Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Ngalor-ngidul Di Tongkrongan
2
Suka
1,149
Dibaca

“Bre, menurut kau, bagaimana caranya Indonesia bisa terbebas dari korupsi?” tanya Zaky pada kedua temannya di suatu sore, saat mereka sedang berleha-leha santai sembari menyesap kopi nikmat buatan ibu warung.

Mereka bertiga sedang membicarakan berita terkini yang baru saja rilis tiga jam lalu di seluruh media platform, tentang seorang pejabat yang menilap uang pajak miliyaran rupiah.

“Itu, mah, susah Zak,” sahut Ega. Ia mengambil satu gorengan dan menggigitnya. “Sudah mengakar banget. Kayaknya harus bersihin satu gedung pemerintah nggak, sih, kalau mau benar-benar diberantas?”

“Kan, nggak semua pejabat korupsi, Ga,” Rafi berkomentar.

“Yah, kebanyakan. Di atas rata-rata.”

“Tapi masa, sih, benar-benar harus dimusnahin, gitu.” Zaky menarik kakinya naik ke atas bangku. “Memang nggak ada cara lain?”

“Bu! Kopi hitam satu lagi ya,” seru Ega pada si ibu warung. “Coba saja, nih, nanti kita lihat. Ini pejabat yang korupsi bakal diadili dan dihukum seberat-beratnya atau nggak. Kalau akhirnya sama seperti yang sudah kita tahu, ya berarti memang sudah mati hukum di negara ini. Bagaimana coba menghidupkan orang mati?”

“Tapi, kan, ini sistem, bre, bukan orang,” sanggah Zaky. “Bisalah dibangun dan ditegakkan kembali sesuai sebagaimana semestinya.”

Kopi hitam Ega datang.

“Penegakan hukum, kalau menurutku.”

Zaky dan Ega menoleh pada Rafi.

“Kalian tahu, kan, istilah ‘tajam ke bawah, tumpul ke atas’? Itu, kan, karena penegakan hukumnya nggak benar. Bisa disuap, nggak jujur apalagi bersikap adil. Tamak. Makanya jadi kayak begini ini negeri. Itu solusinya, dan juga akar masalahnya.”

“Benar juga, nih, kata dia.” Zaky menggoyang-goyangkan jari telunjuknya kepada Rafi.

“Menurut kau, apa penyebab orang-orang mudah banget untuk disuap dan dikendalikan oleh uang?” tanya Ega pada Rafi.

Rafi menyangga pipinya dengan tangan, tampangnya terlihat berpikir. “Karena mereka pernah merasa hidup mereka tidak adil?”

“Hah? Maksudnya bagaimana?” 

“Oh, aku paham.” Zaky menegakkan punggungnya. “Orang-orang yang suka korupsi pasti ada masanya di mana mereka merasa sangat kurang, dan bekerja keras bagaimanapun caranya untuk sampai di posisi itu. Dan ketika sudah sampai di posisi itu, malah menjadi tamak. Karena rasa kurangnya di masa lalu membawa dia untuk terus mengeruk keuntungan dari apa saja yang bisa dia keruk.” 

“Ah, masa begitu?” Ega membantah. “Orang-orang ini banyak yang sudah kaya berapa turunan, Zak, dasarnya memang sudah kaya. Kenapa pula mereka harus merasa tidak adil?”

“Dasarnya itu karena ketakutan.” Rafi menyesap kopinya. “Takut miskin, takut tidak punya uang. Takut tidak diberi dan ditanggung negara di masa depan, takut keluarganya kekurangan. Itu, kan, yang selalu dipikirkan orang tua zaman dulu. Bagaimana caranya aku tetap diberi dan terjaga kebutuhan sehari-harinya oleh negara sampai mati?”

“Lebih berpikir bagaimana aku terus diberi alih-alih berpikir bagaimana aku bakal selalu menghasilkan ke depannya,” tambah Zaky. 

“Wah, kalau begitu, sila ke-5 yang bilang “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sama sekali belum terwujud, dong?”

Rafi mengangguk. “Ya iyalah, masih jauh banget. Jangankan itu, sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab” saja nggak ada. Orang yang kaya masih tamak dan merasa kurang terus, apalagi yang miskin coba? Secara tidak langsung itu penindasan terhadap kalangan bawah, dan yang kaya juga nggak tahu malu.”

“Upah gaji di Indonesia juga termasuk kecil, sih.” Zaky beropini. “Apalagi kita digajinya perbulan, bukan perjam. Kayak gaji, tuh, sebenarnya cuma cukup untuk kehidupan sehari-hari yang benar-benar memadai saja. Buat hang out atau yang lainnya itu masih kuranglah, yang benar-benar memadai, ya. Apalagi bahan baku naik terus, kan.”

“Nah, itu juga bisa dibilang salah satu masalahnya. Upah yang kecil. Sebentar aku mau pesan mie goreng.” Rafi bangkit untuk memanggilnya ibu warung, lalu duduk kembali. “Ibarat ngos-ngosanlah berusaha menyeimbangkan finansial. Dulu merasa kurang dan tidak adil, saat dapat posisi bagus jadi tamak.” 

“Berarti nggak ada sila ke-3 “Persatuan Indonesia”, ya?” tebak Ega. “Orang-orang saja masih memikirkan dirinya sendiri dan keluarga saja, masih mencoba bertahan sendiri, bagaimana mau berpikir sebagai satu bangsa coba?”

“Sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” juga kurang banget. Sudah berapa kali coba orang-orang demo yang keluhan dan aspirasinya di dengar pemerintah? Paling sedikit. Pemerintah dan rakyat saja tidak bisa berdiskusi secara dua arah dengan benar, bawaannya sudah berprasangka buruk satu sama lain saja.”

“Yang paling dilaksanain paling cuma sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengingat Indonesia negara yang sangat menjunjung ketuhanan dan moral,” ujar Zaky. “Tapi semua itu lama-lama bakal tergerus karena dasar-dasar sila yang lain tidak diimplementasikan dengan baik.”

“Ironis banget nggak, sih, Pancasila yang seharusnya menjadi dasar negara malah kurang diperhatikan?” tanya Ega sambil terkekeh.

“Nah! Coba kita sekarang balik lagi ke topik awal.” Zaky meluruskan tubuhnya menghadap kedua temannya. “Cara melawan korupsi, berarti dengan penegakan hukum. Karena Pancasila adalah dasar negara, bagaimana kita bisa menegakkan hukum berdasarkan sila-sila tersebut?” 

“Sila ke-1 sepertinya sudah oke, ya. Berarti lanjut sila ke-2,” ujar Rafi. “Orang kaya mesti punya rasa malu, sih. Terutama para pejabat. Tapi menumbuhkan rasa malunya itu susah, sih, sudah kaya muka tembok, yang penting punya uang. Kalau punya rasa malu dan adab estetika pasti tahulah bagaimana membangun negeri yang benar.”

“Kalau mau berlandasan sila ke-3 semua orang Indonesia harus tahu sejarah bangsa mereka, siapa nenek moyang mereka, memiliki jati diri, dan punya sesuatu yang benar-benar Indonesia banget dan ibaratnya merangkul semua kalangan. Harus ditanamkan itu sejak dini. Tapi sayangnya, Indonesia, kan, suku-sukunya benar-benar berbeda banget, ya, satu sama lain, jadi rasa kebangsaan kolektifnya itu kurang. Belum lagi, bahasa Indonesia lebih dominan dipakai di kota besar, kota-kota dan daerah lain masih lebih sering memakai bahasa daerahnya sendiri. Menurut gue, Indonesia ini sudah kayak dunia versi mini,” lanjut Ega.

“Sila ke-4, seperti tadi sudah aku bilang, pemerintah dan rakyat harus saling berkoordinasi, berdiskusi, dan mendengarkan satu sama lain. Tapi di satu sisi, pemerintah juga harus bisa tegas membangun negara. Tapi tegasnya dalam konteks yang benar, ya, bukan untuk kepentingan pribadi.” Rafi tertawa.

“Untuk sila ke-5, lapangan pekerjaan disediakan dengan banyak dan upah gaji rakyat dinaikkan. Selesai.” Ega merentangkan kedua tangannya.

Zaky menatap Rafi dan Ega dengan kening berkerut. 

“Kok, jawaban kalian nggak ada yang benar, sih?”

Rafi kembali menyesap kopinya sementara Ega menjawab, “Ya, bagaimana, ya, bre. Namanya juga obrolan ngalor-ngidul. Kalau aku jawabnya serius nanti dikira sok pintar. Lagipula, jawaban aku ada benarnya, kok. Tapi itu yang kurasa saja, sih.” 

“Oh, satu lagi.” Rafi mengangkat jarinya menginterupsi. “Selain penegakan hukum, ada satu lagi akar masalahnya. Sistem pendidikan.”

“Kenapa, tuh?”

“Sistem pendidikan kita terlalu berat. Banyak pelajaran-pelajaran yang nggak bakal digunakan di masa depan, tetapi menyusahkan pikiran bocah-bocah kecil yang seharusnya lebih banyak bereksplorasi dan berpikir secara kritis dan kreatif. Kayak negara superpower tuh, Cina dan Amerika. Terus juga seharusnya diajarin untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab itu bagaimana, semisal cara mengelola keuangan.”

“Yah, jangan samakan Indonesia dengan negara majulah, bre,” balas Zaky.

“Loh, tapi kita bisa belajar dari negara maju, lho,” ucap Rafi lagi. “Sistem pendidikan mereka lebih singkat, sistematis, padat, dan jelas. Sistem pendidikan yang kurang terarah akan membuat anak-anak beralih ke solusi alternatif, yaitu menyontek.”

Ega bertepuk tangan. “Benar juga! Menyontek itu juga salah satu akar dari korupsi. Sudah terbiasa berbuat curang karena sekolah-sekolah selalu mengedepankan nilai dan angka.”

Zaky menggaruk-garuk kepalanya. “Kita ini jadinya lagi membicarakan apa, sih?”

Rafi meraih gelas kopinya. “Obrolan santai saja, bre. Mengemukakan ide dan pendapat, gue saja nggak punya gelar.” 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Ngalor-ngidul Di Tongkrongan
Fann Ardian
Cerpen
Bola-Bola Ibu dan Panggung yang Tak Pernah Tutup
Nur Khalifahtul jannah
Cerpen
My Scary Boss
Duna Izm
Cerpen
Bronze
Lentera Pecah
Alya Nazira
Cerpen
Bronze
Cucuku Aina
cyara afnan
Cerpen
Bronze
Another You Want
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Bronze
Si Pendidikan Negeri Sipil Bag-1
spacekantor
Cerpen
Klung!
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pleiades
Rita Puspitasari
Cerpen
Bronze
SEVGILI ÇOCUĞUM
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Buat Apa Membeli Kembang Api?
Juli Prasetya
Cerpen
Bronze
Pembaca Baju
Ferdiagus Rudi Junaedi
Cerpen
Bronze
Masjid Pensiunan
Muram Batu
Cerpen
Mencari Konsep Sabar
Dhawy Febrianti
Rekomendasi
Cerpen
Ngalor-ngidul Di Tongkrongan
Fann Ardian
Novel
Bronze
Yeti and Other Hudgemoors Stories
Fann Ardian
Cerpen
Sesuatu Memberitahuku Aku Akan Mencintaimu Selamanya
Fann Ardian
Novel
Bronze
Intact Yet Broken
Fann Ardian
Flash
30 Detik
Fann Ardian
Novel
Sail Upon A Star
Fann Ardian
Novel
Bronze
A Gift For Everyone
Fann Ardian
Flash
Bad Breath
Fann Ardian
Flash
Sebatang Rokok
Fann Ardian
Novel
Bronze
Lyra and The Moon
Fann Ardian
Flash
Text Message
Fann Ardian
Flash
Nice Little Twists
Fann Ardian
Flash
Sayonara!
Fann Ardian
Cerpen
Nighty Night Tea
Fann Ardian
Flash
Apple
Fann Ardian