Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perbedaan adalah hal yang menyatukan kami. Jika orang-orang membenci perbedaan dan menyebut perbedaan adalah hal yang harus disamakan, maka kami adalah orang-orang yang percaya bahwa perbedaan tidak harus disamakan, kami tidak harus sama untuk menjadi berharga untuk satu sama lain. Kami bangga dengan perbedaan yang melekat pada diri kami. Tidak peduli sekeras apapun orang-orang menyerukan perbedaan yang ada di antara kami, kebersamaan ini akan terus terjaga.
Kami adalah tiga orang gadis muda yang terjebak di dalam kerasnya dunia kedewasaan, kami sudah menjalin hubungan pertemanan sejak awal kami menginjakkan kaki di kelas perguruan tinggi. Sarah, Elsa, dan Kristi. Itulah nama kami. Sarah memiliki latar belakang yang cukup keras, ia sudah harus merasakan bagaimana menjadi seorang kakak dengan peran yang berbeda. Bagi teman-teman kami ia terlihat sangat dewasa dan mandiri. Elsa merupakan anak bungsu yang memiliki tanggung jawab besar di keluarganya, meskipun ia adalah seorang anak bungsu ia sangat tahu bagaimana harus bersikap dan menyelesaikan tanggung jawabnya layaknya seorang professional. Sementara aku, Kristi, latar belakangku cukup normal namun, dipenuhi dengan masa lalu yang cukup menyakitkan. Aku adalah anak dan cucu perempuan pertama yang menjadi tumpuan ekspektasi keluarga besar. Kami saling mengenal dengan cara yang berbeda, Sarah dan aku saling mengenal melalui aplikasi perpesanan sementara, kami mengenal Sarah secara langsung di kelas.
Tidak mudah bagi kami untuk berjalan berdampingan, pemikiran kami saling berbanding terbalik dalam menghadapi sesuatu. Terkadang itulah masalah terbesar kami, selalu berbeda, tidak pernah bisa sejalan dan akan selalu bertentangan. Sarah dengan penyelesaiannya yang dewasa, Elsa yang memiliki penyelesaian yang terstruktur dan aku yang memiliki cara penyelesaian dengan logis dan abstrak. Beberapa kali kami berdebat tentang hal itu. Ajaibnya, kami tetap berteman hingga saat ini.
Di tahun kedua perkuliahan, kami mulai menjauh terutama diriku yang sengaja menjauh dari mereka. Itu semua karena aku terlalu banyak berfikir mengapa kami berbeda, bukannya berfikir apa yang bisa kami ciptakan dari perbedaan ini. Harus kuakui bahwa itu semua terjadi berkat seorang gadis yang memiliki kemampuan berbicara yang hebat, ia sangat kreatif, sangat ekspresif. Ia sangat hebat dalam hal tidak dapat menghargai seseorang dan tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Yap, sarkasme yang sangat tepat untuk mendeskripsikan dirinya.
Kami berteman karena klaim persamaan yang ia selalu sebutkan setiap kami berbicara. Aku yang saat itu lelah dengan perbedaan mulai tertarik dengan persamaan yang ia lanturkan, aku terus berusaha memahami persamaan tersebut hingga dalam beberapa keadaan aku menyadari ada banyak hal yang berubah dalam lingkaran kehidupanku. Semakin lama semakin banyak perubahan negative yang aku sadari, tentu ini sangat tidak baik untuk dipertahankan. Orang-orang mulai bergunjing tentang diriku dan gadis itu. Bukannya merasa ada yang salah dan mengintropeksi diri, ia malah merasa superior dan beranggapan bahwa semua orang sangat memperhatikan dirinya, da nada satu klaim yang membuatku semakin terkejut dan kesal di saat yang bersamaan. Ia pernah berkata dengan lantangnya kepadaku
“Apa kau tahu? Laki-laki yang sangat akrab dengan dirimu itu sangat mirip dengan teman lelaki ku, dan ia menyukaiku.”
Dengan kata lain, lelaki yang dekat denganku menyukai dirinya.
“Aku merasa ada yang janggal dengan Rian, ia begitu baik padaku dan aku rasa itu lebih dari kebaikan antar teman. Pasalnya, ia sangat mendengarkan ceritaku dan baru-baru ini ia meminta tolong padaku untuk mengisi absennya. Padahal aku tidak bisa menjadi lebih dari teman dengannya.”
“Kau tahu, belakangan ini sepertinya Brian selalu memerhatikan diriku. Anehnya kami bahkan tidak sedekat itu untuk saling menatap dengan lekat. Beberapa kali, aku mendapati dirinya yang duduk di bagian depan kelas terus menoleh ke arah belakang tepat dimana aku duduk. Ia bisa sajakan menatap objek yang lain selain diriku, tapi kenapa tatapannya begitu lekat ke arah ku?”
“Aku bingung dengan Vio yang selalu berusaha berkompetisi denganku. Aku bahkan tidak pernah menganggap dirinya sebagai saingan! Bayangkan saja saat aku berusaha menjawab pertanyaan, ia yang duduk sejajar denganku dalam rentang jarak yang agak jauh, terus saja menolehkan kepalanya ke arahku, seakan akan aku mengatakan hal yang salah.”
“Terkadang aku merasa iri dengan dirimu Kristi, kamu bisa dengan nyaman belagak seperti anak kecil yang manja, sedangkan aku terkadang memanggil teman kita dengan panggilan yang sama hanya agar bisa kita menjadi lebih akrab. Kau tahu tidak, salah satu teman kita itu ada yang baru saja ditinggal pujaan hatinya menikah dengan lelaki lain, dan beberapa hari yang lalu mantan kekasihnya itu mem-follow akun sosial mediaku. Hal itu sangat aneh bukan. Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika teman kita itu menjadi kekasihku, aku hanya bisa berteman dengan dia, aku tidak bisa menganggapnya lebih.”
“Kurasa teman kita, Sarah tidak memiliki rasa empati sama sekali. Aku yakin sekali ia memiliki tingkat kepedulian yang rendah. Ia bahkan tidak mau membantu dan memberikan toleransi kepada temannya yang telat. Ia selalu saja mementingkan diri sendiri!”
“Walaupun aku tidak mempunyai adik sepertimu Kristi, aku memiliki keponakan dan aku tahu betul bagaimana rasanya harus mengalah. Aku yakin jika kamu mengeluh tentang peran seorang kakak kepada Elsa, ia tidak akan pernah mengerti. Asal kau tahu saja, ia itu anak bungsu yang selalu diperlakukan seperti putri di rumahnya, dirinya saja tidak bisa membedakan rempah-rempah yang biasa dipakai untuk memasak.”
Kata-kata itu terus menerus ia berikan seperti siraman rohani di siang hari. Aku berusaha memahami maksud dari yang ia katakan, aku bahkan berpikir wajar jika seorang teman selalu memahami keadaan temannya yang lain termasuk kata-kata dan perilaku gadis itu. Namun, apalah daya diriku yang juga seorang manusia, kesabaran yang kumiliki juga ada batasannya, pengertian yang bisa aku berikan juga ada batasannya.
Bulan 11 di tahun 3 perkuliahan ku, aku menyerah. Aku muak dengan gadis itu. Dengan kesadaran penuh dalam diriku aku menyatakan aku menyerah. Aku sudah tidak bisa lagi mentoleransi kata-kata yang menjijikan itu dan aku tidak bisa memahami mengapa gadis itu bertindak seolah-olah ia adalah dewi yang mengendalikan bumi ini. Selama beberapa hari aku merasa bersalah karena aku menyerah memahami gadis itu yang tidak akan pernah kusebutkan lagi namanya.
Semakin lama aku menyalahkan diriku sendiri, semakin aku merasa ada yang salah.
‘Apa aku tidak berhak memutus hubungan pertemanan ini?’
‘Apa aku tidak berhak merasa muak pada seseorang?’
‘Apakah aku harus berpura-pura baik-baik saja saat menghadapi gadis itu, setelah semua yang ia lakukan?’
Pertanyaan-pertanyaan it uterus berdengung di kepalaku, dan semakin lama ku biarkan pertanyaan itu memenuhi kepalaku, aku menemukan satu jawaban yang sangat ampuh. Aku harus egois kali ini. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menceritakan hal ini kepada Sarah dan Elsa, aku bukan ingin menebar kebencian namun, aku berharap Sarah dan Elsa dapat memberikan masukan dan saran kepadaku untuk introspeksi diri. Akan tetapi, hal yang ku dapat malah semakin mengejutkanku.
Ada banyak sekali hal yang membuatku terkejut dan tertawa tak percaya, karena ada lebih dari puluhan hal yang baru aku ketahui. Awalnya aku mengira bahwa gadis itu hanya mengatakan hal-hal memuakkan kepadaku, karena responku cukup memuaskan baginya – meskipun seharusnya aku tidak merespon seperti itu – ternyata ia juga mengatakan hal itu kepada yang lainnya termasuk Sarah dan Elsa. Tidak hanya itu, ia juga menjadikan diriku sebagai objek dalam pembicaraan tersebut ditambah lagi ada beberapa hal yang menyebutkan orang tua dan keluargaku secara negative.
Sejujurnya sudah lama aku mengira jika gadis itu merasa kesal denganku ia pasti akan membicarakan diriku kepada orang lain dengan intonasi dan konsep yang negative, hanya saja aku tidak menyangka akan senegatif itu pembicaraan dimana aku menjadi topic utamanya, padahal kami masih berteman saat itu. Manusia memang sangat menyeramkan, itu adalah hal yang wajar.
Kami bertiga juga saling terkejut mengetahui rahasia yang selama ini tertutup dengan rapat. Ajaibnya kami bertiga bahkan sempat menghirup aroma bangkai yang sama dalam masalah ini. Dalam semua kejutan ini, kami benar-benar tidak bisa menghirup udara segar lagi jika kami terus menerus berada di sekitar gadis itu. Kami pun memutuskan untuk menjauh darinya demi kebaikan kami masing-masing. Jika keputusan itu membuat kami terlihat jahat, maka iya kami memang jahat. Memang membantu dan berteman dengan gadis itu adalah amal baik, akan tetapi bukankah membuat diri sendiri tersiksa dan gila adalah sebuah kejahatan dan dosa? Pada hakikatnya manusia bukanlah Tuhan yang dapat berbuat baik pada semua orang, kami hanya bisa memilih salah satu.
Alam semesta memang selalu bertindak adil, di fase kami menjauhi gadis itu ada banyak orang yang mengadukan dan mengeluhkan hal yang sama tentang dirinya. Tidak sedikit juga yang mengadukan tentang cerita yang sudah dilebih-lebihkan darinya tentang kami dan keluarga kami. Mengerikan sekali. Kami tidak mempermasalahkan jika ia hanya menjadikan kami topic pembicaraan dirinya dengan orang lain namun, yang kami sayangkan adalah ia juga menjadikan keluarga kami sebagai topic pembicaraan yang negative.
Bagaimana kami bisa memberikan toleransi kepada orang seperti itu yang melanggar batas privasi kami dan menyebarkannya ke orang lain? Kami bahkan tidak tahu apakah menyebutnya sebagai manusia adalah hal yang tepat, karena ada banyak hal mengerikan lainnya yang ia lakukan namun, sangat tidak pantas jika kami sebutkan.
Setelah melalui masa yang sulit itu, kami bertiga menjadi akrab kembal. Kami mulai menemukan keindahan dari perbedaan kami. Jika salah satu dari kami membutuhkan bantuan, kami akan berusaha membantu dengan cara kami yang berbeda. Membantu, mensupport dan memberikan yang terbaik untuk satu sama lain adaah bentuk pertemanan yang kami butuhkan. Kami sudah dapat menghirup udara segar kembali dan berjalan di jalur yang lapang.
Walaupun kami disibukkan dengan jalan hidup kami yang berbeda, momen kami berkumpul bersama berbagi cerita dan senda gurau selalu menjadi momen yang kami tunggu-tunggu. Kami berduka bersama, dan berbahagia bersama. Kami berteman bukan bersaing, kami mendukung bukan menjatuhkan, kami berbangga bukan merasa iri, dan kami bahagia dengan perbedaan yang ada di antara kami. Sebagai sesame manusia adakalanya kita di haruskan untuk memahami dan menerima perbedaan karena memang tuhan menciptakan kita secara berbeda-beda. Kami berharap banyak orang dapat melihat sisi lain dari sebuah perbedaan dan tidak memaksakan kehendak dan keadaan agar selalu sama dengan orang lain.
No offense, but if you continue to force others to be like you, then you are leading yourself into disaster.