
Bronze
Mantra Berdarah : Luka Di Balik Janji Kesuksesan
muhamad jumari